Kaskus

Entertainment

ilovechemistryAvatar border
TS
ilovechemistry
Pemerintah Memang Tak Mau Pendidikan Tinggi Maju
Just share agan dan aganwati. Kebetulan ane nemu artikel menarik untuk dibaca. Berharap lebih banyak lagi yang baca agar pendidikan tinggi di Indonesia lebih maju.
Mohon maaf kalau ada yang kontra ya. emoticon-I Love Indonesia (S)

sumber : http://abdul-hamid.com/2014/05/07/pe...n-tinggi-maju/

Saya akhirnya berhasil menarik kesimpulan.

“Pemerintah memang tak mau pendidikan tinggi maju.”

Sederhananya, segala cara dibuat oleh Pemerintah agar pendidikan tinggi Indonesia tertinggal dan tidak bisa berkompetisi dengan negara lain.

Pemerintah harus terus membikin dosen tidak memiliki motivasi kerja dan sibuk mencari kerja sampingan. Ya, jangan sampai dosen hidup layak. Makanya jangan dikasih tunjangan kinerja, karena toh tidak akan protes. Kalaupun ada yang protes, pasti dibilang tidak bersyukur sama teman-temannya sendiri. Biar saja pendidikan tinggi tapi pendapatannya rendah. Dibuatkan saja ilusi seakan-akan dosen adalah pekerjaan yang wah, mesti sekolah sampai doktor. Kan lucu juga kalau pendapatan Rektor lebih rendah dari Ka Biro, atau Dekan lebih rendah dari Kabag, atau dosen lulusan Doktor dari Harvard yang belum serdos lebih rendah dari staf non dosen. Aturan mesti dibikin lebih lucu lagi, jangan sampai dosen-dosen sejahtera. Tenang aja, doktrinnya biasa bersyukur kok, gak akan protes.

Dibikin ilusi saja seakan-akan pendapatannya tinggi banget dengan serdos. padahal serdos akal-akalan biar tiap tahun ada proyek untuk penyerapan anggaran dan ada kegiatan. Nah ditambah lagi dengan test semacam TOEFL dan TPA dan disuruh bayar, dosen gak akan protes. Nah karena dengan test semacam TOEFL dan TPA banyak yang nggak lulus, maka semakin abadi tuh kegiatan (baca: proyek) bernama serdos, ha ha.

Soal tunjangan fungsional yang sudah jadul, tujuh tahun gak naik, biar saja. Dosen mesti mau bersyukur, jangan cuma melihat tunjangan fungsional lain yang lebih tinggi seperti peneliti, tapi mesti melihat mereka yang hidup susah seperti nelayan, pengemis atau tukang beca. Suruh siapa jadi dosen.

Kalau sudah serdos, didorong suruh tugas belajar biar pemerintah gak usah bayar serdos. Toh dosen gak akan protes, padahal PNS yang non dosen dapet 75% tunjangan kinerja kalau tugas belajar. Nah, nasibnya dibikin seolah-olah gak beda dengan guru, jangan disebut-sebut kalau guru malah boleh dapat tunjangan kinerja daerah dari pemda-nya, lha wong instansi induknya pemda, he he. Gak percaya? bandingkan pendapatan guru SD dan dosen di Jakarta, lebih tinggi mana emoticon-Wink

Besaran beasiswanya yang rendah, jangan tinggi-tinggi. Kalau luar negeri harus lebih rendah dari LPDP dan dibikin selalu telat biar makin asoy. Kemudian tunjangan keluarga biar jadi angin surga saja. Jangan sampai dosen-dosen yang kuliah, apalagi di luar negeri makan bergizi, rajin belajar dan jadi pinter, nanti jadi kritis, merepotkan. Biar mereka sakit hati sama penerima beasiswa lain, apalagi beasiswa LPDP yang langsung dapat tunjangan keluarga 25% setiap jiwa keluarga yang ikut. Kalau sibuk cari sampingan dan gak lulus, kan pemerintah bisa menghukum mereka dan dapet pengembalian dua kali lipat. Lumayan, pendapatan negara. Kalau mereka gak mau daftar beasiswa Dikti dan berbondong-bondong daftar LPDP, diskak lagi aja dengan dilarang daftar beasiswa LPDP itu, ha ha (ketawa semakin jahat).

Nah kalau pendapatan rendah dan sibuk di luar, pastinya kualitas pendidikan tinggi buruk, ya tinggal dosennya aja disalahkan. Tenang aja, dosen biasa jadi kambing hitam kok, dan tidak akan melawan. Masalah sebetulnya seperti banyaknya dosen yang tidak ada meja kerja atau ruangan bekerja jangan disebar luaskan. Dosen Indonesia biasa kerja di kantin kok, membimbing mahasiswa atau ngetik, bisa sambil makan Indomie dan kopi susu di kantin, tenang aja. Jangan dibikin nyaman, punya meja atau ruang kerja yang privat, nanti kalau tulisannya banyak dan produktif, apalagi masuk jurnal bergengsi, wah bisa besar kepala. Mesti dibikin sulit aja, dikerjain. Kalau bisa disuruh absen pake finger print sehari empat kali walaupun gak ada meja. Biar ngobrol terus atau malah gelar dagangan di kampus, kan ngetrend tuh dosen ikut MLM atau jadi agen asuransi.

Nah kalau ada evaluasi atau media massa usil tinggal dibilang saja: “Minat penelitian rendah”, “Kemampuan bahasa asing dosen Indonesia lemah”, “Dosen suka plagiat”, “Semangat juang dosen rendah sekali”, “Kemampuan penelitian menyedihkan”, “Sertifikasi Dosen meningkatkan angka perceraian, mesti dievaluasi” atau “Gaji dosen dua kali lipat PNS biasa, tapi rendah prestasi”.

Kemudian, penelitian jangan dibikin fokus ke substansi, mesti dibikin ruwet biar gak keenakan. Kwitansi-kwitansi-kwitansi (baca tiga kali) mesti jadi mantra, he he. Dosen mesti belajar berbohong dengan kwitansi atau stempel bodong. Biar runtuh doktrin “Boleh salah asal tidak boleh bohong” menjadi “Boleh bohong asal berjamaah”. Honor meneliti tinggal dibuat saja kecil dan jika ada dana sisa yang dikembalikan tinggal diberi sanksi tidak akan mendapat hibah lagi. Sudah pasti lagi-lagi mereka akan nurut. Outcome penelitian mah ga penting, cukup laporan keuangan saja sebagai indikator keberhasilan penelitian. Yang penting kan dana pemerintah habis agar keberlanjutan proyek tetap terjaga.

Seminar luar negeri disuruh berkompetisi aja biar sikut-sikutan dan frustasi sendiri. Jangan kayak Malaysia dibikin plafon riset milyaran untuk setiap dosen, nanti kalau pendidikan tinggi maju, proyek bisa berkurang. Masalah publikasi penelitian yang rendah mah gampang diatur, tinggal buat saja kebijakan mahasiswa wajib publikasi untuk dapat lulus. Kalau kebijakan tersebut bertentangan dengan kebijakan perguruan tinggi yang mendorong mahasiswanya cepat lulus, itu biar jadi urusan mereka saja.

Kemudian, perlu lebih membuat dosen sibuk dengan urusan administratif daripada urusan keilmuan. Proyek SIPKD mesti diulur-ulur terus, biar para dosen frustasi mengumpulkan dokumen, scan, upload – gagal – ulang lagi, dan seterusnya. Biar semakin joss, musti dibikin deadline yang mefet, agar pada begadang, mengikuti salah satu program salah satu calon Presiden. Kalau bermasalah, salahkan aja dosennya “mengumpulkan data kok serentak, nggak dicicil”. Nah kalau ada yang bilang server kurang kuat, itu berarti ada alasan pengadaan server paling mahal, hi hi (Ketawa girang). Nah, BKD juga musti diperketat, biar pemerintah menghemat bayar serdos. Kalau perlu mesti dibuat beberapa lagi isian-isian seperti ini biar dosen-dosen sibuk. Gak akan protes kok.

Aturan tidak masuk akal pastinya mesti lebih intensif. Misalnya: musti bikin “surat tugas menulis jurnal”, atau dibatasi publikasi jurnal atau buku atas nama batas kepatutan, dosen-dosen gak akan protes kok. Biar sibuk terus saja dengan urusan administratif terus, kalau para dosen sibuk baca buku/jurnal atau menulis buku/jurnal nanti pinter dan kritis, merepotkan. Kalau macam-macam bisa dibikin ancaman seperti yang sudah-sudah. Rasanya cara ini efektif banget kok.

Lama-lama, biarlah anak-anak pinter gak usah tertarik jadi dosen. Biar mereka yang gak dapet pekerjaan lain di Indonesia, bersyukur dan mau nurut yang jadi dosen. Ga masalah kemampuan mengajar dan basic keilmuannya rendah. Dosen pinter dan kritis itu merepotkan. Kalau orang kayak begitu mau jadi dosen, ya ngajar di kampus-kampus negara lain saja. Kalau sudah begitu kita bisa bilang mereka gak punya nasionalisme, ha ha.

***
0
1.8K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
925.2KThread91.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.