Delegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu presiden kian hari semakin masif. Ironinya, delegitimasi lembaga konstitusional penyelenggara pemilu dilakukan oleh kalangan cerdik cendekia. Ada apa ini?
Di balik pelaksanaan Pemilu 2014 yang secara umum masih berjalan normal, terdapat upaya masif dari sebagian kalangan cerdik cendekia secara tidak langsung melakukan upaya delegitimasi lembaga negara yakni KPU.
Seperti rencana pertemuan yang digagas oleh Goenawan Muhammad dan Syafii Maarif pada Kamis (17/7/2014) mendatang yang bertajuk "Menyatakan Keprihatinan Untuk Persatuan". Dalam undangan yang diterima inilah..com, terdapat empat poin usulan yang akan ditawarkan dalam acara tersebut.
Keempat poin tersebut yakni, pertama mengingatkan kembali bahwa hasil hitung cepat lembaga yang kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi-JK. Rakyat sudah berbicara. Kedua, meminta agar Prabowo dan pendukungnya menerima hasil pilpres sebagai bagian dari pendidikan politik untuk masyarakat.
Ketiga, meminta seluruh masyarakat untuk mendukung KPU dalam melaksanakan perhitungan suara secara transparan dan jujur. Dan keempat, mengajak semua pihak yang selama ini tercerai berai untuk bersama menciptakan rasa aman dan rasa bersatu membangun bangsa. Tidak ada lagi koalisi pendukung capres, tetapi hanya ada koalisi besar Masyarakat Indonesia.
Usulan poin pertama dan poin kedua sungguh mengejutkan. Seperti penegasan kemenangan pasangan Joko-Kalla sebagaimana hasil hitung cepat dari lembaga survei yang kredibel. Usulan tawaran di poin satu tentu bermasalah secara substansi. Faktanya, hasil hitung cepat tidaklah tunggal. Karena ada juga lembaga survei yang menempatkan Prabowo-Hatta unggul. Fakta ini tentu tidak bisa dinafikan. Belum lagi hasil hitung cepat bertolak belakang dari temuan lembaga survei yang diklaim sebagai kredibel tersebut.
Begitu juga usulan di poin kedua. Poin ini memberikan asumsi Prabowo tidak siap kalah dalam kontestasi pemilu presiden ini. Ini tentu tidak berdasar pada
fakta. Karena selama proses pilpres, baik pendaftaran, kampanye damai serta debat antarcapres, Prabowo berkali-kali menyampaikan siap kalah dan siap menang. Justru pasangan Joko-Kalla hingga saat ini belum pernah menyampaikan secara terbuka siap kalah dan siap menang.
Poin ketiga dan keempat seperti kehilangan makna setelah membaca poin pertama dan kedua yang terang-terang paradoksal dengan poin berikutnya.
Rencana penyampaian sikap oleh sekelompok orang yang dikenal berasal dari kelompok cerdik cendekia ini tentu paradoksal dengan tawaran poin yang akan disepakati. Faktanya, tokoh yang mengundang dalam acara tersebut seperti Goenawan Mohammad dan Syafiii Maarif adalah pendukung pasangan Joko-Kalla.
Upaya ini mengingatkan pernyataan kontroversial pekan lalu yag disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi yang menyebutkan penghitungan KPU salah bila berbeda dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan penghitungan yang dilakukan KPU merupakan perwujudan penghitungan konstitsuional. Ia menegaskan, keputusan negara harus dianggap benar sebelum lembaga negara membatalkan. "Jadi negara punya kebenaran sendiri, begitu juga akademik," tegas Irman.
Delegitimasi KPU ini sama saja melanggar konstitusi secara telanjang. Konstitusi secara jelas menyebutkan keberadaan KPU sebagaimana disebut dalam pasal 22E ayat 5 yang memberi legitimasi konstitusional keberadaan KPU. "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".
sumber: http://www.suaranews.com/2014/07/awa...ang-kalah.html