Liputan6.com, Jakarta - Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, Salahuddin Wahid atau Gus Sholah meminta agar masyarakat tidak larut dalam euforia pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden ke-7 RI. Memang banyak harapan yang ditaruh di pundak Jokowi, tapi pria itu bukan Superman yang bisa langsung mengubah keadaan.
"Kita jangan terlalu berharap, Jokowi bukan Tuhan, bukan Superman, bukan pesulap yang benahi segala macam. Dia harus sadar banyak harapan masyarakat, harapannya sama seperti saat Gus Dur naik," ungkap Gus Sholah kepada Liputan6.com di kediamannya, Jakarta, Sabtu (19/7/2014).
Walau demikian, tokoh agama itu paham betul Jokowi adalah harapan yang ditunggu masyarakat Indonesia. Gus Sholah mengingatkan betul, selama 2 tahun memimpin di Jakarta, perubahan hanya terasa sedikit di Jakarta. "Dia benahi birokrasi Jakarta saja belum beres, gimana negara ini. Tapi ya dia bawa harapan," imbuhnya.
Untuk itu, Gus Sholah berpesan agar Jokowi banyak belajar. Ada 4 bidang utama yang perlu dipelajari oleh Jokowi. Yaitu masalah penegakan hukum, birokrasi, kebijakan ekonomi , dan pendidikan. "Saya kira Jokowi masih kurang di 4 bidang ini," jelas Gus Sholah yang pada Pemilu 2004 maju sebagai cawapres berpasangan dengan Wiranto.
Sementara itu, Ketua Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) sekaligus guru spiritual Jokowi, Sri Eka meminta agar pihak lain siap menerima bila Jokowi jadi Presiden. Sebab, harapan bangsa yang dipertaruhkan. "Ini pertaruhan negara dan masa depan Indonesia. Dampaknya bisa ke agama, ekonomi, martabat dan kebudayaan kita. Rentetannya akan banyak sekali. Dampak kalau ada benturan bisa sampai 10 dan 20 tahun ke depan," tandas Sri Eka.
Benarkah Ini Negeri Auto Pilot?
25 Jan 2012 20:41
Liputan6.com, Jakarta: Di banyak tempat di Jakarta dan beberapa kota di daerah terpampang spanduk kain warna hitam bertuliskan "Negeri Auto Pilot" dengan warna putih atau kadang merah mencolok. Tema tersebut menjadi bahan obrolan ramai di jejaring sosial dunia maya, seperti di Facebook dan Twitter.
Tak hanya itu, jika Anda sering mendengarkan radio ketika di mobil, topik tersebut menjadi bahan diskusi seru di radio-radio swasta Jakarta mulai pagi, siang, dan malam, hingga acara obrolan dini hari. Tema tersebut biasanya dibahas dengan gaya obrolan interaktif "sersan pegu" alias serius tapi santai penuh guyonan. Tapi tidak meninggalkan daya kritisnya.
Dalam beberapa kesempatan, saya pun sempat mengikuti program obrolan tersebut sebagai pendengar pasif. Menurut beberapa pendengar yang menelepon langsung ke radio swasta dengan market orang muda dan kaum eksekutif, kondisi negeri ini dalam dua-tiga tahun terakhir terasa sekali tak ubahnya berjalan begitu saja secara mekanistik seperti autopilot.
Seorang penelepon yang mengaku pebisnis ekspor impor menceritakan liku-liku pengalamannya yang selalu harus secara otomatis menyediakan uang pelicin untuk aparat birokrasi pemerintah jika ingin urusan bisnisnya lancar.
Ada lagi seorang eksekutif muda yang bercerita tentang pengalamannya bekerja di sektor pengelola sebuah gedung di kawasan elite Jakarta. Menurutnya bukan rahasia lagi, bahwa manajemen gedung harus secara otomatis 'menyediakan anggaran khusus' ke oknum polisi di tingkat pospol hingga polsek secara rutin. Terlebih bila pihaknya meminta bantuan pengamanan saat terjadi demonstrasi. "Ahh, itu sudah biasa Bro. Untuk anak buah di lapangan berapa dan untuk sang komandan berapa. Semua ada itungannya itu," katanya sambil tertawa.
Beda lagi dengan seorang pria penelepon dari Bekasi. Penelepon tersebut mengungkapkan keheranannya dengan kondisi penegakan hukum di negeri ini yang hanya tajam untuk orang kecil rakyat jelata, tapi tumpul untuk mereka yang punya power, uang, dan kekuasaan.
"Mas... lihat aja kasus Gayus. Udah ke laut tuh kasus. Masak cuman setingkat Gayus doang yang ditangkep. Pejabat pajak yang lain gimana tuh? Itu kan sindikat," katanya.
Pria yang mengaku bekerja di sebuah perusahaan percetakan itu rupanya masih belum selesai berkomentar tentang kondisi negeri ini. Penelepon tersebut mengajak para pendengar untuk menyimak
kasus korupsi di DPR. "Sekarang lagi rame istilah 'banggar' alias bang garong. DPR gak ada prestasinya Mas, kecuali ngurusin proyek mark-up anggaran terus. Lalu kasus Nazaruddin. Semuanya udah jelas itu. Pemerintah tidak bersungguh-sungguh soal ingin memberantas korupsi," katanya.
Ia menambahkan sebagai warga negara dan rakyat biasa dirinya kecewa karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang menyatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini tapi kenyataannya tak ada wujud konkretnya. Justru yang terjadi sangat lamban dalam menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan orang-orang di lingkungan partainya sendiri.
"Dia ini kan presiden, orang nomor satu di negeri ini. Gimana itu? Rakyat sudah muak dengan kondisi ini Mas," ungkapnya.
Seorang wanita yang mengaku pernah aktif di LSM dan kini sebagai ibu rumah tangga biasa tinggal di Cibubur juga ikut nimbrung dalam obrolan hangat tersebut. Ibu ini mengambil contoh lain yang menunjukkan bahwa betapa polisi dan pemerintah sangat lemah menghadapi kelompok-kelompok radikal yang berlabel agama, bertindak merusak, dan menindas kelompok lemah dan minoritas.
"Paling gampang. Lihat saja Mas, di setiap bulan puasa Ramadan. Ada kelompok yang sama selalu merasa diri menjadi Tuhan dan polisi moral bagi warga lainnya. Mereka tak hanya memaksakan kehendak, mengancam, dan mengintimidasi warga, tapi juga merusak warung, rumah makan, tempat usaha, bahkan perkantoran, dll. Anehnya polisi dan pemerintah tak pernah menindak mereka. Itu jelas sekali, negara gagal melindungi minoritas warga negaranya sendiri. Terjadinya peristiwa di Mesuji, di Bima, dan lain-lain itu makin nyata seperti yang saya bilang tadi Mas. Pemerintahan SBY tak mampu melindungi warga negaranya. Jangankan para TKI atau TKW, di negerinya sendiri aja pemerintah nggak mampu nglindungin," ungkapnya.
Seorang penelepon wanita yang menyebutkan dirinya tinggal di kawasan Bintaro Jaya, Tangerang, menyoroti betapa amburadulnya pengaturan lalu lintas Jakarta. Kendaraan angkutan umum seperti bus kota dan angkot yang bisa berhenti mengambil dan menurunkan penumpang semaunya sendiri. Selalu terjadi saling serobot di perempatan atau pertigaan jalan. Menurut wanita yang mengaku bekerja di sebuah kantor di Jalan Thamrin itu, makin hari kondisi lalu lintas Jakarta kian ruwet semrawut. Jumlah kendaraan bermotor tambah banyak, sementara prasarana jalanan tetap sama. Terlihat sekali, bahwa pemerintah tak berdaya menghadapi kondisi ini.
"Kalo ada peristiwa besar, aparat pemerintah baru sibuk bereaksi. Lihat aja, Mas. Begitu ada peristiwa kecelakaan Xenia Maut di Tugu Tani, aparat baru ribut soal narkoba, soal alkohol, soal perlindungan bagi pejalan kaki. Malah mau bikin monumen. Ini kan dagelan, Mas. Selama ini mereka ke mana aja? Gubernur Jakarta gak ada kontribusinya apa-apa buat warga. Udah lama dianggep nggak ada Mas sama warga," katanya menutup pendapatnya.
Rasanya siapa pun yang tidak sempat mengikuti isu sosial, politik, dan hukum di negeri ini akan cepat mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di masyarakat kita. Obrolan-obrolan ringan, kritis, dan cerdas itu menggambarkan situasi aktual betapa banyaknya masalah yang sedang dialami dan harus segera dibenahi.
Munculnya sindiran kritis warga masyarakat bahwa negara ini bagaikan "Negeri Auto Pilot" rupanya mengusik Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Menurut besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini kepada wartawan di kantornya, Selasa (17/1) bahwa penggunaan istilah itu jelas salah. "Untuk Negeri Auto Pilot sendiri itu salah, tidak ada suatu negara tanpa ada pemerintahannya, tidak mungkin suatu negara tidak ada pemimpinnya, dan tidak ada pemimpin yang tidak bekerja untuk rakyatnya," ujar Hatta.
Tak hanya Menko Perekonomian yang gerah terhadap sindiran tersebut. Menko Kesra Agung Laksono pun tak suka terhadap istilah yang disebutnya terlalu vulgar tersebut. Kritikan itu menurut Agung sudah jauh dari bentuk membangun tetapi lebih tepatnya mengarah pada upaya provokatif untuk mendongkel pemerintahan yang sah saat ini. "Kemiskinan saat ini telah turun dari sekitar 16 persen di awal masa pemerintahan menjadi sekitar 12 persen. Selain itu, tingkat pengangguran juga terus menurun, lalu angka harapan hidup masyarakat Indonesia juga terus meningkat, tambahnya. Semua capaian itu menunjukkan ada bentuk intervensi dari pemerintah," katanya.
Sementara itu Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono berpendapat bahwa penggunaan istilah autopilot itu justru menunjukkan kemahiran seseorang secara teknis. Istilah teknis tersebut merujuk pada daya kemampuan khusus yang dimiliki oleh pelaut dan juga pilot yang ingin mengendalikan kapal ke sistem autopilot. "Saya hanya ingin menjelaskan sebenarnya autopilot itu adalah sesuatu yang digunakan seorang nakhoda atau pilot yang bagus sehingga tahu betul arahnya kapal. Tapi sekali lagi saya tidak ingin masuk ke dalam karena saya tidak tahu secara persis di pikiran dari yang menyusun autopilot ini, tapi ini dari persepsi kita sebagai orang teknis," ujarnya.
Tak hanya mereka yang berada di dalam pemerintahan yang memberikan bantahan atas kritik "Negeri Auto Pilot" tersebut. Ketua DPP Demokrat Bidang Perencanaan Pembangunan Nasional, Kastorius Sinaga sangat tidak setuju dengan istilah yang dilontarkan para pengeritik tersebut. Menurutnya, istilah tersebut sangat tidak berdasar."Statement autopilot itu sama sekali ngawur, tidak berdasar dan lebih mencerminkan pikiran picik yang dieksploitir oleh media massa untuk sen yang provokatif," ujarnya di Jakarta, Senin (16/1).
Terlepas dari kritikan dan bantahan itu semua, yang pasti rakyat hanya membutuhkan apa yang menjadi haknya seperti diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar`45. Yakni menjadi manusia Indonesia yang merdeka, berdaulat, sejahtera, cerdas, dan mendapatkan keadilan sosial tanpa pandang bulu. Pemerintah wajib mewujudkan cita-cita itu
http://news.liputan6.com/read/374033...eri-auto-pilot
'Negeri Auto Pilot', Tanpa SBY-Boed, Rakyat Masih Bisa Makan, Ekonomi Bisa Terus...
JAKARTA, RIMANEWS - Rakyat ternyata sudah muak dengan Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Hal ini bisa terlihat dari spanduk berukuran besar dengan tulisan 'Negeri Auto Pilot' yang terpampang di sejumlah lokasi strategis di Jakarta. Tulisan tersebut bermakna negeri yang berjalan tanpa pemimpin.
Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk di Jakarta, kemarin, mengatakan bunyi spanduk tersebut menunjukkan kegusaran masyarakat terhadap rezim saat ini. Masyarakat beranggapan tanpa adanya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun negara bisa terus berjalan, ekonomi bisa terus tumbuh, dan rakyat masih bisa makan.
"Rezim ini dinilai miskin prestasi. Seolah-olah pemerintah tidur dan kehidupan berjalan seperti biasa. Inilah sinyal yang coba dikirimkan lewat spanduk-spanduk itu," ujarnya.
Menurut dia, pertanda akan munculnya aksi-aksi kelompok masyarakat semacam itu sudah mengemuka sejak tokoh lintas agama melabeli rezim SBY sebagai pembohong beberapa waktu lalu. Meski aksi-aksi sporadis elemen masyarakat itu bisa menjadi bola liar, Hamdi tidak yakin hal itu bisa berujung pada penjungkalan pemerintahan Yudhoyono.
Meski begitu, Hamdi mewanti-wanti pemerintah agar segera mengidentifikasi dan mencari solusi tepat bagi persoalan kerakyatan jika tidak ingin kegusaran masyarakat bereskalasi menjadi aksi radikal.
Di tempat terpisah, Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustofa menegaskan bunyi spanduk itu tidak merepresentasikan kepemimpinan Presiden Yudhoyono. ''Itu propaganda pengecut, tidak berdasarkan fakta," paparnya.
Saan memberi contoh prestasi kepemimpinan SBY, yakni angka pertumbuhan mencapai 6% serta pengangguran dan kemiskinan yang jauh berkurang. Dia berharap polisi menelusuri pemasang spanduk dan apa motivasinya.
Seharusnya, kata Saan, individu atau kelompok yang memasang spanduk tersebut bersikap jantan, tidak dengan cara-cara propaganda seperti itu. "Namun saya memklumi, ini negara demokrasi," katanya lagi
http://rimanews.com/read/20120111/51...omi-bisa-terus