DimazJunko01Avatar border
TS
DimazJunko01
Jokowi: Kuda Troya Pro-Komunis
Jokowi: Kuda Troya Pro-Komunis

Semua gerakan mendukung Joko Widodo (Jokowi) untuk pencapresan sebenarnya bermula dari wacana sejumlah kalangan yang berhimpun dalam Sekretaris Nasional (Seknas) di Jakarta. Karakter utama dari mereka yang berhimpun dalam Seknas ini bisa diperhatikan dari pergulatan mereka dalam gerakan sosial politik di Indonesia sejak dekade akhir ‘80an.

Sebuah dekade ketika para mantan anggota PKI atau simpatisan parpol terlarang itu mulai dikenal kalangan aktivis HAM atau pembela kaum tertindas. Rupanya, rezim Soeharto telah menciptakan rekayasa politik sedemikian rupa, sehingga para aktor Orde Baru menjadi tidak realistis melihat situasi dan kondisi politik di beberapa kota, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar.

Rasa simpati terhadap kehidupan keluarga eks-PKI tumbuh di mana-mana. ‘Penistaan’ yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap anggota keluarga itu memicu reaksi balik dari aktivis ‘80an, yang memang cenderung kekiri-kirian, seperti Fadjroel Rachman dan Tri Agus Susanto Siswomihardjo.

Tri Agus Susanto adalah Sekretaris Umum Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi (PIJAR) yang kini giat berkampanye mendukung Jokowi-JK (Nefosnews, 31/5/2014). Selama aktif di PIJAR, pria ini dikenal sebagai sosok pengusung gagasan-gagasan yang condong ke aliran kiri.

Sosok lain penggagas utama Seknas Jokowi adalah Mohammad Yamin dan Dadang Juliantara di Jakarta pada 16 Desember 2013. Yamin merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selama masa mahasiswa, Yamin dikenal sebagai aktivis berhaluan kiri dalam kelompok Rode. Kelompok ini memainkan peran sentral dalam mengembangkan pola pikir kekiri-kirian untuk para mahasiswa lintas organisasi ekstra kampus.

Mereka giat membedah berbagai gagasan kiri dan digunakan sebagai bingkai melihat persoalan-persoalan yang timbul selama Orde Baru berkuasa. Tren pemikiran sosialis kiri begitu marak di Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Surabaya. Contohnya, Kelompok Studi Palagan di Yogyakarta sebagai wadah untuk mengasah pemikiran kiri meski baru pada tingkat teoritis.

Sebab, pada saat itu pemerintah di bawah Orde Baru sangat membatasi aksi turun ke jalan. Di Bandung, kelompok Somal tetap eksis dan menjadi rujukan aktivis kiri menempa diri. Mereka kerap bertemu dan mendiskusikan isu-isu aktual dalam perspektif kiri sembari menyemai simpati pada eks-PKI.

Pada saat yang sama, rekayasa rezim Soeharto begitu kuat dilakukan pada para aktivis muslim di kampus-kampus. Pengawasan terhadap para aktivis ini terjadi di mana-mana. Kian banyak intel-intel Pelaksana Khusus (Laksus, badan inelijen semasa Orde Baru) disusupkan ke dalam komunitas masjid, mengawasi gerak-gerik aktivis muslim.

Rekayasa penangkapan menjadi momok bagi aktivis-aktivis muslim. Mereka sering dicurigai hendak mendirikan ‘Negara Islam’ atau melawan ‘Azas Tunggal’ Pancasila. Fokus perhatian rezim Orde Baru dengan Benny Moerdani sebagai lokomotif kecurigaan berujung penangkapan aktivis-aktivis masjid, sesekali diikuti jebakan menjerat aktivis-aktivis tersebut, ironinya kelompok-kelompok kiri justru bebas sorotan.

Kelompok itu tumbuh subur bak jamur di musim hujan, tanpa pemantauan pemerintah sama sekali. Sepanjang dekade ’80-an, suasana kota Yogyakarta, Solo, Sragen, Klaten, Bandung, Jakarta dan Surabaya menjadi lahan persemaian ideologi kiri pro-komunis. Rezim Orde Baru sangat alergi pada simbol-simbol Islam yang muncul di lapangan, tetapi cenderung membiarkan kelompok-kelompok studi mahasiswa belajar paham komunis tanpa pikiran kritis.

Rupanya, ajaran-ajaran sosialisme yang disebarkan diam-diam oleh para tokoh sosialis Yogyakarta, seperti Imam Yudhotomo, telah menarik perhatian para aktivis-aktivis kelompok studi di ‘kota gudeg’ tersebut. Dalam sejarah Indonesia sesudah kemerdekaan, Yogyakarta memang merupakan salah-satu basis kaum sosialis, selain Bandung.

Di kota ini sosialisme tumbuh subur dalam benak para akademisi dan aktivis, yang kemudian menjadi sumber rujukan para generasi muda dekade ’80-an. Para sastrawan Yogyakarta pun sangat terpengaruh dengan ide-ide kiri ini, seperti Bambang Isti Nugroho, Umar Khayam dan Romo Mangun. Mereka menulis pemikirannya dalam perspektif sosialis kiri dan menjadi bacaan santapan para aktivis di kampus-kampus. Bahkan, sineas Teguh Karya juga merupakan sosok yang lahir dari tradisi sosialis kiri Yogyakarta.

Pengaruh sosialisme kini di Yogyakarta sesungguhnya membuka ruang bagi masuknya pandangan-pandangan pertarungan kelas gaya Marxisme. Namun, penerimaan kelompok sosialis Yogyakarta pada Marxisme menemukan momentum setelah rezim Soeharto mulai condong ke kelompok muslim, yakni dekade awal ’90-an.

Kaum sosialis Yogyakarta, sebagaimana juga para sosialis Bandung (Witoelar bersaudara dkk.), merasa rezim Soeharto sudah menemukan kelompok yang lebih lunak untuk dihantam, yakni kelompok muslim. Kelompok ini dalam pandangan kaum sosialis lebih mudah dicap hitam, daripada kelompok ABRI yang semula mendukung rezim Soeharto. Maka, sejak 1992 berhembus isu ‘ijo royo-royo’, ‘sektarian’ dan ‘primordial’ diarahkan ke ICMI serta pelbagai organisasi lain yang seafiliasi.

Para aktivis sosialis ’80-an di Yogyakarta kemudian menemukan peluang ketika para pendukung gagasan Marxisme mulai gencar berbicara soal kerakyatan. Seni kerakyatan, ilmu sosial kerakyatan dan segala sesuatu yang diberi embel-embel ‘kerakyatan’. Ada tiga seniman Yogyakarta ikut memprakarsai pembentukan ‘Jaringan Kerja Kesenian Rakyat’ (Jakker). Mereka adalah Mulyono, Semsar Siahaan dan Widji Thukul.

Para seniman itu merasa sudah lebih maju dalam mengemban misi kerakyatan sebagaimana dulu perasaan serupa diwujudkan para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di era ‘60-an. Tampaknya, 20 tahun setelah Lekra tiada, semangat Lekrais itu mewujud kembali dalam Jakker. Mereka tidak mau menggunakan istilah ‘komunis’, karena bisa menimbulkan reaksi antipati luas, melainkan mengaktifkan istilah ‘kerakyatan’, sehingga tak menimbulkan gejolak. Aktivitas seniman Jakker bukan cuma di Yogyakarta, tetapi aktif ke berbagai daerah, termasuk di Jatim, mendekati buruh dan mahasiswa.

Bagi konsumsi mahasiswa, para aktivis sosialis kiri ini mendorong istilah ‘pro-demokrasi’, sebuah istilah yang tak lebih dari taktik agar banyak mahasiswa tak alergi mendekati kelompok yang mulai pro-PKI ini. Sebuah hasil liputan Majalah Gatra tahun 1995 melansir, kian banyak eks PKI yang diam-diam masuk ke dalam kampus-kampus, menjadi dosen atau staf. Fenomena itu tampak bukan saja di Yogyakarta, melainkan juga di Semarang, Solo, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya.

Mengapa Mengusung Joko Widodo?

Mantan Walikota Solo Jokowi sebenarnya sudah lama dicermati para aktivis kiri era ‘80-an. Kader PDI Perjuangan ini bahkan memperoleh perhatian khusus dari kelompok Mohammad Yamin. Sebagai staf ahli MPR yang direkrut oleh Taufiq Kiemas (alm), Yamin sangat menguasai komunitas aktivis di Yogyakarta dan sekitarnya. Melalui jejaring Yamin di Yogyakarta, upaya untuk mengangkat nama Jokowi mulai dilakukan sejak 2006, seusai pelantikan Walikota Solo.

Sikap Taufiq Kiemas yang terbuka justru kemudian dimanfaatkan oleh para sosialis kiri mem-‘branding’ sosok Jokowi, melalui berbagai upaya pencitraan. Hubungan antarsesama aktivis era ’80-an memertemukan kelompok Yamin dengan kelompok yang sama di Jakarta, menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun, mereka sempat menahan diri karena tak punya kendaraan politik untuk mendaftarkan Jokowi ke KPU Jakarta.

Tak lama, semua urusan prosedur administratif Pilgub Jakarta beres dan kemudian Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI. Mulailah kelompok sosialis kiri bermunculan, apalagi setelah memeroleh ‘suntikan semangat’ dari penyair Goenawan Mohamad, kendati Jokowi tak pernah menjadi pengurus partai PDI Perjuangan. Namun, pengalaman selama menggarap pencitraan Jokowi di Solo dan Jakarta lalu menjadi modal utama sosialis kiri untuk membuat poros baru ke dalam PDI Perjuangan. Mereka juga tak memedulikan cara ‘mendesain’ tampilan Jokowi agak terkesan ‘PDI Perjuangan bangets’. Pakaian satgas pun, tak diyakini mengurangi daya tarik Jokowi di mata massa mengambang.

Poros yang melibatkan Teten Masduki, Rieke Dyah Pitaloka dan Ribka Tjiptaning perlu memastikan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati menetapkan Jokowi sebagai capres pada 14 Maret 2014. Namun, kenyataan hasil pemilihan legislatif (pileg) 9 April 2014 memperlihatkan ‘efek Jokowi’ yang sebenarnya hanya slogan para sosialis kiri itu, justru tak mendongkrak perolehan suara PDI Perjuangan.

Usai Pileg 2014, sepanjang April 2014, para sosialis kiri pro-PKI pun kelabakan, karena pengurus internal PDI Perjuangan mulai menyingkap tujuan kelompok sosialis kiri pro-PKI yang menunggangi partainya. Dan kelompok pro PKI pun kemudian mulai memainkan isu melalui media massa dan mendekati sosok seperti Surya Paloh dan Dita Indah Sari. Dan terbukti, Surya Paloh pun terpengaruh dan terbuai hingga ‘menggadaikan’ institusi jurnalistiknya, MetroTV untuk pencitraan Jokowi.

Melalui Dita yang memegang hasil survei abal-abal terhadap Jokowi dan keberadaan Yenny Wahid serta Dhohir Farizi di kubu Partai Gerindra, Dita berupaya meyakinkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Tak lama setelah itu, PKB pun merapat ke Jokowi, seperti halnya Partai Nasdem.

Belakangan, kelompok Wiranto juga melihat peluang guna meraup keuntungan politik di kubu Jokowi. Agum Gumelar dan Hendropriyono memainkan peran sentral untuk menarik para purnawirawan ini, selain juga ada keterlibatan Luhut Binsar Panjaitan yang kecewa pada Aburizal Bakrie.

Megawati dan lingkaran dalam PDI Perjuangan rupanya melihat perlunya mengajak para purnawirawan itu bergabung melalui duet ‘jenderal pelindung’ yang sudah punya rekam jejak baik di mata sang Ketum PDI Perjuangan. Para purnawirawan di kubu Jokowi ini bolehlah disebut sebagai barisan pendukung semangat Benny Moerdani. Sebab, mereka umumnya adalah pelanjut cara berpikir ala Benny Moerdani, yang merupakan penjaga sesungguhnya Soehartoisme dan Orde Baru.

Situasi ini membuat kaum sosialis kiri, seperti Hilmar Farid, Noer Fauzi dan Teten Masduki, tak mengira kelompok purnawirawan Soehartois itu merapat ke Jokowi. Apalagi kemudian dua orang mantan wakil Hendropriyono di Badan Intelijen Nasional (BIN) era 2001-2004, yakni As’ad Ali dan Muchdi Pr, juga ikut bergabung ke dalam kubu Jokowi. Triumvirat mantan BIN ini yang diduga kuat oleh publik dan media massa punya rekam jejak atas tewasnya pejuang HAM Munir Said Thalib SH pada tahun 2004. Kini, triumvirat ini bergabung ke Jokowi. Pantas saja, kelompok sosialis kini berupaya menghindar dari sorotan publik.

Ada alasan utama mengapa para purnawirawan bermasalah dan sosialis kiri itu bisa bersatu di dalam kubu Jokowi, yakni Jokowi lebih gampang dijadikan ‘kuda troya’. Jokowi bukan pengurus apalagi ketua partai, jadi kelak tidak perlu terikat pada haluan partai. Karena bukan pengurus, apalagi ketua umum partai, maka kelompok sosialis kiri pro-PKI bisa lebih mudah membisiki Jokowi atas dasar simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan saling menguntungkan.

Posisi tawar Jokowi terbukti lemah dan bisa dilihat dari istilah ‘kerjasama tanpa syarat’ yang digembar-gemborkan PDI Perjuangan sepanjang April 2014. Perlu disimak, para sosialis kiri dan purnawirawan ‘haus darah’ muslim tersebut sudah memersiapkan pelbagai rancangan kebijakan sesuai selera, seperti kubu purnawirawan akan menggulirkan kebijakan keamanan lebih agresif atau mengawasi gerak-gerik warganegara kalau perlu dengan pesawat tanpa awak ‘drone’. Tidak sekadar mengawasi isi khutbah Jumat di masjid-masjid kelak.TIM



TEAM BERITA FAKTA BUKAN PENCITRAAN
http://yudisamara.org/
0
3.9K
40
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Pilih Capres & Caleg
Pilih Capres & CalegKASKUS Official
22.5KThread3.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.