Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

zaemadAvatar border
TS
zaemad
Glembuk, Strategi Politik Tradisional Orang Jawa
Salah satu syarat terpilihnya seorang calon pemimpin menjadi resmi seorang peminpin adalah kredibilitas. Tapi jangan dikira kredibilitas itu mudah diperoleh setiap orang. Kredibilitas menyangkut banyak faktor. Terutama tentu saja masalah kepercayaan dan dan track record yang baik bagi seseorang. Sedikit saja terkena masalah, kredibilitas bisa langsung pecah berkeping-keping. Terutama, tentu saja jika ada lawan politik yag memanfaatkan celah kredibilitas itu untuk menghancurkan citra lawan politiknya.

Glembuk secara harfiah berarti ngojok-ngojoki supaya gelem atau dalam bahasa Indonesia berarti mengajak supaya mau. Dalam pandangan kehidupan tradisional Jawa, Glembuk diartikan sebagai strategi politik untuk membujuk lawan dan konstituen untuk memilihnya dalam sebuah pemilihan. Dalam hal ini, pemilihan perangkat desa yang diperebutkan. Dalam penelitian yang dilakukan Bambang Hudayana, seorang antropolog UGM dalam tulisannya berjudul Glembuk, Strategi Politik Dalam Rekrutmen Elite Penguasa di Desa Pulungsari Yogyakarta memberikan kita pemahaman baru bagaimana Glembuk bekerja.

Glembuk di artikan sebagai suatu cara “halus” untuk membujuk masyarakat atau tokoh memberikan dukungannya saat pemilihan kelak. Bujukan ini bisa diartikan dalam lingkup yang banyak. Bisa berupa memberikan jabatan tertentu atau memberikan berupa “sumbangan” kebutuhan masyarakat atau desa. Dalam glembuk, kata kunci yang tepat adalah sedikit merendah dan dengan sikap halus. Tak peduli itu lawan sekalipun. Menggunakan Glembuk berarti juga mencoba merangkul lawan politik agar mau mengalah dan memberikan dukungannya. Tentu ada “imbalan” dalam prosesi ini.

Desa Pulungsari yang dijadikan tempat penelitian Bambang Hudaya mengalami arti Glembuk yang sebenarnya. Dengan sikap “basa-basi” dan halus, para elit warga yang hendak menjadi peminpin di desa itu mendatangi para tokoh warga. Memberikan sumbangan dan kebutuhan tertentu dianggap sebagai balik jasa yang harus dilakukan demi mendapat sebuah restu. Tentu ini menarik, sesuatu yang dianggap politik uang, diterjemahkan menjadi sebuah imbal jasa yang wajar.

Lebih jauh, apa yang dilakukan dalam Glembuk dalam bahasa keseharian perkotaan adalah “merendah untuk meninggi”. Berbeda daerah, berbeda pula “kultur politik” yang dilakukan. Jika di Yogyakarta sikap Glembuk diterjemahkan sebagai sikap halus dan merangkul semua, lain dengan Solo yang menggunakan Umuk sebagai simbol “kesombongan” suatu elit warga. Dalam Umuk, yang ditampilkan bukan kesederhanaan dan sikap halus pada lawan maupun konstituen, melainkan sikap sombong, berkuasa, dan dikesankan kuat. Dengan demikian, tanpa perlawanan seorang lawan akan ketakutan sendiri karena menyadari lawannya adalah orang kuat. Warga pun melihat “kesombongan” itu sebagai sebuah simbol kekuatan yang sulit dilawan. Sementara di Semarang, dalam kultur politiknya mereka menggunakan Getak atau gertak. Semata-mata dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki. Baik bentrok fisik maupun non-fisik lazim dalam skema ini. Intinya satu, lawan takut saat di-gertak.

Tapi apapun itu, kini masyarakat sudah memasuki iklim demokrasi yang berbeda. Seharusnya rasionalitas bisa digunakan dalam menentukan seorang peminpin. Tapi, itu tadi kendala utama daya magnet uang sangat susah dikalahkan, mengingat masyarakat Indonesia masih belum benar-benar terbebas dari bayang-bayang kesengsaraan.

Sumber: http://etnonesia.org/lengkap.php?id=44

Spoiler for Tulisan Lain:


Spoiler for Bonus!!!:


Artikel-artikel menarik lainnya silakan kunjungi ETNONESIA

emoticon-Blue Guy Cendol (L)
0
12.5K
11
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
BudayaKASKUS Official
2.3KThread1.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.