- Beranda
- Lounge Pictures
Kondisi Hukum di Indonesia
...
TS
triananana
Kondisi Hukum di Indonesia
Menurut agan kondisi hukum di negara kita saat ini sudah bagus atau sebaliknya?. Sebagai orang yang sedang belajar hukum saya menilai ada beberapa aspek dimana membuat hukum di Indonesia menjadi kurang baik. Bahkan saat ini semakin banyak kasus kriminalisasi dan kesalah pahaman objek hukum dikarenakan kurangnya landasan dalam penegakan hukum itu sendiri.
Ane menemukan sebuah tulisan yang cukup bisa mewakili kekhawatiran ane sendiri terhadap hukum di Indonesia
Berikut artikelnya:
Quote:
Kelemahan Penegakan Hukum, Mencoreng Wajah Hukum Kita
Oleh: Dr. Ferry A. Suranta,SH., MBA., MH. SEORANG begawan Sosiologi Hukum, Satjipto Rahardjo (alm), pernah berujar, kualitas hukum suatu bangsa dapat dilihat dari kepribadian bangsa itu sendiri. Ibarat dalam diri manusia, hukum layaknya pancaran (inner beauty) yang tidak bisa dibohongi atau dipungkiri. Tidak bisa dibuat-buat. Hukum itu harus natural. Tentu Satjipto tidak sembarangan menyatakan hal tersebut. Lalu bagaimanakah dengan dunia hukum Indonesia? Dapatkah disimpulkan kalau carut-marutnya dunia hukum Indonesia tak lain akibat pemahaman dan pendidikan yang keliru tentang hukum kita?
Selama ini, baik di legislatif bahkan di fakultas hukum sekalipun, hukum dominan berkutat dibicarakan pada tahapan teks dan peraturan perundang-undangan, tanpa membicarakan hukum itu secara utuh dan holistik. Dengan demikian, sosok hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi manusia. Hukum menjadi terkungkung antara linearitas perbuatan, aturan dan vonis. Padahal, dalam heurmeutika hukum, hukum jauh melampaui batasan-batasan tersebut.
Sekali lagi, hukum itu bukan sekadar peraturan perundang-undangan, tetapi justru melekat erat di dalam perilaku manusia itu sendiri. Apalah artinya peraturan yang bagus dan sempurna jika moral para pelaku dan penegak hukum tetap saja tak lebih baik dari masyarakat awam? Sebaliknya, naskah hukum yang amburadul dan tidak berkepastian akan menyebabkan penegak hukum kesulitan mencari formula terbaik dalam implementasi hukum tersebut.
Oleh karena itu, permasalahan hukum Indonesia saat ini sebenarnya bukan hanya terletak pada peraturan yang tidak memadai tetapi lebih pada pengenalan dan pembentukan kepribadian bangsa, baik masyarakat awam mapun para penegak hukum. Dengan kata lain, budaya hukum menjadi aspek paling penting di dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, untuk mengenal lebih dalam hukum suatu negara, maka kita harus mengenal kepribadian bangsa tersebut.
Karena seharusnya hukum lahir dari kepribadian bangsa itu sendiri bukan dengan cara meniru atau mengadopsi seperti yang kita lakukan dengan cara mewarisi hukum kolonial Belanda. Jadi sangat relevan bila disimpulkan bahwa carut-marutnya wajah hukum Indonesia diakibatkan kepribadian bangsa ini yang juga masih carut marut. Sehingga dengan demikian, jika ketiga aspek ini sudah bekerja dengan baik (struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum), maka niscaya wajah hukum akan membaik.
Kita tentu tak mau kalau dunia penegakan hukum kita digerogoti ‘pilatus-pilatus’ yang rakus kekuasaan kendati harus mengorbankan rasa keadilan, bahkan nyawa orang lain yang tidak bersalah. Hukum yang menghamba kepada kekuasaan. Sebab jika hukum saja tidak bisa memberi keadilan dan memerdekakan, lalu kemana lagi bangsa ini harus mengadu?
Penegakan Hukum
Oleh karena itu, penegakan hukum (law enforcement) menjadi bagian paling penting dan tidak terpisahkan dalam suatu rangkaian sistem hukum (Lawrence M. Friedman, 1981). Tanpa penegakan hukum (formeel recht) maka kaidah-kaidah hukum materil (materieel recht) niscaya menjadi tumpukan kertas (een papieren muur) saja. Cita negara hukum dalam konstitusi bangsa ini hanya akan tinggal mimpi belaka.
Oleh karena itu, tanpa penegakan hukum yang baik, akan sama saja artinya dengan mengakibatkan terjadinya pembiaran pelanggaran dan kejahatan (tegengesteld) atau pembiaran terhadap kaidah-kaidah hukum (materieel recht} yang dibuat guna mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Tanpa penegakan hukum, rakyat pasti putus asa akan hukum dan keadilan. Akan terjadi krisis kepercayaan atas hukum. Masyarakat kacau balau (chaos), merupakan normless society dalam kenyataan (in het werkelijkheid).
Sayangnya, kelemahan penegakan hukum pula yang menjadi cacat paling besar yang mencoreng wajah hukum kita. Hal tersebut tentu tak lepas dari rendahnya kualitas para penegak hukum. Bahkan berbagai lembaga survei menempatkan lembaga penegak hukum (kejaksaan dan kepolisian) setelah DPR dan partai politik sebagai lembaga terkorup. Terbongkarnya kasus suap yang melibatkan beberapa penegak hukum, seperti rekening gendut beberapa perwira Polri menjadi bukti nyata.
Aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru menjadikan hukum sebagai alat mengekalkan kekuasaan dan kepentingan sendiri. Termasuk untuk memenuhi pesanan demi kepentingan para oligarkhi elit. Bukti-bukti di peradilan dimanipulasi, pasal-pasal yang didakwakan cenderung asal dan tidak menyentuh substansi perkara.
Seperti dalam kasus tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa LTE PLTGU GT21 dan GT22 Belawan Medan. Tulisan ini bukan bermaksud menghakimi para penegak hukum, tetapi setidaknya beberapa kekeliruan yang harus diluruskan tersebut terkait beberapa hal. Pertama, mekanisme dan metodologi perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP yang keliru. Dalam perhitungannya, BPKP mengakumulasi kerugian keuangan negara, baik yang sudah nyata dan telah terjadi maupun kerugian yang masih bersifat potensi atau prediksi.
Kedua, PLN sebagai BUMN yang merupakan representasi negara dalam upaya mencari laba/keuntungan, juga harus dipahami sebagai pelaksana PSO (public service obligation). Artinya, jika terjadi kerugian negara, harus ada perbedaan perhitungan kerugian negara dalam sebuah instansi pemerintahan dan BUMN pelaksana PSO. Sebab harus dipetakan, apakah kerugian negara tersebut berasal dari pendapatan berupa subsidi yang diberikan pemerintah atau dari pendapatan penjualan listrik kepada pelanggan atau masyarakat. Karena bagaimanapun, harus dipahami bahwa kekayaan yang dimiliki PLN bukanlah sebagai keuangan negara, tetapi sudah menjadi milik privat sesuai dengan UU BUMN.
Hal-hal seperti ini tidak jarang terjadi. Ketidakcermatan pembentuk UU dalam mendesain pasal-pasal yang berakibat pada munculnya UU yang ambigu dan multitafsir menyebabkan penegakan hukum menjadi gamang dan limbung. Maka sudah selayaknya dilakukan revolusi mental dalam penegakan hukum di Indonesia. Semoga. ***
Penulis adalah Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Medan Area (UMA) Medan dan Praktisi Hukum.
Sumber : http://analisadaily.com/news/read/ke...338/2014/09/16
Semoga bisa menjadi masukan bagi agan-agan untuk lebih mengenal hukum dan bisa berpartisipasi aktif untuk mendukung keadilan agar lebih tercipta suasana negara yang aman dan nyaman.
0
4.4K
Kutip
16
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Lounge Pictures
69KThread•11.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya