Pemilu Serentak, Pilkada Langsung atau Lewat DPRD?
TS
uruhara16
Pemilu Serentak, Pilkada Langsung atau Lewat DPRD?
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah jika kebanyakan masyarakat menolak pelaksanaan pemilihan kepala daerah, baik gubernur, bupati, dan wali kota melalui DPRD. Menurut dia, perjuangan koalisi Merah Putih yang mendukung perubahan format pemilihan kepala daerah ini mendapat dukungan dari masyarakat luas.
"Banyak yang mendukung kita. Hampir semua rakyat koalisi Merah Putih mendukung dan juga masyarakat yang lain," kata Fadli di di Jakarta, Sabtu (13/9/2014) siang.
Sebelumnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan sebanyak 81,25 persen responden memilih agar pilkada tetap secara langsung. (baca: LSI: Mayoritas Masyarakat Setuju Pilkada Langsung)
Menanggapi hal tersebut, Fadli hanya menjawab santai. "Survei survei itu gak jelas lah," ujarnya.
Hal serupa disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Yandri Susanto. Menurut dia, survei tersebut tidak bisa dijadikan patokan karena masyarakat yang disurvei tidak diberi penjelasan mengenai keuntungan dan kerugian pilkada lewat DPRD.
"Survei itu sangat subjektif. Hanya ditanya setuju atau tidak. Metodologinya sengaja diarahkan supaya rakyat menolak (pilkada lewat DPRD)," ujar dia.
"Kita ini juga sudah turun ke lapangan, menerima delegasi, mendapat telepon dan masukan dari rakyat," tambah Yandri.
RUU Pilkada saat ini tengah dibahas Panitia Kerja DPR. Mekanisme pemilihan kepala daerah menjadi salah satu isu yang mendapat sorotan. Sebelum Pilpres 2014, tak ada parpol yang ingin jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Namun, kini semua parpol Koalisi Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional, ditambah Partai Demokrat, malah mendorong agar kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Para bupati dan wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menolak tegas pilkada oleh DPRD.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi PKB, Abdul Malik Haramain mengatakan, fraksinya konsisten menginginkan pemilihan kepala daerah, mulai gubernur hingga bupati dan wali kota digelar secara langsung dan serentak.
Menurut Malik, ada beberapa dampak terburuk yang akan terjadi jika pilkada dilakukan secara tidak langsung atau dilakukan pihak DPRD.
Pertama, model pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh para anggota DPRD akan mulahirkan sistem kekuasaan oligarki atau sistem pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat. Dalam hal ini oligarki tersebut adalah DPRD.
"Menurut saya pasti nanti akan terjadi sistem oligarki," kata Malik di Komisi II Gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/9/2014).
Dampak buruk lainnya dari pilkada melalui DPRD, yakni rakyat dipastikan tidak mengenal dan mengerti tentang kepala daerah yang akan memimpinnya. "Tahu-tahu rakyat kita cuma tahu si calon tertentu jadi kepala daerahnya," ujarnya.
Kedua, mekanisme pilkada di DPRD menumbuhkan praktik politik uang yang lebih besar. Sebab, si calon kepala daerah tidak perlu lagi bersusah payah menemui, berkampanye dan meneriakkan harapan atau janji-janjinya kepada rakyat
"Mereka cukup memberikan harapan kepada DPRD. Bahkan, itu tidak perlu, karena cukup dengan (uang,-red) cash itu selesai. Itu pasti karena oligarki. Orang yang punya duit, meskipun dia penjahat bisa jadi kepala daerah. Tapi, kalau melalui rakyat, orang yang punya duit belum tentu menang dan jadi," tegas Malik.
Menurut Malik, praktik politik uang justru 'makin menjadi' jika pilkada dilakukan di DPRD.
"Memangnya kalau di DPRD tidak money politic? Nantinya, itu justru jauh lebih sistematis. Jadi, sama-sama tidak menghilangkan money politics. Lebih baik pilkada diserahkan ke rakyat sehingga rakyat bisa tahu dan bisa kenal dengan calonnya. Bagaimana kalau lewat DPR? Sudah pasti rakyat tidak tahu. Selain itu, mereka (anggota DPRD) harus menjalankan instruksi partainya, kalau tidak pasti dipecat," ujarnya.
Bagi Malik, pilkada melalui pemilihan langsung oleh rakyat 'lebih menjamin' sang kepala daerah terpilih dibandingkan melalui model pilkada di DPRD.
Malik mempunyai alasan yang bisa mematahkan sejumlah alasan pihak fraksi parpol koalisi Koalisi Merah Putih (KMP) yang berkeras ingin pilkada dilakukan lewat mekanisme pemilihan di DPRD.
Menurutnya, adalah tidak benar alasan perlunya pilkada melalui pemilihan di DPRD karena model pilkada secara langsung yang merupakan buah reformasi dan dimulai sejak 2004 kerap terjadi pelanggaran politik uang secara terstruktur, sistematis dan kerap terjadi kerusuhan pasca-pemilihan.
Sebab, tidak semua pilkada secara langsung yang telah diselenggarakan menimbulkan kerusuhan. "Pilkada di Banyuwangi dan Bandung terbilang bagus, nggak rusuh," kata Malik.
Sepengetahuan Malik, tidak ada proses pilkada secara langsung yang telah diselenggarakan sebelumnya terjadi hingga saling bunuh antar-pendukung.
"Kalau alasannya rusuh, dari 34 pilkada gubernur dan 500-an pilkada kabupaten/kota, pilkadanya yang rusuh tidak sampai 10 persen kok. Seperti Palembang. Itu pun rusuhnya karena polisi lelet. Selain itu, nggak ada lagi kan," imbuhnya.
Menurut Malik, yang paling berat kalau pilkada dilakukan oleh DPRD, maka DPR dan pemerintah akan kesulitan saat ingin mengembalikan sistem pilkada ke tangan rakyat. "Kalau memang ada masalah dan gejolak politik, itu biasa. Biasa lah trial and error," imbuhnya.
Sementara itu, Malik pun punya solusi atas adanya mobilisasi pejabat birokrat atau PNS yang dilakukan oleh calon petahana atau incumbent dalam pilkada langsung.
Ia mengaku, fraksi telah memasukkan poin ke dalam RUU Pilkada tentang batas waktu pencalonan keluarga petahana. "Jadi, keluarga incumbent jangan mencalonkan dulu sebelum selesai satu periode. Karena kami sadar, mobilisasi PNS dan membuat tidak netral itu calon incumbent, bukan new comer. Lagipula sekarang banyak yang incumbent kalah, KO. Tapi kalau pilkada lewat DPRD, sudah pasti bisa ditebak siapa yang menang," ujarnya.
JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Survei dan Opini Publik (Persepi) Yunarto Wijaya mementahkan semua argumentasi Koalisi Merah Putih yang mengusulkan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Menurut Yunarto, tak ada kesulitan untuk menepis semua argumentasi tersebut.
Yunarto menjelaskan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan menabrak sistem pemerintahan di Indonesia. Pasalnya, Indonesia menganut sistem presidensial. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka itu sama dengan menjalankan sistem parlementer.
"Soal tata negara, di mana ada negara yang sistem pemilunya berbeda? Presiden dipilih langsung, kenapa kepala daerah dipilih DPRD? Argumentasi mereka nol besar!" kata Yunarto, saat dihubungi, Sabtu (13/9/2014).
Yunarto juga menepis argumentasi partai koalisi Merah Putih yang mengatakan bahwa pilkada langsung berpotensi menimbulkan konflik sosial. Ia merujuk data Kementerian Dalam Negeri di mana pada 2011 hanya terjadi delapan konflik sosial dari 155 penyelenggaraan pilkada, dan pada 2012 hanya enam konflik yang terjadi dari 77 pilkada yang digelar.
"Artinya, tidak ada argumentasi kuat dari Koalisi Merah Putih selain asumsi," ujarnya.
Lalu, mengenai politik berbiaya tinggi yang menurut Koalisi Merah Putih dianggap dapat dihindari jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, bagi Yunarto, argumentasi itu juga tak realistis. Pilkada melalui DPRD diyakini tetap akan diwarnai praktik politik uang yang berlangsung ilegal.
Jika alasannya menekan biaya mahal dalam politik, kata Yunarto, maka skala prioritasnya adalah memberangus praktik politik uang yang dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Yunarto memandang argumentasi Koalisi Merah Putih aneh karena ingin menekan biaya tinggi dengan mengubah sistemnya.
"Seharusnya yang dipangkas politik uang yang ilegal, bukan sistemnya," ucap dia.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif Charta Politica itu juga membantah jika lembaga survei dan konsultan politik sebagai pihak dibelakang gerakan penolakan kepala daerah dipilih oleh DPRD. Hal itu dituduh oleh juru bicara Koalisi Merah Putih Tantowi Yahya. (baca: Koalisi Merah Putih Anggap Penolak Pilkada oleh DPRD Tak Wakili Rakyat)
Yunarto menegaskan, selama ini calon kepala daerah lebih dulu berkoordinasi dengan partai untuk melakukan pemetaan politik melalui lembaga survei.
"Alasan Koalisi Merah Putih ini hanya akal-akalan karena tak legawa menerima hasil pemilu dan untuk memuaskan libido politik," ucapnya.
Sebelumnya, Tantowi merasa rakyat sebenarnya tidak berkeberatan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Ketidaksetujuan rakyat yang terdengar selama ini, menurut dia, hanya pembentukan opini semata.
"Rakyat yang mana (tidak setuju pilkada lewat DPRD)? Kasihan nama mereka dipakai oleh lembaga survei, konsultan politik, makelar politik, dan media yang terancam bangkrut. Serta kepala daerah yang mau maju lagi, tapi tanpa partai atau lagi cari perhatian agar duduk di kabinet," kata Tantowi melalui pesan elektronik kepada Kompas.com, Jumat (12/9/2014) siang.
Menurut Tantowi, berbagai kalangan yang selama ini menolak pilkada lewat DPRD tidaklah mewakili aspirasi rakyat. Pasalnya, mereka mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan mereka secara pribadi.
"Bukan rahasia lagi lembaga-lembaga survei itu bukan hanya dapat fee yang besar, tapi juga konsesi-konsesi ketika calon mereka menang. Wajar kalau mereka sekarang biayain LSM-LSM yang sekarang teriak-teriak atas nama 'rakyat' dan rencananya akan menyerbu DPR bahkan akan membakarnya," ujar Tantowi
Spoiler for Tiga Dampak Negatif Pilkada Langsung:
JAKARTA, KOMPAS.com - Sedikitnya ada tiga dampak besar pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuat banyak pihak prihatin.
Ketiganya adalah penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.
Menurut Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, tiga dampak besar pilkada langsung itu secara kumulatif akan secara otomatis mematikan ekspektasi publik akn hadirnya pemerintahan yang baik di Indonesia.
"Harapan untuk percepatan kesejahteraan rakyat telah didistorsi oleh sistem pilkada langsung," ujar Ryaas.
Dia mencontohkan dampak besarnya biaya kampanye yang kemudian mengakibatkan kepala daerah sulit lepas dari perilaku koruptif tergambar jelas dalam data terakhir yang dilansir Kementerian Dalam Negeri, bahwa ada 160 kepala daerah yang telah dan akan dibawa ke pengadilan.
"Kesemuanya terkait dengan korupsi APBD. Perlu dicatat bahwa semua kepala daerah yang bermasalah ini adalah hasil dari pilkada langsung," katanya.
Spoiler for Pilkada Serentak, Begini Gambaran Prakteknya:
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, apabila Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan pemilihan kepala daerah langsung, pilkada langsung dan serentak pertama akan dilakukan pada 2015. "Pada 2015 akan ada 204 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan bisa dilakukan pilkada serentak," ujar Djohermansyah di kantornya, kemarin.
Kemudian, kata dia, kloter kedua pilkada serentak akan dilakukan pada 2018. Adapun kepala daerah yang telah habis masa jabatannya pada 2016 dan 2017 akan digantikan oleh penanggung jawab gubernur dari pejabat Kementerian Dalam Negeri. (Baca: Diusung PAN, Wali Kota Kediri Tolak RUU Pilkada)
Nantinya, pada 2020, pilkada akan serentak di seluruh Indonesia. Untuk kepala daerah yang baru terpilih pada 2018 akan diberikan gaji seperti jika mereka memimpin hingga lima tahun. Mereka juga dipersilakan untuk mencalonkan diri lagi pada 2020.
Saat ini, dalam pembahasan RUU Pilkada, ada enam fraksi yang tak setuju pilkada langsung, yakni Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra. Sedangkan Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Hanura mengikuti pemerintah. (Bacajohermansyah Berharap pada Demokrat dan Gerindra)
Partai Demokrat sebagai partai pemerintah masih konsisten menolak pilkada langsung dengan alasan penghematan anggaran dan menghindari politik uang dalam pilkada langsung. Adapun pemerintah mendukung pilkada langsung. RUU ini akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 25 September 2014. (Baca juga: Menteri: Tak Ada Jaminan Pemilu Terbatas Baik)
Fraksi-fraksi dari Koalisi Merah Putih menyatakan pilkada melalui DPRD akan lebih murah. Namun pemerintah berkeras melakukan pilkada langsung asal serentak untuk menekan biaya.