okey, kali ini ane mau ngebahas tentang seseorang yang bisa dibilang legenda di Indonesia. kenapa ane bilang gitu? karena dulu sempet heboh-hebohnya kasus ini. kisah nyatanya sampe diangkat ke sebuah film.
ane nemuin sebuah artikel yang membahas tentang keadaan makam Ari Hanggara.
Liputan6.com, Jakarta Oleh: Taufiqurrohman, Moch Harun Syah
Musa mengeryitkan dahi saat mendengar sebuah nama disebut. “Siapa? Arie Hanggara? Kan sudah lama meninggalnya,” kata dia. “Biasanya orang ke sini nyarinya ‘pastur kepala buntung’.” Hantu itu konon bisa menampakkan diri pada malam Jumat, di depan siapapun yang masuk area pekuburan dengan jumlah ganjil. Sendirian, bertiga, berlima, …
Penampakan tanpa kepala, kuntilanak, segala macam memedi – Musa si penjaga makam sudah biasa mendapat banyak pertanyaan soal ‘penunggu’ Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut -- tempatnya mencari penghidupan. Bahkan tak jarang ada yang sengaja datang malam hari. Untuk uji nyali.
Meski begitu, Musa tahu benar di mana letak pusara Arie Hanggara. Tak jauh dari pintu masuk utama, hanya sekitar 100 meter jauhnya. Di sebelah kiri. Tepatnya di Blok AA II.
Kuburan batu hitam berukuran 2x1 meter itu kontras dengan makam-makam di sekitarnya. Tak terurus, ditumbuhi rumput liar, dan usang dimakan waktu. Tulisan di nisan dari marmer putih nyaris terhapus sepenuhnya. Pun dengan goresan ‘Maafkan Papa’ dan ‘Maafkan Mama’ yang berada di kanan dan kiri. Untung, sejak pertama kali dikubur, pusara Arie langsung diberi pembatas hingga tak sampai tergerus hujan.
Agustini mengaku nelangsa melihat kuburan itu. Perempuan 48 tahun itu sama sekali tak ada hubungan dengan almarhum. Tapi, ia ada di sana saat Arie dikebumikan 30 tahun lalu, saat TPU Jeruk Purut belum seramai dan serapi sekarang. Sebuah upacara penguburan yang mengharu biru, tangis banyak orang pecah ketika jasad kecil itu dimasukkan ke liang lahat.
“Aduh saya mah mau nangis aja kalau ingat lagi kisahnya. Sampai sekarang sudah meninggal juga kuburannya dibiarin aja begitu nggak diurus. Kasihan, hidupnya dianiaya sama orang tuanya, meninggalnya dilupain,” ujar pemelihara makam itu.
Sejak tahun 2000, jarang ada yang ziarah ke makam Arie Hanggara. Sopian, petugas TPU Jeruk Purut mengatakan, biaya administrasi -- yang harus dibayar 3 tahun sekali -- sudah menunggak 5 tahun. “Kalau sudah nggak dibayar selama 3 periode atau 9 tahun (makam) itu bisa ditumpuk,” kata dia.
Dari catatan administrasi, tertera nama Nyonya Dahlia. Alamat rumahnya di daerah Pengadegan Timur, Kalibata, Jakarta Selatan. Namun, saat didatangi, perempuan itu tak ada di sana.
Warga sekitar berujar, rumah bernomor 10 itu dulunya memang rumah Machtino bin Eddiwan dan Santi – ayah dan ibu tiri Arie. Sejak 2004 rumah itu dijual dan sudah berpindah tangan. “Kalau Machtino dan Santi saya tahu, Machtino meninggal tahun 2004 dan sejak itu rumahnya dijual,” kata warga bernama Rizki. Ia tak mengenal siapa Dahlia. Penelusuran Liputan6.com, nama ibu kandung Arie adalah Dahlia Nasution.
Arie Hanggara tutup usia pada 8 November 1984, usianya belum genap 8 tahun saat itu. Bocah kecil itu tewas dianiaya ayah kandungnya sendiri. Dikompori sang ibu tiri.
Dengan dalih mendisiplinkan anak atau mungkin melampiaskan kekesalan karena frustasi jadi pengangguran, Machtino kerap menghajar Arie. Pipi kecil itu ia tampar berkali-kali sekuat tenaga, memukulinya dengan gagang sapu, mengikat kaki dan tangan si anak kedua, disuruh berdiri jongkok sampai ratusan kali. Arie pun kerap ‘disetrap’, termasuk di kamar mandi bertegel dingin.
“Hadap tembok!” teriakan ini sempat didengar tetangga pada malam itu. Dini harinya, bocah yang kepayahan itu tak lagi bisa bertahan. Ia ditemukan ambruk dengan tubuh kaku. Machtino dan Santi menyesal berat, tapi waktu tak bisa diputar ulang kembali.
Kematian Arie Hanggara bikin gempar kala itu. Orang-orang tak habis pikir, mengapa bisa orangtua menyiksa anaknya sendiri hingga mati. Kok tega? Rekonstruksi pembunuhan harus diulang beberapa kali karena massa selalu berjejal, tak hanya menonton, tapi gemas ingin menghakimi Machtino dan Santi.
Seluruh media massa mengangkat kisah Arie. Salah satunya, Majalah Tempo yang memuat judul panjang di halaman mukanya: “Arie namanya. Ia mati dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak kejam?”
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto juga sempat berniat membuatkan patung Arie sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa mendatang. Tapi batal.
Nestapa Arie Hanggara dibangkitkan kembali dalam sebuah film, dengan judul sama dengan namanya. Film besutan Frank Rorimpandey itu ditonton ratusan ribu orang – yang `membanjiri’ bioskop dengan air mata.
Arie adalah simbol dari anak-anak yang tertindas. Namun kini, seiring waktu berlalu, tak cuma makam dan namanya yang terlupakan. Ia seakan hanya menjadi sebuah kisah masa lalu.
Ini bukan hanya tentang Arie Hanggara. Ada banyak bocah di negeri ini yang menjadi korban penganiayaan. Kasus kekerasan terhadap anak makin sering terjadi, dianggap ‘biasa’, bahkan tak dirasa penting.
Dan seperti apa yang terjadi pada Arie Hanggara -- saat ini -- mau tak mau, suka tak suka mendengarnya, ini adalah fakta: sumber bencana bagi para bocah bisa jadi ada di rumah. Ancaman terbesar bagi anak bukan tak mungkin adalah orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi dan mengayomi jiwa-jiwa kecil itu.
sebenernya masih panjang gan, jadi ane ringkas aja.
nya aja gan.
ane kasihan. betapa sedihnya almarhum disana..
ane cuma berbagi aja gan, sekalian ngingetin agan2 sekalian.
mohon maaf kalo repost.
wassalamualaikum.