weeellyAvatar border
TS
weeelly
Aksi Heroik Pahlawan Demokrasi 2014, Rela Mati Demi Kebenaran


Rudi Hartono Seran (34) merupakan salah satu petugas pengawas pemilu lapangan (PPL) di Desa Pelaik Keruap, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Hal tersebut berdasarkan Surat Tugas Nomor 14/Panwaslucam-Menukung/2014 tentang Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Menukung. Dalam kesehariannya ia bukanlah sosok yang istimewa, ia hanyalah seorang pekerja wiraswasta yang merasa terpanggil untuk mengawal proses Pemilu yang berlangsung di desanya. Pekerjaan sehari-harinya adalah berkebun dan beternak ikan lele. Ia dianugerahi dua orang putra, yaitu Oskar Delahoya Seran berusia sepuluh tahun dan Imanuel Andika Seran berusia lima bulan. Rudi Hartono Seran (34) kemudian menjadi sosok yang ramai dibicarakan karena aksi heroiknya. Ia begitu gigih mempertahankan prinsipnya yaitu “antipolitik uang” sampai harus meregang nyawa pada hari Jumat (11/4).

“Politik uang” memang menjadi momok yang menakutkan dalam hajatan lima tahunan pesta demokrasi di Indonesia. Besarnya biaya yang harus digelontorkan oleh bakal calon anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menarik simpati pemilih, tak jarang memercik bara api perselisihan di tengah masyarakat. Bakal calon yang sudah menggelontorkan mahar dalam jumlah besar tentu tidak ingin kalah begitu saja. Mereka rela melakukan apa saja demi mendapatkan kursi kepemimpinan yang diimpikan.

Salah satu cara yang dianggap jitu adalah dengan melakukan "politik uang". Membagi-bagikan uang di daerah pemilihan masing-masing saat pemilu, seperti sebuah tradisi yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Parahnya lagi, hal ini sama sekali tidak mengganggu proses demokrasi yang ada. Masyarakat seperti sudah terbiasa dan bahkan menjadikan “politik uang” sebagai momen yang dinanti-nanti untuk meraup rupiah dari kaum elit politik "bermental busuk." Hal ini sekaligus menjadi cerminan moral masyarakat kita yang rela menggadaikan nasib bangsanya hanya untuk mendapatkan imbalan lembaran lima puluhan ribu rupiah.

Dahsyatnya tekanan politik dari caleg
Kisah heroik ini bermula ketika pada hari Jumat (4/4), Rudi Hartono Seran (34) ditugaskan sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) oleh Ketua Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan Menukung Bapak Arobianto. Almarhum diberi tugas mengawal proses pemungutan suara di Desa Pelaik Keruap, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di TPS 03 desa tersebut.

Selama menjalankan tugas, almarhum dalam buku hariannya mengaku banyak mendapatkan intervensi dari berbagai pihak, khususnya dari salah satu caleg dan tim suksesnya.

Dalam buku harian tersebut ia menuliskan beberapa temuan selama menjalankan tugas sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Atas temuan-temuan tersebut ia mendapatkan tekanan luar biasa dari para oknum caleg yang bersaing. Pelanggaran sudah dimulai sejak surat undangan yang seharusnya dibagikan kepada masyarakat yang terdaftar dalam DPT tidak disebarkan. Surat undangan tersebut tidak disebarkan atas perintah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan alasan sibuk dan banyak masyarakat yang sedang tidak berada di tempat. Atas pelanggaran ini almarhum menyatakan keberatannya secara lisan dan tertulis kepada pihak KPPS setempat, namun undangan tetap tidak disebarkan.

Beberapa tim sukses caleg juga pernah menawarkan sejumlah uang kepada almarhum agar mau bekerjasama memanipulasi hasil pemilu, tetapi ia menolak karena tetap berpegang pada prinsip ingin menyelenggarakan Pemilu yang besih dan adil demi kepentingan masyarakat di desa tersebut.
Pun demikian pada saat proses pemungutan suara Rabu (9/4), banyak pelanggaran yang terjadi, seperti temuan adanya surat suara yang dicoblos bukan di TPS, tetapi di rumah salah satu warga masyarakat setempat. Belum lagi masalah surat suara yang tidak dicoblos karena pemilih yang terdaftar di DPT tidak hadir. Surat suara tersebut dicoblos oleh petugas KPPS dan dianggap sah oleh para saksi.

Alamarhum merasa sangat tidak puas dengan situasi yang terjadi, karena semua telah dirancang sejak awal untuk memenangkan salah satu caleg yang memainkan skenario “politik uang”. Namun apa daya, ia berjalan sendirian dijalur yang menurutnya benar, sementara petugas yang lain larut dalam perannya masing-masing, karena sudah mendapatkan imbalan uang dan tidak mau mengambil risiko.

Isteri dan anak almarhum pun tidak luput dari ancaman. Ancaman yang dimaksud berupa intimidasi kepada almarhum bahwa kalau almarhum terlalu jujur dan tidak mau diajak bekerjasama, alamarhum diminta menjaga anak dan istrinya dengan baik. Kalimat “menjaga anak dan isteri dengan baik” tersebut sempat menciutkan nyali almarhum. Atas ancaman ini almarhum melaporkan dan meminta perlindungan dari aparat desa setempat, namun tidak mendapat tanggapan positif. Sampai pada akhirnya almarhum ditemukan tewas bersimbah darah karena ditusuk benda tajam pada hari Jumat (11/4) tepat pukul 14. 30 WIB.

Ada upaya menggiring opini publik dengan isu “bunuh diri”

Di tengah proses hukum yang sedang berjalan terkesan ada upaya dari pihak tertentu untuk menggiring kasus ini agar mengerucut dari kasus dugaan pembunuhan menjadi kasus bunuh diri. Hal ini semakin diperparah dengan adanya pemberitaan yang tidak berimbang dari salah satu media massa berskala nasional yang menyatakan bahwa almarhum adalah tim sukses dari salah satu caleg yang tidak kuat mendapat tekanan dan akhirnya bunuh diri (Tribun News. Com Sabtu, 12 April 2014 23:17 WIB).

Sayangnya dalam penulisan berita tersebut terdapat beberapa pelanggaran kode etik jurnalistik yang layak dipertanyakan. Pertama, Maria Goreti (34) isteri almarhum menyatakan bahwa Wartawan Tribun hanya meminta keterangan dari narasumber sekunder tanpa mengonfirmasi isi berita kepada narasumber primer (pihak korban). Narasumber sekunder yang digunakan pun tidak jelas asal-usulnya. Isteri almarhum menyatakan tidak mengenal yang namanya Saleh (40), narasumber dalam berita tersebut yang mengaku sebagai kerabat almarhum. Di desa tersebut pun tidak ada warga yang bernama Saleh.

Kedua, pihak keluarga almarhum sama sekali tidak pernah melihat keberadaan Wartawan Tribun di Tempat Kejadian Perkara (TKP), baik pada hari pertama kejadian sampai pada pemakaman jenazah almarhum, bahkan sampai sekarang pun pihak keluarga almarhum belum pernah melakukan wawancara dengan wartawan atau pihak manapun. Sehingga, layak dipertanyakan dari mana Wartawan Tribun mendapat data untuk penulisan berita tersebut? Hal ini diperkuat pula dengan tidak adanya foto lokasi kejadian pada berita yang diterbitkan (hanya ilustrasi) yang menunjukkan bahwa Wartawan Tribun tidak betul-betul terjun ke TKP untuk memperoleh informasi yang valid.

Ketiga, kasus ini masih dalam proses penyelidikan, belum bisa disimpulkan bahwa status kematian almarhum adalah ”bunuh diri” atau “dibunuh”, tetapi redaksi tribun sudah memvonis bahwa almarhum meninggal karena “bunuh diri”. Hal ini tentu sangat menyakitkan bagi keluarga almarhum.
Disengaja atau pun tidak, dari kejanggalan-kejanggalan tersebut, sangat jelas bahwa memang ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan kasus ini. Polisi harus bertindak cepat dan tidak terpengaruh oleh opini-opini yang memang sengaja digiring ke arah yang tidak semestinya.
Proses hukum yang berlangsung lamban

Almarhum meninggal dunia dengan meninggalkan buku harian yang berisi temuan-temuan selama melaksanakan tugas sebagai Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Dalam buku tersebut nama-nama orang yang pernah mengintervensi almarhum sudah dituliskan secara lengkap, bahkan nama-nama oknum yang pernah mengancam almarhum dan keluarganya sudah tertulis secara gamblang dalam buku tersebut. Seharusnya tugas pihak kepolisian (Polres Melawi Kalimantan Barat) tidaklah terlalu sulit. Namun, entah mengapa proses hukum berjalan sangat lamban. Pihak kepolisian terkesan sangat hati-hati dalam menangani kasus ini.

Pihak almarhum telah melaporkan kejadian sejak tanggal 12 April 2014, namun sampai saat ini belum ada perkembangan yang berarti. Kasus ini terus mengambang, sementara status kematian almarhum yang dikatakan “bunuh diri” semakin meluas dan opini masyarakat semakin hari semakin selaras dengan apa yang diberitakan di media massa bahwa almarhum meninggal karena “bunuh diri”.

Kisah Rudi Hartono Seran yang setia pada prinsipnya untuk melaksanakan Pemilu yang bersih dan adil sampai harus mengorbankan nyawa dan keluarganya selayaknya dapat membuka mata hati kita bahwa “politik uang” memang harus diperangi. Para pemimpin yang mendapatkan kursi kepemimpinan dengan membeli suara rakyat tentu tidak akan pernah memikirkan nasib rakyat, mereka hanya akan berpikir bagaimana mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan untuk membeli suara rakyat. Kalau sudah demikian, maka jangan pernah bermimpi aspirasi kita sebagai rakyat yang diwakili akan didengar.

Inilah ironi yang terjadi di Negara Demokrasi Republik Indonesia. Kita tentu tidak menginginkan korban-korban “politik uang” berikutnya berjatuhan, kisah heroik Rudi Hartono Seran (34) cukuplah sampai di sini, jangan ada lagi Rudi Rudi yang lainnya. “RIP Brother We Love You!”

Oleh,
Welly Hadi Nugroho Seran, S. Pd.

emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-I Love Indonesia (S)
Diubah oleh weeelly 09-05-2014 03:01
0
2K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.