[COBA DIPAHAMI] Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

Beranda

...

Berita dan Politik
[COBA DIPAHAMI] Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

deganfan

27-07-2014 09:26

[COBA DIPAHAMI] Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

[COBA DIPAHAMI] Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

versi bahasa Indonesia, open this up.. - thx to agan jackandthewilee... disempurnakan oleh agan xenocross dan pfhantom..

Spoiler for buat yang ga mau pusing sama linggis:

Desi Anwar : Pendapat saya tentang 'Delusional' Prabowo

Saya tidak tahu apa salah Indonesia sehingga menerima karma : mempunyai calon presiden pecundang
yang selalu menolak untuk menerima kekalahannya dengan legowo, melanjutkan hidupnya, dan
membiarkan negara ini kembali beraktivitas seperti biasa.

Sebaliknya, setelah lebih dari 2 minggu kita semua ke TPS menentukan pilihan kita, dalam sebuah pemilu yang damai, demokratis, dan transparan, kita masih saja harus mendengarkan retorika dan
pidato-pidato beliau tentang bagaimana hasil pemilu menurut versi beliau, bahwa beliaulah yang seharusnya menang,
tentang bagaimana Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak adil dan tidak demokratis, tentang bagaimana seluruh proses pemilu ini tidak sah karena curang secara masif dan sistematik.
Hanya karena hasil yang tidak menguntungkannya. Hanya karena beliau kalah.

Karena hasilnya -- sejak hari dimana hasil quick count diumumkan, hingga penghitungan resmi oleh KPU yang dikawal oleh seluruh rakyat yang bisa memastikan tidak ada ketidakwajaran yang luput -- tetap
saja menempatkan beliau di pihak yang kalah.

Meskipun timnya berjuang tanpa lelah selama berbulan-bulan dengan kampanye besar, efektif, dan sistematis di seluruh media yang telah memberinya suara lebih besar dari yang sepantasnya ia dapatkan.

Meskipun upaya kampanye yang besar untuk membuatnya menjadi pahlawan bangsa, serta serangkaian kegiatan;
baik yang terbuka maupun tertutup; untuk mengajak rakyat memilihnya. Tidak perlu disebutkan berapa banyak waktu, uang, ahli kampanye profesional, tenaga, dan meningkatnya tekanan darah, yang habis
dikeluarkan untuk memenuhi ambisi seumur hidupnya : menjadi presiden negara ini.

Tapi kenyataannya adalah hanya akan ada satu pemenang. Dan sudah terjadi, pemenang itu bukanlah dirinya.
Dan tidak peduli berapa kali dia menjelekkan lawannya, berapa kali dia memberitahu dunia kalau dialah pemenangnya, berapa kali dia berteriak dan kecewa, akan bisa mengubah kenyataan itu.
Kenyataan bahwa banyak calon presiden di seluruh dunia ini harus menerima hasilnya, meskipun pahit,
tanpa harus mengeluarkan kemarahan yang konyol. Lagipula ini dunia politik, bukan tempat main taman kanak-kanak.

Alih-alih menerima kekalahan dengan legowo -- hal paling terhormat yang seharusnya dilakukan, terutama untuk seorang
pemberani dan prajurit seperti yang selalu ia suarakan -- Beliau malah mencuri begitu banyak perhatian media yang seharusnya memberi selamat ke presiden yang terpilih, untuk fokus ke penderitaannya, rasa frustrasinya,
serta rasa dikhianati.

Apakah beliau bukan perwujudan dari kepahlawanan dan keberanian? Apakah beliau bukan pemenang demokrasi?
Apakah beliau bukan ksatria berbaju mengkilap yang ditakdirkan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia
dari kebodohan, mental-budak, dan penindasan orang asing?

Apakah belum jelas bahwa beliaulah pemenang yang sah dari pemilu, bukan orang kurus, tukang meubel yang berasal dari antah berantah yang belum pernah menunggangi kuda, memegang senjata atau membela negaranya di pertempuran?
Seseorang yang bukan siapa-siapa yang dengan lancangnya melawan beliau yang dilahirkan dengan sendok perak di mulutnya, dan yang bisa ditelusuri garis keturunannya beberapa abad ke belakang.

Maka pastilah ada kesalahan. Lelucon yang kejam. Atau konspirasi yang masif dan sistematis yang dirancang oleh pendukung Kekuatan Kegelapan untuk merebut hak tahta dan kodratnya.
Bintang takdir tidak mungkin salah. Maka seluruh proses pemilu pastilah salah. Dan tugasnyalah untuk meluruskan yang salah, apapun resikonya, demi mencegah Surga (Tuhan) tersinggung jika ketidakadilan tidak diluruskan.

Tidak peduli seluruh negara ini tersandera atas amarahnya. Tidak peduli dia memperlakukan lembaga terhormat dengan amukan seperti diktator, dan ini bahkan saat beliau belum menjadi Presiden.
(Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi jika seandainya benar dia menjadi presiden)

Dalam hal ini, saya menyalahkan KPU yang telah meloloskan seseorang yang mengidap 'megalomaniac delusional' menjadi peserta pemilu presiden.

I don’t know what Indonesia has done to deserve this karma of having a loser of a presidential candidate who just refuses to accept his defeat gracefully, move on with his life and let the country get on with going back to business as usual.

Instead, in the more than two weeks since we all went dutifully to the polling station to make our choice, in a peaceful, democratic and transparent election, we still have to put up with listening to his rhetoric and speeches about how, according to his version of the results, he should have won, about how the General Elections Commission, or KPU, is unfair and undemocratic, about how the whole election process is illegitimate because it is based on a massive and systematic fraud. All because the stars are not in his favor. All because he lost.

Because the result — since the day the quick counts were aired, to the official count made by the KPU under intense scrutiny by the whole of country who made sure that no irregularity went unnoticed — consistently puts him in the losing team.

This, despite his team’s months of relentless efforts in engaging in huge, effective and systematic smear campaigns in every media platform that actually garnered him more votes than he would otherwise deserve. Despite the huge and successful public relations efforts to make him into some sort of savior of the land and the many activities, both obvious and covert, to influence voters to choose him. Not to mention the amount of time, money, professional campaign strategists, energy and high blood pressure expended in order to fulfill his one lifelong ambition: to be the president of this country.

But the fact is, there can only be one winner. And it just so happens, it’s not him. And no amount of bad mouthing of his opponent, no amount of telling the entire world that he’s won the election, no amount of shouting and getting upset, can change that fact. A fact that many losing presidential candidates around the world have had to accept in the end, however bitter, without breaking down into pathetic temper tantrums. This, after all, is the world of politics, not some kindergarten playground.

Instead of quietly and gracefully conceding — which would have been the most honorable thing to do, especially for a man of valor and a patriot as he always claims himself to be — he has stolen much of the media limelight that should have been devoted to congratulating the newly elected president, to focus on his pain, frustrations and immense sense of betrayal.

Is he not the embodiment of heroism and bravery? Is he not the champion of democracy? Is he not the knight in shining armor who is destined to raise the Indonesian people from their stupidity, slave-mentality and oppression by arrogant foreigners?

Is it not obvious that he is the true and legitimate winner of the election, and not some skinny, furniture maker out of nowhere who’s never ridden a horse, wielded a gun or defended the country in battle? A nobody who actually had the audacity to cross path with one born with a silver spoon in his mouth and whose lineage can be traced back centuries.

Surely there must be some mistake. A cruel joke. Or some massive and systematic conspiracy concocted by the supporters of the Dark Force to rob him of his rightful throne and his birthright. The stars cannot be wrong. So the whole election must be wrong. And it is his duty to right that wrong, whatever it takes, lest the heavens be offended if the injustice is not redressed.

Never mind that the whole country is hostage to his rage. Never mind that he treats respected institutions with contempt like some bilious and cantankerous despot, and this when he’s not even the president yet. (God forbid what he would be like if he did become president).

In this, I lay the blame squarely on the KPU for having allowed a delusional megalomaniac to enter the presidential race to begin with.

http://www.thejakartaglobe.com/opini...phmTo.facebook

komen2 desi anwar yang tajam..

I don’t know what Indonesia has done to deserve this karma of having a loserof a presidential candidate who just refuses to accept his defeat gracefully

In this, I lay the blame squarely on the KPU for having allowed a delusional megalomaniac to enter the presidential race to begin with.

Untuk komen yang ini..

In this, I lay the blame squarely on the KPU for having allowed a delusional megalomaniac to enter the presidential race to begin with.

ini bukannya dia bersungguh2 nyalahin KPU si kalo menurut ane.. cuma skedar sindiran yang sangat kritis aja mengingat kubunya Prabowo kan juga nyalah2in KPU terus.. jadi ya skalian aja si Desi Anwar nyalahin KPU tapi dengan sinisme yang sangat menusuk kubu wowo
emoticon-Ngakak

who is Desi Anwar? - thx to agan seven.inc - ane lengkapin ya..

Spoiler for buat yang ga tau Desi Anwar siapa:

Buset pada gak tau Desi Anwar??

Wartawan senior yg salah satu dari sedikit yg berhasil mewawancarai Dalai Lama, Richard gere dll....

Desi Anwar lahir dari pasangan Khaidir Anwar dan Wahidar, yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya berasal dari Lintau Buo, Tanah Datar[1], sedangkan ibunya dari VII Koto Talago, Lima Puluh Kota. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai akademisi dan ilmuwan. Ayahnya seorang ahli sosiolinguistik dan pernah mengajar selama 20 tahun di Universitas London, Inggris.[2]

Desi memulai kariernya di TVRI, Jakarta pada tahun 1978 hingga 1990. Kemudian pada tahun 1990, Desi pindah ke RCTI dan membawakan acara berita Seputar Indonesia, Nuansa Pagi, Buletin Siang dan Buletin Malam. Pekerjaan ini ia lakoni sampai tahun 1999, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah ke situs portal berita Astaga.com. Pada tahun 2000, dia kembali ke dunia redaksi televisi dan bergabung dengan stasiun berita pertama di Indonesia, Metro TV. Di stasiun televisi itu, kini ia menjabat sebagai GM Marketing and Business Development. Sesekali Desi-pun tampil membawakan acara di Metro TV, seperti Face to Face with Desi Anwar dan Economic Challenges with Desi Anwar.

Disamping sebagai seorang jurnalis, Desi juga hobi fotografi dan jalan-jalan. Hobinya itu ia tuangkan dalam buku yang bertajuk A Romantic Journey: Notebook of A Traveller.[3]

[COBA DIPAHAMI] Desi Anwar: My Take on ‘Delusional’ Prabowo

http://www.desianwar.com/

Dan gue akuin Tulisan yg ini "offense banget" untuk sekelas wartawan berpengaruh.

komeng agan krezimem

Spoiler for krezimem:

Is it not obvious that he is the true and legitimate winner of the election, and not some skinny, furniture maker out of nowhere who’s never ridden a horse, wielded a gun or defended the country in battle? A nobody who actually had the audacity to cross path with one born with a silver spoon in his mouth and whose lineage can be traced back centuries.

Surely there must be some mistake. A cruel joke. Or some massive and systematic conspiracy concocted by the supporters of the Dark Force to rob him of his rightful throne and his birthright. The stars cannot be wrong. So the whole election must be wrong. And it is his duty to right that wrong, whatever it takes, lest the heavens be offended if the injustice is not redressed.

Yang ini jleb banget. Ane setuju ini kenapa wowo ngotot banget jd presiden. Wowo pikir karena dia anak begawan ekonomi, mantan menantu presiden, komandan kopassus, pinter, lulusan fort knox dll jadi dia yang BERHAK jadi presiden, bukan tukang mebel krempeng muka ndeso, ya g dia jadiin gubernur!! Haw der yu wiwi!!
Wowo udah nunggu2 ini semenjak 2009. Dan sebelum jokowi ngetop dia yg digadang2kan jadi next presiden tanpa ada lawan!
Itulah kalo terlalu sombong, nganggep orang lain di bawah dia..

komeng agan vegasitp

Spoiler for komeng kritis:

Untuk ukuran seorang Desi Anwar benernya ini keliatan emosional yang terlalu menggebu gebu banget sih, walau point straightnya banyak yang menurut gue bener,

berdasarkan doi udah itungannya senior journalist ya, minimal dia harusnya kritik tajam tapi ga pointed yang terlalu kasar banget, kesannya emosinya masih mudah terbawa bawa suasana. itu menurut gue sih, kemungkinan gue salah tentu besar banget.

cuma gue ngerasanya doi ga jauh berbeda kayak kubu lawan kalo kritik Jokowi, walau mungkin beda di basic data, tapi ya hampir sama aja sih auranya,

benernya bowo bagaimanapun udah di level tersungkur to the max tanpa perlu terlalu diembat abis abisan kaya gitu.

gue sih masih nyisa sedikit respect ama bowo walau gue ga milih dia jelas jelas dari dulu ya,
dengan alasan karena doi termasuk elemen yang bawa jokohok ke permukaan. sedikit banyak ada andilnya buat perubahan gue yang dulu golput akut jadi mau milih pemilu ini karena ada joko, dan effek sampingnya ke ahok. dua duanya sosok pemimpin idola gue, kalo bowo ga ada campur tangan mungkin mereka ga makin keliatan, dan mungkin gue masih golput pas pilpres kemarin

yang gue sayangkan, wowo takut banget miskin dan rugi kalo kalah, dengan mengorbankan kepentingan orang banyak, dan ngambil monyet monyet partai2 kayak pks yang emang modus kampanyenya terkenal bloon.but once again, it just IMHO.

komeng agan kyuudere

Spoiler for komeng kritis lg:

gw dukung 1, but gw golput for some reasons...
But, hey! Kenapa kita ga jadi masyarakat cerdas aja, ga perlu ngebully pihak yg kalah / ga terima kalah,
Gw ga ngeliat adanya poin penting dari ngehina Prabowo dgn bilang dia orgil lah, megalomania lah,dll.
Let stay calm guys

knowledge dari komeng agan juragantiwul

Spoiler for delusional megalomaniac:

delusional megalomaniac

Megalomania is an unrealistic belief in one's superiority, grandiose abilities, and even omnipotence. It is characterized by a need for total power and control over others, and is marked by a lack of empathy for anything that is perceived as not feeding the self.

Although megalomania is a term often ascribed to anyone who is power-hungry, the clinical definition is that of a mental illness associated with narcissistic personality disorder (NPD).

There are different psychological theories about how and why NPD develops, most of which relate to the integration of different aspects of ego and self as a child, and the nature of the parental roles in that process. Regardless of theory, NPD is characterized by extremely low self-esteem, which is compensated for by delusions of grandeur and megalomania, a narcissistic neuroses. With the propensity to act only on behalf of one's self, the unbridled need to feed one's ego, and the objectification of others to serve the power-hungry needs of megalomania, it is easy to see how this can be a recipe for disaster, especially when wrapped in a charismatic personality.

koq mirip bener ama teorinya yak?

Diubah oleh deganfan 28-07-2014 09:01

90.9K

Kutip

Balasan

Komentar yang asik ya

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!

Berita dan Politik

678.4KThread•47.5KAnggota

Urutkan

Terlama

Komentar yang asik ya