ane bingung gan, kalo kemarin megawati sama jokowi ketemu dubes AS dan lainnya sih ya emang itu rahasia mereka deh ya, tapi Dubes Myanmar gan?? just info aja disana banyak pelanggaran HAM gan, apalagi kasus Rohingya itu gan (search sendiri aja di mbah gugel gan kalo mau tau) Indonesia mayoritas muslim gan, masa iya sih PDI-P sampe segitunya ga memandang HAM umat muslim? bukan maksud SARA gan, tapi ya balik lagi HAM itu kaya dipandang sebelah mata sama mereka gan, bener atau engga tunggu aja apa alasan mereka.
Bertemu Dubes Myanmar:
Kepekaan HAM PDI Perjuangan Rendah
[URL="http://nasional.inilah..com/read/detail/2092497/kepekaan-ham-pdi-perjuangan-rendah#.U04dcuaSxR2"]INILAHCOM[/URL], Jakarta – Pertemuan ‘Istana Jacob’ kian menjadi tragedi bagi PDI Perjuangan dan pencapresan Jokowi. Setelah kita layak mempertanyakan kehadiran dubes AS dan Vatikan yang negatif, mengapa pula harus ada Dubes Myanmar di sana?
Kita tak tahu pasti, apakah Megawai-Jokowi sebelumnya telah tahu pasti dengan siapa saja mereka akan bertemu, atau tidak. Karena bila sebenarnya daftar ‘tamu’ Jacob, yakni para duta besar negara asing, itu telah mereka ketahui, patut dipertanyakan mengapa semudah itu PDI Perjuangan meluluskan daftar tamu tersebut.
Kembali, meski berisiko tinggi, pertemuan dengan dubes AS itu jelas strategis buat PDIP. Tentu dengan catatan pertemuan itu tertutup dan menjadi rahasia mereka saja.
Tetapi dengan pihak Vatikan dan Myanmar? Ahai!
Persetujuan PDI Perjuangan bertemu dubes Myanmar dalam momen sestrategis saat ini—menjelang Pilpres, menunjukkan betapa PDIP tak punya sensitivitas HAM. Mereka menganggap sepele pengangkangan HAM yang tengah menjadi persoalan negara itu. Kemana kepedulian PDIP terhadap umat Muslim Rohingya—yang menjadi concern umat Muslim Indonesia, sehingga dengan gampang dan tanpa beban bersedia menerima dubes Myanmar?
Bukankah mayoritas pendukung PDIP adalah Muslim? Sehingga dengan fakta betapa penindasan Muslim Rohingya seolah tak jadi masalah buat PDIP, konstituen Muslim PDI Perjuangan layak mempertanyakan komitmen partai terhadap aspirasi mereka.
Sejatinya, Myanmar negeri yang tak layak dihitung. Apa nilai strategis negara junta militer yang kian ketinggalan zaman itu bagi Indonesia?
Oh ya, memang ada, yakni jaringan pipa gas alam sepanjang 1.100 kilometer, dari pelabuhan Myanmar Barat, Kyaukpyu dan masuk ke Provinsi Yunan, Tiongkok. Surat kabar ‘resmi’ Tiongkok, Xinhua, menggambarkan saluran itu sebagai "saluran energi strategis baru yang dimiliki negara". Dengan saluran itu, menurut pengamat hubungan Tiongkok-Myanmar, U Aung Kyaw Zaw, pengiriman minyak mentah dan gas alam untuk Tiongkok tak harus lagi melalui Selat Malaka yang rawan.
Besar kemungkinan, pasokan gas alam dari Tangguh, Indonesia yang dijual murah itu pun, akan dilakukan melalui saluran itu. Tetapi bukankah jaringan jelas itu lebih diperlukan Myanmar dibanding Indonesia?
Yang jelas, bila PDIP masih percaya dengan Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan komitmen bangsa bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan”, seharusnya tak semudah dan sebergairah itu menerima pertemuan yang menghadirkan pihak Myanmar tersebut.
Lihatlah, tak hanya pada 1988 Junta Militer Myanmar membantai 3.000 demonstran. Junta yang berestafet hingga kini itu masih tak segan mencabut nyawa sekian ratus rakyat yang sejak nenek moyang mereka mendiami tanahnya. Rakyat Myanmar sendiri sebenarnya.
Pekan lalu, junta militer melakukan hal yang sudah kuno di dunia: menangkap dan memenjarakan seorang wartawan ‘Suara Demokrasi’. Sejumlah surat kabar Myanmar pekan lalu membalas diskriminasi itu dengan menghitamkan halaman muka mereka.
Jika di sini kita tak menganggap kedegilan itu masalah, kita memang manusia yang tak pernah belajar. Kita bahkan melecehkan ucapan Proklamator bangsa, Ir Soekarno, yang sejak lama mewanti-wanti. “Jasmerah,” kata Bung Karno. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”