Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Tarian Isu SARA dalam Pilres 2014 (Panasbung, Panastak Dilarang Masuk)

yunartowijayaAvatar border
TS
yunartowijaya
Tarian Isu SARA dalam Pilres 2014 (Panasbung, Panastak Dilarang Masuk)


http://politik.kompasiana.com/2014/0...ra-654556.html

Saya melihat, ajang pilpres 2014 akan didominasi oleh pertarungan isu yang berbau dengan SARA. Bukan Jawa versus Non Jawa seperti yang orang duga sebelumnya, tetapi Islam versus Kristen, Pribumi versus Tionghoa dan Nasional versus Asing. Sinyal dan indikasinya telah terlihat dalam arus ombak wacana politik yang bergulir.

Buruk kah apabila benar Pilpres 2014 diwarnai isu SARA?

Tidak juga. Negara penegak Demokrasi sekelas Amerika Serikat pun seringkali menggunakan isu SARA dalam menjatuhkan lawannya. Ada kalanya SARA digunakan secara terang-terangan, ada kalanya secara tersirat.

Alam itu terus berubah, semula ia tegak lalu runtuh, berganti dalam wajah baru yang tegak lalu runtuh lagi. Seperti tertuang dalam Al-Baqarah ayat 28 : “Mengapa kamu inkar kepada Allah, padahal dulunya kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, lalu Allah mematikan kamu, lalu Allah menghidupkan kamu lagi, lalu Allah mematikan kamu lagi..”

Senada, konsep Reinkarnasi juga memiliki keidentikan mekanisme dengan Al-Baqarah ayat 28. Didukung juga oleh hukum fisika yang mengatakan, energi tidak pernah hilang dan terus menerus berubah bentuk. Lalu hukum evolusi menyebut bahwa setiap organisme berevolusi terus menerus untuk membentuk komposisi yang lebih tinggi.

Sebagaimana juga hukum dialektika mengatakan tesis akan dihadapkan pada antitesis lalu pertarungan keduanya menghasilkan sistesis. Dalam teorema Nietzsche, konsep ini juga berlaku.

Untuk menjadi Manusia Unggul (Ubermensch), seseorang harus mengejar Kehendak untuk Berkuasa (Der Will Zur Macht), yaitu dengan Membalikkan Semua Nilai (Umwertung Aller Werten) karena alam itu berada Di Luar Nilai Baik dan Buruk (Beyond Good and Evil). Demikian saripati dari 4 buku Nietzsche yang saya tulis di atas dalam tanda kurung.

Apa yang saya coba sampaikan disini adalah tidak ada yang ajeg kecuali memenangkan apa yang diperjuangkan. Kata siapa sistem Demokrasi-Kapital-Humanisme-Sekuler yang dianut masyarakat modern adalah yang terbaik?

Dahulu orang menggunakan sistem barter lalu berganti dengan uang. Apakah tak ada peluang kita mengganti sistem uang? Sekarang kita memakai sistem demokrasi, apa tidak mungkin suatu hari akan berganti ke sistem lain?

Oleh karenanya, cara masing-masing kelompok berjuang untuk memenangkan apa yang diperjuangkannya adalah sah. Selama tujuan dari semua itu adalah untuk kebaikan. Kebaikan milik siapa? Tentunya bagi kelompok yang berjuang itu. Bagi saya, kebaikan bersama adalah sebuah konsep yang tidak jelas batas ruangnya. Harus ditentukan terlebih dahulu, kebaikan bagi siapa, suku, kelompok, agama, bangsa, dunia dan sebagainya. Jika itu belum disepakati, maka penggunaan istilah kebaikan bersama itu juga akan termasuk kebaikan bagi musuh.

Apakah etis Musa menghina tuhan Mesir lalu menggalang hijrah para pekerjanya (budak) ke tanah Kanaan? Apa karena batasan SARA lalu Musa harus kompromi?

Apakah etis Ibrahim menghina tuhan Babilon lalu menggalang hijrah ke tanah Kanaan? Apa karena batasan SARA lalu Ibrahim harus kompromi?

Apakah etis Isa atau Yesus mengobrak-abrik perdagangan Riba bani Israil di Kuil Sulaiman (Bait Allah)? Apa karena batasan SARA lalu Isa atau Yesus harus kompromi?

Apakah etis Muhammad menghancurkan sesembahan berhala orang Arab di Ka’bah karena memperjuangkan ajarannya? Apa karena batasan SARA lalu Muhammad harus kompromi?

Apakah etis bangsa Nusantara mengusir Belanda dan Inggris juga kroni-kroninya pada masa kemerdekaan? Apa karena batasan SARA lalu bangsa Nusantara harus urungkan kemerdekaan?

Mengutip Leo Tolstoy, semua adil dalam cinta dan perang (All Fair in Love and War).

Bagi saya, demokrasi dan anak cucunya meliputi batasan SARA tidak lain upaya sang pemenang menjaga Status Quo. Sang Pemenang tidak ingin ada kompetisi di bawahnya yang memungkinkan menggantikan dirinya. Batasan demokrasi, SARA dan sebagainya adalah agar kita tidak bisa memenangkan kursi panas itu. Sang Pemenang, kaum Bani Israil itu tak ingin digantikan. Siapapun yang menang dalam kompetisi demokrasi, tak akan menggantikan mereka, Bani Israil sang Pemenang.

Saya tanya pada anda, Revolusi mana yang tidak mengusung isu SARA? Perlu dicatat, SARA bukan sekedar kesukuan dan keagamaan, tetapi juga rasial dan golongan. Saya tanya lagi, perjuangan mana yang tidak mengandung unsur SARA dalam prosesnya?

Batasan SARA diciptakan oleh Bani Israil agar tak ada pembedaan ekstrem yang bisa memicu revolusi. Batasan SARA diciptakan oleh Bani Israil agar tak ada lagi peluang berjuang di luar koridor normal. Batasan SARA diciptakan oleh Bani Israil agar sistem yang sudah tegak ini tak dapat diruntuhkan.

Oleh karenanya, saya katakan kembali disini bahwa jangan tabu-kan SARA apabila ia digunakan untuk tujuan yang baik.

Sesungguhnya, maksud dari tulisan ini bukanlah untuk mengajak masyarakat ber-SARA ria. Apa yang saya maksud disini adalah apabila kita melihat seketika marak pertarungan isu SARA, tak perlu kaget. Apalagi menganggap itu tabu atau haram, karena memang perjuangan mana pun akan berbau SARA.

Dan apabila melihat seketika wacana Pilpres 2014 akan dipenuhi isu SARA, memang realitanya demikian.

Kenapa bisa demikian?

Karena dalam Pilpres kali ini, terjadi polarisasi kelompok-kelompok yang saling beroposisi dalam peta dukungan capres.

Secara Parpol, Golkar didukung oleh Demokrat dan Hanura. Gerindra didukung oleh PAN, PKS, PPP. PDIP didukung Nasdem dan PKB.

Semula, PPP mendukung PDIP, namun mendadak balik arah kembali ke Prabowo (Gerindra). Djan Faridz, kawan akrab Prabowo melakukan manuver mengagetkan. Informan saya dalam PDIP menceritakan kalau Djan Faridz menaruh buku setebal 3 jari berisi daftar dosa Jusuf Kalla ke meja pribadi Megawati. Keributan terjadi antara Megawati, Djan Faridz dan Jusuf Kalla yang berujung pada kemungkinan Jusuf Kalla batal jadi cawapres Jokowi.

Perseteruan Djan Faridz dengan Jusuf Kalla memang sudah terjadi sejak Pilkada DKI. Djan Faridz yang semula hendak maju sebagai Gubernur DKI dihadang oleh Jusuf Kalla. Jusuf Kalla menyewa konsultan untuk menghancurkan Djan Faridz dari dalam sehingga gagal maju Gubernur DKI.

Djan Faridz pun mendukung Jokowi – Ahok di Pilkada DKI karena pertemanannya dengan Prabowo. Rumah timses Jokowi – Ahok di Jalan Borobudur Nomor 22 dipinjamkan oleh Djan Faridz kepada Gerindra (Prabowo).

Dukungan Surya Dharma Ali kepada Prabowo yang sempat menggoyang PPP juga karena kedekatan Djan Faridz dengan Prabowo. Sayangnya, mendadak muncul penolakan dari 26 DPW PPP terhadap dukungan PPP ke Prabowo. Penggerak penolakan 26 DPW PPP ini adalah Jusuf Kalla dengan memanfaatkan jabatannya sebagai Ketua Dewan Mesjid Indonesia.

Buntut dari perpecahan PPP itu adalah dukungan kepada Jokowi dengan mengajukan Jusuf Kalla sebagai cawapres Jokowi. Nama Jusuf Kalla masuk ke PDIP melalui Nasdem, PPP, PKB dan Polri. Dengan manuver Djan Faridz membeberkan dosa Jusuf Kalla ke Megawati, PPP kini hengkang dari PDIP dan mendukung Prabowo.

Dari sisi Prabowo, kini telah mendapat dukungan dari 3 parpol berideologi Islam yakni PAN, PKS dan PPP. Ketiga parpol Islam ini juga sudah menggandeng 2 kelompok Habib besar yakni Majelis Rasulullah dan Nurul Mustofa ke Prabowo. Arahnya kini pada pembentukan koalisi Islam mendukung Prabowo. Hanya tersisa PKB dan PBB dari parpol ideologi Islam yang belum bergabung ke Prabowo.

PKB masih mempertimbangkan untuk pindah haluan dukungan dari PDIP ke Prabowo. Perlu diingat, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) adalah politikus berpandangan bisnis. Artinya, haluan Cak Imin dan PKB akan sangat bergantung pada siapa yang berpeluang menang dan mendapat dukungan paling banyak.

Rekan saya di PKB mengatakan, pertimbangan Cak Imin adalah pada kepastian Rhoma Irama menjadi salah satu Juru Kampanye Prabowo. Diceraikannya Rhoma Irama oleh PKB pasca Pileg 9 April 2014 membuat pedangdut gaek itu berpikir masuk ke Prabowo. Alasan Rhoma Irama sederhana, suara PKB bisa mencapai 9% dipicu oleh Rhoma Irama Effect. Apabila Rhoma Irama pindah haluan dukung Prabowo, maka PKB bisa kehilangan sebagian suara. Ini jadi pertimbangan mendalam dari Cak Imin saat ini.

Pertimbangan lainnya dari Cak Imin adalah terjadinya perjanjian Ical – Prabowo atau yang disebut Koalisi Helikopter. Informan saya di Golkar mengatakan Koalisi Helikopter bukanlah untuk memajukan duet Prabowo – Ical atau Ical – Prabowo. Koalisi Helikopter adalah perjanjian politik untuk putaran kedua. Apabila Ical kalah di putaran pertama, maka suara gerbong Golkar akan mendukung gerbong Prabowo di putaran kedua. Sebaliknya, apabila Prabowo kalah di putaran pertama, suara gerbong Gerindra akan mendukung Ical di putaran kedua.

Adanya Koalisi Helikopter (Gerindra dan Golkar) ini yang menjadi pertimbangan Cak Imin dan PKB. Dalam hitungan Cak Imin, adanya Koalisi Helikopter untuk putaran kedua akan memperbesar peluang Prabowo menang. Cak Imin kini tengah menghitung faktor Koalisi Helikopter dalam memutuskan akan pindah haluan ke Prabowo atau tidak.

Dari pemetaan sementara, terlepas dari PKB pindah haluan atau tidak, Prabowo didukung oleh kelompok Islam. Kemudian dengan adanya Koalisi Helikopter, ada kemungkinan barisan TNI di belakang Golkar, Demokrat dan Hanura mendukung Prabowo. Dapat dikatakan, Prabowo juga mendapat dukungan TNI yang cukup kuat. Sederhananya, pada kelompok Prabowo ada dukungan kuat dari kelompok Islam dan TNI.

Pada sisi Jokowi, sementara mendapat dukungan dari PDIP, Nasdem dan PKB serta Polri. Tak hanya itu, dukungan kepada Jokowi juga datang dari para Naga (etnis Tionghoa) dipimpin James Riady (Lippo Group). Selain memimpin barisan para Naga, James Riady juga disebut-sebut sebagai tokoh Kristen aliran Presbyterian di Indonesia. Jadi, James Riady memimpin dua kelompok Kristen Presbyterian dan para Naga (etnis Tionghoa).

Selain itu, dukungan dari kelompok Katolik kepada Jokowi juga cukup kuat. Basis utama massa PDIP berada di Jawa Tengah yang juga menjadi basis utama kelompok Katolik di Indonesia. Majunya Jokowi ke Pilkada DKI juga mengangkat FX Rudyatmo (Katolik) sebagai Walikota Solo. Naiknya FX Rudyatmo sebagai Walikota Solo, menambah kedekatan hubungan antara Jokowi, PDIP dan tokoh-tokoh Katolik Indonesia. Tak heran Megawati (seperti diakui dalam tweetnya), mendapat tawaran jadi Sekjen PBB dari Dubes Vatikan untuk RI. Lantas dukungan kuat dari Kompas Group yang juga berada pada barisan kelompok Katolik Indonesia kepada Jokowi.

Tak hanya itu, AS dan Eropa melalui komisi Trilateral dan Hillary Clinton juga memberikan dukungan kuat kepada Jokowi. Pertemuan Jokowi dengan 7 dubes asing di rumah Jacob Soetoyo juga upaya pendekatan Komisi Trilateral kepada Jokowi. Hillary Clinton yang juga teman lama James Riady di AS, membangun kedekatan hubungan dengan Jokowi dalam agenda pemberantasan terorisme Solo. Dapat dikatakan memang Jokowi mendapat dukungan kuat dari pihak asing.

Sederhananya, basis kelompok pendukung Jokowi adalah Kristen Presbyterian, Katolik, Etnis Tionghoa, Asing dan Polri.

Saya ulang disini, Prabowo mendapat dukungan kuat dari mayoritas parpol Islam dan TNI. Sebaliknya, Jokowi didukung oleh mayoritas Kristen, Katolik, Etnis Tionghoa, Asing dan Polri.

Jarang sekali terjadi polarisasi kelompok yang saling beroposisi pada ajang Pileg dan Pilpres. Biasanya, polarisasi kekuatan yang saling beroposisi terjadi saat Pilkada. Makanya, sering kita lihat isu SARA berkeliaran pada tingkat Pilkada, tapi tidak pada tingkat nasional. Namun kali ini, pihak-pihak yang saling beroposisi menunjukkan keberpihakan dalam polarisasi ekstrem.

Dari segi agama : Islam (Prabowo) versus Kristen dan Katolik (Jokowi).

Dari segi sosial : Pribumi (Prabowo) versus etnis Tionghoa (Jokowi).

Dari segi hankam : TNI (Prabowo) versus Polri (Jokowi).

Berdasarkan polarisasi peta kelompok pendukung ekstrem seperti ini dapat dipastikan, isu SARA akan bermain. Sebut saja : Islam versus Kristen dan Katolik, Pribumi versus Tionghoa, TNI versus Polri, Nasional versus Asing, dan sebagainya.

Tiba-tiba saya teringat ketika Pilkada DKI 2012. Teman saya seorang etnis Tionghoa dari wilayah Jakarta Barat cerita, seluruh keluarganya menganjurkan coblos Jokowi – Ahok. Apa alasannya? Tak lain karena ada faktor Ahok. Dan data pemilih wilayah Jakarta Barat menunjukkan dominan memilih Jokowi – Ahok.

Lalu teman saya dari area pemukim Betawi menceritakan bagaimana seluruh keluarga dan kerabat anjurkan coblos Fauzi Bowo. Alasannya tak lain karena faktor kesamaan agama (Islam). Kerabat saya yang tinggal di kota Solo juga menceritakan ketika pemilihan Walikota Solo tokoh Katolik Solo anjurkan coblos Jokowi – FX Rudyatmo. Alasannya tentu saja faktor kesamaan agama (Katolik).

Memang demikianlah fakta yang terjadi di masyarakat. Ketika Pilkada DKI, timses Jokowi – Ahok dari kelompok Tionghoa menyerukan coblos Jokowi – Ahok karena kesamaan etnis. Lalu timses Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli menyerukan agar etnis betawi mencoblos mereka. Kemudian juga timses Jokowi – FX Rudyatmo dari kelompok Katolik serukan agar penganut Katolik coblos mereka.

Semuanya tak lain bagian dari strategi dan taktik pemenangan atas apa yang diperjuangkan. Apakah ada yang salah ketika Tokoh Betawi serukan coblos Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli karena kesamaan etnis? Apakah salah Tokoh Tionghoa serukan coblos Jokowi – Ahok karena kesamaan etnis? Apakah salah Tokoh Katolik serukan coblos Jokowi – FX Rudyatmo karena kesamaan agama?

Tidak juga. SARA pada realitanya adalah praktik wajar di kalangan masyarakat luas. Namun anehnya ditabukan oleh sebagian kecil kelompok. Atas dasar apa?

Buat saya, berpihak pada A karena kesamaan etnis, agama, suku, golongan dan pemikiran tertentu adalah hak.

Begitu pula menyerukan keberpihakan pada etnis, agama, suku, golongan dan pemikiran tertentu, juga hak.

Tak luput, menyerukan penolakan pada etnis, agama, suku, golongan dan pemikiran tertentu juga sebuah hak.

Kesimpulannya, berpartisipasi dalam perang SARA di ajang Pilpres 2014 adalah hak. Sebagaimana juga menolak partisipasi dalam perang SARA di ajang Pilpres 2014 juga hak.

Jadi, jangan heran, merasa aneh atau menabukan wacana SARA yang saya prediksi akan kian kencang di ajang Pilpres 2014 ini. Faktanya, memang terjadi polarisasi kelompok yang saling beroposisi dalam peta dukungan capres 2014, khususnya Jokowi versus Prabowo.

Apabila anda memihak Jokowi karena faktor kesamaan agama (Kristen dan Katolik) atau etnis (Tionghoa), itu adalah hak.

Apabila anda memihak Prabowo karena faktor kesamaan agama (Islam) atau kesamaan anggota TNI, itu juga hak.

Pilih mana?

Prabowo mendapat dukungan kuat dari mayoritas parpol Islam dan TNI?

Jokowi didukung oleh mayoritas Kristen, Katolik, Etnis Tionghoa, Asing dan Polri?

Pilih mana?

Islam (Prabowo) versus Kristen dan Katolik (Jokowi).

Pribumi (Prabowo) versus etnis Tionghoa (Jokowi).

TNI (Prabowo) versus Polri (Jokowi).

Sekian dulu untuk hari ini. Mari kita simak kelanjutannya.
0
4.4K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.