- Beranda
- The Lounge
Ciri-ciri Pemimpin Bagi Umat Muslim ( Wajib )
...
TS
rezaark
Ciri-ciri Pemimpin Bagi Umat Muslim ( Wajib )
Assalamualaykum wr.wb
1.Niat yang Lurus
2. Laki-Laki
3. Tidak Meminta Jabatan/kekuasaan
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
5. Tegas
6. Menasehati rakyat
7. Beriman dan Beramal Shaleh
8. Berpegang pada Hukum Tuhan
Sekian Dari Thread Sederhana Ane..
Kalo ada salah kata ane mohon maaf..
Tolong Di
Tapi jangan Lempar ane
1.Niat yang Lurus
Quote:
Janganlah mencari-cari kekuasaan, jangan rakus/tamak kekuasaan, jangan gila kekuasaan, dan jangan pula terbuai oleh godaan kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah, mudah diucapkan namun faktanya, kita sudah melihat hampir seluruh calon penguasa adalah gila kekuasaan,dari yang malu-malu sampai yang tidak tahu malu, dari yang curi-curi kesempatan hingga yang terang-terangan meminta/mencari kekuasaan.
Niat yang lurus, mungkin tidak pernah terlihat, namun seiring waktu, semua akan terbuka dengan sendirinya secara perlahan-lahanakan terlihat, para pemimpin, yang maju karena ambisi berkuasa, karena gila kekuasaan, karena rakus kekuasaan, karena syahwat berkuasa. Maka jika sudah melihatnya sendiri, jangan ambil resiko, mereka adalah manusia yang dikuasai oleh syahwat dan ego, yang bernama “tahta”
Niat yang lurus, or ambisi or visi misi, tidak harus diwujudkan dengan pernyataan or keinginan “saya maju menjadi calon penguasa”, melainkan dengan kesiapan untuk menjadi pemimpin. Yang penting itu siap, siap untuk dipilih oleh rakyat, rakyat adalah subyek, calon pemimpin adalah obyek, bukan sebaliknya, dengan begitu kehendak berada ditangan rakyat, selaku pemberi mandat/amanah kepada calon pemimpin yang siap tersebut. Karena orientasi/fokus kehendak ada pada rakyat pemberi amanah, maka, calon pemimpin itu akan mudah menerima kekalahannya untuk tidak dipilih, karena semua itu semata-mata karena kehendak rakyat sebagai pemilik amanah
Niat yang lurus, mungkin tidak pernah terlihat, namun seiring waktu, semua akan terbuka dengan sendirinya secara perlahan-lahanakan terlihat, para pemimpin, yang maju karena ambisi berkuasa, karena gila kekuasaan, karena rakus kekuasaan, karena syahwat berkuasa. Maka jika sudah melihatnya sendiri, jangan ambil resiko, mereka adalah manusia yang dikuasai oleh syahwat dan ego, yang bernama “tahta”
Niat yang lurus, or ambisi or visi misi, tidak harus diwujudkan dengan pernyataan or keinginan “saya maju menjadi calon penguasa”, melainkan dengan kesiapan untuk menjadi pemimpin. Yang penting itu siap, siap untuk dipilih oleh rakyat, rakyat adalah subyek, calon pemimpin adalah obyek, bukan sebaliknya, dengan begitu kehendak berada ditangan rakyat, selaku pemberi mandat/amanah kepada calon pemimpin yang siap tersebut. Karena orientasi/fokus kehendak ada pada rakyat pemberi amanah, maka, calon pemimpin itu akan mudah menerima kekalahannya untuk tidak dipilih, karena semua itu semata-mata karena kehendak rakyat sebagai pemilik amanah
2. Laki-Laki
Quote:
Apakah kriteria laki-laki adalah bentuk penentangan dari emansipasi wanita? Sudah saatnya kita meluruskan pemahaman yang benar mengenai definisi dan implementasi dari emansipasi wanita, the fact is, wanita memiliki kodrat yang jelas-jelas berbeda dengan pria, dimana kodrat tersebut sebetulnya merupakan penyeimbang dari kodrat pria, sebagai contoh kodrat pria dan wanita, yaitu, rasional-sentimentil/sensitif, kuat-lemah, tegas/keras-lembut/penyayang, independen-dependent, tukang ngatur-penurut, dll.
Singkatnya, dengan berbagai kodrat tersebut memang laki-laki ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, dan menempatkan seorang wanita sebagai pemimpin hanya karena sentimen emansipasi wanita adalah tindakan tidak bijak, samahalnya tidak bijak menempatkan seseorang pada bidang yang tidak sesuai dengan kompetensinya
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
Singkatnya, dengan berbagai kodrat tersebut memang laki-laki ditakdirkan untuk menjadi pemimpin, dan menempatkan seorang wanita sebagai pemimpin hanya karena sentimen emansipasi wanita adalah tindakan tidak bijak, samahalnya tidak bijak menempatkan seseorang pada bidang yang tidak sesuai dengan kompetensinya
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada seorang wanita.”(Hadits Riwayat Al-Bukhari dari Hadits Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya).
3. Tidak Meminta Jabatan/kekuasaan
Quote:
Sudah jelas, jabatan adalah amanah, menjadi beban ataupun tanggungan, ataupun merupakan mandat yang diberikan oleh para pemilihnya. Memiliki cita-cita untuk menjadi pemimpin/penguasa adalah sah-sah saja, terlebih jika tujuannya untuk mengisi kekosongan ataupun memperbaiki keadaan, namun ada perbedaan jelas antara "misi visi untuk memimpin" dengan "ambisi untuk memimpin". Saya ulangi lagi, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang diperebutkan melainkan merupakan pemberian/pelimpahan amanah. Orang yang memperebutkan kekuasaan, ataupun yang berambisi atas kekuasaan tersebut, ataupun orang yang gila dan rakus kekuasaan, maka siap2 saja menjadi bencana bagi suatu kaum yang ia pimpin. Alasannya sederhana saja, karena ia berkuasa untuk dirinya sendiri, bukan untuk rakyatnya, bukan pula karena mendapat amanah dari rakyatnya
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,
”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Quote:
Keadilan adalah harga mutlak, dan mudah dipahami, karena keadilan adalah jaminan atas tegaknya kebenaran, Bahkan ditegaskan, Tuhan lebih menyukai pemimpin yang adil dari kalangan kafir, ketimbang pemimpin yang zalin dari kalangan muslim. Alasannya sederhana saja, dengan keadilan, maka kebenaran (dari Tuhan) dapat ditegakkan, dengan kezaliman, maka kebenaran tersebut hanya menjadi klaim penguasa semata.
Keadilan or “menempatkan sesuatu pada haknya”. Mungkin terdengar mainstream, bagi pemimpin yang koar2 bicara keadilan, namun sering kali pemimpin tidak paham atas “sesuatu pada haknya”, karena keterbatasan ilmunya, sehingga cenderung menerima bisikan or pengaruh dari lainnya, sehingga merasa sudah berbuat adil, namun faktanya tidak, karena pemimpin tersebut tidak menempatkan sesuatu pada haknya, hanya demi menyenangkan pihak2 yang dianggap “orang banyak”, meskipun begitu selalu saja ada pembelaan, tidak bisa memenuhi keadilan bagi semua pihak, maka dibutuhkan kebijaksanaan, dengan kata lain, mereka yang adil adalah mereka yang bijak
Keadilan, tidak terbatas pada perkara permasalahan antar 2 pihak (rakyat), melainkan perkara keadilan antara pemimpin dengan rakyatnya. Pemimpin sebagai pemegang amanah, apakah sudah adil memperlakukan rakyatnya, terutama dalam hal amanah (janji/kepercayaan untuk memimpin) yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin nya. Pemimpin yang adil, benar-benar memberatkan or mendahulukan kepentingan rakyat banyak, yaitu para pemilihnya, bukan memberatkan kepada pihak2 asing diluar orang banyak, apalagi memberatkan ego dan syahwat nya sendiri (pemimpin) terutama dalam hal harta tahta wanita.
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
Keadilan or “menempatkan sesuatu pada haknya”. Mungkin terdengar mainstream, bagi pemimpin yang koar2 bicara keadilan, namun sering kali pemimpin tidak paham atas “sesuatu pada haknya”, karena keterbatasan ilmunya, sehingga cenderung menerima bisikan or pengaruh dari lainnya, sehingga merasa sudah berbuat adil, namun faktanya tidak, karena pemimpin tersebut tidak menempatkan sesuatu pada haknya, hanya demi menyenangkan pihak2 yang dianggap “orang banyak”, meskipun begitu selalu saja ada pembelaan, tidak bisa memenuhi keadilan bagi semua pihak, maka dibutuhkan kebijaksanaan, dengan kata lain, mereka yang adil adalah mereka yang bijak
Keadilan, tidak terbatas pada perkara permasalahan antar 2 pihak (rakyat), melainkan perkara keadilan antara pemimpin dengan rakyatnya. Pemimpin sebagai pemegang amanah, apakah sudah adil memperlakukan rakyatnya, terutama dalam hal amanah (janji/kepercayaan untuk memimpin) yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin nya. Pemimpin yang adil, benar-benar memberatkan or mendahulukan kepentingan rakyat banyak, yaitu para pemilihnya, bukan memberatkan kepada pihak2 asing diluar orang banyak, apalagi memberatkan ego dan syahwat nya sendiri (pemimpin) terutama dalam hal harta tahta wanita.
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Tegas
Quote:
Tegas erat kaitannya dengan perkara adil, karena keadilan hanya dapat diterapkan dengan ketegasan, tegas bukan berarti otoriter ataupun tirani, ataupun berkuasa mutlak, melainkan jelas antara yang benar dan salah, tidak bias, dan tidak pula mencampur adukan keduanya (abu-abu) dengan begitu keadilan akan tercipta dengan sendirinya. Sebetulnya, orang yang memiliki perilaku tegas (tidak bermuka dua or tidak bersilat lidah or tukang ngeles), dengan sendirinya memiliki sifat2 ciri kepemimpinan yang baik lainnya yaitu, jujur, amanah, tidak munafik, dan lain sebagainya
Ketegasan juga terkait dengan independensi seorang pemimpin, pemimpin yang tegas, yang yakin dengan kebenaran yang ia jalani, tidak mudah terpengaruh oleh pihak luar, termasuk godaan2 duniawi (harta tahta wanita), tidak mudah didikte, bagai benteng kokoh yang berdiri tegak di tengah amukan gelombang ombak samudra, untuk berjuang bagi kebenaran dan membela rakyatnya, dan bukan mengikuti bisikan-bisikan ataupun titipan (pengaruh) dari pihak gaib yang jelas2 tidak sesuai kehendak rakyat banyak
Ketegasan juga terkait dengan independensi seorang pemimpin, pemimpin yang tegas, yang yakin dengan kebenaran yang ia jalani, tidak mudah terpengaruh oleh pihak luar, termasuk godaan2 duniawi (harta tahta wanita), tidak mudah didikte, bagai benteng kokoh yang berdiri tegak di tengah amukan gelombang ombak samudra, untuk berjuang bagi kebenaran dan membela rakyatnya, dan bukan mengikuti bisikan-bisikan ataupun titipan (pengaruh) dari pihak gaib yang jelas2 tidak sesuai kehendak rakyat banyak
6. Menasehati rakyat
Quote:
Cakap dan pandai adalah syarat mutlak menjadi pemimpin, terutama cakap dan pandai dalam berkomunikasi dengan rakyatnya, hal itu bisa dilihat dari pemilihan bahasa, pemilihan kata-kata or kalimat, intonasi, komitmen/konsistensi atas ucapannya, dll. Komunikasi juga bertujuan untuk meneruskan pemikiran rakyat kepada pemimpin, atau biasa dikenal, “penyambung lidah rakyat”, apa yang rakyat inginkan diterima, dicerna, dipahami dan diteruskan oleh pemimpin, sehingga mindset penguasa haruslah sama dengan mindset rakyatnya, sehingga pemimpin tidaklah “asing” dimata rakyatnya sendiri
Pemimpin punya hak untuk mengatur rakyatnya, cara yang paling sederhana dan ringan, yaitu menasehati rakyatnya, dengan begitu tidak harus bertumpu pada sanksi hukum untuk mengatur rakyatnya, melainkan dengan pendekatan persuasif. Untuk itu keteladanan menjadi modal mutlak agar rakyat mau mendengar dan menerima nasehat dari pemimpinnya. Dengan begitu, hanya pemimpin yang jujur, tegas, lurus, konsisten, tidak munafik, dan adil lah yang dapat menasehati rakyatnya dengan baik.
Jangan sampai, pemimpin menasehati dan berbicara banyak dihadapan khalayak, namun dianya sendiri suka mengingkari ataupun tidak pernah menjalankan nasehatnya sendiri, jika sudah begitu, maka kepercayaan dari rakyat akan luntur, dan tentu saja sifat amanah (dapat dipercaya) dari pemimpin sudah tidak ada lagi. Maka apakah ia masih layak menjadi pemimpin?
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
Pemimpin punya hak untuk mengatur rakyatnya, cara yang paling sederhana dan ringan, yaitu menasehati rakyatnya, dengan begitu tidak harus bertumpu pada sanksi hukum untuk mengatur rakyatnya, melainkan dengan pendekatan persuasif. Untuk itu keteladanan menjadi modal mutlak agar rakyat mau mendengar dan menerima nasehat dari pemimpinnya. Dengan begitu, hanya pemimpin yang jujur, tegas, lurus, konsisten, tidak munafik, dan adil lah yang dapat menasehati rakyatnya dengan baik.
Jangan sampai, pemimpin menasehati dan berbicara banyak dihadapan khalayak, namun dianya sendiri suka mengingkari ataupun tidak pernah menjalankan nasehatnya sendiri, jika sudah begitu, maka kepercayaan dari rakyat akan luntur, dan tentu saja sifat amanah (dapat dipercaya) dari pemimpin sudah tidak ada lagi. Maka apakah ia masih layak menjadi pemimpin?
Adapun hadist yang berkaitan yaitu;
”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
7. Beriman dan Beramal Shaleh
Quote:
Mungkin masih ada diantara kita yang memperdebatkan aturan alquran mengenai larangan memilih pemimpin dari kalangan kafir dengan berbagai versi dan sudut pandangnya masing-masing. Well sebetulnya perdebatan itu tidak perlu ada jika kita memahaminya dengan logika yang sebetulnya sederhana pula
Adapaun hukum dalam quran yaitu;
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin….. (Ali Imran(3):28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)
Adapun yang menjadi perdebatan (kurang lebihnya) adalah kata “wali”, “aulia/penolong”, dan “pemimpin”
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa aturan itu adalah aturan/larangan memilih/mengambil/merekrut/menunjuk pemimpin/aulia/wali dari orang kafir, dan bukan merupakan larangan untuk memiliki pemimpin/aulia/wali dari orang kafir.
Sebagai gambaran, pada jaman nabi, yaitu sebuah masa dimana turunnya alquran, sudah menjadi tradisi arab, yang terdiri dari berbagai suku/kabilah (masa tersebut belum mengenal konsep kenegaraan melainkan konsep kesukuan), dimana seseorang dapat memberikan jaminan keselamatan kepada orang lainnya dengan mengatasnamakan suku/kabilah tersebut. Tentunya suku/kabilah tersebut dianggap yang terkuat atau disegani, sehingga jaminan perlindungan tersebut diterima dan diakui oleh pihak lain
Singkatnya perlindungan tersebut hanya bisa diberikan oleh orang/pihak yang berkuasa/penguasa. Maka jika menggunakan asumsi ini, maka sebetulnya sama saja makna aulia/penolong, dengan wali dan dengan pemimpin. Sederhananya, jika pada jaman nabi perlindungan itu diberikan/dijamin oleh kepala suku/pemimpin suku, maka untuk saat ini, yang berhak mengatur dan menjamin keselamatan seseorang adalah pemimpin/penguasa negara yang ditegakkan melalui aparat hukumnya
Adapaun hukum dalam quran yaitu;
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin….. (Ali Imran(3):28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An Nisa(4):144)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (Al Maidah(5):51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah(5):57)
Adapun yang menjadi perdebatan (kurang lebihnya) adalah kata “wali”, “aulia/penolong”, dan “pemimpin”
Sebelumnya, perlu dipahami bahwa aturan itu adalah aturan/larangan memilih/mengambil/merekrut/menunjuk pemimpin/aulia/wali dari orang kafir, dan bukan merupakan larangan untuk memiliki pemimpin/aulia/wali dari orang kafir.
Sebagai gambaran, pada jaman nabi, yaitu sebuah masa dimana turunnya alquran, sudah menjadi tradisi arab, yang terdiri dari berbagai suku/kabilah (masa tersebut belum mengenal konsep kenegaraan melainkan konsep kesukuan), dimana seseorang dapat memberikan jaminan keselamatan kepada orang lainnya dengan mengatasnamakan suku/kabilah tersebut. Tentunya suku/kabilah tersebut dianggap yang terkuat atau disegani, sehingga jaminan perlindungan tersebut diterima dan diakui oleh pihak lain
Singkatnya perlindungan tersebut hanya bisa diberikan oleh orang/pihak yang berkuasa/penguasa. Maka jika menggunakan asumsi ini, maka sebetulnya sama saja makna aulia/penolong, dengan wali dan dengan pemimpin. Sederhananya, jika pada jaman nabi perlindungan itu diberikan/dijamin oleh kepala suku/pemimpin suku, maka untuk saat ini, yang berhak mengatur dan menjamin keselamatan seseorang adalah pemimpin/penguasa negara yang ditegakkan melalui aparat hukumnya
8. Berpegang pada Hukum Tuhan
Quote:
Seorang pemimpin haruslah beriman, dan tidak sekedar beriman, namun paham dan mengerti akan agamanya, karena sudah jelas agama (islam) adalah benteng yang mengatur nilai moral manusia. Seseorang yang paham dengan agamanya maka ia akan mampu berlaku untuk adil, dan menerapkannya dengan tegas.
Sedikit banyak, tidaklah harus pakar dibidang agama, pemahaman agama pemimpin harus lah diatas rata-rata jika dibandingkan dengan rakyatnya, agar pemimpin mampu menerima, mencerna, dan meneruskan keinginan rakyatnya, bayangkan ketika rakyat menginginkan perubahan-perubahan yang lebih religius (islami) misalnya, jika pemimpin tidak memiliki pemahaman yang baik, maka bagaimana mungkin pemimpin bakal mewujudkan keinginan rakyatnya, yang terjadi adalah pemimpin menjadi beban rakyatnya yang penuh keraguan dalam implementasi nilai-nilai agama
Seseorang yang berpegang kepada hukum tuhan, yang percaya pada hari pembalasan or surga dan neraka, tentunya amat berhati-hati dalam memegang kekuasaannya, karena sudah diwanti-wanti dalam agama bahwa jabatan itu adalah amanah, bukan sesuatu yang diperebutkan ataupun dikejar-kejar karena pemimpin adalah yang mendapat pertanggungjawaban pertama kali di akhirat kelak
Karena itulah carilah pemimpin yang amanah, yang takut pada hukum tuhan, benar-benar menganggap kekuasaan adalah amanah/titipan, sesuai ciri-ciri pemimpin yang tertulis pada poin2 sebelumnya.
adapun ayat Quran yang berkaitan adalah;
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Sedikit banyak, tidaklah harus pakar dibidang agama, pemahaman agama pemimpin harus lah diatas rata-rata jika dibandingkan dengan rakyatnya, agar pemimpin mampu menerima, mencerna, dan meneruskan keinginan rakyatnya, bayangkan ketika rakyat menginginkan perubahan-perubahan yang lebih religius (islami) misalnya, jika pemimpin tidak memiliki pemahaman yang baik, maka bagaimana mungkin pemimpin bakal mewujudkan keinginan rakyatnya, yang terjadi adalah pemimpin menjadi beban rakyatnya yang penuh keraguan dalam implementasi nilai-nilai agama
Seseorang yang berpegang kepada hukum tuhan, yang percaya pada hari pembalasan or surga dan neraka, tentunya amat berhati-hati dalam memegang kekuasaannya, karena sudah diwanti-wanti dalam agama bahwa jabatan itu adalah amanah, bukan sesuatu yang diperebutkan ataupun dikejar-kejar karena pemimpin adalah yang mendapat pertanggungjawaban pertama kali di akhirat kelak
Karena itulah carilah pemimpin yang amanah, yang takut pada hukum tuhan, benar-benar menganggap kekuasaan adalah amanah/titipan, sesuai ciri-ciri pemimpin yang tertulis pada poin2 sebelumnya.
adapun ayat Quran yang berkaitan adalah;
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49).
Quote:
JAWABAN HUKUM MENJADIKAN NON-MUSLIM (KAFIR) SEBAGAI PEMIMPIN DAN TEMAN
BERTEMAN DENGAN NON-MUSLIM HUKUMNYA BOLEH DENGAN SYARAT
1, Ayat-ayat yang bernada larangan menjadikan orang kafir (non-muslim) sebagai teman atau pemimpin terdapat dalam beberapa tempat yaitu: QS Ali Imran 3:28 (yang anda kutip di atas); An-Nisa 4:89 , 139, 144 dan 199; Al-Isra 17:2; Al-A'raf ayat 30; Al-Maidah ayat 51-52; At-Taubat ayat 23; Al-Mujadalah ayat 22; Al-Mumtahanah ayat 1 dan 9.
Banyak orang memahami ayat-ayat di atas sebagai anjuran untuk bersikap keras, kebencian dan pemutusan hubungan dengan non-muslim dan perintah untuk berteman dengan sesama muslim saja.
Yang benar bagi mereka yang berfikir secara teliti dan mengkaji sejarah sebab turunnya ayat, maka pemahamannya tidaklah demikian. Yusuf Qardawi dalam salah satu fatwanya menjelaskan pemahaman ayat-ayat di atas sebagai berikut:
Pertama, bahwa larangan tersebut konteksnya adalah apabila kalangan non-muslim menyifati dirinya sebagai kelompok eksklusif yang menonjolkan sisi keagamaan-nya, ideologinya, pemikirannya dan syiar agamanya yakni mereka menonjolkan sebagai Yahudi, Nasrani, Hindu, dll; bukan menampakkan diri sebagai tetangga, teman atau sesama bangsa. Sedangkan seorang muslim harus berteman dengan umat Islam saja. Dari sinilah adanya peringatan bergaul dengan non-muslim. Yakni, bahwa umat Islam sebagai komunitas (jamaah) dilarang berdekatan atau saling sayang dengan non-muslim sebagai komunitas; tapi tidak apa-apa bergaul dengan mereka sebagai individu.
Kedua, berteman atau berkasih sayang (mawaddah) dengan nonmuslim yang dilarang oleh Quran adalah pertemananan yang bertujuan untuk menyakiti umat Islam dan menentang Allah dan Rasul-Nya. Jadi, larangan itu bersifat kondisional. Tidak mutlak. Lagipula, kalau kita tidak mau berteman sama sekali dengan individu nonmuslim, bagaimana cara kita untuk mendakwahi mereka ke dalam Islam? Adapun dalil dari pemahaman ini sbb: (a) QS Al-Mujadalah ayat 22. (b) (b) Firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah ayat 1; dan (c) QS Al-Mumtahanah ayat 8 di mana Allah berfirman: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Ketiga, Islam membolehkan seorang pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab seperti jelas tersebut dalam QS Al-Maidah 5:5. Padalah kehidupan berkeluarga tak mungkin dilakukan tanpa adanya rasa kasih sayang antara keduanya seperti tersebut dalam QS Ar-Rum ayat 21.
Intinya, berteman dengan individu non-muslim dibolehkan asal bukan untuk persekongkolan jahat untuk merugikan umat Islam.
MEMILIH PEIMPIN NON-MUSLIM
QS An-Nisa 4:144 menyatakan larangan bagi umat Islam memilih pemimpin non-muslim "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 12/229 mengutip pendapat Qadhi Iyad sbb:
أجمع العلماءُ على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصلوات والدعاءَ إليها
Artinya: Ulama sepakat bahwa kepemimpinan (imamah) tidak sah dipegang orang kafir...
Tidak sah-nya kepemimpinan orang kafir itu adalah dalam konteks di negara yang meyoritas muslim. Adapun apabila di negara yang meyoritas non-muslim maka tentu saja tidak ada masalah dipimpin oleh orang nonmuslim karena memang mereka yang berkuasa sebagaimana kasus pada zaman Nabi di mana sebagian Sahabat berhijrah ke negara non-muslim yang dipimpin orang nonmuslim. Saat itu Rasulullah berkata pada Sahabat yang hendak berimigrasi ke Habasyah:
اذهبوا الى الحبشة فإن فيها حاكما عادلا لا يظلم عنده أحد
Artinya: Pergilah ke negara Habasyah karena di sana terdapat seorang hakim (penguasa/pemimpin) yang adil. Tidak akan ada seorang pun yang akan mendzalimi.
Berikut pendapat sejumlah ulama tentang mengangkat pemimpin non-muslim di negara mayoritas Islam
قال القاضي عياض رحمه الله: "أجمع العلماءُ على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصلوات والدعاءَ إليها"
وقال ابن المنذِر رحمه الله: إنه قد "أجمع كل مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أن الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال".
وقال ابن حَزم: "واتفقوا أن الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا لصبِي".
وقال ابن حجَر رحمه الله: إن الإمام "ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كل مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض".
: رجح جمهورُ العلماء أن فِسق الحاكم فسقًا ظاهرًا معلومًا يؤدي لِسُقوط ولايته، ويكون مسوغًا للخروج عليه عند أمن إراقة الدماء وحدوث الفِتَن؛ وذلك لأن فسقه قد يُقْعِده عن القيام بواجباته الشرعية؛ من إقامة الحدود، ورعاية الحقوق، وحِفظ دين رعيتِه ومعاشهم
Intinya adalah mengangkat pemimpin non-muslim di negara mayoritas muslim hukumnya haram dan tidak sah.
Namun demikian, ada pendapat dari Ibnu Taimiyah yang secara implisit membolehkan mengangkap pemimpin non-muslim apabila dia adil dan tidak ada pemimpin muslim yang dianggap adil.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Amr bil Ma'ruf wan Nahyu anil Munkar menyatakan:
وأمور الناس إنما تستقيم في الدنيا مع العدل الذي قد يكون فيه الاشتراك في بعض أنواع الإثم أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق، وإن لم تشترك في إثم. ولهذا قيل: " الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة ولو كانت مؤمنة".
Artinya: ... dikatakan bahwa Allah menolong negara yang adil walaupun kafir, dan tidak akan menolong negara zalim walaupun muslim.
BERTEMAN DENGAN NON-MUSLIM HUKUMNYA BOLEH DENGAN SYARAT
1, Ayat-ayat yang bernada larangan menjadikan orang kafir (non-muslim) sebagai teman atau pemimpin terdapat dalam beberapa tempat yaitu: QS Ali Imran 3:28 (yang anda kutip di atas); An-Nisa 4:89 , 139, 144 dan 199; Al-Isra 17:2; Al-A'raf ayat 30; Al-Maidah ayat 51-52; At-Taubat ayat 23; Al-Mujadalah ayat 22; Al-Mumtahanah ayat 1 dan 9.
Banyak orang memahami ayat-ayat di atas sebagai anjuran untuk bersikap keras, kebencian dan pemutusan hubungan dengan non-muslim dan perintah untuk berteman dengan sesama muslim saja.
Yang benar bagi mereka yang berfikir secara teliti dan mengkaji sejarah sebab turunnya ayat, maka pemahamannya tidaklah demikian. Yusuf Qardawi dalam salah satu fatwanya menjelaskan pemahaman ayat-ayat di atas sebagai berikut:
Pertama, bahwa larangan tersebut konteksnya adalah apabila kalangan non-muslim menyifati dirinya sebagai kelompok eksklusif yang menonjolkan sisi keagamaan-nya, ideologinya, pemikirannya dan syiar agamanya yakni mereka menonjolkan sebagai Yahudi, Nasrani, Hindu, dll; bukan menampakkan diri sebagai tetangga, teman atau sesama bangsa. Sedangkan seorang muslim harus berteman dengan umat Islam saja. Dari sinilah adanya peringatan bergaul dengan non-muslim. Yakni, bahwa umat Islam sebagai komunitas (jamaah) dilarang berdekatan atau saling sayang dengan non-muslim sebagai komunitas; tapi tidak apa-apa bergaul dengan mereka sebagai individu.
Kedua, berteman atau berkasih sayang (mawaddah) dengan nonmuslim yang dilarang oleh Quran adalah pertemananan yang bertujuan untuk menyakiti umat Islam dan menentang Allah dan Rasul-Nya. Jadi, larangan itu bersifat kondisional. Tidak mutlak. Lagipula, kalau kita tidak mau berteman sama sekali dengan individu nonmuslim, bagaimana cara kita untuk mendakwahi mereka ke dalam Islam? Adapun dalil dari pemahaman ini sbb: (a) QS Al-Mujadalah ayat 22. (b) (b) Firman Allah dalam QS Al-Mumtahanah ayat 1; dan (c) QS Al-Mumtahanah ayat 8 di mana Allah berfirman: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Ketiga, Islam membolehkan seorang pria muslim menikahi wanita Ahli Kitab seperti jelas tersebut dalam QS Al-Maidah 5:5. Padalah kehidupan berkeluarga tak mungkin dilakukan tanpa adanya rasa kasih sayang antara keduanya seperti tersebut dalam QS Ar-Rum ayat 21.
Intinya, berteman dengan individu non-muslim dibolehkan asal bukan untuk persekongkolan jahat untuk merugikan umat Islam.
MEMILIH PEIMPIN NON-MUSLIM
QS An-Nisa 4:144 menyatakan larangan bagi umat Islam memilih pemimpin non-muslim "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?"
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 12/229 mengutip pendapat Qadhi Iyad sbb:
أجمع العلماءُ على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصلوات والدعاءَ إليها
Artinya: Ulama sepakat bahwa kepemimpinan (imamah) tidak sah dipegang orang kafir...
Tidak sah-nya kepemimpinan orang kafir itu adalah dalam konteks di negara yang meyoritas muslim. Adapun apabila di negara yang meyoritas non-muslim maka tentu saja tidak ada masalah dipimpin oleh orang nonmuslim karena memang mereka yang berkuasa sebagaimana kasus pada zaman Nabi di mana sebagian Sahabat berhijrah ke negara non-muslim yang dipimpin orang nonmuslim. Saat itu Rasulullah berkata pada Sahabat yang hendak berimigrasi ke Habasyah:
اذهبوا الى الحبشة فإن فيها حاكما عادلا لا يظلم عنده أحد
Artinya: Pergilah ke negara Habasyah karena di sana terdapat seorang hakim (penguasa/pemimpin) yang adil. Tidak akan ada seorang pun yang akan mendzalimi.
Berikut pendapat sejumlah ulama tentang mengangkat pemimpin non-muslim di negara mayoritas Islam
قال القاضي عياض رحمه الله: "أجمع العلماءُ على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل، وكذا لو ترك إقامةَ الصلوات والدعاءَ إليها"
وقال ابن المنذِر رحمه الله: إنه قد "أجمع كل مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أن الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال".
وقال ابن حَزم: "واتفقوا أن الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا لصبِي".
وقال ابن حجَر رحمه الله: إن الإمام "ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كل مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض".
: رجح جمهورُ العلماء أن فِسق الحاكم فسقًا ظاهرًا معلومًا يؤدي لِسُقوط ولايته، ويكون مسوغًا للخروج عليه عند أمن إراقة الدماء وحدوث الفِتَن؛ وذلك لأن فسقه قد يُقْعِده عن القيام بواجباته الشرعية؛ من إقامة الحدود، ورعاية الحقوق، وحِفظ دين رعيتِه ومعاشهم
Intinya adalah mengangkat pemimpin non-muslim di negara mayoritas muslim hukumnya haram dan tidak sah.
Namun demikian, ada pendapat dari Ibnu Taimiyah yang secara implisit membolehkan mengangkap pemimpin non-muslim apabila dia adil dan tidak ada pemimpin muslim yang dianggap adil.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Amr bil Ma'ruf wan Nahyu anil Munkar menyatakan:
وأمور الناس إنما تستقيم في الدنيا مع العدل الذي قد يكون فيه الاشتراك في بعض أنواع الإثم أكثر مما تستقيم مع الظلم في الحقوق، وإن لم تشترك في إثم. ولهذا قيل: " الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة، ولا ينصر الدولة الظالمة ولو كانت مؤمنة".
Artinya: ... dikatakan bahwa Allah menolong negara yang adil walaupun kafir, dan tidak akan menolong negara zalim walaupun muslim.
Sekian Dari Thread Sederhana Ane..
Kalo ada salah kata ane mohon maaf..
Tolong Di
Tapi jangan Lempar ane
Diubah oleh rezaark 07-05-2014 05:28
0
3.6K
Kutip
38
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
922.7KThread•82.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru