Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

apridhanargaAvatar border
TS
apridhanarga
Trio Nyinyir Jalan-Jalan Ke Lawu


Awalnya Sih Berempat..

Lawu. Inilah gunung yang baru-baru ini kudaki. Mungkin sudah lama, hampir tiga minggu yang lalu. Dari mana harus saya mulai? Sebulan yang lalu? Ah, terlalu jauh. Kita mulai saja dari tanggal 5 Juni 2014.

Setelah melalui kejadian yang tak mengenakkan, kami berkumpul di Blandongan sore itu. Pendakian yang telah dirancang dari sebulan yang lalu sebagai bagian dari traktiran wisuda itu akhirnya dapat dikompromikan dengan legowo oleh sang wisudawati. Selepas dari Blandongan, saya segera menyewa masing-masing satu sepatu dan sleeping bag (SB) di Caldera Adventure (https://www.facebook.com/pages/Calde...571894?fref=ts), kemudian mengepak seluruh barang bawaan ke dalam kerir pinjaman (maybe this was the best cerrier bag I've ever use. Eiger, cuy!). Malam itu saya pun kembali ke kontrakan lama berkat bujukan Denny agar saya menginap di sana kalau tidak mau terlambat ke stasiun. Dia siap menjadi jam wekerku.

Jumat pagi saya terbangun. Sehabis mandi, saya mengecek kembali barang bawaan dan perlengkapan dan memasukkan flysheet tenda. Semuanya beres. Kami kemudian bergegas ke Stasiun Tugu. Kereta Prameks, kereta paling murah untuk ke Solo, berangkat kurang dari sejam lagi.

Giri yang pertama tiba di stasiun sudah memegang tiket. Saya dan Denny tiba hampir berbarengan dengan Manda. Tiket Prameks seharga enamribu rupiah langsung ditebus Manda setiba di loket.

Perjalanan Prameks menuju Stasiun Balapansolo memakan waktu lebih dari satu jam. Sesampai di Solo kami agak kebingungan dengan arah menuju Terminal Tirtonadi. Di Google Maps, keluar dari stasiun kita mengambil arah ke kiri kemudian arah serong kanan di perempatan (atau perlimaan?) lampu merah. Sedangkan bapak-bapak tukang becak yang kami acuhkan dan tukang parkir stasiun bilang lampu merah belok kiri. Sempat bingung beberapa saat, kami pun bertanya lagi kepada seorang ibu-ibu di dekat lampu merah. Jawabannya sama dengan manusia lainnya, belok kiri. Oke, fix! Kami pun mengambil kesimpulan Google Maps salah karena dia peta yang sudah terbiasa dengan daerah Jogja, alih-alih Solo.

Kami berjalan kaki mungkin satu kilo jauhnya dari stasiun ketika bertemu pertigaan lagi. Giri yakin ke arah terminal belok kiri. Kami manut, tapi Giri sendiri tampaknya tidak yakin. Beberapa jauh kemudian dia bertanya kepada mbah-mbah warung. Mbah itu membenarkan keyakinan Giri, tapi menyarankan kami agar menunggu bus yang menuju ke Tawangmangu di jalan ini saja. Kami manut lagi. Tak beberapa lama bus yang ditunggupun lewat juga. Perjalanan seharga sepuluh ribu per orang selama kurang lebih 2 jam itu pun berhasil kami lalui dengan selamat berkat karaoke koplo yang diputar di dalam bus.


Sudah Dingin. Brr...

Tawangmangu! Grojogan Sewu! Candi Cetho! Cemoro Kandang! Hei, Cemoro Sewu sudah dekat! Yap, tapi tetap saja kami turun di Terminal Tawangmangu yang di depannya ada jembatan penyeberangan untuk ke Pasar Wisata Tawangmangu yang berada di seberang terminal. Tak perlu cemas untuk transportasi ke Cemoro Sewu. Banyak colt putih yang mengantri di luar terminal dan akan memanggil teman-teman yang membawa kerir atau yang tampangnya tampang gunung. Tak perlu cemas ditipu. Harga tetap sepuluh ribu. Tak perlu cemas kalau nanti kerir dan tas teman-teman diletakkan begitu saja di atap colt. Aman kok!

Tak perlu cemas, tapi saya tetap cemas karena Manda lama sekali di ATM. Saya sama Giri yang sudah di dalam colt menanti Manda dan Denny dengan cemas sambil menyantap gorengan. Hampir setengah jam kemudian mereka muncul dan colt kami pun siap meluncur ke Cemoro Sewu. "Setengah jam sampai, Mas," kata Pak Sopir yang sedang bekerja. Jarak 10 KM, jalan menanjak, cuma setengah jam, dan terbukti!

Pertama kali tiba di Cemoro Sewu, saya sedikit tidak percaya kalau pintu masuk pendakiannya tepat di pinggir jalan raya utama, jalan raya gede. Di pendakian-pendakian sebelumnya --dan sesudah itu-- basecamp yang saya datangi selalu terletak jauh dari jalan raya. Agak sangsi, namun Gerbang Pendakian Cemoro Sewu benar-benar memorable: ini dia gapura yang saya lihat di berbagai catatan pendakian di internet. Jadi benar ini dia basecampnya. Kami bertiga pun masuk ke pos pendakian (atau Pos Perhutani?), menaruh barang bawaan dan mengecas hape, sedang Giri langsung bergabung dengan teman-teman dari Caldera Adventure. Fix kedua. Kami mendaki bertiga lagi.

Jumatan sudah kelar, tapi makanan kami belum habis. Soto yang dikunyah pelan-pelan cepat sekali dingin. Mungkin pengaruh kabut di luar. Teh panas juga begitu, seketika menjadi hangat. "Di Tawangmangu tadi saja sudah kerasa dingin," lapor Manda. Sambil menikmati gigil, dari seberang saya lihat teman-teman Caldera sedang bersiap.

Hampir jam satu siang, teman-teman Caldera memulai pendakian, sedang kami masih ingin santai dulu di pos sambil menghabiskan kopi dan menunggu batre penuh. Selain itu, karena saya masih belum mendengar panggilan alam, buang air besar. Satu hal yang biasanya harus dilakukan sebelum mendaki adalah BAB. Selama ada waktu di bawah, sebisa mungkin dikeluarkan. Bukan karena takut BAB di gunung, tapi rasanya itu lho gak nyaman banget. Kita kan bukan bule yang biasa cebok pakai tisu.


Jalan Saja Menggigil!


Yang ditunggu tak datang jua, yang diharap tak terdengar pula. Merasa perut tidak akan berontak dan mampu ditahan sampai sehari dua ke depan, kami pun sepakat untuk segera mendaki. Setelah mengepak dan memeriksa kembali barang bawaan, foto-foto di depan gerbang, serta membayar retribusi sebesar tujuhribu limaratus rupiah, jam dua siang kami bertiga pun mulai melangkah dan tanpa berdoa seperti biasanya. "Di atas sana saja, di sini banyak orang," alasannya Denny hingga akhirnya kamipun lupa berdoa.

Butuh waktu satu jam untuk sampai di pos 1. Jalan berbatu, yang kalau dibandingkan dengan pos-pos selanjutnya ini masih ringan, cukup membuat saya ngos-ngosan. Di sini kami bertemu rombongan dari Amikom Jogja. Ada 6 orang. Barang bawaan mereka mencolok banget: GITAR! Ditenteng begitu saja tanpa tas. Kalau saja saya yang bawa gitar itu, ah gak mungkin juga saya mau bawa. Repot. Mereka ini mungkin kelihatannya merepotkan. Selain gitar, mereka juga membawa karpet gulung yang diselipkan di antara punggung dan tas, melintang, bukan tegak, namun mereka berniat buka tenda di puncak. Salut!

Tak lama beristirahat, kami meninggalkan Pos 1 mendului rombongan Amikom. Kami berniat untuk tiba di Pos 3 sebelum maghrib. Tapi apa daya, stamina emang tidak pernah bohong, napas ngos-ngosan dan dengkul yang bergetar membuat perjalanan tak semulus harapan. Jarak antaranak batu yang ditanjaki cukup tinggi.

Kami berjalan penuh penghayatan. Saya sendiri ketika itu menghayati napas yang tersengal-sengal, hirup-kaki kanan, buang-kaki kiri, atau kadang sebaliknya. Sunyi sekali rasanya walau terkadang saya merasa mendengar ada suara obrolan di depan kami. Saya berpikir mungkin itu rombongan Caldera. Namun setelah beberapa kali istirahat yang kami temui adalah rombongan Amikom. Beberapa dari mereka masih jauh di belakang.

Sampai di Watu Jago, kami akhirnya bertemu rombongan Caldera yang sudah beristirahat cukup lama. Ketika kami sampai, mereka sedang bersiap untuk jalan lagi. Tapi Rafsan, salah satu dari mereka, sedikit heboh ketika melihat saya, "I miss you. Ayo, berpelukan!"

Kurang lebih 1,5 jam perjalanan dari Pos 1, kami sampai di Pos 2. Lagi-lagi kami bertemu rombongan Caldera kemudian di susul oleh rombongan Amikom. Ada 16 orang mahasiswa Jogja di situ! Seperti sebelumnya, urutan jalan pertama kali adalah Caldera, kami, kemudian Amikom. Jam 5 kami bertiga mulai jalan, meninggalkan rombongan Amikom yang masih menunggu temannya di belakang. Sirna sudah harapan untuk sampai Pos 3 sebelum maghrib.

Suhu di Gunung Lawu mulai turun dengan drastis. Manda mulai menggigil dan cepat-cepat memakai sarung tangan. Gigi saya mulai menggeretak. Bahkan betis kiri saya tiba-tiba hampir kram. Untungnya cepat diatasi. Sedang perut terasa lapar, badan terasa lemas sekali. Roti yang kubawa sudah habis di perjalanan. Manda dan Denny lupa beli. Beruntung bertemu rombongan Caldera yang tercecer, Giri, Rafsan, dan Ratna (iya, bukan?). Tanpa malu saya menanyakan roti mereka. Terima kasih, Mbaknya! Di sini saya juga meminta kembali P3K yang sejak seminggu sebelumnya dibawa Giri.

Sambil menggigil, kami bertiga terus berjalan meninggalkan rombongan Caldera yang tercecer. Selepas beberapa tikungan, seluruh rombongan Caldera kami lewati. Daaaannn... MAGHRIB!

Kami bertiga sangat menghormati larangan dari teman-teman kami kalau mendaki gunung-gunung di Jawa sebaiknya tidak ketemu maghrib. Kalau kepepet, setidaknya istirahat dulu. Pengalaman kami bertiga di Sumbing sebulan sebelumnya membuktikan larangan teman-teman tersebut. Di salah satu tikungan yang terdapat tanah sedikit lapang, cukup untuk tenda kapasitas 2 orang, kami beristirahat. Sarung tangan langsung saya ambil. Kami pun memasak agar-agar, yang beruntungnya dibawa oleh Denny, karena perut sudah keroncongan, juga minuman hangat. Cukup lama kami di sini, sehingga disusul oleh rombongan Caldera. Rombongan Amikom? Belum kelihatan.

Tak lama berjalan, kami sampai di Pos 3 walau dengan susah payah. Suhu dingin di Gunung Lawu benar-benar menyiksa. Hidung perih, udara terasa menyengat setiap kali dihirup, gigi menggeretak, betis kebas karena cuma memakai celana pendek, dan badan yang cuma memakai kaos oblong harus menggigil biar kehangatannya tetap terjaga. Tak kuat menahan dingin, kami bertiga pun sepakat membuka tenda di sini. Summit besok dimulai dari sini. Jam berapapun, karena besok masih Sabtu.

Tenda dibangun, barang dimasukkan, kemudian masak-masak. Sehabis makan kami memilih masuk ke dalam kantong tidur masing-masing. Beberapa kali saya terbangun karena dingin yang menusuk, terutama di bagian yang ditutupi kaos kaki. Mungkin karena kaos kaki saya masih lembab, dipakai sejak berangkat dari Jogja sampai tidur di Pos 3. Dinginnya Gunung Lawu kali ini saya rasakan tidak main-main. Saya pun tidur dengan gaya pistol, kaki dan tangan ditekuk ke dada, seperti bayi yang baru lahir. Ini posisi alami setiap manusia yang kedinginan agar jantungnya tetap hangat. Di sela keterjagaan yang berkali-kali, saya mendengar banyak sekali pendaki yang bersitirahat di Pos 3, termasuk rombongan Amikom. Ah, selamat tidur, teman pendaki.


Selamat Pagi, Lawu!

Sabtu, jam 6 pagi. Denny sedang memasak nasi. Manda sudah keluar pipis sambil mencari matahari. Saya sedang mengumpulkan niat untuk terjaga dengan serius. Dingin yang masih menusuk membuat niat saya main-main.

Karena akan segera makan, saya pun keluar tenda. Ternyata Pos 3 terletak di balik sebelah barat punggungan, sehingga matahari belum sampai ke sini, sedang jauh di bawah sana saya lihat sudah terang. Sehabis makan kami masih belum merasa siap untuk ke puncak, terlebih harus membawa kerir padahal setelahnya kami akan turun lagi. Sambil menunggu niat terkumpul, saya bergabung dengan dua orang yang sedang ngopi di dalam bangunan Pos 3 yang ternyata rombongan Amikom kemarin. Semalam mereka berdua buka tenda di sini karena salah satunya merasa pening, kemungkinan hipoksia, sedang empat lainnya lanjut ke puncak malam itu juga. "Mas, muncak? Nanti kalau ketemu teman kami, suruh cepat turun ya, Mas," pinta salah satu dari mereka sambil menyodorkan koreknya yang saya pinjam.

Rombongan kami sendiri akhirnya berangkat jam 9 pagi. Setelah berdiskusi, kami memantapkan hati meninggalkan barang di sini, di dalam tenda. Kami cuma membawa botol air minum masing-masing dan tas kecil untuk menyimpan kamera dan whiteboard yang sudah digulung kecil. Bersama rombongan bapak-bapak perguruan silat dari Nganjuk, kami tapaki anak tangga yang semakin curam. Pegangan tangga yang sebagian sudah rubuh pun tak membantu. Udara masih dingin dan setiap tarikan napas masih menyengat di hidung. 1 jam kemudian kami sampai di Pos 4 tanpa berkeringat sedikit pun. Denny sudah sampai di sana terlebih dulu. Saya dan Manda yang ngos-ngosan datang kemudian. Dan kami bertemu matahari di sini! Cukup lama kami foto-foto dengan alasan berjemur. Di sini, salah satu bapak rombongan Nganjuk sempat tertidur di bawah matahari!

Seingat saya, jarak Pos 4 ke Pos 5 merupakan jarak antarpos terpendek, makanya saya jalan duluan, meninggalkan Manda dan Denny yang saling menjaga (cieee..). Ingatan saya tidak terlalu buruk ternyata, jaraknya memang pendek, meski tidak sependek yang saya ingat. Di Pos 5 kami beristirahat sejenak dan tidak lagi berjemur.

Pos 5 ini merupakan tanah lapang yang cukup untuk membangun 5-6 tenda kapasitas 4 orang. Kira-kira sebanyak itu. Pos 5 juga terkadang menyesatkan. Pertama kali ke sini saya pikir jalan menuju Sendang Drajat berada di sebelah kiri Pos 5. Begitu juga rombongan Nganjuk itu.


Dibuka! Warung Makan. 15 Menit Dari Puncak Lawu. Cepat. Senin Harga Naik!

"Astaga. Aku lupa kalau jalannya semenanjak itu," kataku.

Seperti biasa Denny dan Manda langsung menyahut, "Sudah. Jalani saja dulu."

Dari Pos 5, jalanan batu mengarah turun sebentar, kemudian menanjak panjang. Peluh sudah bercucuran. Sudah hampir jam 11, matahari terik sekali. Tidak seperti tadi, matahari terus menyinari kami sedari Pos 4. Sunblock lupa dibeli. Alamat kulit perih kebakar.

Hampir sampai di Sendang Drajat, kami berpapasan dengan rombongan Caldera. Ternyata mereka tidak jadi buka tenda di dekat Mbok Yem karena Rafsan terserang hipoksia. Sesampai di Sendang Drajat semalam jam 11, dia muntah-muntah, sudah tidak kuat melanjutkan perjalanan. Mereka pun buka tenda di sana.

Di Sendang Drajat kami bertemu lagi dengan rombongan Nganjuk. Mereka sedang beristirahat di depan Warung Mbok Nah. Warung?! Tidak usah kaget. Ini sudah menjadi pengetahuan umum pendaki, kok. Seperti niat awal, kami ingin merasakan sekaligus dua warung di Puncak Lawu ini. Dua?! Ah, biasa aja. Karena belum lapar, di Warung Mbok Nah ini kami hanya memesan teh panas, gorengan, dan kacang atom.

Warung Mbok Nah ini atapnya rendah sekali. Jadi, dengan keadaan terik di luar, di dalam sini terasa panas sekali. 'Sekali' dengan alasan ini di gunung. Juga pengap.

Teh panas tak kami habiskan karena terlalu panas, sedang kami masih harus ke puncak dan segera turun ke Cemoro Sewu sebelum maghrib. Salah satu botol yang kami bawa diisi dengan teh panas, bekal ke puncak.

Lagi-lagi, bersama rombongan Nganjuk, kami menuju puncak tertinggi Gunung Lawu. Baru di sinilah kita akan lihat trek tanah berbatu seperti gunung-gunung lainnya. Dari gerbang pendakian sampai di Warung Mbok Yem nanti, treknya berupa batu yang sudah disusun rapi. Maka, perjalanan ke puncak ini terasa seperti perjalanan di gunung-gunung lainnya. Di kanan dan kiri trek hanya ada pohon yang biasanya ada di ketinggian, tapi tidak terlalu tinggi. Sekedar berteduh pun agak susah di pohon ini.

Di Puncak Hargo Dumilah, ternyata sudah ramai orang. Lagi-lagi rombongan Nganjuk. Di bawah tugu puncak, mereka beristirahat. Di bawah terik. Ada yang sedang asik mengobrol, tapi ada juga yang tertidur. Saya, Denny, dan Manda memilih untuk lanjut ke puncak-entah-apa-namanya yang menjorok di sebelah baratdaya Hargo Dumilah, yang kanan kirinya jurang. Bila cerah, dari sini kita bisa memandangi Merapi, Merbabu, dan Sindoro. Kali ini sayangnya lautan awan sudah bergulung. Angin dari arah kawah bertiup kencang dan bau belerang sungguh menyengat. Cukup beberapa foto dan kami kembali ke Hargo Dumilah untuk menangkap kenangan berada di puncak tertinggi Gunung Lawu.

Selepas Hargo Dumilah, kami lanjut ke Warung Mbok Yem. Waktunya makan siang. Seperti pepatah banyak jalan menuju Roma, begitu pula halnya banyak jalan menuju Mbok Yem dari Hargo Dumilah. Jalan setapak yang bercabang-cabang sempat mengecoh saya, tapi atap warung tetap menjadi patokan.

Warung Mbok Yem ini berada di tepi jurang. Halamannya luas seperti halaman rumah sendiri. Kalau pagi langsung menghadap ke fajar. Kalau lapar tinggal pesan saja. Menunya cuma nasi, telur, dan pecel. Kami pesan nasi pecel, yang datang ya itu. Rombongan dari Semarang yang datang kemudian pesan nasi telur pakai sayur dan sambel, yang mereka terima ya itu. Serupa tapi tak senama.

Jangan kira makan di Mbok Yem ini mahal. Nasi 3, kacang atom 3, dan teh 3 cuma disuruh bayar tigapuluhenam ribu rupiah. Di Mbok Nah sebelumnya gorengan tahu hampir sebesar kepalan tangan harganya seribulimaratus rupiah dan teh tigaribu rupiah. Mahal? Ingat, ini di ketinggian 3000-an mdpl dengan waktu tempuh orang lokal mungkin 4-5 jam dan bahan makanannya diangkut manusia dari bawah.


bersambung...
Diubah oleh apridhanarga 25-06-2014 15:52
0
2.9K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Catatan Perjalanan OANC
Catatan Perjalanan OANCKASKUS Official
1.9KThread1.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.