Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kuncoro.gantengAvatar border
TS
kuncoro.ganteng
[Piala Citra] Tidak Layak, Kampung Deret Petogogan Syarat Pencitraan Jokowi
Spoiler for don't touch:


Jakarta, HanTer- Warga kampung deret di Petogogan, Jakarta Selatan merasa kecewa dengan program bedah rumah yang dicanangkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Warga mengeluh kehilangan luas tanah mereka tanpa ada kompensasi dari Pemprov DKI Jakarta.

Warga juga harus merogoh kocek dalam jumlah besar untuk menyelesaikan pembangunan rumah yang belum tuntas. Sejumlah pihak berharap program kampung deret bukan hanya pencitraan demi mendongkrak suara Jokowi yang maju dalam pencalonan presiden pada Pilpres lalu.

Warga kampung deret di Petogogan, Jakarta Selatan kecewa dengan program bedah rumah yang dicanangkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi). Warga mengeluh kualitas bangunan yang kurang baik, dan terkesan asal dibangun. Akibatnya banyak tembok rumah warga retak-retak dan lapisan semennya rontok tanpa sebab. Padahal bangunan kampung deret baru selesai dibangun dan diresmikan Jokowi pada 3April 2014.

Kondisi lingkungan pemukiman warga di kampung deret Petogogan juga terlihat mirip dengan pemukiman padat penduduk di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Sinar matahari sulit tembus ke lingkungan rumah warga, karena padatnya bangunan di sana. Akibatnya, lingkungan rumah warga yang mirip gang-gang sempit itu pun terlihat agak gelap walau matahari terasa terik.

Berdasarkan pantauan Harian Terbit, selain tata kelola lingkungan kurang baik, pembangunan rumah juga tampak amburadul. Selain tidak tertata rapi, bangunan fisik juga banyak yang kurang berkualitas. Tembok yang seharusnya dari bata merah, tak sedikit menggunakan batako.

Beberapa warga yang ditemui mengaku sangat kecewa, karena apa yang mereka terima tidak sesuai yang dijanjikan Pemrov DKI Jakarta saat awal pembangunan. Beberapa warga juga menanyakan hilangnya sebagian tanah milik mereka, karena saat bedah rumah dilakukan ukuran rumah dibangun lebih kecil dari bangunan aslinya. Warga juga mempertanyakan kompensasi yang tak kunjung dibayarkan Pemprov DKI Jakarta atas pengambilan luas tanah mereka.

"Kecewanya sih tanah saya tadinya ukuran 3x8 meter sekarang malah menjadi 3x6 meter. Hilang dua meter. Sisa dua meter yang hilang itu sampai sekarang tidak dikasih kompensasi apa-apa," ujar Muhidin (54), warga Kampung Deret No 23 RT 12 kepada Harian Terbit. Minggu (10/8).

Muhidin memperlihatkan kondisi bagian dalam rumahnya. Terlihat dinding yang kasar dari batako. "Ini sama sekali nggak diperhalus temboknya. Ya beginilah kondisinya," ujarnya.

Ia mengaku, tak mampu untuk membiayai renovasi. Sehingga suka atau tidak suka ia dan warga lainnya terpaksa menerima bangunan apa adanya. "Ya apa yang dibikin langsung saya tempati, daripada saya ngontrak, lebih pusing lagi mikirin biayanya," ujarnya.

Keluhan yang sama juga disampaikan Monisa. Ia mengaku kehilangan luas tanahnya yang dipotong tanpa ada pemberian kompensasi. "Sekarang hanya 3x6 meter. Dulu tanah saya seluas 4x6 meter," ujar pedagang kelontong ini.

Selain masalah hilangnya ukuran tanah milik warga, masalah lain yang melanda penghuni kampung deret adalah menyangkut persediaan air bersih. Kondisi air PAM yang masuk ke kampung deret ternyata tidak layak konsumsi.
"Airnya hitam, kalau dipake mandi terasa gatal dan tidak bisa diminum," ujarnya.

Ia pun terpaksa memanfaatkan sumber pompa yang sejak dulu ada dan tidak diurug oleh developer. "Untungnya masih ada pompa yang dulu. Ini satu pompa dipakai rame-rame dengan warga sini untuk mandi dan minum,"ujarnya .

Menurutnya, pernah ada warga yang nekat mengonsumsi dan menggunakan air tersebut, dampaknya kulit terasa gatal dan terserang penyakit. "Dari pertama seperti itu, air hitam, kadang kuning dan bahkan bau. Pokoknya tak layak digunakan untuk mandi, apalagi minum. Ya, stres juga mikirinnya," tandasnya.

Pengamat Perkotaan Andi W. Saputra menilai, untuk mencegah masalah seperti yang dikeluhkan warga, seharusnya sejak awal perencanaan dan pengukuran tanah Pemprov DKI Jakarta melibatkan semua pihak termasuk warga.

“Semestinya sejak awal ingin buat kampung deret, baik perencanaan sampai pengukuran tanah harus dilibatkan bersama-sama baik pihak Pemprov dengan warga. Misalnya warag harus tahu, berapa anggaran Pemprov untuk membuat satu bangunan. Jadi warga nanti akan maklum dengan anggaran segitu, jika kemudian hari ada tembok yang retak dan sebagainya. Sepertinya, rumah deret rancangan seperti rumah kaget yang dibuat sesegera mungkin seperti itu, pastinya akan mengalami kekurangan,” kata Andi saat dihubungi Harian Terbit, Senin (11/8).

Saat ditanya perihal keberadaan kampung deret di Jakarta, yang diduga dibangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dijawab Andi bahwa, sejak awal akan dibangun harusnya diperiksa terlebih dahulu, apakah tanah ini tanah hibah, artinya tanah Pemprov kemudian diberikan ke warga untuk dihuni.

“Sejak Awal saya curiga program ini hanyalah program lips service pak Jokowi di Pilpres 2014. Biar kelihatan cantik namun sifatnya sementara. Sehingga cepat-cepat dibangun kampung deret agar masyarakat luas menilai, ini loh Jokowi, lihat tuh kampung deret,” kata Andi.

Sementara itu, Pengamat Perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna menilai, program kampung deret merupakan konsep revitalisasi pemukiman. Ia menilai, program tersebut baik namun pelaksanaanya harus tetap memperhatikan aturan hukum.

"Kampung deret itu sebenarnya merupakan konsep revitalisasi. Sifatnya tidak berbeda jauh dengan Kampung Improvement Project di era Husni Thamrin dulu," kata Yayat di Jakarta dihubungi Harian Terbit melalui telepon, Minggu (10/8).

Ia membandingkan program Kampung Improvement Project dan program kampung deret. Program kampung deret merupakan sebuah konsep guna membenahi kawasan kampung kumuh di Jakarta. Yang membedakan kedua program, yakni program Kampung Improvement Project lebih memperhatikan aspek sanitasi. Sedangkan kampung deret merupakan konsep bedah rumah.

Menurutnya, secara keseluruhan program tersebut merupakan konsep yang baik. Namun di sisi lain, tetap harus dilihat bagaimana aturan hukum terkait pembangunan kampung deret tersebut. Yayat juga berharap, agar program tersebut tak hanya menjadi ajang pencitraan saja. Akan tetapi harus tetap berorientasi pada kepentingan masyarakat.

"Ya, semoga saja program itu bukan ajang pencitraan belaka. Tetapi program itu juga harus disertai niat murni bagi kepentingan rakyat. Niatan dalam membenahi kampung kumuh yang ada di Jakarta," ujarnya.

Selain menyisakan rasa kecewa bagi warga penghuninya, proyek pembangunan rumah kampung deret di kawasan Petogogan, Jakarta Selatan, terus menuai kecaman. Pasalnya, pembangunan tersebut sarat dugaan tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum pun didesak bertindak.

"Sudah sangat jelas dan terang benderang, bahwa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memang terjadi penyimpangan. Jadi sudah ada cover yang jelas bagi aparat hukum untuk melakukan pemeriksaan," ujar pengamat perkotaan Amir Hamzah, kepada Harian Terbit di Jakarta, Minggu (10/8) malam.

Menurutnya, penyimpangan yang terjadi dalam proyek kampung deret sulit dipungkiri. Selain hasil audit BPK yang mengindikasikan adanya korupsi, secara fisik bangunan rumah juga bisa terlihat jelas bahwa kualitas bahan bangunan yang dipakai jauh dari harapan warga.

"Proses hukum lebih tepat untuk menjawab kekecewaan warga setempat. Ini sekaligus untuk membuktikan Pemprov DKI harus bertanggungjawab, jangan masyarakat miskin yang terus dijadikan alasan pengajuan proyek," ujarnya.

Masyarakat, sambungnya sudah lelah dengan permasalahan kampung deret. Mulai dari kualitas bangunan yang tak layak, hingga luas bangunan rumah yang sempit. "Kalau keluhan-keluhan sudah banyak, karena anggarannya yang double. Ini kan menggunakan dana dari APBD, ada juga dari dana hibah. Sekarang tinggal keberanian aparat penegak hukum saja, apa Kejaksaan atau KPK," ujarnya.

Terkait apakah proyek perlu dilanjutkan atau dihentikan, Amir menyatakan lebih baik dihentikan jika hanya menjadi ladang korupsi bagi pejabat Pemprov DKI. Sedangkan pembangunan yang sudah telanjur, tidak masalah diselesaikan dengan baik.

Menurutnya, dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2005 tentang pemeriksaan pertanggung jawaban keuangan negara, sudah ditegaskan bahwa hasil audit BPK terhadap APBN dan APBD itu ada penyimpangan, maka aparat penegak hukum wajib menindak lanjuti hal itu. “Ini bila sudah masuk ke persoalan hukum, maka secara otomatis proyek harus dihentikan. Karena kalau diteruskan bisa ada penyimpangan baru lagi," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan, Jonathan Pasodung, saat ingin dikonfirmasi terkait hal tersebut tidak merespon. Pesan singkat yang dikirim Harian Terbit tidak dijawab. sumber

0
2.8K
26
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.