Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Tugi77Avatar border
TS
Tugi77
Intermezzo "Calon Presiden Musuh Islam ?? "
"Calon Presiden Musuh Islam?"
**-**
“Cilaka, Kyai! Cilaka!” Aku baru saja tiba di
Pondok Kyai Husain. Setelah mencium
tangannya, aku tak bisa membendung rasa
kesalku yang telah kutahan cukup lama.
Kegelisahanku tiba-tiba membrudal di
hadapan wajah teduh Kyai Husain yang
selama ini selalu mendengarkan keluh
kesahku.
“Cilaka apanya, Nak?” Tanya Kyai Husain.
“Pilpres!” Aku tak punya jawaban lain yang
lebih panjang lagi. Aku yakin Kyai Husain
akan mengerti.
Kyai Husain terkekeh. “Ndak usah dipikir!”
Katanya, “Nanti juga reda sendiri. Ndak usah
dipikir!” Kyai Husain kemudian mulai
melinting tembakaunya.
“Tapi ini sudah menyangkut keselamatan
ummat, Kyai. Ini sudah genting! Jika calon
yang didukung para pengusaha hitam dan
musuh-musuh Islam yang menang, bisa
habis ummat Islam di negeri ini. Negeri ini
akan hancur dan mendapatkan azab dari
Gusti Allah!”
Kyai Husain mengangguk-angguk. Wajahnya
tampak prihatin. “Kamu sudah shalat?”
Tanyanya.
Aku menggelengkan kepala.
“Ambillah air wudhu, lalu shalatlah terlebih
dahulu. Waktu ashar hampir habis.” Kata
Kyai Husain.
Pelan-pelan keresahanku ciut. Aku malu
pada diriku sendiri. Betapa bebalnya imanku,
aku berteriak-teriak mengkhawatirkan nasib
ummat tetapi aku sendiri lupa menjalankan
kewajibanku.
Aku pamit pada Kyai Husain untuk ke surau.
Kyai Husain mengangguk-angguk perlahan.
Beliau sedang asyik dengan tembakaunya.
Selang delapan atau sepuluh menit, aku
sudah menghadapkan wajahku lagi pada
Kyai Husain.
“Bagaimana shalatmu?” Tanya Kyai Husain
tiba-tiba.
Aku terkejut ditanya demikian. Bagaimana
shalatku?
“Eh, begitu, Kyai. Begitu saja. Alhamdulillah
saya sudah shalat sekarang.” Aku menjawab
pertanyaan itu dengan terbata-bata.
“Apa yang kaupikirkan dalam shalatmu?”
Kyai Husain bertanya lagi.
Sebenarnya aku agak tersinggung ditanya-
tanya begini. Apa urusan Kyai Husain tentang
shalatku? Bukankah itu urusanku dengan
Gusti Allah? Untuk apa Kyai Husain tanya-
tanya segala? Tapi, karena aku sangat
menghormati Kyai Husain, mau bagaimana
lagi? Aku tak mungkin mengakatan
kepadanya bahwa aku tersinggung. Aku juga
tak mungkin menjawab, Bukan urusan Anda,
Kyai! Bisa-bisa nanti beliau yang
tersinggung. Jika begitu, celakalah aku. Bisa
kualat aku. Apalagi Kyai Husain inilah yang
dulu mengajari aku shalat. Dari alif-ba-ta Al-
Fatihah sampai rukuk-sujud gerakan shalat
dia ajarkan kepadaku dengan penuh
kesabaran.
“Eh… Anu, begini, Kyai… Soal shalat, biarlah
itu menjadi komunikasi batin antara saya
dan Gusti Allah.” Astagfirullah. Mengapa
kata-kata itu juga yang keluar dari mulutku?
Kyai Husain terkekeh. Kemudian agak
terbatuk. “Ya sudah… Soal agama, biarlah itu
juga jadi urusan pribadi-pribadi dengan
Tuhannya” Katanya, lalu beliau menghisap
tembakaunya. “Tapi, dalam shalatmu, kamu
mikirin copras-capres atau tidak?” Sambung
Kyai Husan, kemudian tertawa lebar.
Aku jadi kikuk. Aku tersenyum-senyum malu.
“Iya, Kyai.” Aku memang tak khusuk dalam
shalatku tadi. Kepalaku dipenuhi
kekhawatiran-kekhawatiran dan semacam
kebencian. Khawatir karena elektabilitas
capres yang kubenci, yang begitu
membahayakan bagi umat Islam, terus saja
tinggi dan sulit tersaingi. Maunya apa sih
ummat Islam Indonesia ini? Aku gelisah luar
biasa dalam shalatku.
“Coba kamu ingat-ingat lagi,” kata Kyai
Husain, “Capres mana yang paling
membuatmu gelisah dalam shalat?”
“Jelas dia yang musuh ummat, Kyai! Jelas
dia yang dikendalikan cukong-cukong asing!
Jelas dia yang tidak pro kebijakan syariah!
Jelas sekali dia yang diharamkan para ulama
untuk dipilih!” Aku menjawab pertanyaan
Kyai Husain dengan berapi-api.
Kyai Husain terkekeh. “Shalatmu begitu
berat,” katanya.
Aku kebingungan.
“Shalatmu penuh beban,” lanjut Kyai Husain.
“Aku tak pernah mengajarkan shalat yang
penuh beban.”
“Tapi, Kyai…” Aku berusaha memotong Kyai
Husan, “Mohon maaf. Ini memang masalah
genting yang sedang kita hadapi sebagai
bangsa. Pemilihan presiden tinggal 20 hari
lagi, musuh-musuh Islam hampir saja
menang!”
“Siapa yang kau sebut musuh-musuh
Islam?”
“Capres boneka! Juga orang fasik di
belakangnya!” Jawabku dengan penuh
semangat.
“Bukankah dia juga seorang Muslim?” Tanya
Kyai Husain.
“Saya meragukan keislamannya, Kyai! Itu
pasti pencitraan! Keislaman palsu!”
“Ajari aku tentang keislaman yang asli,
keislaman yang sejati?” Dengan tenang Kyai
Husain mengajukan pertanyaan yang sama
sekali tak kuduga. Beliau masih menghisap
tembakaunya.
“Eh, Kyai. Mohon maaf, Kyai. Saya tidak
dalam kapasitas untuk menjelaskan itu.”
Tiba-tiba aku merasa malu pada diriku
sendiri. Apa hakku memberi batas dan
ukuran-ukuran bagi keislaman seseorang?
Mengapa aku melabeli seseorang atau orang
lain bahwa keislaman mereka palsu,
pencitraan dan harus diragukan?
“Kalau begitu bagaimana dengan
keislamanmu sendiri?” Tanya Kyai Husain.
Aku makin gelagapan. Bahkan shalat pun
aku masih sering terlambat. Hingga hampir
kehabisan waktu. Bahkan jika shalat pun aku
masih memikirkan hal-ihwal ini-itu. Apa
hakku mengatur-atur keisalaman orang lain?
Bagaimana dengan keislamanku sendiri?
Aku tertunduk lesu. Tak bisa menjawab apa-
apa dan tak bisa berkata apa-apa. Aku
hanya menggelengkan kepala.
Kyai Husain terkekeh.
“Ummat Islam lebih besar dari sekadar
pemilu-pemiluan,” jawab Kyai Husain,
“Agama ini lebih besar dari sekadar capres-
capresan!” Beliau tampak lebih serius.
Aku mulai memerhatikan perkataan Kyai
Husain.
“Sebenarnya aku tak suka membicarakan ini.
Islam dan apapun saja di dunia ini tidak level
untuk dibanding-bandingkan. Islam itu tinggi
dan tidak ada yang lebih tinggi lagi darinya,
itu sudah final. Kamu mau bawa-bawa Islam
untuk urusan politik? Kamu tak lebih dari
mereka yang memperjualbelikan agama
untuk urusan dunia. Kamu mau membela
ummat Islam? Tanyakan itu sekali lagi pada
dirimu sendiri, bukankah kamu sebenarnya
sedang melakukan segmentasi pemilih?
Bukankah kamu ingin menggiring pemilih
untuk melihat mana capres Islam dan bukan
Islam agar mereka bisa dikategori-kate
gorikan, dikelompok-kelompokkan, agar
syahwat kekuasaanmu dan sekelompok
orang tertentu bisa tercapai? Kamu ini
sedang membela Islam, atau siapa? Kamu ini
sedang membela Gusti Allah atau membela
orang-orang yang hanya mengaku-ngaku
dekat dengan Gusti Allah?”
“Lalu soal mengharam-haramkan. Soal
bahwa memilih capres tertentu diancam
berdosa dan bahkan masuk neraka. Apa
hakmu untuk mengatur-atur urusan yang
bahkan Rasulullah Muhammad pun tak
mungkin sanggup mencampuri urusan Gusti
Allah itu? Apakah kamu sudah merasa lebih
besar dari Rasulullah dan Gusti Allah? Kamu
boleh senang atau tidak senang dengan
capres terntentu atau siapapun saja, tetapi
kemu tidak boleh senang melihat ummat
Islam terpecah belah, dipecah-belah. Kamu
boleh senang dengan politik dan segala tetek
bengeknya, tetapi kamu tidak boleh senang
melihat agamamu dijadikan alat untuk
mendulang suara—kamu tidak boleh
mengharam-haramkan sesuatu yang
dengannya sebenarnya kamu sedang
berusaha menghalal-halalkan syahwat dan
nafsu politikmu semata!”
Aku hanya bisa menunduk. Kata-kata Kyai
Husain benar-benar menampar hatiku.
“Tapi Kyai…” Aku berusaha memberi
pembelaan, “Situasinya sekarang sudah
hitam putih. Sudah jelas mana pembela Islam
dan mana musuh Islam. Situasinya sudah
genting!”
Kali ini Kyai Husain tampak marah.
“Dengarkan aku!” Katanya, “Musuh Islam
sejati adalah orang-orang munafik! Mereka
yang dalam luka baru mengaku saudara!
Mereka yang dalam situasi yang
menguntungkan dirinya saja baru mengaku-
aku dekat dengan agama ini. Mereka yang
menjadikan agama ini hanya sebagai atribut
belaka! Mereka yang menyebarkan
kebencian dan merasa bahwa dirinya paling
beriman.”
“Tapi… tapi…” Aku berusaha memotong Kyai
Husain. Tapi beliau tampak benar-benar
geram dengan situasi ini.
“Islam tak membutuhkan orang-orang yang
menyebarkan kebencian sebagai jalan untuk
meninggikannya. Gusti Allah tak perlu dibela.
Jika kamu pikir besok Islam akan habis jika
calon presiden yang kaubenci itu menang,
kamu sudah benar-benar mengerdilkan dan
meremehkan agama ini. Apakah jika dia
menang lantas kamu otomatis pindah
agama? Kecuali kualitas imanmu memang
seperti kaus kaki yang kendur, kamu patut
mengkhawatirkannya. Khawatirkanlah
kualitas keimananmu sendiri!”
Aku mulai berpikir rupanya Kyai Husain
memang punya pandangan politik yang
berbeda denganku. Jangan-jangan beliau
sudah bergabung dengan pendukung calon
presiden boneka. Jangan-jangan beliau
sudah sesat dan menjadi musuh Islam. Aku
tak boleh menemuinya lagi. Ya, aku tak boleh
menemuinya lagi. Haram hukumnya bagiku
untuk menemuinya lagi.
“Sebentar lagi, kamu akan menuduhku kafir.”
Tiba-tiba Kyai Husain seperti bisa membaca
pikiranku. Lalu tertawa. “Tidak apa-apa jika
kau berpikir begitu. Kelak di surgamu yang
kamu bayang-bayangkan, mungkin kamu
tidak akan menemukan orang-orang
sepertiku. Surgamu mungkin akan dipenuhi
oleh orang-orang yang suka menunjuk-
nunjuk hidung orang lain sebagai sesat atau
kafir atau musuh agama, sebab hanya diri
mereka yang benar. Mungkin perlu juga
kamu pikirkan apakah di antara orang-orang
seperti ini terdapat kemungkinan untuk saling
menyalah-nyalahkan dan mengkafir-kafirkan
juga? Sebab kebenaran hanya benar menurut
dirimu sendiri, bukan? Di surga semacam itu,
mungkin kamu akan hidup sendirian!”
Kyai Husain terkekeh.
Aku berada pada situasi yang benar-benar
membingungkan Aku mulai ragu pada diriku
sendiri. Apa yang dikatakan Kyai Husain
benar-benar menampar hati dan
kesadaranku.
“Maafkan saya, Kyai.” Tiba-tiba aku
memohon maaf padanya. Akal sehat dan
nuraniku memerintahkannya.
Kyai Husain hanya tertawa, sambil sesekali
menghisap lintingan tembakaunya yang
hampir habis. “Kau tak perlu meminta maaf
padaku,” katanya, “Tapi kau harus mulai
berpikir, bahwa calon presiden yang kamu
bela atau calon presiden yang kamu benci
tak akan menentukan apa-apa bagi kualitas
keimanan dan ketakwaanmu sebagai
individu. Itu urusan pribadimu sendiri dengan
Gusti Allah.”
Aku mengangguk-angguk setuju.
“Perbaiki shalatmu,” kata Kyai Husain,
“Perbaiki apa saja yang buruk pada dirimu.
Lalu berbuat baiklah pada sesama. Jangan
gadaikan agamamu hanya untuk sesuatu
yang sementara seperti pesta demokrasi lima
tahunan ini.”
“Tapi kita harus memilih, Kyai.”
Kyai Husain mengangguk. “Aku setuju.
Pilihlah yang paling cocok menurut
pertimbangan akal dan hati nuranimu.”
Aku mengangguk-angguk, “Terima kasih,
Kyai.”
Magrib hampir tiba. Kyai Husain mangajakku
ke surau untuk shalat magrib berjamaah. Aku
menyetujui ajakannya. “Selesai shalat,
orang-orang akan membicarakan hal yang
sama,” Kyai Husain sambil tersenyum dan
menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak apa-
apa,” katanya, “Ini sedang masanya. Kelak
kita akan kembali pada urusan masing-
masing, pada problem hidup masing-masing,
pada takdir dan nasib kita masing-masing,
dan harus berjuang untuk menyelesaikannya
sendiri-sendiri.”
Aku mengangguk. “Saya akan memilih calon
presiden yang paling baik, yang bisa
membantu rakyat untuk menyelesaikan
problem-problem keseharian mereka, Kyai.”
“Nah, kali ini pertimbanganmu benar.” Kata
Kyai Husain. “Alasan itu saja yang kau
jadikan pertimbangan untuk menentukan
pilihanmu, tak usah repot-repot bawa
agama.”
Aku tersenyum. Ada semacam kelegaan
dalam hatiku mendengar persetujuan Kyai
Husain tentang pendapatku. Aku sengaja
memelankan langkahku, ingin melihat Kyai
Husain dari belakang. Aku memerhatikan
langkah ritmisnya, rambut putihnya, sarung
hijaunya, juga surban yang tak lepas dari
kepalanya.
“Kyai…” Tiba-tiba aku ingin memanggilnya.
Kyai Husain menoleh.
“Siapa yang Kyai pilih?”
“Tak ada yang sempurna,” Jawabnya.
“Seperti kita tahu, tak ada manusia yang
sempurna. Bahkan Muhammad tak memiliki
suara merdu seperti Daud, tak memiliki
kemampuan fantastis seperti yang dimiliki
Sulaiman, bahkan mungkin saja tak seberani
Ibrahim atau setangguh Musa. Aku akan
memilih calon presiden yang paling
mengetahui bahwa dirinya tak sempurna dan
dia yang paling bisa menghargai
kemanusiaan sesama.”
Aku tak bisa menebak pilihan Kyai Husain.
“Siapa orangnya, Kyai?”
Kyai Husain hanya tersenyum, lalu terus
berjalan menuju surau.
Usai shalat magrib, aku menyadari bahwa
aku kembali tidak khusuk dalam shalatku.
Sepanjang shalat, aku terus berpikir tentang
pilihanku dan memerhatikan Kyai Husain
yang menjadi imam. Ada bacaan shalat Kyai
Husain yang menurutku keliru pelafalan dan
tajwidnya.
Mungkin memang sulit mencari imam yang
sempurna, pikirku. Tetapi dalam shalat
berjamaah, semua orang diberi Allah derajat
pahala berlipat ganda. Aku mulai sadar,
kebaikan yang paripurna tak bisa dicapai
sendirian.
Aku terus memerhatikan Kyai Husain yang
kali ini tampak sedang berdzikir. Kepalanya
mengangguk-angguk ritmis. Aku belum tahu
jawaban Kyai Husain tentang calon presiden
pilihannya... Tapi aku mulai ragu pada
pilihanku sendiri.
----
Melbourne, 21 Juni 2014
*Penulis: Fahd Pahdepie atau dikenal juga
dengan nama pena Fahd Djibran adalah
mahasiswa Postgraduate di School of Politics
and International Relations, Monash
University, Australia. Saat ini tinggal di
Melbourne.

Copas
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=307054412804785&id=100005006851587&lul&_rdr
0
3.7K
71
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Pilih Capres & Caleg
Pilih Capres & CalegKASKUS Official
22.5KThread3.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.