Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

edymulyadilagiAvatar border
TS
edymulyadilagi
Lagi, Subsidi BBM di APBN; Bermain Warna Biru dan Merah, Yuk...

Oleh: Edy Mulyadi


Lagi, soal subsidi bahan bakar minyak (BBM) di APBN. Maaf, saya sendiri sebetulnya sudah bosan bahkan muak dengan soal yang sepertinya tidak pernah selesai ini. Pasalnya, pemerintah kita dari rezim ke rezim cenderung mengambil jalan pintas dan mudah. Guna menyelamatkan APBN yang bakal jebol, maka kurangi alokasi subsidi BBM yang superjumbo. Di kehidupan riil, keputusan ini berarti menaikkan harga BBM.

Sejumlah ekonom yang bernaung di Rumah Transisi Jokowi-JK, bahkan sudah mendesak pemerintah agar segera menaikkan harga BBM sekitar Rp3.000/liter. Jika usulan ini disetujui, akibatnya lebih dari 10 juta rakyat Indonesia yang selama ini statusnya near poor alias hampir miskin, tiba-tiba saja jadi benar-benar miskin. Angka ini muncul jika menggunakan patokan Bank Dunia, bahwa orang miskin adalah yang berbelanja kurang dari US$2/hari. Siapa saja mereka ini?

Data Korlantas tahun 2014 Mabes Polri menyebutkan, saat ini ada sekitar 86,3 juta pengguna sepeda motor. Jumlah ini ditambah dengan 2,2 juta nelayan (Kiara, 2012), dan 3 juta angkutan umum (Organda, 2013). Jumlah kelompok ini total sekitar 91,5 juta. Semuanya kini mengonsumsi BBM jenis premium dengan harga Rp6.500/liter. Di luar mereka adalah masyarakat menengah ke atas yang berjumlah 10,5 juta yang menggunakan mobil pribadi.

Di tengah arus mainstream yang gegap gempita mengampanyekan kenaikan harga BBM, tiba-tiba saja ekonom senior Rizal Ramli menawarkan solusi sederhana namun jitu. Kemarin, kepada wartawan dia menawarkan subsidi silang BBM. Inilah yang menggelitik saya untuk kesekian kalinya menulis artikel dengan tema menyebalkan ini.

BBM Rakyat dan BBM Super

Kemarin, kepada wartawan Rizal Ramli mengatakan, sebaiknya BBM yang beredar di pasar di bagi jadi dua jenis. Pertama, BBM Rakyat yang beroktan 80-83 (saat ini jenis premium oktannya 88). Sebagai pembanding, di Amerika, oktan general gasolin 86 dan di negara bagian Colorado 83. Jenis kedua, BBM Super dengan oktan 92 untuk jenis Pertamax dan 94 Pertamax Plus.

Nilai oktan berhubungan dengan ”ketukan” (knocking) yang memengaruhi kinerja mesin. Semakin rendah nilai oktan mesin akan lebih sering mengalami ketukan dan sebaliknya. Perbedaan oktan yang tinggi antara BBM rakyat dan BBM super akan membuat pengendara mobil menengah atas takut menggunakan BBM Rakyat. Mereka tidak ingin mesin mobilnya menggelitik karena akan mempercepat kerusakan mesin dan biaya perbaikannya lebih mahal.

Data BPH Migas tahun 2013, kelompok menengah bawah mengonsumsi sekitar 55%. Dengan kuota BBM tahun 2015 yang 50 juta kilo liter (kl), maka jatah mereka mencapai 27,5 juta kl. Sedangkan sisanya yang 45% atau sekitar 22,5 juta dikonsumsi kalangan menengah atas. BBM Super ini dijual seharga Rp12.500/l.

Guna meringankan beban rakyat, Rizal Ramli berpendapat harga BBM Rakyat tidak perlu dinaikkan atau tetap Rp6.500/l. Ini menyangkut nasib sekitar 91,5 juta penduduk miskin yang terdiri atas para pengguna sepeda motor, nelayan, dan pengemudi angkutan umum.

Kebijakan ini membawa konsekwensi dipertahankannya subsidi. Pada 2013 Kementerian ESDM menyatakan harga keekonomian BBM Rp8.400/l. Itu artinya pemerintah harus mensubsidi Rp1.900/l. Tapi dari hasil penjualan BBM Super, pemerintah untung Rp4.100/l.

Dari simulasi ini, pemerintah memang harus mensubsidi BBM Rakyat sebesar 27,5 juta kl x Rp1.900 = Rp52,25 triliun. Namun pada saat yang sama, pemerintah meraih laba dari penjualan BBM Super yang 22,5 juta kl x Rp4.100 = Rp92,25 triliun. Dengan begitu, pemerintah masih mengantongi selisih positif sebesar Rp40 triliun/tahun.

Untung dan adil

Berdasarkan simulasi tersebut, tak pelak lagi solusi yang ditawarkan Menteri Keuangan era Presiden Gus Dur tersebut telah menyulap subsidi BBM yang selama ini menjadi momok bagi APBN menjadi keuntungan yang menggiurkan. Bayangkan saja, sebelumnya RAPBN 2015 dibayang-bayangi jebol karena subsidi BBM yang mencapai Rp363,5 triliun. Dengan solusi sederhana tapi cerdas itu, pemerintah justru mengantongi surplus sebesar Rp40 triliun.

”Solusi ini juga sekaligus menghapus praktik subsidi BBM yang tidak tepat sasaran karena lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas yang tidak berhak. Solusi berupa subsidi silang memungkinkan subsidi BBM jadi betul-betul tepat sasaran, betul-betul untuk rakyat,” ungkapnya.

Tapi persoalannya, tidak semua gagasan cemerlang bakal mulus melenggang di lapangan. Ada saja kendala dan sandungan yang bakal muncul. Misalnya, ada saja kelompok menengah atas yang bandel dengan tetap membeli BBM Rakyat. Tapi Rizal Ramli sudah punya langkah untuk memastikan gagasan cemerlang berupa pembagian dua jenis BBM ini bisa diterapkan di lapangan.

Caranya, pertama, kedua jenis BBM tersebut warnanya dibedakan dengan mencolok. Misalnya, warna biru untuk BBM Rakyat dan BBM Super berwarna merah. Tangki dan dispenser di SPBU-SPBU, kalau perlu, juga diberi warna biru untuk BBM Rakyat dan merah untuk BBM Super. Perbedaan harga dan spesifikasi produk ini (oktan dan warna BBM) adalah pelaksanaan dari prinsip subsidi silang.

Kedua, lakukan razia secara rutin terhadap kendaraan kelas menengah atas oleh aparat Dishub, Polantas, dan kalau perlu dengan melibatkan LSM. Siapkan juga sanksi berupa denda untuk setiap pelanggaran penggunaan BBM Rakyat. Selain itu, juga ada sanksi sosial berupa dipermalukan di depan umum bagi pengendara kalangan menengah atas yang melanggar.

Solusi hilir

Apa yang ditawarkan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu memang berupa solusi di sisi hilir. Tapi sebelumnya dia gencar menyarankan agar pemerintah bersungguh-sungguh membenani sektor Migas dari sisi hulu.

Ada sejumlah langkah yang harus dilakukan pemerintah untuk membenahi sektor Migas ini dengan tuntas. Pertama, lakukan dengan serius dan terukur diversifikasi energi. Indonesia kaya dengan geothermal, air, angin, sinar matahari, dan gas. Semua ini bisa digarap sebagai alternatif energi fosil yang sudah pasti bakal segera habis.

Kedua, bangun kilang di Indonesia secepatnya. Saat ini yang mendesak setidaknya diperlukan tiga kilang masing-masing berkapasitas 200.000 barel. Dengan adanya kilang sendiri, Indonesia bisa menghemat biaya pengadaan BBM 20-30%. Angka ini muncul peniadaan berbagai biaya. Antara lain biaya ekspor minyak mentah untuk dimurnikan di negara lain (transportasi, asuransi, komisi mafia migas, keuntungan pengusaha, dan bermacam pajak di negara pemilik kilang). Berbagai komponen biaya serupa juga bisa ditiadakan untuk kegiatan impor memasukkan kembali minyak mentah hasil pemurnian dan imporn BBM jadi.

Ketiga, permudah iklim usaha di bidang Migas. Bukan rahasia lagi jika iklim usaha Migas di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Pengusaha sudah dikepung dengan berbagai pajak ketika baru saja akan memulai usahanya. Belum lagi setoran ini-itu yang harus ditebar supaya izin-izin yang diperlukan bisa segera terbit.

Keempat, pangkas cost recovery yang ugal-ugalan. Dalam tempo 10 tahun terakhir, produksi minyak mentah alias lifting anjlok hingga 50%. Dulu, produksi minyak mentah sempat menyentuh 1,6 juta barel per hari (bph). Sekarang, untuk beringsut dari 800.000 bph saja susahnya amit-amit. Ironisnya, cost recovery justru naik hingga 200%.

Kelima, bubarkan SKK Migas karena melanggar konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memerintahkan pembubaran BP Migas karena tidak sesuai UUD 1945. Pemerintah SBY memang membubarkan BP Migas. Namun dia menggantinya dengan nama baru, SKK Migas. Padahal praktiknya sama saja. Wine lama dengan botol baru.

Keenam, ini yang tidak kalah penting, sikat habis mafia Migas. Kelompok ini membuat bisnis dan pengadaan BBM di dalam negeri menjadi amat mahal. Mereka meraup laba supergede secara tidak sah. Tidak kurang US$1 miliar atau lebih dari US$11 triliun mengalir dengan deras ke kocek mereka. Sebagian dari laba haram inilah yang disebar ke para pejabat terkait sebagai suap. Inilah yang menjelaskan mengapa mafia Migas tetap eksis dari satu rezim ke rezim berikutnya.

Pertanyaannya, apakah pemerintahan Jokowi mau mengambil langkah pembenahan sektor migas, baik dari sisi hulu maupun hilir? Atau, jangan-jangan dia akan kembali mengulangi dosa-dosa besar kepada rakyat sebagaimana para pendahulunya? (*)



Jakarta, 10 September 2014

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

0
1.3K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.