- Beranda
- Pilih Capres & Caleg
Peringatan Penting untuk Timses Jokowi - JK
...
TS
wahanalajel
Peringatan Penting untuk Timses Jokowi - JK
Timses Jokowi - JK jangan takabur hanya karena di sosial media seolah-olah didominasi oleh para pendukung kalian.
Karena hasil pilpres ditentukan dari banyaknya yg mencoblos surat suara, bukan banyaknya mention di sosial media, gan...
Ini juga ada tambahan info baru lagi gan, tentang kondisi gimana rakyat di tingkat kelurahan ke bawah dipersulit kalo mau mendukung/ngaku milih nomer 2
DALAM iklim politik di mana apatisme massa dirawat dan dijadikan penanda kewajaran, Pilpres 2014 adalah memang suatu pengecualian. Siapa yang bisa bilang, tanpa sekelebat keraguan pun, bahwa pemilu kali ini sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya? Dalam tradisi gerakan sosial, pengecualian itu sungguh terasa. Apabila golput dan sikap serba-menolak selama ini menjadi semacam setingan default gerakan sosial berhadapan dengan momentum Pilpres, tidak demikian halnya hari-hari ini. Saya sendiri merasakan perubahan itu. Ketika saya pertama kali turun aksi bersama kawan-kawan LMND Semarang, waktu itu Pilpres 2004 dan SBY sedang akan naik ke tampuk kekuasaan, tuntutan yang mengemuka adalah ‘tolak militerisme’. Sikap serba-menolak semacam ini sangat tipikal dan terus berulang sampai pemilu selanjutnya. Namun sepuluh tahun kemudian, keadaan berubah drastis. Gerakan sosial membanjiri medan politik elektoral dalam skala yang tanpa preseden. Pertentangan antar organisasi gerakan mengalami penerjemahan ke dalam perbedaan visi-misi kedua pasangan capres-cawapres.
Apa yang mencuat dari panorama politik hari ini adalah peran sentral relawan. Dalam politik massa mengambang, tidak dikenal tradisi relawan, yang dikenal adalah tim sukses (baik pra-bayar atau pasca-bayar, tetapi tak pernah tak berbayar). Pilpres 2014 memperkenalkan subjek politik baru dalam politik Indonesia, yakni relawan, yang diwujudkan secara masif dengan skala yang kolosal, jauh melebihi apa yang telah diuji-cobakan selama Pilgub DKI 2012. Politik relawan adalah ungkapan dari apa yang disebut Jokowi sebagai ‘kegembiraan politik’ yang merupakan antitesis dari politik massa mengambang atau politik yang bertumpu pada apatisme massa.
Menurut pendataan yang dilakukan Anom Astika, sampai saat ini sudah ada sekitar 2000 kelompok relawan Jokowi-JK yang mendeklarasikan diri di seluruh Indonesia. Konkritnya, itulah yang terjadi antara lain dalam politik para tukang bakso dalam deklarasi relawan Jokowi-JK di Depok. Puluhan tukang bakso patungan, masing-masing mengupayakan 2 kilogram daging sapi, untuk kemudian bebareng memasaknya menjadi konsumsi acara deklarasi relawan Paguyuban Tukang Ojek, Becak dan Pedagang Bakso Cilodong, Depok.
Buat para aktivis gerakan yang selama ini memperjuangkan agar rakyat memiliki kesadaran politik dan terbebas dari belenggu ideologi massa mengambang, pemandangan semacam ini lumayan mengharukan. Pilpres 2014 membuat rakyat jadi politis tanpa perlu diagitasi. Gerak swa-daya rakyat inilah yang menjadi inti semangat relawan sebagai subjek politik.
jokowi
Namun subjek politik baru ini bukannya tanpa lawan. Hiruk-pikuk aktivitas relawan Jokowi-JK memang telah menerbitkan kesan yang amat kuat bahwa Jokowi-JK pasti menang. Membaca media sosial makin memperhebat kesan tersebut. Akan tetapi kenyataannya lain bila kita mengikuti informasi lapangan dari masyarakat. Dari gerak relawan di berbagai tempat, kita mendapat informasi bahwa kubu Prabowo-Hatta memobilisasi perangkat pemerintah lokal untuk menghadang laju relawan. Sebagian kecil dari informasi itu adalah sebagai berikut:
Atribut-atribut kampanye Prabowo didatangkan di kantor-kantor kelurahan dan didistribusikan dari sana.
Acara-acara relawan Jokowi-JK di level lokal dilarang oleh kepala-kepala dinas pemerintah setempat karena alasan-alasan ketertiban.
Pendataan pemilih atau ‘sensus politik’ oleh tim relawan Jokowi-JK dipotong di bawah. Bahkan di berbagai kabupaten di Jawa Barat, warga yang pro-Jokowi pun ketakutan didatangi relawan karena sudah diperingatkan Pak RT sebelumnya. Ada yang diancam akan dicabut izin usahanya bagi warga pro-Jokowi yang membuka bisnis kerajinan rumahan. Ada yang diancam akan dipersulit dalam urusan-urusan administrasi di tingkat RW sampai kelurahan.
PNS-PNS diancam akan dimutasi kalau tidak memilih Prahara.
Konsolidasi Prahara dengan mengundang posyandu-posyandu melalui jalur pemerintah setempat.
Di Pemalang, kertas suara ditemukan sudah tercoblos nomor 1.
Tim sukses Prahara membagi-bagi nasi kotak berisi uang Rp. 50.000 yang terlipat rapi.
Mobilisasi bintara pembina desa (babinsa) untuk mengarahkan dukungan warga ke Prahara dengan dalih mendata pemilih
Di kabupaten Bantul, Yogyakarta, tim sukses Prahara menjanjikan Rp. 250.000 per suara dan masing-masing korlapdes sudah mendapat Honda Vario.
Kabar-kabar semacam ini tentunya masih perlu diverifikasi lagi. Namun santernya informasi sejenis mengindikasikan respon kaum reactie di aparatur pemerintahan lokal terhadap gelombang relawan Jokowi-JK.
Pemandangan yang tak kalah mirisnya juga kita temui di front intelektual. Buat saya yang belajar filsafat, situasinya sungguh menyedihkan. Bagaimana mungkin orang yang beberapa waktu lalu membaca dan menggemari filsafat posmo, sekarang bisa mempropagandakan ketegasan Prabowo? Adakah yang lebih jauh ketimbang Derrida dan ‘ketegasan’? Bagaimana mungkin orang yang tekun mengikuti perkembangan Marxisme Prancis kontemporer bisa mendukung Prabowo dan MP3EI-nya? Bagaimana bisa orang yang rajin membaca tentang Adorno dan tentang betapa sulitnya menulis puisi sesudah Auschwitz, bisa dengan lugu berkata bahwa bahaya fasisme itu sama sekali tidak ada? Bagaimana bisa orang yang menghabiskan sebagian hidupnya mempelajari sejarah gerakan Kiri internasional, bisa mengulang blunder yang sama dari Partai Komunis Jerman (KPD) di era Republik Weimar? Di tahun 1930-an, KPD menolak ajakan front persatuan dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD) karena menganggap SPD tidak sungguh murni dalam menegakkan ‘syariat Marxis’. Akibatnya, KPD malah bersama-sama dengan Nazi terus menyerang SPD yang menyebabkan hancurnya SPD dan KPD sekaligus naiknya Hitler. Bagaimana mungkin orang belajar sejarah pemikiran dan filsafat tetapi berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang membuat pemikiran tak ada lagi?
Seminggu sebelum hari-H, inilah yang menjadi panorama politik kita: politik relawan berhadapan dengan politik represi, gerakan rakyat berlawanan dengan mesin birokrasi negara. Untuk menghadapi kaum intelektual dan aktivis media sosial pro-Prahara, jalannya mudah: tulis artikel atau bikin meme. Namun perkaranya tidak semudah itu ketika kita menoleh ke lapangan. Artikel kalah diadu dengan Pak RT. Meme membisu di hadapan Pak Lurah. Kita tak hanya mesti menggerakkan opini tetapi juga mengawal suara. Dan di situ kita berhadapan kembali dengan Orde Baru.
Apabila sebagian kawan menyebut bahwa situasi belakangan ini, khususnya di level kelurahan ke bawah, makin menyerupai situasi Orde Baru, anggapan itu tidak berlebihan. 1998 adalah tahun harapan dan 2014 adalah tahun penentuan, kata Hilmar Farid. Ya, Pilpres 2014 adalah penentuan apakah kita akan kembali ke Orde Baru atau melangkah ke zaman baru. 9 Juli nanti pilihannya tersedia amat gamblang: pilih Jokowi atau Soeharto.***
Sumber: http://indoprogress.com/2014/07/semi...ebelum-hari-h/
Semoga kita semua selalu diliputi kebaikan
Karena hasil pilpres ditentukan dari banyaknya yg mencoblos surat suara, bukan banyaknya mention di sosial media, gan...
Spoiler for Timses Jokowi - JK Jangan Takabur!!!:
Bagi kawan-kawan pecinta game Football Manager, biasanya tak asing dengan istilah complacency yang biasanya dialami saat kita memegang tim besar yang hebat, dan jangankan kalah, seri aja jarang.
Mungkin buat kawan-kawan yang sudah “level dewa”, masalah seperti ini bisa diselesaikan dengan mudah, atau sama sekali tidak dipedulikan karena dengan sedikit mengutak-atik taktik dan strategi saat bertanding di lapangan, tim lawan dapat teratasi.
Tapi buat orang awam sekaligus pemain pemula seperti saya, hal itu merupakan masalah yang mungkin bisa dikatakan lebih rumit ketimbang seorang pemain atau staff yang “Unh”.
Pemain atau staf yang “Unh” masih bisa dicari sebab musababnya untuk kemudian diberikan treatment yang sesuai agar yang bersangkutan tidak “Unh” lagi. Tapi kalau misalnya penyebab “Unh”-nya cukup berat, misalnya punya personal problem dengan manager alias kita yang memainkan game itu, maka salah satu cara ampuh adalah dengan menjual pemain yang bersangkutan ke tim lain.
Sementara, kalau complacency, yang kalau saya terjemahkan adalah “berpuas diri”, merupakan “penyakit” yang muncul saat tim kita selalu menang dalam berkali-kali pertandingan sebelumnya. Kemudian ini biasanya akan semakin parah saat tim kita berhadapan dengan tim-tim papan bawah.
Sebab, jika sudah seperti ini, para pemain tim kita akan bermain seolah tanpa semangat bertanding, menganggap remeh lawan, dan merasa pasti akan memenangkan pertandingan bahkan sebelum pertandingan itu dimulai.
Eh ndilalah-nya, tim kita kebobolan. Kemasukan gol. Para pemain tim kita (dan tentu saja kita sebagai manajer) mendadak bingung karena harusnya permainan ini dengan mudah dimenangkan. Heran karena, tim yang dihadapi adalah tim papan bawah yang poinnya di klasemen terpaut jauh dengan kita yang di papan atas. Tak habis pikir karena secara teknis tim kita lebih superior dibanding tim lawan, tapi hingga peluit akhir berbunyi, gol untuk tim kita tak juga terwujud.
Dan semuanya itu berawal dari satu hal, Complacency atau Berpuas Diri, yang sayangnya tak bisa diobati dan diperbaiki dengan berbagai macam latihan dan kegiatan fisik, juga tidak bisa dihilangkan dengan sorak sorai semangat dari penonton. Karena complacency adalah masalah mental yang tak bisa dibenahi satu dua hari, atau sampai kita terbentur dengan kenyataan bahwa kita tak sehebat yang kita bayangkan dan yang digambarkan orang/media massa.
***
Complacency alias berpuas diri saya khawatirkan juga sedang menjangkiti kubu capres sebelah, dan nampaknya efeknya sudah mulai terasa.
Dengan latar belakang setidaknya lebih “terang” dengan track record yang jelas sejak menjadi pejabat sebuah kota di Jawa Tengah, capres sebelah nampak lebih love-able ketimbang capres lawan yang masih diliputi pertanyaan seputar peristiwa tahun 1998 dan penghilangan beberapa orang.
Lalu masih ditambah lagi dengan organisasi-organiasi yang berada di belakang capres sebelah, relatif tak memiliki kekurangan yang terkuak lebar seperti capres lawannya.
Bahkan seorang tokoh intelektual Indonesia di depan publik dengan jelas mengatakan bahwa: “Saya tidak memiliki beban moral saat memilih capres sebelah.”
Kemudian itu semua makin diperkuat dengan gegap gempitanya dukungan dari berbagai pihak baik artis, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya yang bisa dilihat di media-media sosial serta media konvensional.
Belum lagi keramaian-keramaian aksi dukungan bagi capres sebelah yang diselenggarakan di kota-kota besar Indonesia, bahkan di beberapa kota-kota besar luar negeri, seolah selalu dipadati orang.
Kombinasi semua itu nampaknya makin memantapkan posisi capres sebelah dalam pemilu yang tinggal dalam hitungan hari lagi.
Tapi benarkah demikian?
Ternyata eh ternyata, apa yang terjadi di lapangan seolah belum membuktikan bahwa capres sebelah akan menang mudah di pemilihan presiden yang akan datang.
Di beberapa hasil survey, elektabilitas capres sebelah nampak kian menurun, sementara capres lawannya makin meningkat. Sehingga selisih mereka berdua makin menipis.
OK, mungkin kemudian ada yang protes dan tidak percaya validitas survey-survey tersebut. Terserah. Tapi kalau saya jadi timses capres sebelah, ini akan saya anggap sebagai masalah yang harus segera diatasi. Ini PILPRES, kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk, bukan terbuai oleh dukungan-dukungan yang terus mengalir.
Mungkin juga kalian mengajukan fakta bawah di Monas kemarin, pendukung yang datang banyak, sementara di sosial media juga percakapan yang tentang capres kalian lebih mendominasi ketimbang capres lawan, tentu saja dengan mengabaikan akun-akun bot yang wagu itu.
Iya benar, tapi cukupkah itu untuk memenangkan capres kalian? Cukupkah itu untuk meyakinkan para swing voters agar akhirnya menjatuhkan pilihan mereka ke capres kalian?
***
Saya yakin kalian tahu bahwa rakyat Indonesia yang aktif di sosial media tidak sampai 50 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih. Itu saja masih dikurangi dengan pemilik akun media sosial lain yang mendukung capres lawan. Jadi kedigdayaan kalian di sosial media belum memberikan jaminan cukup calon kalian akan memenangkan pilpres yang akan datang.
Karena lebih banyak calon pemilih yang tak terjangkau oleh pesan-pesan yang kalian sebarkan melalui blog, twitter, Facebook, dan youtube.
Kalaupun mereka mendapat pesan-pesan yang kalian buat, namun banyak dari mereka yang belum dapat mencerna maksud pesan itu dengan baik. Istilah para calon pemilih itu: “Enggak ngerti, karena bahasanya ketinggian..”
Iya, mereka orang-orang yang, nuwunsewu, secara pendidikan tidak setinggi kalian. Kalian tidak bisa dengan mudah menyuruh mereka “Googling” untuk mencari track record para capres, lalu memilih dan memilah mana data yang benar dan mana yang salah. Itu tidak mudah bagi mereka.
Makanya jangan heran jika mereka dapat dengan mudah percaya dan hingga kini masih ada yang percaya bahwa capres kalian nama depannya “Heribertus” dan keturunan Tionghoa.
Kalian juga harus memikirkan bagaimana pesan yang tepat dan dapat dipahami mereka yang masih percaya bahwa untuk menjadi pemimpin itu, harus dilihat kejantanan, ketampanan, dan kegagahannya.
Tidak ketinggalan pula, kalian harus menjelaskan pada orang-orang itu bahwa calon presiden kalian tak ada sangkut pautnya dengan komunis.
Dan mungkin dari sisi kalian ini menggelikan tapi benar-benar terjadi di masyarakat, banyak yang masih percaya bahwa foto capres kalian di hadapan banyak orang di monas itu adalah hasil rekayasa, walaupun mereka sudah diberi link videonya di youtube.
Karena kawan ketahuilah, isu-isu itu disampaikan secara langsung pada mereka secara lisan, BBM, WA, selebaran-selebaran, dan nampaknya juga tabloid, tanpa harus menyuruh mereka untuk “coba googling deh” atau “coba browsing aja..”
Memang benar, kalian bisa kemudian berteriak kalau itu black campaign, tapi selain kalian dan para pendukung capres kalian, siapa lagi yang perduli?
Sekarang yang harus dilakukan adalah membanjiri informasi dengan cara yang benar dan bahasa yang sesuai dengan masyarakat yang menjadi sasaran kalian.
Karena memang metode menyampaikan informasi untuk tiap lapisan masyarakat tidak bisa disamakan.
Sementara itu, kalian di sisi lain sejauh ini yang terlihat melawan isu-isu seperti itu hanya lewat sosial media dan media konvensional yang SES media tersebut juga berkisar A dan B, sedangkan calon pemilih yang diterpa isu-isu itu dengan dahsyat, ada jauh di bawah sana.
Kalau tidak percaya, coba kalian liat semua video-video kalian yang berisi dukungan pada capres sebelah. Kemudian coba pikirkan lagi, berapa persen pesan yang ada di video-video tersebut dapat diterima dan dicerna oleh seorang pemuda pemilih pemula lulusan SMA dari daerah gersang terpencil luar Jawa yang punya cita-cita langsung mendaftar jadi tentara karena tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?
Atau seorang pemuda tak tamat SD yang berbulan-bulan berada di tengah hutan mencari gaharu sebagai mata pencahariannya?
Bagaimana dengan ibu-ibu buruh pemecah batu yang jika dalam sehari bisa mendapatkan upah sebesar Rp. 25.000,- sudah dianggap rejeki yang tak terhingga?
Padahal, orang-orang seperti merekalah para swing voter yang berperan penting setidaknya secara kuantitatif karena akan menentukan capres kalian menang atau terdepak, tapi kalian belum maksimal berbicara dengan mereka menggunakan bahasa mereka.
Semoga kalian memang sedang serius menyelesaikan masalah tersebut dan tidak sedang berpuas diri.
Karena pemenang pilpres dilihat dari siapa yang lebih banyak gambarnya dicoblos di kertas suara, bukan berapa jumlah mention di sosial media, berapa kali pernah menjadi trending topic, atau siapa yang lebih banyak mendapatkan surat terbuka dari netizen.
Sumber: http://temukonco.com/tim-capres-sebe...s-complacency/
Mungkin buat kawan-kawan yang sudah “level dewa”, masalah seperti ini bisa diselesaikan dengan mudah, atau sama sekali tidak dipedulikan karena dengan sedikit mengutak-atik taktik dan strategi saat bertanding di lapangan, tim lawan dapat teratasi.
Tapi buat orang awam sekaligus pemain pemula seperti saya, hal itu merupakan masalah yang mungkin bisa dikatakan lebih rumit ketimbang seorang pemain atau staff yang “Unh”.
Pemain atau staf yang “Unh” masih bisa dicari sebab musababnya untuk kemudian diberikan treatment yang sesuai agar yang bersangkutan tidak “Unh” lagi. Tapi kalau misalnya penyebab “Unh”-nya cukup berat, misalnya punya personal problem dengan manager alias kita yang memainkan game itu, maka salah satu cara ampuh adalah dengan menjual pemain yang bersangkutan ke tim lain.
Sementara, kalau complacency, yang kalau saya terjemahkan adalah “berpuas diri”, merupakan “penyakit” yang muncul saat tim kita selalu menang dalam berkali-kali pertandingan sebelumnya. Kemudian ini biasanya akan semakin parah saat tim kita berhadapan dengan tim-tim papan bawah.
Sebab, jika sudah seperti ini, para pemain tim kita akan bermain seolah tanpa semangat bertanding, menganggap remeh lawan, dan merasa pasti akan memenangkan pertandingan bahkan sebelum pertandingan itu dimulai.
Eh ndilalah-nya, tim kita kebobolan. Kemasukan gol. Para pemain tim kita (dan tentu saja kita sebagai manajer) mendadak bingung karena harusnya permainan ini dengan mudah dimenangkan. Heran karena, tim yang dihadapi adalah tim papan bawah yang poinnya di klasemen terpaut jauh dengan kita yang di papan atas. Tak habis pikir karena secara teknis tim kita lebih superior dibanding tim lawan, tapi hingga peluit akhir berbunyi, gol untuk tim kita tak juga terwujud.
Dan semuanya itu berawal dari satu hal, Complacency atau Berpuas Diri, yang sayangnya tak bisa diobati dan diperbaiki dengan berbagai macam latihan dan kegiatan fisik, juga tidak bisa dihilangkan dengan sorak sorai semangat dari penonton. Karena complacency adalah masalah mental yang tak bisa dibenahi satu dua hari, atau sampai kita terbentur dengan kenyataan bahwa kita tak sehebat yang kita bayangkan dan yang digambarkan orang/media massa.
***
Complacency alias berpuas diri saya khawatirkan juga sedang menjangkiti kubu capres sebelah, dan nampaknya efeknya sudah mulai terasa.
Dengan latar belakang setidaknya lebih “terang” dengan track record yang jelas sejak menjadi pejabat sebuah kota di Jawa Tengah, capres sebelah nampak lebih love-able ketimbang capres lawan yang masih diliputi pertanyaan seputar peristiwa tahun 1998 dan penghilangan beberapa orang.
Lalu masih ditambah lagi dengan organisasi-organiasi yang berada di belakang capres sebelah, relatif tak memiliki kekurangan yang terkuak lebar seperti capres lawannya.
Bahkan seorang tokoh intelektual Indonesia di depan publik dengan jelas mengatakan bahwa: “Saya tidak memiliki beban moral saat memilih capres sebelah.”
Kemudian itu semua makin diperkuat dengan gegap gempitanya dukungan dari berbagai pihak baik artis, pengusaha, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya yang bisa dilihat di media-media sosial serta media konvensional.
Belum lagi keramaian-keramaian aksi dukungan bagi capres sebelah yang diselenggarakan di kota-kota besar Indonesia, bahkan di beberapa kota-kota besar luar negeri, seolah selalu dipadati orang.
Kombinasi semua itu nampaknya makin memantapkan posisi capres sebelah dalam pemilu yang tinggal dalam hitungan hari lagi.
Tapi benarkah demikian?
Ternyata eh ternyata, apa yang terjadi di lapangan seolah belum membuktikan bahwa capres sebelah akan menang mudah di pemilihan presiden yang akan datang.
Di beberapa hasil survey, elektabilitas capres sebelah nampak kian menurun, sementara capres lawannya makin meningkat. Sehingga selisih mereka berdua makin menipis.
OK, mungkin kemudian ada yang protes dan tidak percaya validitas survey-survey tersebut. Terserah. Tapi kalau saya jadi timses capres sebelah, ini akan saya anggap sebagai masalah yang harus segera diatasi. Ini PILPRES, kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk, bukan terbuai oleh dukungan-dukungan yang terus mengalir.
Mungkin juga kalian mengajukan fakta bawah di Monas kemarin, pendukung yang datang banyak, sementara di sosial media juga percakapan yang tentang capres kalian lebih mendominasi ketimbang capres lawan, tentu saja dengan mengabaikan akun-akun bot yang wagu itu.
Iya benar, tapi cukupkah itu untuk memenangkan capres kalian? Cukupkah itu untuk meyakinkan para swing voters agar akhirnya menjatuhkan pilihan mereka ke capres kalian?
***
Saya yakin kalian tahu bahwa rakyat Indonesia yang aktif di sosial media tidak sampai 50 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih. Itu saja masih dikurangi dengan pemilik akun media sosial lain yang mendukung capres lawan. Jadi kedigdayaan kalian di sosial media belum memberikan jaminan cukup calon kalian akan memenangkan pilpres yang akan datang.
Karena lebih banyak calon pemilih yang tak terjangkau oleh pesan-pesan yang kalian sebarkan melalui blog, twitter, Facebook, dan youtube.
Kalaupun mereka mendapat pesan-pesan yang kalian buat, namun banyak dari mereka yang belum dapat mencerna maksud pesan itu dengan baik. Istilah para calon pemilih itu: “Enggak ngerti, karena bahasanya ketinggian..”
Iya, mereka orang-orang yang, nuwunsewu, secara pendidikan tidak setinggi kalian. Kalian tidak bisa dengan mudah menyuruh mereka “Googling” untuk mencari track record para capres, lalu memilih dan memilah mana data yang benar dan mana yang salah. Itu tidak mudah bagi mereka.
Makanya jangan heran jika mereka dapat dengan mudah percaya dan hingga kini masih ada yang percaya bahwa capres kalian nama depannya “Heribertus” dan keturunan Tionghoa.
Kalian juga harus memikirkan bagaimana pesan yang tepat dan dapat dipahami mereka yang masih percaya bahwa untuk menjadi pemimpin itu, harus dilihat kejantanan, ketampanan, dan kegagahannya.
Tidak ketinggalan pula, kalian harus menjelaskan pada orang-orang itu bahwa calon presiden kalian tak ada sangkut pautnya dengan komunis.
Dan mungkin dari sisi kalian ini menggelikan tapi benar-benar terjadi di masyarakat, banyak yang masih percaya bahwa foto capres kalian di hadapan banyak orang di monas itu adalah hasil rekayasa, walaupun mereka sudah diberi link videonya di youtube.
Karena kawan ketahuilah, isu-isu itu disampaikan secara langsung pada mereka secara lisan, BBM, WA, selebaran-selebaran, dan nampaknya juga tabloid, tanpa harus menyuruh mereka untuk “coba googling deh” atau “coba browsing aja..”
Memang benar, kalian bisa kemudian berteriak kalau itu black campaign, tapi selain kalian dan para pendukung capres kalian, siapa lagi yang perduli?
Sekarang yang harus dilakukan adalah membanjiri informasi dengan cara yang benar dan bahasa yang sesuai dengan masyarakat yang menjadi sasaran kalian.
Karena memang metode menyampaikan informasi untuk tiap lapisan masyarakat tidak bisa disamakan.
Sementara itu, kalian di sisi lain sejauh ini yang terlihat melawan isu-isu seperti itu hanya lewat sosial media dan media konvensional yang SES media tersebut juga berkisar A dan B, sedangkan calon pemilih yang diterpa isu-isu itu dengan dahsyat, ada jauh di bawah sana.
Kalau tidak percaya, coba kalian liat semua video-video kalian yang berisi dukungan pada capres sebelah. Kemudian coba pikirkan lagi, berapa persen pesan yang ada di video-video tersebut dapat diterima dan dicerna oleh seorang pemuda pemilih pemula lulusan SMA dari daerah gersang terpencil luar Jawa yang punya cita-cita langsung mendaftar jadi tentara karena tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?
Atau seorang pemuda tak tamat SD yang berbulan-bulan berada di tengah hutan mencari gaharu sebagai mata pencahariannya?
Bagaimana dengan ibu-ibu buruh pemecah batu yang jika dalam sehari bisa mendapatkan upah sebesar Rp. 25.000,- sudah dianggap rejeki yang tak terhingga?
Padahal, orang-orang seperti merekalah para swing voter yang berperan penting setidaknya secara kuantitatif karena akan menentukan capres kalian menang atau terdepak, tapi kalian belum maksimal berbicara dengan mereka menggunakan bahasa mereka.
Semoga kalian memang sedang serius menyelesaikan masalah tersebut dan tidak sedang berpuas diri.
Karena pemenang pilpres dilihat dari siapa yang lebih banyak gambarnya dicoblos di kertas suara, bukan berapa jumlah mention di sosial media, berapa kali pernah menjadi trending topic, atau siapa yang lebih banyak mendapatkan surat terbuka dari netizen.
Sumber: http://temukonco.com/tim-capres-sebe...s-complacency/
Ini juga ada tambahan info baru lagi gan, tentang kondisi gimana rakyat di tingkat kelurahan ke bawah dipersulit kalo mau mendukung/ngaku milih nomer 2
Spoiler for Seminggu Sebelum Hari-H:
DALAM iklim politik di mana apatisme massa dirawat dan dijadikan penanda kewajaran, Pilpres 2014 adalah memang suatu pengecualian. Siapa yang bisa bilang, tanpa sekelebat keraguan pun, bahwa pemilu kali ini sama saja dengan pemilu-pemilu sebelumnya? Dalam tradisi gerakan sosial, pengecualian itu sungguh terasa. Apabila golput dan sikap serba-menolak selama ini menjadi semacam setingan default gerakan sosial berhadapan dengan momentum Pilpres, tidak demikian halnya hari-hari ini. Saya sendiri merasakan perubahan itu. Ketika saya pertama kali turun aksi bersama kawan-kawan LMND Semarang, waktu itu Pilpres 2004 dan SBY sedang akan naik ke tampuk kekuasaan, tuntutan yang mengemuka adalah ‘tolak militerisme’. Sikap serba-menolak semacam ini sangat tipikal dan terus berulang sampai pemilu selanjutnya. Namun sepuluh tahun kemudian, keadaan berubah drastis. Gerakan sosial membanjiri medan politik elektoral dalam skala yang tanpa preseden. Pertentangan antar organisasi gerakan mengalami penerjemahan ke dalam perbedaan visi-misi kedua pasangan capres-cawapres.
Apa yang mencuat dari panorama politik hari ini adalah peran sentral relawan. Dalam politik massa mengambang, tidak dikenal tradisi relawan, yang dikenal adalah tim sukses (baik pra-bayar atau pasca-bayar, tetapi tak pernah tak berbayar). Pilpres 2014 memperkenalkan subjek politik baru dalam politik Indonesia, yakni relawan, yang diwujudkan secara masif dengan skala yang kolosal, jauh melebihi apa yang telah diuji-cobakan selama Pilgub DKI 2012. Politik relawan adalah ungkapan dari apa yang disebut Jokowi sebagai ‘kegembiraan politik’ yang merupakan antitesis dari politik massa mengambang atau politik yang bertumpu pada apatisme massa.
Menurut pendataan yang dilakukan Anom Astika, sampai saat ini sudah ada sekitar 2000 kelompok relawan Jokowi-JK yang mendeklarasikan diri di seluruh Indonesia. Konkritnya, itulah yang terjadi antara lain dalam politik para tukang bakso dalam deklarasi relawan Jokowi-JK di Depok. Puluhan tukang bakso patungan, masing-masing mengupayakan 2 kilogram daging sapi, untuk kemudian bebareng memasaknya menjadi konsumsi acara deklarasi relawan Paguyuban Tukang Ojek, Becak dan Pedagang Bakso Cilodong, Depok.
Buat para aktivis gerakan yang selama ini memperjuangkan agar rakyat memiliki kesadaran politik dan terbebas dari belenggu ideologi massa mengambang, pemandangan semacam ini lumayan mengharukan. Pilpres 2014 membuat rakyat jadi politis tanpa perlu diagitasi. Gerak swa-daya rakyat inilah yang menjadi inti semangat relawan sebagai subjek politik.
jokowi
Namun subjek politik baru ini bukannya tanpa lawan. Hiruk-pikuk aktivitas relawan Jokowi-JK memang telah menerbitkan kesan yang amat kuat bahwa Jokowi-JK pasti menang. Membaca media sosial makin memperhebat kesan tersebut. Akan tetapi kenyataannya lain bila kita mengikuti informasi lapangan dari masyarakat. Dari gerak relawan di berbagai tempat, kita mendapat informasi bahwa kubu Prabowo-Hatta memobilisasi perangkat pemerintah lokal untuk menghadang laju relawan. Sebagian kecil dari informasi itu adalah sebagai berikut:
Atribut-atribut kampanye Prabowo didatangkan di kantor-kantor kelurahan dan didistribusikan dari sana.
Acara-acara relawan Jokowi-JK di level lokal dilarang oleh kepala-kepala dinas pemerintah setempat karena alasan-alasan ketertiban.
Pendataan pemilih atau ‘sensus politik’ oleh tim relawan Jokowi-JK dipotong di bawah. Bahkan di berbagai kabupaten di Jawa Barat, warga yang pro-Jokowi pun ketakutan didatangi relawan karena sudah diperingatkan Pak RT sebelumnya. Ada yang diancam akan dicabut izin usahanya bagi warga pro-Jokowi yang membuka bisnis kerajinan rumahan. Ada yang diancam akan dipersulit dalam urusan-urusan administrasi di tingkat RW sampai kelurahan.
PNS-PNS diancam akan dimutasi kalau tidak memilih Prahara.
Konsolidasi Prahara dengan mengundang posyandu-posyandu melalui jalur pemerintah setempat.
Di Pemalang, kertas suara ditemukan sudah tercoblos nomor 1.
Tim sukses Prahara membagi-bagi nasi kotak berisi uang Rp. 50.000 yang terlipat rapi.
Mobilisasi bintara pembina desa (babinsa) untuk mengarahkan dukungan warga ke Prahara dengan dalih mendata pemilih
Di kabupaten Bantul, Yogyakarta, tim sukses Prahara menjanjikan Rp. 250.000 per suara dan masing-masing korlapdes sudah mendapat Honda Vario.
Kabar-kabar semacam ini tentunya masih perlu diverifikasi lagi. Namun santernya informasi sejenis mengindikasikan respon kaum reactie di aparatur pemerintahan lokal terhadap gelombang relawan Jokowi-JK.
Pemandangan yang tak kalah mirisnya juga kita temui di front intelektual. Buat saya yang belajar filsafat, situasinya sungguh menyedihkan. Bagaimana mungkin orang yang beberapa waktu lalu membaca dan menggemari filsafat posmo, sekarang bisa mempropagandakan ketegasan Prabowo? Adakah yang lebih jauh ketimbang Derrida dan ‘ketegasan’? Bagaimana mungkin orang yang tekun mengikuti perkembangan Marxisme Prancis kontemporer bisa mendukung Prabowo dan MP3EI-nya? Bagaimana bisa orang yang rajin membaca tentang Adorno dan tentang betapa sulitnya menulis puisi sesudah Auschwitz, bisa dengan lugu berkata bahwa bahaya fasisme itu sama sekali tidak ada? Bagaimana bisa orang yang menghabiskan sebagian hidupnya mempelajari sejarah gerakan Kiri internasional, bisa mengulang blunder yang sama dari Partai Komunis Jerman (KPD) di era Republik Weimar? Di tahun 1930-an, KPD menolak ajakan front persatuan dengan Partai Sosial-Demokrat Jerman (SPD) karena menganggap SPD tidak sungguh murni dalam menegakkan ‘syariat Marxis’. Akibatnya, KPD malah bersama-sama dengan Nazi terus menyerang SPD yang menyebabkan hancurnya SPD dan KPD sekaligus naiknya Hitler. Bagaimana mungkin orang belajar sejarah pemikiran dan filsafat tetapi berperan aktif dalam menciptakan kondisi yang membuat pemikiran tak ada lagi?
Seminggu sebelum hari-H, inilah yang menjadi panorama politik kita: politik relawan berhadapan dengan politik represi, gerakan rakyat berlawanan dengan mesin birokrasi negara. Untuk menghadapi kaum intelektual dan aktivis media sosial pro-Prahara, jalannya mudah: tulis artikel atau bikin meme. Namun perkaranya tidak semudah itu ketika kita menoleh ke lapangan. Artikel kalah diadu dengan Pak RT. Meme membisu di hadapan Pak Lurah. Kita tak hanya mesti menggerakkan opini tetapi juga mengawal suara. Dan di situ kita berhadapan kembali dengan Orde Baru.
Apabila sebagian kawan menyebut bahwa situasi belakangan ini, khususnya di level kelurahan ke bawah, makin menyerupai situasi Orde Baru, anggapan itu tidak berlebihan. 1998 adalah tahun harapan dan 2014 adalah tahun penentuan, kata Hilmar Farid. Ya, Pilpres 2014 adalah penentuan apakah kita akan kembali ke Orde Baru atau melangkah ke zaman baru. 9 Juli nanti pilihannya tersedia amat gamblang: pilih Jokowi atau Soeharto.***
Sumber: http://indoprogress.com/2014/07/semi...ebelum-hari-h/
Semoga kita semua selalu diliputi kebaikan
Diubah oleh wahanalajel 02-07-2014 10:00
0
3.2K
Kutip
14
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Pilih Capres & Caleg
22.5KThread•3.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok