Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tsunamizawaAvatar border
TS
tsunamizawa
manuver Prabowo gugat KPU ke MK
Manuver Prabowo Gugat KPU ke MK, Blunder Kedua Setelah Pidato Polonia

Prabowo akan menggugat hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ke MK ini akan menjadi blunder kedua setelah Pidato Polonia yang menelanjangi Prabowo dan mitra koalisi itu. Prabowo akan melakukan maneuver selama satu bulan ke depan dan targetnya bukan menang, tetapi merecoki legitimasi Presiden Terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Buktinya?

Prabowo dan seluruh Timses-nya sampai saat ini belum mengakui kemenangan (Jokowi-JK) dan kekalahan (Prabowo-Hatta) meskipun puluhan kali Prabowo dan Tantowi Yahya serta seluruh mitra koalisi berjanji akan menelepon dan mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK. Dan diyakini, langkah maju menggugat ke Mahkamah Konstitusi hanya sebagai bedak bagi Prabowo untuk melakukan safe and honorable exit baginya. Lalu bagaimana gambaran maneuver Prabowo dan mitra koalisinya menghadapi Jokowi-JK?

Prabowo tahu tentang fakta hukum tentang Pilpres 2014 yang sulit sekali dibuktikan kecurangannya yang bersifat ‘terstruktur, masif dan sistematis’ sebagai prasyarat Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara sengketa pemilu sama sekali tak akan pernah terpenuhi. Lalu kenapa Prabowo tetap saja melakukukan tuntutan yang sia-sia itu dan apa dampaknya bagi Prabowo, mitra koalisi, Jokowi dan publik secara lebih luas? Mari kita telaah dengan hati gembira karena Indonesia baru saja lepas dari cengkeraman Aburizal Bakrie dan para oportunis seperti Hatta, Amien Rais dan para pentolan PKS.

Pertama buat Prabowo. Prabowo akan semakin tenggelam ke dasar kepopuleran titik nadir. Angka 60 juta suara itu hanya suara ‘positif’ tentang Prabowo, bukan suara ‘pasca ngacir’ berupa Pidato Polonia yang menyebabkan semua wujud Prabowo dan para pentolan mitra koalisi terkuak. Kini kekuatan 47% suara rakyat itu sudah gembos dan euphoria dan bandul kekuasaan ada pada Presiden Terpilih Jokowi.

Prabowo dalam satu bulan ke depan hanya akan menjadi obyek pembahasan para pakar hukum seperti Yusril Ihza Mahendra, Jimly Asshiddique, KPU dan tentu para pengamat hukum dan politik. Selain itu Netizen akan turut pula mewarnai rangkaian langkah Prabowo menggugat KPU terkait pelaksanaan pilpres.

Prabowo dengan tindakannya ‘ngacir dan ngambek’ menarik diri dari proses pilres, sekaligus untuk pamer kekuatan yang gagal total karena dicueki dan tak diindahkan oleh SBY, Jenderal Moeldoko, dan Jenderal Sutarman serta tak dianggap oleh Yusril Ihza Mahendra dan hanya dikomentari dan dikasihani oleh Jimly Asshiddique sebagai Ketua DKPP, serta dianggap biasa oleh Ketua KPU, merupakan blunder pertama.

Memang Prabowo telanjur dibentuk oleh Hashim Djojohadikusumo sebagai ‘the real president’ selama masa kampanye. Prabowo digambarkan dan digemborkan sebagai orang kuat, sebagai ‘presiden’. Bahkan saking populernya atau merasa popular dan akan memenangi pilpres, Prabowo dengan elektabilitasnya yang meroket dan mendapatkan apreasiasi para pengamat, termasuk Siti Zuhro yang gempita mendukung Prabowo dan mengecilkan Jokowi, telah bertindak di luar keumuman yang membuat publik mengernyitkan dahi.

Contohnya, Prabowo menggunakan Podium Kepresidenan untuk menyatakan bahwa SBY mendukungnya. Tindakan menggunakan podium dan lambang lembaga negara itu menjadi satu contoh bahwa Prabowo tak menghargai SBY sebagai presiden yang sah. Juga lambang garuda yang dikritik oleh pengamat, bahwa Lambang Garuda tidak boleh digunakan selain keperluan kenegaraan, Prabowo dan dibantu oleh Mahfud MD sebagai Ketua MK yang memutuskan tentang penggunaan Garuda menyatakan lambang itu bukan Garuda - okelah Netizen menyebutnya elang Cap Lang.

Pola membangun dan merasa sebagai ‘presiden’ yang dibentuk Hashim dan mitra koalisinya atas diri Prabowo dan pendukungnya itu begitu nyata. Mulailah publik merasa Prabowo akan menjadi presiden mendatang. Maka para politikus pun menjadi gamang melihat situasi politik terkait kecenderungan Prabowo ‘yang dipastikan akan menjadi ‘presiden’.

Maka, dengan aneka maneuver, Prabowo berhasil menandatangani dukungan dari PKS yang mendapatkan tujuh kementerian kunci. Lalu PPP pun ikut bergabung. Dengan tiga partai cukuplah Prabowo mendapatkan kendaraan. PAN yang gagal merapat ke Jokowi, ambil langkah politik mendekati Prabowo. Dengan pertimbangan besan SBY, maka Prabowo memilih Hatta Rajasa dan bukan calon yang lebih potensial seperti Ahmad Heryawan atau Hidayat Nur Wahid. Lalu Golkar bergabung dengan janji jabatan Menteri Utama.

Kecenderungan Prabowo menang ini membentuk karakter asli Prabowo muncul. Prabowo - didukung oleh mitra koalisinya semacam Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Mahfud MD, Suryadharma Ali, tampil penuh percaya diri dan gebyar penuh ‘kekuatan’ dan ‘keyakinan’ diri yang luar biasa sebagai ‘pemenang kursi kepresidenan’. Presiden SBY yang terkenal santun pun ‘sempat goyah’ dan terpaksa bermain di dua kaki menghadapi maneuver Prabowo yang sudah sok yakin akan menang. Hal ini terbukti Prabowo berkali-kali menemui SBY - dengan ditemani oleh Hatta - demi mendapatkan dukungan darinya.

Di publik, kampanye hitam gencar menghantam. Himbauan SBY untuk menghentikan kampanye hitam malah ditanggapi dingin dan bahkan pendukung Prabowo di lingkungan Istana pun dimanfaatkan untuk membuat Obor Rakyat. Ini tindakan menghantam SBY dan mengecilkan SBY oleh Timses Prabowo. Kini selepas Jokowi-JK menang, para pemfitnah itu akhirnya dikenai pasal melakukan perbuatan memfitnah dan tindakan tidak menyenangkan.

Sikap dua orang penyebar fitnah Obor Rakyat yang sangat percaya diri juga merupakan refleksi kemenangan Prabowo-Hatta yang menular pada para pendukungnya. Padahal Prabowo sebenarnya hanyalah yang penulis sebut hanya memiliki ‘kekuatan potensial’ berupa ‘potensi kekuasaan’, ‘potensi menjadi penguasa’, ‘potensi menjadi orang kuat’.

Sebaran kekuatan ini bukan hanya terrefleksikan dan tergambarkan pada dua penggagas Obor Rakyat, tetapi juga merasuki semua pentolan partai mitra koalisi. Gambaran arogan muncul. Ke mana pun, Prabowo pergi, maka di sanalah ada ARB, SDA - yang tak malu jadi tersangka dan dibela oleh Prabowo, Anis Matta, Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, MS Kaban, dan bahkan Titiek Soeharto.

Mereka dengan lantang dan penuh keyakinan mendahului keinginan rakyat dan membentuk diri mereka sebagai pemenang sebelum pilpres berlangsung. Keyakinan diri yang tinggi tanpa disadari menjadi boomerang ketika pilpres 7 hari menjelang pilpres berlangsung: publik tersadar siapa Prabowo dan para pendukungnya. Titik balik terjadi. Publik meninggalkan Prabowo dan mitra koalisinya pada seminggu terakhir jelang pencoblosan.

Maka ketika dengan kenekatannya, dan himbauan yang aneh-aneh untuk para pendukungnya agar tetap tenang - sebagai bentuk mengancam dan agitasi secara halus - melakukan Pidato Polinia, itulah titik kejumawaan Prabowo dan mitra koalisi, sekaligus titik ‘kematian politik’ Prabowo.

Jadi, buat Prabowo membawa masalah ke MK hanyalah upaya terakhir memoles wajahnya setelah tercoreng-moreng oleh ambisi pamer kekuatan oleh Pidato Polonia. Prabowo terkecoh oleh ilusi dan mimpi memiliki kekuatan memaksa kepada SBY, Panglima TNI, Kapolri dan pendukungnya. Faktanya, Prabowo tak lebih adalah pecundang yang kehilangan kesadaran tentang siapa diri dan siapa orang lain.

Kedua, buat Mitra Koalisi. Mitra koalisi akan bubar. Mitra koalisi terutama Golkar dipastikan akan pecah. Kedekatan ARB dengan Prabowo diyakini oleh para politisi Golkar tak memberikan manfaat positif bagi Golkar. Golkar jengah melihat ARB menjadi mitra Prabowo dan tampil penuh kegagalan: di pileg suara Golkar menurun, di Pilpres Prabowo kalah. Tak ada pilihan kecuali ARB tergusur oleh Agung Laksono.

PPP pun akan mengalami pergantian kekuasaan. Dipastikan dengan kekalahan Prabowo, SDA akan masuk ke bui dan kepemimpinan PPP yang baru akan kembali ke khittah kekuasaan: merapat ke Jokowi. Kenapa? PPP pecah karena dukungan kepada Prabowo yang dipaksakan oleh Suryadharma Ali.

PAN kemungkinan akan meninggalkan Prabowo atau mengurangi dukungan kepada Prabowo setelah tahu karakter Prabowo yang tidak demokratis. Pertimbangan keselamatan partai yang lebih besar, karena tampaknya rakyat telah banyak berlaku pintar. Misalnya rakyat menghukum Demokrat dan PKS yang dianggap korup oleh masyarakat dengan perolehan suara pileg jeblog.

Demokrat. Demokrat jelas akan merapat ke Jokowi-JK sebagai bagian rekonsiliasi dan rujuk SBY-Mega secara khusus dan luas. Dengan Jokowi menjadi Presiden RI, maka impas sudah ‘dendam’ Megawati untuk menempatkan PDIP sebagai penguasa dengan Jokowi menjadi Presiden RI.

PKS dan Gerindra akan bergandengan tangan selamanya di parlemen. Hanya dua partai ini yang akhirnya menjadi partai oposisi dengan warna kritikan Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang semakin berkibar dengan bendera putihnya.

Secara keseluruhan, Pidato Polonia, adalah pidato itu adalah upaya menelanjangi diri Prabowo dan seluruh mitra koalisi di mata rakyat yang gagal meraih dukungan dan simpati publik. Dalam diri para Mitra Koalisi Permanen, keyakinan mengeroyok dan beroposisi semakin menjauh. Sikap mengeroyok dan anti Jokowi akan sirna seiring ternyata mendukung Prabowo tak mendapatkan apa-apa.

Padahal inti dibentuknya partai politik adalah mendapatkan kekuasaan. Itulah yang akan merontokkan Koalisi Merah putih yang akan bersisa hanya Gerindra, PKS dan mungkin PAN. Lainnya PPP, Golkar, Demokrat akan ngacir lari tunggang langgang mengendarai kuda-kuda kekuasaan yang disediakan oleh Jokowi-JK.

Ketiga, bagi pejabat. SBY, Moeldoko, Sutarman telah berhasil menjinakkan Prabowo yang ‘dibiarkan kreatif’ dan dijebak dengan ‘kekuatan semu’ yang benar-benar merasuk dalam diri Prabowo dan para pengikutnya. Prabowo dan mitra koalisi dihantam dengan ‘teori menjerumuskan dan memermalukan’ agar seluruh kedok tentang Prabowo dan mitra koalisi terkuak ke publik.

Dengan berhasilnya ‘strategi menjerumuskan’ itu, nama besar Susilo Bambang Yudhoyono, Jenderal Moeldoko, Jenderal Polisi Sutarman, Mendagri, terangkat tinggi. Pun Megawati, Jokowi-JK dipastikan angkat topi dan hormat terhadap sikap kenegarawanan SBY, Moeldoko dan Sutarman.

Bagi masyarakat. Prabowo bukanlah pilihan yang tepat memimpin Indonesia.

Lalu apa maneuver Prabowo selama satu bulan ke depan?

Prabowo dan Timsesnya - dengan sisa-sisa tenaga dan nama yang tercoreng - akan memoles kebaikan partai, sekaligus akan memanfaatkan momentum Mahkamah Konstitusi untuk membuka borok-borok politik.

Prabowo dan Timsesnya masih akan memelihara ‘masa kampanye’ seperti dalam strategi pileg dan pilres. Fadli Zon dan Mahfud MD masih teropsesi memengaruhi publik dengan cara-cara kampanye negatif. Hai ini akan menjadi blunder kedua Prabowo sehingga semakin ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Prabowo yang belakangan digeret-geret oleh PKS dengan atribut Palestina, seusai Pilpres, yang diyakini sebagai upaya menarik simpati publik, menunjukkan bahwa Prabowo akan kampanye untuk membentuk persepsi bahwa dia adalah penguasa dan masih berpeluang menjadi presiden dan menang dalam pilpres berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Padahal, sekali lagi, jika tak ada unsur ‘masif, terstruktur dan sistematis’ dalam kecurangan, maka dipastikan Prabowo akan semakin terpuruk dan menjadi pecundang.

Prabowo seharusnya sadar bahwa Aburizal Bakrie dan Idrus Marham adalah titik pusat penyebab kekalahan, selain tentu Fadli Zon yang menerapkan taktik kampanye salah dan gagal total dan Fahri Hamzah dan PKS yang keblinger dengan pernyataan ngawur dan survei palsu. ARB dan Idrus Marham adalah kapal karam yang tak perlu digubris. Mahfud MD dan Said Aqil Syiradj seharusnya didengar oleh Prabowo dan tak usah maju menggugat ke Mahkamah Konstitusi karena tak berguna.

Jadi, secara keseluruhan langkah yang diawali atau diakhiri dengan Pidato Polonia - sebenarnya rangkaian Plan E yakni teori membakar jerami untuk mengusir tikus - dan maju menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk memertahankan Mitra Koalisi Merah Putih, karena tujuan awal membenturkan SBY, Sutarman, Moeldoko dengan rakyat telah gagal. Dan maneuver-manuver untuk mendelegitimasi Jokowi-JK pun semakin membuat Prabowo ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Sekali lagi langkah Prabowo maju ke MK dan melakukan maneuver selama satu bulan ke depan ala Fadli Zon dan Fahri Hamzah serta kapal karam ARB dan Idrus Marham hanya akan menjadi blunder kedua: Prabowo akan ditinggalkan oleh mitra koalisi yang ketakutan ditinggalkan oleh rakyat dan takut tak mendapatkan kekuasaan.

Salam bahagia ala saya.
http://politik.kompasiana.com/2014/0...ia-669957.html
Diubah oleh tsunamizawa 25-07-2014 03:46
0
4.3K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.