Belum lama ini ane nemu berita mengenai direksi PLN yang dipanggil sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor Medan dalam kasus LTE PLTGU Belawan. Dalam kasus ini sejumlah tenaga ahli PLN ditahan pihak kejaksaan..
Tapi ada yang cukup unik sih. Nih beritanya gan :
Quote:
Direksi PLN Dukung Penuh Tenaga Ahli Terdakwa Perkara LTE Medan
Jajaran Direksi PT PLN (Persero) memberikan dukungan penuh kepada sejumlah tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka perkara pekerjaan peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2).
Dukungan dan komitmen tersebut ditunjukan dengan kehadiran jajaran direksi sebagai saksi dalam lanjutan persidangan perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Senin (7/7).
“Kami datang mengikuti persidangan untuk memberikan dukungan moral penuh kepada para tenaga ahli kami yang disidang saat ini. Kami yakin mereka telah melakukan tugasnya dengan sangat baik,” tutur Direktur Utama PLN Nur Pamudji, usai persidangan, Senin (7/7/2014) melalui rilis yang dikirim ke Tribunnews.
Dalam perkara LTE ini, para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah eks General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali.
Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.
Nur Pamudji yakin proses tender untuk proyek LTE PLTGU Belawan telah sesuai dengan prosedur dan tata kelola usaha yang baik. Keputusan PLN melakukan pemilihan langsung untuk mengerjakan proyek LTE secara teknik dan prosedur sudah tepat, sesuai dengan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dengan standar terbaik.
“Bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Sebab jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara,” papar Nur Pamudji.
PLN tetap menghormati dan menjunjung tinggi proses peradilan yang fair dan adil dalam perkara ini.
Hal ini sejalan dengan komitmen PLN untuk menjalankan tranformasi bisnis yang transparan, akuntable serta menjunjung tinggi Good Coorporate Governance (GCG) yang kini tengah dibangun di internal PLN.
PLN berkeyakinan telah menjalankan semua prosedur aturan dalam perkara ini, termasuk melakukan pemilihan langsung dengan Mapna Co sebagai pemenang.
Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya penunjukan langsung kepada PT Siemens, sebagai pembangun pembangkit awal, juga mengalami kegagalan karena tingginya anggaran yang diminta.
Siemens sendiri menetapkan budget sebesar Rp 830 Miliar sedangkan pagu anggaran PLN sendiri hanya sebesar 645 Miliar.
Selain itu, pemilihan Mapna disebabkan Siemens tidak memenuhi dan tidak menyertakan persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).
Sementara Mapna memberikan garansi dan memiliki spesifikasi peralatan dan produk yang sama dengan Siemens.
Untuk diketahui, peserta pemilihan langsung dalam proyek ini adalah Siemens, Mapna, dan Ansaldo Energia. Nama terakhir belakangan menyatakan mundur.
Ketua Tim Kuasa Hukum PLN, Todung Mulya Lubis kembali menekankan tidak adanya kerugian negara dalam proyek ini. Todung mengatakan, kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa mencapai Rp 2,3 triliun tersebut, kemungkinan disimpulkan jaksa dari pembayaran yang telah dilakukan kepada Mapna Co sebesar Rp 300 miliar lebih, ditambah potensi pendapatan sebesar Rp2 triliun dari pengoperasian pembangkit tersebut.
Menurut Todung, dalam pekerjaan LTE, PLN justru berhasil melakukan penghematan. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar , sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar .
“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 431 miliar, justru PLN berhasil melakukan saving sebesar Rp 214 miliar (RAB Rp 645 miliar dibandingkan nilai kontrak Rp 431 miliar), sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti.” kata Todung.
Ihwal dakwaan jaksa bahwa daya mampu mesin hanya sebesar 123 MW tidak sesuai dengan daya mampu minimal yaitu 132MW, Todung menegaskan bahwa hal tersebut tidak tepat.
“Dakwaan tersebut tidak benar karena beban 123 MW yang diperoleh oleh penyidik Kejaksaan bukan berasal dari hasil pengujian, tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW (siang hari). Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak,” kata Todung.
Sumber :
http://www.tribunnews.com/regional/2...kara-lte-medan
Aneh kan, masa dirut PLN yang datang, Nur Pamudji, kan pernah dapat penghargaan Bung Hatta anti corruption-award 2013, namun knp beliau dukung penuh tenaga ahli tersebut padahal sedang dalam status terdakwa kasus korupsi. Memang sih artikel tersebut menjelaskan adanya kesalahpahaman dari kejaksaan. Namun setelah ane nemu sebuah tulisan di kompasiana semakin menguatkan pemikiran ane kalau memang ada yang aneh. Bukan direksi PLNnya, tapi kejaksaannya.
Nih artikel yang bikin ane jadi melek kalau yang jadi "korban" malah pihak PLN dan masyarakat Sumatera Utara.
Quote:
Kesalahpahaman Hukum di Kasus PLN
Kasus LTE PLTGU Belawan saat ini menjadi sangat berbelit-belit. Menurut pandangan saya, tidak seharusnya kejaksaan menuduh PLN melanggar hukum. Disamping PLN yang berusaha agar pasokan listrik di Sumatera Utara tetap optimal namun malah menjadi kesalahpahaman. Kasus ini malah terdapat beberapa kejanggalan.
Berikut akan saya jabarkan kronologis kesalahpahaman yang berlarut-larut ini.
Pelelangan pekerjaan peremajaan LTE PLTGU Belawan telah dimulai 2009. Namun pelelangan gagal hingga di tahun 2011 dilakukan penunjukan langsung kepada Siemens. Langkah ini pun tak berhasil karena tak ada titik temu akibat Siemens menawar harga sebesar Rp 830 miliar, jauh dari pagu anggaran PLN sebesar Rp 645 miliar.
Dalam proses pemilihan langsung, awalnya ada tiga kontestan, yakni Siemens, Mapna Co, dan Ansaldo Energia. Dari ketiga perusahaan tender tersebut Mapna dinyatakan sebagai pemenang setelah Ansaldo mundur, dan Siemens dinyatakan gugur karena tidak memenuhi persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).
Pemilihan langsung pemegang tender ini seharusnya diapresiasi sebagai tindakan tegas dan profesional dari PLN. Pasalnya bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Ini disebabkan jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara.
Bahkan PLN menyatakan Pemilihan Mapna sebagai operator pengerjaan peremajaan LTE juga telah mengikuti struktur yang benar. Semua persyaratan dan kualifikasi dimiliki PT Mapna. Pemilihan ini sangat sesuai bagi seluruh stakeholders, sesuai aturan, serta mepertimbangkan tujuan efisiensi, efektivitas, transparansi anggaran terhadap kenyataan di lapangan.
Berdasarkan penjabaran tersebut sangat aneh apabila kejaksaan menilai cara PLN ini justru melanggar hukum. Pemilihan langsung ini lebih efisien dan efektif, terutama bagi masyarakat Sumatera Utara agar pasokan listrik tetap terjaga. Ini justru upaya yang perlu di apresiasi. Ketegasan dan pengambilan keputusan yang tepat ini membuat listrik di Medan lebih optimal.
Dakwaan kejaksaan lainnya yaitu PLN merugikan keuangan negara. Ini juga sangat mengherankan dikarenakan PLN justru berhasil berhemat Rp 214 miliar, karena realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar.
Selain itu, dalam proyek ini menggunakan Anggaran PLN, bukan dari APBN. Karena itu, seandainyapun ada kerugian, bukanlah merupakan kerugian negara melainkan kerugian dari PLN.
Sudah saatnya kejaksaan mempertimbangkan kasus ini kembali dan segera melepaskan tahanan tenaga ahli dalam proyek ini. Penahanan tenaga ahli justru membuat optimalisasi PLTGU Belawan menjadi terbengkalai. Padahal penahanan ini hanya beralasan agar pengusutan kejaksaan tidak repot apabila ada persidangan, serta menjadi penjamin dari pihak PLN dan Mapna. Alasan penahanan ini terkesan kejaksaan “tidak mau ribet”, namun malah masyarakat Sumatera Utara yang dikorbankan.
Sumber :
http://hukum.kompasiana.com/2014/07/...ln-672272.html
Pantesan direksi setingkat Nur Pamudji mendukung penuh para terdakwa gan. Memang aneh gan, kasian masyarakat Sumatera Utara mesti menanggung krisis listrik berkepanjangan cuma gara-gara kejaksaan maksain kasus ini.
Semoga setelah pemilihan presiden baru nanti keadilan benar-benar mutlak untuk semua kalangan, terutama masyarakat kebanyakan.