VIVAnews - Calon presiden Prabowo Subianto menegaskan dirinya adalah abdi negara yang rela mati untuk bangsa dan negara Indonesia. Sikap itulah yang diambil saat menjadi prajurit aktif, hingga terus diserang soal pelanggaran HAM tahun 1998.
Hal ini, ditegaskan Prabowo saat menjawab pertanyaan dari calon wakil presiden Jusuf Kalla, terkait dugaan pelanggaran HAM Prabowo dalam debat kandidat yang disiarkan langsung malam ini, Senin 9 Juni 2014, di Gedung Balai Sarbini, Jakarta.
Menurut Prabowo, hak asasi adalah hak manusia untuk hidup. Untuk menjamin hak itu, pemerintah wajib melindunginya sebagaimana dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945.
"Sekian puluh tahun saya adalah abdi negara, prajurit yang membela kedaulatan, menjaga hak-hak asasi manusia. Mencegah kelompok-kelompok radikal, kelompok yang mengancam orang-orang yang tidak bersalah. Jadi, manakala kita menghadapi kelompok-kelompok yang merakit bom, yang menginginkan huru hara, ya mereka ini ancaman terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu, kewajiban seorang petugas, prajurit, melindungi segenap tumpah darah dari ancaman-ancaman tersebut," ujar Prabowo.
Sebagai prajurit saat itu, Prabowo mengatakan, yang memberi dan menilai kerjanya adalah atasan.
"Jadi saya mengerti arah bapak (JK). Tidak apa-apa. Saya tidak apa-apa. Tetapi, saya ada di sini. Saya sebagai mantan prajurit telah melaksanakan tugas sebaik-nya. Selebihnya, atasan yang menilai. Arah bapak kan begitu. Bahwa saya tidak akan bisa menjaga HAM, karena saya pelanggar HAM."
"Padahal bapak tidak mengerti, orang seperti saya ini sering berada di tempat-tempat yang berbahaya demi kehidupan rakyat Indonesia," Prabowo menegaskan.
"Kepada Pak JK, saya sudah jawab. Kita sudah bertanggung jawab kepada atasan kita. Kalau mau dijawab, tanyalah ke atasan saya waktu itu," ujar Prabowo disambut tawa hadirin.
"Selama Pemerintahan Megawati, Penegakan HAM Mandek"
SENIN, 15 MARET 2004 | 20:39 WIB
TEMPOInteraktif, Jakarta:Selama kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri upaya penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dinilai hanya jalan di tempat. Sekalipun terjadi kemajuan dalam penyusunan peraturan mengenai perlindungan HAM, namun lemah dalam penerapannya.
Demikian kesimpulan Koalisi LSM Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional yang akan disampaikan dalam sidang Komisi HAM PBB di Jenewa, Swiss, yang akan dimulai hari ini.
Koalisi LSM menyebutkan mandeknya penegakan HAM ini salah satunya ditunjukkan dalam proses pengadilan HAM kasus Timor Timur. Pengadilan dinilai telah gagal mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yang terjadi menjelang dan setelah referendum pada 1999. Demikian halnya dengan pengadilan HAM kasus Tanjung Priok 1984.
Sementara, penerapan darurat militer di Aceh selama ini justru telah menyebabkan pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan. Pelanggaran kemanusiaan ini dilakukan oleh kedua pihak yang bertikai, baik oleh TNI dan Polri maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Selama enam bulan pertama penerapan darurat militer di Aceh terjadi 166 tindak kekerasan, 43 orang diculik, 54 orang hilang, dan 145 orang tewas terbunuh. Selama periode itu juga terjadi 22 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Oleh karena itu, dalam rekomendasinya, Koalisi LSM meminta Komisi HAM untuk mendesak pemerintah Indonesia mencabut status darurat militer di Aceh dan menerapkan status otonomi khusus untuk Provinsi Papua. Koalisi juga merekomendasikan agar Komisi HAM meminta Indonesia mengamendemen pasal-pasal dalam Undang-Undang Antiterorisme yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan universal.
35 LSM Indonesia tergabung dalam koalisi tersebut, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Imparsial, Elsam, Kontras, dan Kalyanamitra.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM) Ifdhal Kasim mengatakan putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu yang membebaskan lima tersangka pelanggaran HAM di Kabupaten Suai, Timor Timur, menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM.
"Pengadilan justru menjadi tempat mencuci tangan keterlibatan pemerintah dalam pelanggaran HAM Timor Timur," kata Ifdhal kepada wartawan di Jakarta, Senin (15/3).
Lemahnya komitmen pemerintah, menurut Ifdhal, juga ditunjukkan dengan kelambatan pemerintah dalam meratifikasi konvensi dunia soal perlindungan hak ekonomi, sosial, dan politik warga negara. Padahal hal tersebut telah diagendakan pemerintah dalam rencana aksi penegakan HAM.
Kebijakan pemerintah memperluas kewenangan dan struktur lembaga intelijen yang dituangkan dalam Undang-Undang Antiterorisme juga dinilai membahayakan kebebasan sipil. Perang melawan terorisme telah dimanfaatkan pemerintah untuk meloloskan undang-undang yang berkarakter otoriter. Direktur Imparsial Rachlan Nasidik mengatakan kebijakan tersebut berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga intelijen.
Rachlan juga mempertanyakan perluasan struktur Badan Intelijen Negara (BIN) hingga ke daerah-daerah seperti layaknya polisi dan perluasan kewenangan TNI dalam penanganan masalah keamanan dalam negeri. "Alih-alih melindungi sipil dari teror, pemerintah malah memberikan kewenangan koersif kepada lembaga intelijen," katanya.
Dengan mandeknya penegakan HAM di dalam negeri, kata Ifdhal, koalisi LSM berharap Komisi HAM PBB nanti dapat mendesak pemerintah untuk meningkatkan komitmennya terhadap penegakan HAM. Apabila laporan koalisi LSM soal kondisi penegakan HAM di Indonesia diterima, maka Komisi HAM PBB dapat meminta Pemerintah Indonesia mengundang pelapor khusus PBB untuk mengevalusi keluhan tersebut. "Kalau semua upaya mandek, kita bisa pinjam tangan luar negeri," katanya.
Menurut Ifdhal, pelapor khusus Komisi HAM PBB mempunyai wewenang untuk mengecek langsung ke lapangan untuk mengklarifikasi kasus pelanggaran yang disampaikan kepada Komisi. Selanjutnya, dari hasil evaluasi Komisi HAM PBB akan memberikan usulan-usulan perbaikan teknis penegakan HAM kepada pemerintah.
http://www.tempo.co/read/news/2004/0...kan-HAM-Mandek
Kivlan Zen: Jika Penculikan 13 Aktivis Dibongkar Sekarang, Kasihan Megawati
Monday, 02 June 2014 21:13
Jakarta, GATRAnews - Mayjend (Purn) Kivlan Zein mengaku siap membuka kasus penculikan 13 aktivis pro demokrasi, bahkan semua kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Namun ia tidak mau membukanya sekarang karena merasa kasihan dengan Megawati yang menurutnya punya kasus juga.
"Kalau mau kasus ini terang benderang saya siap. Nanti ada satu panel nasional untuk menjelaskan kasus 98, Ambon, Priok, Poso, Sampit. Ini harus diselesaikan secara nasional. Kalau saya bongkar semua, kasihan Megawati, karena saat itu dalam tragedi banyak foto Mega," ucapnya di Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, Senin (2/5), usai melaporkan Komnas HAM.
Kivlan yang sudah 2 kali mangkir dari panggilan Komnas HAM sehingga lembagai ini akan melakukan upaya paksa, berdalih tidak memenuhi panggilan karena sesuai UU HAM, kasus HAM sebelum tahun 2000 harus diadili di pengadilan HAM Ad Hoc, sehingga Komnas HAM menyalahi aturan.
Bahkan Kivlan menilai panggilan Komnas HAM yang akan memintainya keterangan sebagai saksi kasus penculikan 13 aktivis itu bersifat politis dan langsung menuding kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) di balik pemanggilan itu. "Saya merasa isu itu dari tim kampanye Jokowi-JK. Hal itu desakan orang-orang yang tidak senang Prabowo dan mendesak Komnas HAM, kemudian langsung memanggil saya," tuding Kivlan.
Setelah Komnas HAM mengancam akan memanggil paksa karena 2 kali mangkir, Kivlan menegaskan tidak akan pernah memenuhi panggilan tersebut sebelum ada Pengadilan HAM Ad Hoc. "Komnas HAM tidak berhak memanggil saya apabila tidak ada pengadilan ad hoc," tandasnya.
Sebelumnya, Kamis (8/5), sebagaimana dilansir Tribunews.com, Kivlan yang merupakan mantan Staf Kostrad menegaskan, jika mau membuka kasus HAM masa lalu, maka kasus-kasus lain juga harus diungkap, termasuk dugaan pelanggaran HAM era Reformasi, yakni kasus kerusuhan di Cawang pada November 1998 yang menewaskan 3 anggota Pam Swakarsa.
"Megawati bakal terluka kalau saya buka semuanya. Asalkan Komnas HAM berani, saya bakal seret Megawati dan semua orang yang terlibat dalam kerusuhan Cawang itu," tandasnya. Kivlan mengaku mempunyai foto yang menunjukkan massa penyerang dan pembunuh tiga anggota Pam Swakarsa yang saat itu memakai atribut PDI Promeg
http://www.gatra.com/hukum-1/53992-k...-megawati.html
PDIP dan Perkara "Politik Ingatan"
Senin, 7 Apr 2014
Karena mustahil saya memilih Gerindra dan Hanura atas keterlibatan para pemimpinnya pada kasus-kasus kejahatan HAM di masa lalu, bisakah saya memberi cek kosong kepada PDIP hanya karena faktor Jokowi?
Pertanyaannya kemudian: benarkah PDIP, kandidat terkuat pemenang Pileg 2014 ini, juga tanpa cela dalam soal HAM ini?
Terkait isu HAM ini, yang hampir semuanya diarahkan pada Gerindra dengan Prabowo-nya dan Hanura dengan Wiranto-nya, agak sedih juga melihat bagaimana "politik ingatan" bekerja dengan tebang pilih.
Tapi tidak banyak pembicaraan mengenai persoalan HAM di masa ketika Mega dan PDIP berkuasa. Isu ini sedikit sekali diarahkan pada PDIP, mungkin karena isu HAM ini "tali kekang wacananya" sedang berada di genggaman simpatisan PDIP atau simpatisan Jokowi yang rajin mempertanyakan kejahatan-kejahatan HAM yang terkait Prabowo dan Wiranto.
Hampir tidak ada yang berbicara bagaimana rezim Megawati dan PDIP pada Mei 2003 mengeluarkan beleid (Inpres) yang menyatakan Aceh sebagai daerah darurat militer.
Beleid ini dikeluarkan oleh presiden yang pada saat partainya (PDIP) menjadi pemenang Pemilu 1999 dengan raihan suara 33% -- raihan yang tak pernah lagi dapat diraih partai mana pun selama Orde Reformasi -- membacakan pidato politik yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang Cut Nyak yang "tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong".
Beleid itu dikeluarkan karena Mega menganggap GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tak segera menjawab satu-satunya tawaran yang diberikan yaitu otonomi khusus. Pihak GAM menganggap tawaran itu tak membuka ruang negosiasi yang cukup dan menganggapnya tak lebih seperti status daerah istimewa sebagaimana yang sudah disandang Aceh berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pidato itu diutarakan pada 30 Juli 1999. Beberapa sumber yang saya baca menyebutkan Mega mengucapkan pidato itu sambil mengisakkan air mata.
Dua tahun 10 bulan kemudian, "Cut Nya" yang sama ini, yang berjanji tak akan menumpahkan darah rakyat Aceh sembari menitikkan air mata,
memerintahkan operasi militer terbesar sepanjang sejarah Orde Reformasi dan disebut-sebut yang terbesar setelah Operasi Seroja di Timor Leste pada 1975: sekitar 40 ribu pasukan (mayoritas tentara, sisanya polisi) dikirim ke Aceh mengejar para kombatan GAM.
Cerita yang sama dengan yang dilakukan Orde Soeharto terjadi:
darah kembali tumpah, tak hanya para kombatan, tapi juga rakyat sipil tak berdosa.
Tidak ada satu pun para aktivis yang diculik dan mengalami berbagai intimidasi selama menggelar perlawanan terhadap Soeharto bisa membayangkan bahwa orde yang mereka ikut dirikan akan mengambil kebijakan yang sama berdarahnya dengan Orde Baru.
Di situ ada janji yang diingkari, ada pidato penuh air mata yang tumpah dengan sia-sia.
Lalu mestikah kita lupakan bagaimana PDIP (tentu saja atas restu dan sepengetahuan Megawati) memutuskan mendukung
Sutiyoso dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2002? Ya, orang yang selama ini dianggap sebagai salah satu yang mesti
bertanggungjawab untuk peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996, saat itu Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya, justru diberi karpet merah untuk berkuasa di jantung Indonesia.
Mencoba berdamai dengan masa lalu, dalam hal ini peristiwa 27 Juli 1996, sampai batas tertentu dan dengan argumentasi yang didesak-desakkan mungkin saja menjadi hal yang bisa diterima. Tapi mendukung orang yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa itu adalah hal yang sangat berbeda dan nyaris tak bisa diterima akal sehat.
Jangan lupa juga bagaimana tokoh Papua non-kombatan, yang berjuang di podium-podium demokrasi dan bukan mengokang senapan di hutan-hutan Puncak Jaya,
Theys Eluay, juga tewas pada 11 November 2001. Itu adalah bulan-bulan pertama kekuasaan Megawati setelah mengambilalihnya dari Gus Dur yang dijatuhkan.
Lalu Munir? Pemberani yang mengorbankan banyak hal dalam hidupnya untuk kepentingan banyak
orang ini juga terbunuh saat Mega masih berkuasa, pada 7 September 2004, 1,5 bulan sebelum Istana berpindah tangan ke SBY.
Hitung saja berapa jenderal-jenderal Orde Baru yang diakomodasi oleh Megawati dan PDIP pada fase keemasan mereka ini.
Hendropriyono, yang jejaknya dalam
menumpahkan darah rakyat sipil di Talangsari, juga mendapat tempat yang baik di rezim PDIP dan Mega.
Jika benar Munir dibunuh oleh BIN, bukan hal yang kelewat mengada-ada bukan jika kita menyalahkan Megawati yang membiarkan nama-nama seperti Hendropriyono (yang terang terlibat dalam peristiwa berdarah di Talangsari) masih dapat posisi strategis di Orde Reformasi?
Memastikan kepemimpinan negara ini tidak jatuh pada pribadi-pribadi yang pernah menganggap enteng nyawa manusia adalah hal penting. Tapi memastikan PDIP tak akan mengulangi hal yang sama dan berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM juga sama pentingnya.
Setiap orang bisa berubah, setiap partai bisa berubah menjadi lebih baik. Tentu saja itu benar, tapi untuk kasus dunia politik Indonesia, kita bisa belajar terus menerus untuk tak memberi cek kosong. Jika memang berubah, bagaimana itu dilakukan? Apa yang akan diperbuat? Kita tak mendengar jawaban yang meyakinkan.
Aceh sudah jauh lebih baik sekarang. Tapi Papua masih jauh dari reda. Kasus-kasus kekerasan masih berlanjut. Dengan "waham NKRI ala Megawati", salahkah jika ada yang meminta standing point jelas dari Megawati dan PDIP bahwa tak akan ada lagi Theys Eluay? Apakah "jenderal berdarah panas" seperti Ryamizard Ryacudu masih akan dapat tempat (saya tak akan lupa ekspresi Ryamizard saat berbicara tentang Aceh)?
Menilik bagaimana Sutiyoso dan jenderal-jenderal Orde Baru dulu diberi karpet merah oleh PDIP, salahkah jika sebelum 9 April ini kita menagih kejelasan sikap PDIP untuk tak mengulanginya lagi?
Melihat bagaimana PDIP dan Megawati memperlakukan Sutiyoso yang tersangkut kasus penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996, salahkah kalau kita cemas bahwa kasus Munir juga tak akan pernah jadi apa-apa di era Megawati/Jokowi dan PDIP nantinya?
Menilik bagaimana Mega dan PDIP membiarkan jenderal yang sudah jelas menumpahkan darah sipil tetap berkuasa di BIN, apakah ada janji dari Mega dan PDIP untuk memastikan lembaga-lembaga angker seperti BIN tak akan lagi diduduki oleh orang-orang yang bermasalah dan punya rekam jejak buruk?
Bisakah Anda mengejar-ngejar Prabowo dan Wiranto untuk kekerasan-kekerasan yang terjadi saat mereka menjadi pemimpin militer tapi melupakan begitu saja kekerasan terhadap Aceh pada 2003, Theys pada 2001, atau berdamai begitu saja dengan korban-korban 27 Juli 1996? Adakah korban yang satu lebih penting dari yang lain? Seperti apa peringkat korban itu disusun? Atau bagaimana?
Saya tidak percaya teman-teman saya yang sekarang, dengan alasan yang masuk akal, memilih mengkampanyekan Jokowi itu, sudah lupa dengan handicap-handicap kelam yang lahir pada rezim Mega dan PDIP. Saya percaya mereka tak melupakannya. Mereka tidak lupa dengan kasus itu.
Hanya saja, mungkin, kali ini izinkan saya sedikit berprasangka buruk, mereka hanya sedang mencoba menyusun skala prioritas.
Tapi bagaimana skala prioritas harus disusun dalam praktik "politik ingatan"? Semacam menyusun loker-loker ingatan, di mana ingatan ini ditaruh di loker depan dan ingatan yang lain disimpan di loker belakang? Tidakkah ini semacam praktik penyuntingan terhadap ingatan dan kekerasan terhadap ingatan?
Bolehkah kita, demi mencegah orang-orang yang pernah menganggap enteng nyawa manusia menjadi presiden, mempraktikkan "politik ingatan" yang seperti ini?
Ini bukan tentang prasangka buruk. Tapi ini tentang serangkaian preseden buruk yang pernah terjadi. Kecemasan itu tak berpangkal dari prasangka, tapi dari preseden yang punya pijakan faktualnya.
Saya tak mau Jokowi menjadi Gottwald dan Munir/Theys/korban operasi militer di Aceh pada 2003/korban 27 Juli 1996 (setidaknya selama masa kampanye Pileg sampai kampanye Pilpres nanti) diperlakukan sebagai Clementis dalam adegan pembuka buku "The Book of Laughter and Forgetting" karangan Milan Kundera.
Adegan pembuka itu berlangsung di balkon sebuah istana di Praha. Di atas balkon itu, pemimpin komunis Ceko, Klement Gottwald, berbicara di hadapan ribuan kolega-kolega seperjuangannya. Tiba-tiba saja salju turun membawa udara dingin yang mencucuk. Rekan Gottwald, Clementis, yang berdiri di sebelahnya, melepas topi bulu yang dipakainya dan menyerahkannya pada Gottwald untuk dikenakan.
Ribuan foto diproduksi untuk mengabadikan adegan itu: Gottwald berdiri di balkon mengenakan topi bulu dan Clementis berdiri di sebelahnya. Repro foto dan gambar adegan itu disebarkan ke berbagai penjuru, ke berbagai buku, tak terkecuali buku pelajaran, sebagai gambaran adegan terpenting sejarah Ceko yang komunis.
Empat tahun kemudian, Clementis dihukum gantung karena tuduhan pengkhianatan. Clementis kemudian dihapus dari sejarah. Divisi propaganda partai menarik foto di balkon itu, mengeditnya sedemikian rupa, dan lalu menyebarkannya kembali: kali ini hanya Gottwald di balkon itu, Clementis sudah hilang dari foto.
Dari sinilah Kundera melahirkan pasasenya yang begitu terkenal itu: "Perjuangan manusia melawan kekuasaan itu seperti perjuangan ingatan melawan lupa."
Ini harus didesakkan justru karena PDIP sangat berpeluang besar menjadi pemenang. Kita bisa mengabaikan saja para calon pecundang, tapi mustahil kita mengabaikan mereka yang hendak berkuasa, bukan?
Dan di hadapan kekuasaan, hal paling mudah yang mesti dilakukan, adalah merawat baik-baik ingatan.
[url]https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/pdip-dan-perkara--politik-ingatan-062104678.html[/url]
Blunder Jokowi dan JK yang begitu bersemangat dengan sindiran-sindiran sejak sesi pertama, hingga sesi tanya-jawab, yang semua di fokuskan pada kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo sebagai prajurit di debat pilpres kali ini, justru
. Inilah justru moment yang memang ditunggu-tunggu Prabowo untuk menjelaskan posisi dirinya yang sesungguhnya dalam kasus tudingan pelanggaran HAM selama ini. Ketika JK terus mendesak apa isi tuduhan atas pemeriksaan (DKP) itu, dan Prabowomenjawab, silahkan pak JK tanya keatasan saya, kelihatan JK langsung bungkam! Sebab, atasan Prabowo adalah KSAD, Panglima TNI, dan Panglima Tertinggi TNI yaitu Presiden.