- Beranda
- The Lounge
[INSPIRASI] Berpresasi dalam Keterbaasan? Bisa kok, Ini Buktinya!
...
TS
kingkin28
[INSPIRASI] Berpresasi dalam Keterbaasan? Bisa kok, Ini Buktinya!
Berprestasi dalam Keterbaasan? Bisa kok, Ini Buktinya!
Sebelum Lebih Jauh Lagi jangan Lupa
lalu klik emot dibawah untuk cek No Repost
/:repost/
Quote:
INTERMEZO DULU
Kehidupan memang tak akan semulus es yang licin, walau itu jalur trek balap internasional sekalipun, akan ada bau kerikil yang tersembunyi. Bahkan tanpa sadar kita menemukan tembok yang membuat kita ingin menyerah. Entah Tembok Kemiskinan, fisik aau lainnya. Namun untuk orang-orang ini, sebesar apapun tembok itu mereka akan menembusnya dan tidak menyerah untuk berprestasi
Yuk kita Simak Ceritanya
Kehidupan memang tak akan semulus es yang licin, walau itu jalur trek balap internasional sekalipun, akan ada bau kerikil yang tersembunyi. Bahkan tanpa sadar kita menemukan tembok yang membuat kita ingin menyerah. Entah Tembok Kemiskinan, fisik aau lainnya. Namun untuk orang-orang ini, sebesar apapun tembok itu mereka akan menembusnya dan tidak menyerah untuk berprestasi
Yuk kita Simak Ceritanya
Spoiler for TKP:
Quote:
Quote:
1. David Jacobs – Atlet Tenis Meja yang Mengharumkan Nama Bangsa
Spoiler for Ilustrasi:
Quote:
Diawali dengan atlet berprestasi Indonesia, David Jacobs. David memiliki kekurangan fisik pada jari-jari tangan kanannya sejak lahir. David yang telah mengenal tenis meja sejak usia 10 tahun itu, memang mendapat dukungan dari orang tuanya. Dukungan itu memotivasi David untuk bukan hanya menyukai tenis meja melainkan mengukir prestasi dengan mengikuti berbagai kejuaraan walau harus mencari sponsor sendiri. Atlet berusia 35 tahun itu akhirnya dapat mengharumkan nama Indonesia di kancah olahraga Internasional, Seperti di SEA Games 2001 dan 2005, Asian Para-Games 2010, Asian Para-Games 2011, hingga di Olimpiade khusus keterbatasan fisik (Paralympic) di awal September lalu di London, Inggris.
David berhasil meraih medali perunggu di cabang tenis meja (lihat hasil paralympic 2012 London). David Jacobs yang awalnya menempati peringkat 40 dunia kelas 10, rankingnya perlahan–lahan dapat naik ke urutan 20 dunia hingga akhirnya kini menjadi peringkat 3 dunia. Di PON yang sedang berlangsung saat ini, David Jacobs juga akan bertanding untuk kategori atlet normal.
Sumber
David berhasil meraih medali perunggu di cabang tenis meja (lihat hasil paralympic 2012 London). David Jacobs yang awalnya menempati peringkat 40 dunia kelas 10, rankingnya perlahan–lahan dapat naik ke urutan 20 dunia hingga akhirnya kini menjadi peringkat 3 dunia. Di PON yang sedang berlangsung saat ini, David Jacobs juga akan bertanding untuk kategori atlet normal.
Sumber
Quote:
Quote:
2. Belajar Diterangi Lampu Minyak, Raih Nilai Tertinggi se-PPU
Spoiler for ilustrasi:
Quote:
HIDUP jauh dari kata glamor seperti orang-orang kota, juga jauh dari makanan yang bergizi seperti santapan anak-anak gedongan, itulah yang setiap dirasakan Jumaati. Rumah tinggal bersama ibu kandungnya (Normi) dan ayah tiri (Rohman) serta kedua adiknya, Rida (12) dan Misiati (14), hanyalah sebuah gubuk kecil yang sebenarnya juga milik orang lain.
Di dalam rumah tidak terlihat satupun lemari pakaian, kursi, atau pun ranjang, apalagi barang elektronik. Hanya terlihat dua buah kasur yang tergulung di ruang tamu yang sekaligus sebagai kamar. Ya, gubuk milik pasangan Rohman dan Normi memang tidak tersedia kamar tidur, maupun perlengkapan lainnya. Pakaian hanya digantung dan ada pula yang dilipat rapi, kemudian dimasukkan ke kantong plastik.
Ayah tiri Jumaati, Rohman (50) pekerjaannya tidak menentu. Namun setiap harinya dia berusaha untuk bisa mencari uang halal dengan penghasilan sehari sekira Rp 50 ribu. Dengan penghasilan seperti itu, Rohman dan istrinya Normi berusaha mencukupi kebutuhan makan sehari-hari untuk 5 orang. “Dicukup-cukupkan saja, dan diatur betul-betul, apalagi penghasilan tidak menentu,” kata Rohman.
Rohman meskipun hanya sebagai ayah tiri, setiap hari sekolah tidak pernah menurunkan semangatnya untuk mengantar ketiga putri tirinya pergi menuntut ilmu di SD 010 Waru, Dusun Gunung Batu, Desa Sesulu, Waru, yang berjarak sekira 9 kilometer dari rumah. Jadi setiap hari sekolah, Rohman harus bolak-balik sekira 18 km untuk mengantar putri-putrinya, dengan menggunakan sepeda motor yang hingga saat ini masih dikredit.
Rohman justru bangga terhadap prestasi yang diraih anak tirinya itu. “Bangga, dan saya tetap mendukung mereka tetap sekolah. Saya tidak mau anak-anak seperti saya yang tamat SD pun tidak,” ucap Rohman dengan berlinang airmata keharuan.
“cumipun kami dari orang yang tak punya, tapi pendidikan untuk anak-nak kami, itu lebih penting. Rumah ini pun bukan milik kami, hanya pinjam saja. Kami tidak punya rumah, dan disini kami baru tinggal 3 tahun lebih,”kata Rohman yang pernah tinggal di Gunung Batu, Sesulu.
Normi selaku ibu kandung dari Jumaati juga sangat bangga dengan putrinya tersebut, dan tetap berharap anaknya tetap melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Karena, menurutnya pendidikan salah satu langkah awal menuju keluar dari tekanan ekonomi yang dialaminya sekarang. Dirinya berharap ke depannya, putri-putrinya mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Bagi Jumaati sendiri, meski dengan keterbatasan tersebut, tidak ada keluh kesah dilontarkannya pelajar yang baru lulus SD itu. Bahkan Jumaati mampu membuat siapa saja terharu dengan prestasinya yang mampu meraih nilai tertinggi se-Penajam Paser Utara (PPU) pada ujian nasional tingkat SD.
Matematika merupakan mata pelajaran yang menjadi favorit perempuan pecinta Band D’bagindas itu. “Pelajaran Matematika mudah dipelajari, enak hanya hafal rumus,” kata Jumaati yang mendapat nilai Matematika 10.
Pihak SD 010 Waru juga merasa bangga karena untuk pertama kalinya ada peserta didiknya mendapat predikat nilai terbaik se-PPU. Wali Kelas IV, Lina Nurhayati menceritakan terkait dengan semangat yang dimiliki oleh Jumaati untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Keraguan sempat mencul dibenak Jumaati kalau tidak mampu melanjutkan pendidikan setelah tamat SD.
Karena curhatan itulah sehingga Lina Nurhayati memberikan pacuan semangat untuk lebih giat belajar. “Setelah saya ceritakan kalau anak yang berprestasi bakal mendapat reward berupa beasiswa dari Dinas Pendidikan, setelah itu Jumaati makin giat belajar,” terangnya.
ketika mengetahui kalau anak didiknya itu mendapat predikat nilai tertinggi, selaku wali kelas, dia langsung menangis. “Saya dihubungi oleh salah satu staf Dinas Pendidikan, kalau siswa saya mendapat nilai tertinggi se PPU. Mulanya tidak sangka kalau Jumaati dapat nilai tertinggi, karena sebelumnya hanya rangking tiga di kelasnya,” ucapnya.
Camat Waru, Warsidi juga siap membantu menyiapkan fasilitas kendaraan berupa sepeda melalui Forum Peduli PPU. Menurut Warsidi, sumbangan berupa sepeda merupakan hal yang tepat. “Kalau nanti sudah di SMP, sepeda itu bisa di gunakan. Supaya meringankan beban bapaknya yang harus membonceng tiga putrinya tiap hari,” kata Warsidi.
Warsidi selaku pemerintah kecamatan, juga merasa bangga atas prestasi yang diraih Jumaati. Terlebih lagi, kepada Rohman yang hanya seorang ayah tiri, tapi begitu gigih memikirkan nasib pendidikan anak-anaknya ke depan.
“Jarang ada ayah tiri yang bisa berbuat seperti itu. Ini menjadi renungan kita bersama bahwa seorang ayah tiri mampu memikirkan pendidikan untuk anak tirinya, kenapa kita sebagai orang tu kandung tidak mampu. Terkait dengan prestasi yang dimiliki Jumaati menunjukkan bahwa untuk berprestasi tidak memandang latar belakang ekonomi, social. Yang jelas ada keinginan untuk belajar dan terus belajar, insya Allah prestasi itu bakal ada,” tutupnya.
Sumber
Di dalam rumah tidak terlihat satupun lemari pakaian, kursi, atau pun ranjang, apalagi barang elektronik. Hanya terlihat dua buah kasur yang tergulung di ruang tamu yang sekaligus sebagai kamar. Ya, gubuk milik pasangan Rohman dan Normi memang tidak tersedia kamar tidur, maupun perlengkapan lainnya. Pakaian hanya digantung dan ada pula yang dilipat rapi, kemudian dimasukkan ke kantong plastik.
Ayah tiri Jumaati, Rohman (50) pekerjaannya tidak menentu. Namun setiap harinya dia berusaha untuk bisa mencari uang halal dengan penghasilan sehari sekira Rp 50 ribu. Dengan penghasilan seperti itu, Rohman dan istrinya Normi berusaha mencukupi kebutuhan makan sehari-hari untuk 5 orang. “Dicukup-cukupkan saja, dan diatur betul-betul, apalagi penghasilan tidak menentu,” kata Rohman.
Rohman meskipun hanya sebagai ayah tiri, setiap hari sekolah tidak pernah menurunkan semangatnya untuk mengantar ketiga putri tirinya pergi menuntut ilmu di SD 010 Waru, Dusun Gunung Batu, Desa Sesulu, Waru, yang berjarak sekira 9 kilometer dari rumah. Jadi setiap hari sekolah, Rohman harus bolak-balik sekira 18 km untuk mengantar putri-putrinya, dengan menggunakan sepeda motor yang hingga saat ini masih dikredit.
Rohman justru bangga terhadap prestasi yang diraih anak tirinya itu. “Bangga, dan saya tetap mendukung mereka tetap sekolah. Saya tidak mau anak-anak seperti saya yang tamat SD pun tidak,” ucap Rohman dengan berlinang airmata keharuan.
“cumipun kami dari orang yang tak punya, tapi pendidikan untuk anak-nak kami, itu lebih penting. Rumah ini pun bukan milik kami, hanya pinjam saja. Kami tidak punya rumah, dan disini kami baru tinggal 3 tahun lebih,”kata Rohman yang pernah tinggal di Gunung Batu, Sesulu.
Normi selaku ibu kandung dari Jumaati juga sangat bangga dengan putrinya tersebut, dan tetap berharap anaknya tetap melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Karena, menurutnya pendidikan salah satu langkah awal menuju keluar dari tekanan ekonomi yang dialaminya sekarang. Dirinya berharap ke depannya, putri-putrinya mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Bagi Jumaati sendiri, meski dengan keterbatasan tersebut, tidak ada keluh kesah dilontarkannya pelajar yang baru lulus SD itu. Bahkan Jumaati mampu membuat siapa saja terharu dengan prestasinya yang mampu meraih nilai tertinggi se-Penajam Paser Utara (PPU) pada ujian nasional tingkat SD.
Matematika merupakan mata pelajaran yang menjadi favorit perempuan pecinta Band D’bagindas itu. “Pelajaran Matematika mudah dipelajari, enak hanya hafal rumus,” kata Jumaati yang mendapat nilai Matematika 10.
Pihak SD 010 Waru juga merasa bangga karena untuk pertama kalinya ada peserta didiknya mendapat predikat nilai terbaik se-PPU. Wali Kelas IV, Lina Nurhayati menceritakan terkait dengan semangat yang dimiliki oleh Jumaati untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Keraguan sempat mencul dibenak Jumaati kalau tidak mampu melanjutkan pendidikan setelah tamat SD.
Karena curhatan itulah sehingga Lina Nurhayati memberikan pacuan semangat untuk lebih giat belajar. “Setelah saya ceritakan kalau anak yang berprestasi bakal mendapat reward berupa beasiswa dari Dinas Pendidikan, setelah itu Jumaati makin giat belajar,” terangnya.
ketika mengetahui kalau anak didiknya itu mendapat predikat nilai tertinggi, selaku wali kelas, dia langsung menangis. “Saya dihubungi oleh salah satu staf Dinas Pendidikan, kalau siswa saya mendapat nilai tertinggi se PPU. Mulanya tidak sangka kalau Jumaati dapat nilai tertinggi, karena sebelumnya hanya rangking tiga di kelasnya,” ucapnya.
Camat Waru, Warsidi juga siap membantu menyiapkan fasilitas kendaraan berupa sepeda melalui Forum Peduli PPU. Menurut Warsidi, sumbangan berupa sepeda merupakan hal yang tepat. “Kalau nanti sudah di SMP, sepeda itu bisa di gunakan. Supaya meringankan beban bapaknya yang harus membonceng tiga putrinya tiap hari,” kata Warsidi.
Warsidi selaku pemerintah kecamatan, juga merasa bangga atas prestasi yang diraih Jumaati. Terlebih lagi, kepada Rohman yang hanya seorang ayah tiri, tapi begitu gigih memikirkan nasib pendidikan anak-anaknya ke depan.
“Jarang ada ayah tiri yang bisa berbuat seperti itu. Ini menjadi renungan kita bersama bahwa seorang ayah tiri mampu memikirkan pendidikan untuk anak tirinya, kenapa kita sebagai orang tu kandung tidak mampu. Terkait dengan prestasi yang dimiliki Jumaati menunjukkan bahwa untuk berprestasi tidak memandang latar belakang ekonomi, social. Yang jelas ada keinginan untuk belajar dan terus belajar, insya Allah prestasi itu bakal ada,” tutupnya.
Sumber
Quote:
Quote:
: 3. Stii Maisaroh, Tunanera Penuh Prestasi
Spoiler for Ilustrasi:
Quote:
Siti Maisaroh, atau biasa dipanggil saroh namanya. Lahir padda tanggal 05 juni 1997 di Banyuwangi, Jawa timur. Saroh merupakan annak ke8 dari 8 bersaudara pasangan dari Sihrum dan Salwanah. Pak Sihrum saat ini berprofesi sebagai tukang bengkel sepeda, sedangkan bu Salwanah adalah tukang sayur keliling.
Saroh tunanetra sejak kecil. Walaupun begitu syaroh punya cita-cita tinggi yaitu ingin menjadi dosen yang hebat. Dengan motto hidup“terus maju tanpa menyerah demi masa depan yang baik”, Saroh mempunyai prestasi yang cukup membanggakan yaitu :
Sumber
Saroh tunanetra sejak kecil. Walaupun begitu syaroh punya cita-cita tinggi yaitu ingin menjadi dosen yang hebat. Dengan motto hidup“terus maju tanpa menyerah demi masa depan yang baik”, Saroh mempunyai prestasi yang cukup membanggakan yaitu :
- Juara I lomba menari tunggal SD tingkat provinsi tahun 2009
- Juara II lomba menari tunggal SD tingkat nasional tahun 2009
- Juara I lomba menyany SMP LB tingkat provinsi tahun 2011
- Juara I lomba menyanyi SMP LB tingkat provinsi tahun 2013
Sumber
Quote:
Quote:
4. IPK 3,98, anak buruh tani ini akan lanjutkan kuliah ke Belanda
Spoiler for Ilustrasi:
Quote:
Prestasi membanggakan, atau sekolah yang tinggi tak harus datang dari keluarga yang berkecukupan. Keterbatasan ekonomi keluarga, tidak menghalangi seseorang untuk menggapai cita-cita setinggi langit.
Meskipun berasal dari keluarga buruh tani yang bergelut dengan kemiskinan, Angga Dwituti Lestari, anak kedua pasangan Supriyanto dan Sugiyarto, warga desa Cibuk Lor I, Margoluwih, Sayegan, Sleman, Yogyakarta ini bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, dengan mencetak Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,98.
Angga, gadis kelahiran Sleman 21 Februari 1992 tersebut mampu membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukan penghalang untuk berprestasi. Gadis yang akrab disapa Eng tersebut, memang sejak kecil selalu berprestasi. Berbagai lomba seperti cerdas cermat, lomba pidato Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, membaca Al Qur'an, pernah diikutinya dan beberapa kali mencetak juara.
"Memang sejak kecil saya berlatih memacu diri saya untuk berprestasi. Meskipun juara, orangtua tidak pernah memberikan hadiah mewah, cukup mengajak saya dan kakak saya makan mie ayam di warung biasa," ujar Angga dengan mata berkaca-kaca, saat mengenang masa kecilnya.
Tak hanya itu, semenjak kecil sudah terbiasa hidup serba kekurangan. Selain berasal dari keluarga miskin yang terbelit utang, kedua orangtuanya juga hanya bekerja sebagai buruh tani, yang hanya cukup untuk makan seadanya.
Ketidakmampuan kedua orang tuanya tak membuat Eng patah semangat. Semenjak SMP, Eng sudah harus bekerja untuk membantu uang sekolah. Bahkan semasa SMA hingga kuliah, kedua orangtuanya sama sekali tak bisa membiayai pendidikannya. Namun dengan kesederhanaan itu ternyata mampu memacu semangatnya untuk meraih pendidikan tinggi. IPK yang dicapainya selama kuliah di Jurusan Biologi selalu 4, hanya satu semester saja dia mendapatkan IPK 3,86.
"Saya juga pernah mewakili UNS ke Jerman untuk program World Student Environment Summit 2013 lalu. Sekarang ini saya masih menunggu pengumuman untuk bisa melanjutkan kuliah S2 di Leiden University, Belanda melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Afirmasi. Insya Allah dua tahun selesai atau mudah-mudahan lebih cepat selesai kayak di UNS, harusnya kan 4 tahun tapi 3,5 tahun selesai," katanya.
Usaha jus organik dan mengajar les untuk biaya kuliah
Kondisi serba kekurangan tak lantas membuat gadis yang bercita-cita menjadi pengajar ini berhenti mengenyam pendidikan. Untuk bisa kuliah di UNS, gadis yang pintar mengaji tersebut harus bekerja keras. Meskipun telah mendapatkan beasiswa bidik misi, tetapi untuk hidup di Kota Solo dirinya harus mau bekerja dengan menjadi guru les dan bahkan membuat usaha jus organik.
"Sejak duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga lulus kuliah, says tidak pernah meminta uang dari orangtua. Kalaupun diberi saku, pasti saya tabungkan," paparnya.
Selain harus bekerja, Eng juga sangat aktif di beberapa kegiatan dan organisasi. Saat ini, Eng juga aktif mengajar di karang taruna dan Al Qur'an di desanya secara suka rela. Eng meyakini, jika ingin berhasil, dirinya harus mau bekerja keras, serta tidak terlalu banyak tidur.
"Saya tidur hanya tiga jam sehari, bahkan pernah selama tiga hari tiga malam tidak bisa tidur karena harus menyelesaikan pekerjaan dan tugas," jelasnya.
Berkat kerja keras dan pengorbanan yang dilakukannya selama ini, terbukti telah membuahkan hasil. Dukungan doa dari orangtua dan kampus diakuinya sangat berperan besar dalam meraih cita-citanya. Selain mendapatkan beasiswa bidik misi, dari program kewirausahaan Eng mengaku juga mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha jus organiknya.
"Banyak bantuan dari kampus, UNS juga mensponsori saya untuk terbang ke Jerman," ucapnya bangga.
Selain orangtua dan kampus, dukungan dari teman-temannya kuliahnya juga sangat besar. Untuk urusan merawat giginya yang menggunakan kawat gigi atau behel itu pun, dia mengaku mendapatkan semuanya secara gratis dari seorang dokter gigi yang juga sahabatnya di kampus.
Mengenai cita-citanya, Eng mengaku ingin menjadi seorang pengajar atau dosen. Menurutnya menjadi pengajar itu mempunyai kepuasan dan kebanggaan tersendiri.
"Dari kecil saya suka mengajar, baik di TPA, PMR maupun les. Sebab kalau misalnya saya sendiri tidak berprestasi, tapi orang-orang yang saya bagi ilmu berprestasi, atau menjadi juara kelas, tentu itu akan menjadi kebanggaan saya," pungkasnya.
Sumber
Meskipun berasal dari keluarga buruh tani yang bergelut dengan kemiskinan, Angga Dwituti Lestari, anak kedua pasangan Supriyanto dan Sugiyarto, warga desa Cibuk Lor I, Margoluwih, Sayegan, Sleman, Yogyakarta ini bisa menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, dengan mencetak Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,98.
Angga, gadis kelahiran Sleman 21 Februari 1992 tersebut mampu membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukan penghalang untuk berprestasi. Gadis yang akrab disapa Eng tersebut, memang sejak kecil selalu berprestasi. Berbagai lomba seperti cerdas cermat, lomba pidato Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, membaca Al Qur'an, pernah diikutinya dan beberapa kali mencetak juara.
"Memang sejak kecil saya berlatih memacu diri saya untuk berprestasi. Meskipun juara, orangtua tidak pernah memberikan hadiah mewah, cukup mengajak saya dan kakak saya makan mie ayam di warung biasa," ujar Angga dengan mata berkaca-kaca, saat mengenang masa kecilnya.
Tak hanya itu, semenjak kecil sudah terbiasa hidup serba kekurangan. Selain berasal dari keluarga miskin yang terbelit utang, kedua orangtuanya juga hanya bekerja sebagai buruh tani, yang hanya cukup untuk makan seadanya.
Ketidakmampuan kedua orang tuanya tak membuat Eng patah semangat. Semenjak SMP, Eng sudah harus bekerja untuk membantu uang sekolah. Bahkan semasa SMA hingga kuliah, kedua orangtuanya sama sekali tak bisa membiayai pendidikannya. Namun dengan kesederhanaan itu ternyata mampu memacu semangatnya untuk meraih pendidikan tinggi. IPK yang dicapainya selama kuliah di Jurusan Biologi selalu 4, hanya satu semester saja dia mendapatkan IPK 3,86.
"Saya juga pernah mewakili UNS ke Jerman untuk program World Student Environment Summit 2013 lalu. Sekarang ini saya masih menunggu pengumuman untuk bisa melanjutkan kuliah S2 di Leiden University, Belanda melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Afirmasi. Insya Allah dua tahun selesai atau mudah-mudahan lebih cepat selesai kayak di UNS, harusnya kan 4 tahun tapi 3,5 tahun selesai," katanya.
Usaha jus organik dan mengajar les untuk biaya kuliah
Kondisi serba kekurangan tak lantas membuat gadis yang bercita-cita menjadi pengajar ini berhenti mengenyam pendidikan. Untuk bisa kuliah di UNS, gadis yang pintar mengaji tersebut harus bekerja keras. Meskipun telah mendapatkan beasiswa bidik misi, tetapi untuk hidup di Kota Solo dirinya harus mau bekerja dengan menjadi guru les dan bahkan membuat usaha jus organik.
"Sejak duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga lulus kuliah, says tidak pernah meminta uang dari orangtua. Kalaupun diberi saku, pasti saya tabungkan," paparnya.
Selain harus bekerja, Eng juga sangat aktif di beberapa kegiatan dan organisasi. Saat ini, Eng juga aktif mengajar di karang taruna dan Al Qur'an di desanya secara suka rela. Eng meyakini, jika ingin berhasil, dirinya harus mau bekerja keras, serta tidak terlalu banyak tidur.
"Saya tidur hanya tiga jam sehari, bahkan pernah selama tiga hari tiga malam tidak bisa tidur karena harus menyelesaikan pekerjaan dan tugas," jelasnya.
Berkat kerja keras dan pengorbanan yang dilakukannya selama ini, terbukti telah membuahkan hasil. Dukungan doa dari orangtua dan kampus diakuinya sangat berperan besar dalam meraih cita-citanya. Selain mendapatkan beasiswa bidik misi, dari program kewirausahaan Eng mengaku juga mendapatkan modal untuk mengembangkan usaha jus organiknya.
"Banyak bantuan dari kampus, UNS juga mensponsori saya untuk terbang ke Jerman," ucapnya bangga.
Selain orangtua dan kampus, dukungan dari teman-temannya kuliahnya juga sangat besar. Untuk urusan merawat giginya yang menggunakan kawat gigi atau behel itu pun, dia mengaku mendapatkan semuanya secara gratis dari seorang dokter gigi yang juga sahabatnya di kampus.
Mengenai cita-citanya, Eng mengaku ingin menjadi seorang pengajar atau dosen. Menurutnya menjadi pengajar itu mempunyai kepuasan dan kebanggaan tersendiri.
"Dari kecil saya suka mengajar, baik di TPA, PMR maupun les. Sebab kalau misalnya saya sendiri tidak berprestasi, tapi orang-orang yang saya bagi ilmu berprestasi, atau menjadi juara kelas, tentu itu akan menjadi kebanggaan saya," pungkasnya.
Sumber
Quote:
Quote:
5. Keterbatasan Fisik Tidak Menghalangi Usep jadi Mahasiswa Berprestasi
Spoiler for Ilustrasi:
Quote:
Perjuangan adalah awal dari kemenangan. Pepatah itu patut disematkan kepada Usep Rohmat. Dia adalah mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) jurusan kesejahteraan sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Dengan segala keterbatasan fisik mahasiswa semester VI ini sudah menggapai separuh mimpinya. Dia memang tak ingin meneruskan rantai kemiskinan di keluarganya yang secara temurun hanya menjadi buruh tani.
Usep yang terlahir tanpa dua tangan sempurna serta hanya miliki satu kaki kini mampu mendapatkan pendidikan tinggi di kampus yang dicita-citakannya. Dengan segala kekurangannya dia mampu meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5.
Usep lulus di SMA 1 Ciwidey pada 2011. "Pas beres SMA saya sempat bingung mau ke mana arah hidup saya. Saya tidak mau keluarga nantinya terus bertani," kisah Usep membuka pembicaraan.
Dalam hati, anak ke empat dari lima bersaudara ini merasa iri melihat temannya ramai-ramai menentukan pilihan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan modal Rp 200 ribu yang diberi orang tuanya sebagai kado kelulusan, Usep memberanikan diri membeli formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Usep merasa yakin bisa melewati ujian tertulis ini meski kondisi fisiknya tidak sempurna.
"Dulu saya pilihan satu ambil jurusan Ilmu Politik UI, lalu ke dua Ekonomi Syariah IPB dan ketiga Fisip Unpad," imbuh pria kelahiran 30 Desember 1993 ini.
Tak dinyana, atas restu Ilahi, pria yang mengagumi sosok Soekarno ini diterima di Fisip Unpad. Usep bahagia bukan kepalang. Kedua orang tua, Salman dan Kaesih hanya menangis terharu.
Kabar baik itu membuat keluarganya bimbang karena jalur SNMPTN tidak membebaskannya dari uang kuliah.
Lagi-lagi langkah Usep diuji. Usep memohon bantuan ke kampus Unpad untuk membebaskan biaya kuliah. "Saya meminta bantuan, akhirnya Unpad ngasih bantuan selama satu semester," tutur Usep.
Untuk membuktikan diri, dia akhirnya belajar dengan lebih giat lagi. karena kegigihan dan tekad Usep membuat Unpad mendaftarkannya di program beasiswa Bidikmisi.
Akhirnya penyuka sepak bola Jerman ini pun masuk di jajaran eksklusif mahasiswa berprestasi yang tidak mampu yang menerima bantuan biaya kuliah dan biaya hidup dari pemerintah. "Sekarang pendidikan, tempat tinggal dan biaya hidup saya ditanggung," terangnya sembari memperlihatkan kondisi asrama II yang berada di lantai I.
Dia sedikit berpesan kepada mereka yang memiliki ketebatasan dalam tubuhnya, "Bahwa kekurangan bukanlah alasan. Di mana pun kita terlahir, apapun yang ada dalam kondisi kita, berusahalah."
"Kita harus punya keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dalam diri kita ini bisa dioptimalkan. Kalau orang lain bisa sukses kenapa kita tidak. Kita harus buktikan dengan hal yang lebih,"ucapnya lugas.
Sumber
Dengan segala keterbatasan fisik mahasiswa semester VI ini sudah menggapai separuh mimpinya. Dia memang tak ingin meneruskan rantai kemiskinan di keluarganya yang secara temurun hanya menjadi buruh tani.
Usep yang terlahir tanpa dua tangan sempurna serta hanya miliki satu kaki kini mampu mendapatkan pendidikan tinggi di kampus yang dicita-citakannya. Dengan segala kekurangannya dia mampu meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,5.
Usep lulus di SMA 1 Ciwidey pada 2011. "Pas beres SMA saya sempat bingung mau ke mana arah hidup saya. Saya tidak mau keluarga nantinya terus bertani," kisah Usep membuka pembicaraan.
Dalam hati, anak ke empat dari lima bersaudara ini merasa iri melihat temannya ramai-ramai menentukan pilihan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan modal Rp 200 ribu yang diberi orang tuanya sebagai kado kelulusan, Usep memberanikan diri membeli formulir seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Usep merasa yakin bisa melewati ujian tertulis ini meski kondisi fisiknya tidak sempurna.
"Dulu saya pilihan satu ambil jurusan Ilmu Politik UI, lalu ke dua Ekonomi Syariah IPB dan ketiga Fisip Unpad," imbuh pria kelahiran 30 Desember 1993 ini.
Tak dinyana, atas restu Ilahi, pria yang mengagumi sosok Soekarno ini diterima di Fisip Unpad. Usep bahagia bukan kepalang. Kedua orang tua, Salman dan Kaesih hanya menangis terharu.
Kabar baik itu membuat keluarganya bimbang karena jalur SNMPTN tidak membebaskannya dari uang kuliah.
Lagi-lagi langkah Usep diuji. Usep memohon bantuan ke kampus Unpad untuk membebaskan biaya kuliah. "Saya meminta bantuan, akhirnya Unpad ngasih bantuan selama satu semester," tutur Usep.
Untuk membuktikan diri, dia akhirnya belajar dengan lebih giat lagi. karena kegigihan dan tekad Usep membuat Unpad mendaftarkannya di program beasiswa Bidikmisi.
Akhirnya penyuka sepak bola Jerman ini pun masuk di jajaran eksklusif mahasiswa berprestasi yang tidak mampu yang menerima bantuan biaya kuliah dan biaya hidup dari pemerintah. "Sekarang pendidikan, tempat tinggal dan biaya hidup saya ditanggung," terangnya sembari memperlihatkan kondisi asrama II yang berada di lantai I.
Dia sedikit berpesan kepada mereka yang memiliki ketebatasan dalam tubuhnya, "Bahwa kekurangan bukanlah alasan. Di mana pun kita terlahir, apapun yang ada dalam kondisi kita, berusahalah."
"Kita harus punya keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada dalam diri kita ini bisa dioptimalkan. Kalau orang lain bisa sukses kenapa kita tidak. Kita harus buktikan dengan hal yang lebih,"ucapnya lugas.
Sumber
Diubah oleh kingkin28 15-07-2014 08:22
0
7K
Kutip
57
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.2KThread•83.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru