Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

trubleAvatar border
TS
truble
KUMPULAN SURAT TERBUKA UNTUK PRABOWO SUBIANTO
KUMPULAN SURAT TERBUKA UNTUK PRABOWO SUBIANTO
ada yg mengharukan, ada yg bikin tertawa, ada yg bikin jengkel, campur aduk semua emosi di kumpulan surat2 terbuka untuk PRABOWO SUBIANTO ini

lebih lengkap silahkan baca disini:
http://suratuntukpakbowo.tumblr.com/

Dear Pak Prabowo yang saya hormati,
Ada satu ayat Al Qur’an yang selalu jadi peneduh hati saya ketika hidup berjalan tidak sesuai dengan yang saya inginkan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu , padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al Baqarah: 216)
Mungkin ayat ini juga bisa jadi peneduh hati ketika Bapak merasa lelah.
Salam hormat,
Ika Natassa

Dear Pak Prabowo,
Sudah lama saya mengamati wajah letih bapak di balik kegagahan dan fasihnya bapak berpidato.
Saya begitu trenyuh dengan gurat letih di wajah bapak. Silahkan pak saya ajak minum kopi aroma khas Bandung sambil menikmati gerimis yang sedang turun ke tanah Parahyangan saat saya menulis ini untuk bapak. Kita ngobrol ringan yang tidak berat karena hidup bapak sudah lama menanggung beban berat.
Saya tahu bahwa undangan minum kopi ini lucu wong bapak nga kenal saya. Tapi saya mau undang nurani bapak saja buat ngobrol yang bisa saya sapa dengan getaran frekuensi doa.
Pak Prabowo, saya menulis ini karena saya dihujani pertanyaan-pertanyaan dari murid-murid saya karena saya mengajarkan karakter pemimpin ditentukan dari contoh perilaku konkrit yang konsisten dilakukan sebagai kebiasaan bukan sekedar ucapan memperjuangkan moral di bibir. Alangkah gelisahnya murid-murid saya yang masih belia duduk di bangku kuliah setelah nonton wawancara bapak dengan BBC. Mereka khawatir dengan dentuman suara keras yang bapak lontarkan bisa memecahkan persatuan bangsa karena bapak sangat jelas menuding pihak Jokowi seolah musuh yang tidak berhak menang. Murid-murid saya masih ingin percaya bahwa bapak adalah negarawan yang mampu mewarisi kejernihan batin seperti para founding fathers kita yang tidak mendendam meskipun tersakiti hati karena kalah tetapi mereka sangat pemurah memberikan maaf seluas samudera batin demi masa depan keutuhan rakyat Indonesia.
Bapak sering katakan bahwa jiwa raga bapak korbankan demi bangsa Indonesia. Saya masih ingin percaya ucapan bapak itu sama tulusnya dengan tindakan bapak saat nanti menghadapi hasil akhir di 22 Juli 2014. Saya tidak perlu membahas jika nanti bapak menang karena itu sudah sesuai dengan apa yang bapak cita-citakan. Tetapi, yang harus bapak siapkan adalah bagaimana sikap kesatria agung mewujud dalam sikap bapak untuk tetap menentramkan hati para pendukung bapak jika bapak tidak ditakdirkan menjadi pemenang? Tidakah bapak sadari bahwa sikap kesatria agung seorang Prabowo akan menentukan keutuhan bangsa agar rakyat kita tidak terpecah karena berbeda pilihan? Bagi kami rakyat kecil pertaruhan bangsa ini bukan berujung di pilpres pak, tetapi pertaruhan yang lebih besar yaitu merajut ke-bhineka-an kita yang sudah lama dihianati oleh ambisi-ambisi yang kerdil.
Terlalu biasa sejarah bangsa Indonesia mencatat kisah sang pemenang, tetapi sejarah bangsa kita nyaris kekurangan kisah pejuang tangguh yang kalah namun mampu tegak legowo penuh harga diri merelakan tahta pada sang pemenang. Semoga masih ada tinta emas untuk mencatat sikap kesatria agung dari seorang Prabowo karena bangsa ini miskin negarawan sejati.
Malaikat tak pernah keliru mencatat kejujuran sehalus debu sekalipun.
Salam hangat dalam naungan gerimis,
Ifa H. Misbach

Dear Mr. Prabowo
Losing is not an option, you once said. Indeed, nobody wants to be a loser. With this spirit, you aim to be a winner. Indeed, you can be a winner. Yet, you can also be something else that is not a loser, neither a winner.
Today, we are not voting for a better presidential candidate. We are not even electing a president. Today, we are doing something more. We are making a choice for a stronger Indonesia - something that you and I are dreaming for. And we are not doing it for ourselves. We are doing this for the coming generations.
Indonesia is not to become a country of wealth, or power, or certain religion. Indonesia is not to become a country where foul plays are compromised. Indonesia is not to become a country where violence is an option.
But, Indonesia is to become a country where truth is uphold. The power of Indonesia lies in the people who hold hands firmly with each other. The wealth of Indonesia lies in the celebrated diversity. Indonesia is to become a country of conscience.
And you, Mr. Prabowo, can make it happen.
Losing is not your option. You want to win. But, you can be more than a winner. You can be someone who leads with a conscience that does not compromise with foul plays, corruption, violence, or bigotry. You can be someone who leads with a pure conscience. And, that’s when you are more than a winner. That’s when you become a victor.
Today, we all want to see you making a choice to become a victor. Because, there is no point of winning without true victory.
With respect,
Ve Handojo
Setidaknya ada dua hal tentang Anda yang saya mengerti karena:
Saya juga, Pak Prabowo.
Saya juga cinta Indonesia, Pak. Walaupun saya memilih sektor swasta, walaupun saya jarang bicara politik, walaupun saya tampaknya lebih peduli pada berbagai macam warna lipstik. Pengorbanan dan cita-cita saya buat tanah tempat saya lahir dan tumbuh ini mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan pengorbanan dan cita-cita Bapak. Tapi dalam dunia saya yang mungil, cinta ini sangat dalam. Tak pernah surut dan selalu berhasil membawa saya pulang, sejauh apapun saya mencoba pergi.
Ibu saya pernah bertanya, tidakkah saya merasa berhutang pada negara ini? Karena di sinilah saya lahir dan perlahan jadi dewasa, di sinilah saya yang dulunya hanya wacana tak bernama, perlahan-lahan menjadi rencana dan kemudian betul-betul ada. Saya ingat saya tidak bisa bersuara waktu itu, karena tercekat. Mungkin itu kali pertama dalam kehidupan saya sebagai orang dewasa, saya menyadari bahwa saya teramat sangat mencintai tanah air kita ini, dengan segala lebih kurangnya, segala baik buruknya. “Merasa berhutang” mungkin bukan ekspresi yang tepat, saya hanya merasa bahwa yang telah, sedang dan akan saya lakukan dalam hidup saya sedikit banyak didasari oleh rasa syukur serta cita-cita tinggi untuk kebaikan saya dan saudara-saudara satu Ibu Pertiwi. Dalam kapasitas saya, Pak, saya juga cinta Indonesia.
Kedua: Saya juga benci kalah, Pak. Waktu di sekolah dasar saya adalah salah satu pelari tercepat di kelas III. Hanya ada satu orang yang terkadang lebih cepat dari saya, sebut saja namanya Krisna. Seminggu sekali, setiap hari Rabu sebagai pemanasan mata pelajaran olah raga, kami akan bertanding lari mengelilingi kompleks sekolah sebanyak 3 kali. Seisi kelas harus berlari, tapi yang menambahkan bumbu kompetisi di dalamnya hanya saya dan Krisna. Ada kalanya Krisna menang, kali lain saya yang akan menang. Suatu Rabu pagi sebelum pelajaran olah raga dimulai, Krisna menjegal saya sehingga saya jatuh dan kaki saya berdarah. Karena insiden tersebut saya harus istirahat di UKS, sementara Krisna melenggang tenang. Bertahun-tahun kemudian saya baru mengerti, tangisan meraung-raung pagi itu bukan disebabkan rasa sakit di kaki, tapi di hati.
Saya ingat Ibu Guru olah raga yang membujuk saya membiarkan perawat sekolah mengobati kaki saya sempat bertanya, “Sakit sekali, Kristy?”
Saya menggeleng. Tapi waktu beliau bertanya lagi, “Sedih karena nggak bisa lari, ya?” saya mengangguk, saya sedih karena tidak bisa lari, saya sedih karena kalah.
Jadi kemarahanmu, keluh-kesahmu, caci maki dan hilang kendali saat berkomunikasi dengan publik sangat saya pahami, saya juga benci kalah, Pak.
Tapi pagi itu Ibu Guru mengatakan sesuatu yang masih saya ingat sampai hari ini, “Ada yang lebih penting daripada menang-kalah dalam berkompetisi, yaitu caranya. Apakah kamu menang dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Apakah kamu kalah dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Menang atau kalah, apakah kamu mendapatkannya dengan jujur dan bermartabat, atau tidak?”
Saat itu saya belum terlalu paham apa itu artinya “jujur dan bermartabat.” Tapi seiring waktu saya mengerti bahwa (mungkin) jujur dan bemartabat itu berarti tetap rendah hati dan selalu ingat, baik menang atau kalah, bahwa di atas sesuatu yang tinggi masih ada yang lebih tinggi. Jujur dan bermartabat itu berarti berani mendukung pemenang yang bukan kita dalam sebuah kompetisi. Ibu guru mengajari saya bahwa: menang atau kalah memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita mendapatkannya. Karena emosi kita karena kemenangan atau kekalahan hanya akan terasa sesaat saja, tapi usaha kita mendapatkannya yang mendefinisikan siapa kita yang sebenar-benarnya: jujur dan bermartabat, atau tidak.
Jadi Pak, itu saja. Saya juga cinta Indonesia dan saya juga benci kalah. Tapi di antara kedua hal itu, yang lebih besar dalam diri saya adalah cinta saya pada negara kita, cinta yang hanya akan saya berikan padanya dengan jujur dan bermartabat.
Semoga Bapak juga, semoga dalam hal ini, kita sama.
Salam,
Kristy Nelwan
Pak Prabowo,
Ada yang terasa amblas di dalam jiwa saya pada petang hari tanggal 9 Juli, ketika Anda mendeklarasikan kemenangan Anda padahal hasil Quick Count delapan lembaga survei kredibel jelas-jelas menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul. Perasaan yang sama kembali melanda saat menyaksikan wawancara Anda dengan BBC, terutama ketika Anda mendiskreditkan Pak Jokowi dan sesumbar bahwa Anda akan menang.
Meskipun saya nyoblos no. 2, sejujurnya ada juga yang saya kagumi tentang Anda. Saya sendiri tidak pernah mengenal Anda secara dekat, tapi saya adalah saksi pertemanan keluarga saya dan keluarga Anda semenjak saya kecil. Saya selalu mengagumi nilai-nilai yang ditanamkan almarhum ayah Anda kepada anak-cucunya, terutama bakti kepada negeri. Dalam perjalanan hidup Anda, Anda telah menunjukkan sikap itu. Saya yakin Anda, sebagaimana Pak Jokowi, sama-sama mencintai Indonesia, meskipun dengan cara yang berbeda. Anda dan Pak Jokowi sama-sama ingin berbuat untuk Indonesia, menjadikan Indonesia lebih baik. Tapi saya tidak begitu yakin Anda menyadari bahwa Anda masih tetap bisa melakukan hal itu, sekalipun Anda tidak menjadi presiden.
Saya lalu berpikir, mungkin karena Anda terbiasa dengan dunia militer, Anda cenderung melihat hidup sebagai sebuah ajang peperangan. Bottom line Anda adalah kalah atau menang. “Losing is not an option,” kata Anda dalam sebuah wawancara. Dan tolok ukur kalah dan menang, bagi Anda, tampaknya kuantitatif, bukan kualitatif. Tak peduli jujur atau tidak, menghalalkan segala cara atau tidak, pokoknya menang.
Lalu saya teringat Iliad, epos Homeros yang beberapa tahun yang lalu menjadi rujukan utama saya ketika sedang menulis tentang Perang, Manusia dan Kekerasan. Dalam Iliad, dikatakan bahwa ‘perang’ menunjukkan bahwa setiap hubris dan ketakaburan akan menuai kejatuhannya sendiri. Karena ketakaburan, yang menganggap segala bisa direncanakan dan diciptakan, dimanipulasi dan difabrikasi, meniadakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan itu. Dan sesuatu itu, dalam Pilpres 2014, adalah nurani sekian banyak manusia, termasuk saya, yang dengan alasan masing-masing telah memilih Pasangan no. 2.
Saya sendiri memilih Pak Jokowi karena saya yakin ia jujur, tulus, adil, dan siap bekerja untuk negeri ini. Pak Jokowi juga menggugah hati saya karena senyumnya yang tak pernah lekang, wajahnya yang ramah dan tak pernah terlihat marah. Ia tak pernah sekalipun menjelek-jelekkan Anda, malah menyebut Anda “patriot dan negarawan.” Tapi ini bukan berarti saya tak menghargai kegigihan, kerja keras dan sumbangsih Anda pada negeri ini.
Iliad juga menunjukkan, bahwa kesatria sejati adalah ia yang justru bersikap rendah hati, rela menerima kekalahan, bahkan ingin terus terlibat dalam merawat kebersamaan dan memperbaiki keadaan. Apalagi jika yang dipertaruhkan adalah nasib bangsa, ketika berjuta-juta manusia menggantungkan masa depan pada Pilpres kali ini.
Di ambang kekalahan, Hektor, pangeran Troya, masih sempat memohon sesuatu kepada lawannya, Achilles. Meski ia tahu ia kalah, ia masih meletakkan kepercayaan kepada ‘rival’nya. Ia melakukan ini bukan karena ia lemah, tapi justru untuk memberi nilai pada hidup, dan juga untuk menjaga adab antarmanusia. Pada saat itu runtuh baginya “Aku” dan “Kamu.” Semua bersatu. Semua adalah ‘Kita.” Dan saat itulah pangeran itu menjadi pahlawan.
Kita semua mencintai Indonesia. Anda adalah bagian dari Indonesia. Please do the right thing.
Salam damai,
Laksmi Pamuntjak
Pak Prabowo dan Hatta terkasih,

Pilpres sudah kita lalui bersama. Hasil Hitung cepat dari lembaga survei telah memenangkan Pak Jokowi dan JK. Lembaga survei dari pengalaman sebelum-sebelumnya tidak pernah berbeda dengan hitungan resmi KPU. Saya memahami akan sulit bagi kalian berdua menerima kenyataan pahit ini. Tapi bukankah setiap tindakan selalu memiliki resiko sekecil apapun. Apalagi kami menganggap bapak berdua orang bijaksana yang telah melewati asam garam kehidupan.

Dengan kebijaksanaan yang kalian berdua miliki, alangkah indahnya jika kami rakyat Indonesia dapat mendengar langsung kalian berdua sebagai negarawan untuk legowo menerima Pak Jokowi-JK yang memenangkan pencapresan ini.

Nama bapak berdua akan dicatat sebagai capres yang begitu harum untuk demokrasi di Indonesia.

Salam demokrasi damai nan indah,
Bernada Rurit



Bapak Prabowo yang saya hormati,

Saya menulis surat ini beberapa jam setelah kekalahan Argentina dari Jerman di final Piala Dunia 2014. Tadi keduanya tampil luar biasa sebelum Argentina harus kalah di babak tambahan perpanjangan waktu. Saya melihat sebagian penonton dan beberapa pemain menangis. Pasti sangat berat untuk menerima kekalahan tersebut karena keduanya tampil luar biasa. Namun begitulah partai final seharusnya berakhir, harus ada pihak yang kalah untuk menentukan siapa pemenangnya. Karena masyarakat hanya menginginkan ada satu pemenang untuk diakui sebagai yang terbaik.

Di Piala Dunia kali ini saya belajar dengan menyaksikan beberapa peristiwa kekalahan yang tidak bisa saya terima dengan mudah. Mungkin bapak juga mengalami hal yang sama. Jagoan kita sama-sama kalah, Pak. Spanyol, jagoan saya yang empat tahun lalu juara dunia, pulang paling cepat tahun ini. Brasil, jagoan bapak yang juga kebetulan sebagai tuan rumah, kalah telak oleh Jerman 7-1. Karena perasaan yang sama itulah di surat ini saya hanya ingin mengajak Bapak untuk menerima kekalahan dan memberikan selamat kepada Jerman yang telah membuktikan diri menjadi yang terbaik tahun ini. Namun jika bapak masih belum bisa menerima kekalahan tersebut, masih ada kesempatan dan harapan empat tahun lagi.

Untuk pendukung Jerman, selamat dari saya dan Pak Prabowo.

Salam,
Ifa Isfansyah

Untuk Sang Jenderal
“Jenderal.”
“Ya, Nak. Ada apa?”
“Jenderal tahu kenapa Pemilu kemarin saya tidak mau memilih Jenderal?”
“Karena saya penculik?”
“Bener. Itu baru satu.”
“Karena saya pembunuh?”
“Dua.”
“Karena rekam jejak jejak saya sebagai pelanggar HAM?”
“Itu sama aja dengan dua poin sebelumnya sih. Tapi baiklah. Tiga.”
“Karena saya labil dan ngamuk-ngamuk mulu?”
“Empat.”
“Karena saya dikelilingi orang-orang brengsek dan bermasalah, menghalalkan segala cara, suka bikin fitnah yang ngawur abis, dan.. “
“Cukup, Jenderal. Saya rasa sekarang Jenderal sudah paham dan cukup banyak berkaca.”
“Ya ya ya.”
“Tapi Jenderal tahu kan? Sejahat-jahatnya Jenderal, se** SENSOR **-** SENSOR **nya dan seabsurd-absurdnya fitnah yang Jenderal buat demi kekuasaan, Jenderal masih punya kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Kesempatan untuk bersikap ksatria. Jenderal seorang prajurit bukan? Jenderal seharusnya tahu. Kapan harus maju, kapan harus bertahan dan diam sejenak, dan kapan harus mundur. Kalau Jenderal mau berpikir jernih, ini sudah saatnya Jenderal berhenti.”
“Hmm..”
“Pejuang sejati tahu kapan saatnya berhenti, Jenderal. Cinta juga seperti itu sih.”
“Cinta?”
“Maaf, Jenderal. Saya mulai ngelantur nih.”
“Ok. Lanjutkan.”
“Dengan mengaku kalah dan bersikap ksatria, respek rakyat terhadap Jenderal juga akan sedikit membaik. Saya ulang. Sedikit. Ini tentu saja tidak begitu saja menghapus dosa-dosa Jenderal di mata mereka. Tapi setidaknya, Jenderal akan diingat sebagai ksatria. Bukan pengecut yang suka marah-marah dan ujung-ujungnya kabur.”
“Baik. Kamu tunggu di sini sebentar ya. Saya segera panggil Tim Mawar buat jemput kamu sekarang.”
“Aduh, Jenderal. Jangan sensi mulu ah.”
***
Gandaria, 14 Juli 2014
Ikal @monstreza

lebih lengkap silahkan baca disini:
http://suratuntukpakbowo.tumblr.com/

LANJUTAN:
POST 2
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...92348b458d/2/-
POST 5
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...276f8b457f/5/-
POST 7
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...cc2d8b4581/7/-
POST 8
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...e7378b458e/8/-
POST 9
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...240f8b457b/9/-
POST 11
http://www.kaskus.co.id/show_post/53...2608b457b/11/-

kumpulan FITNAH & FAKTA dr masa KAMPANYE bisa dilihat disini:
http://www.kaskus.co.id/thread/538d9...ibuk-naik-kuda

-----

kumpulan FITNAH & FAKTA setelah masa (pasca) PILPRES bs dilhat disini:
http://www.kaskus.co.id/thread/53d2b...tnah-disebarin

KUMPULAN DAGELAN DI SIDANG MK
Diubah oleh truble 25-08-2014 15:06
0
4.7K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.