Seorang perempuan di Aceh yang menjadi korban pemerkosaan massal minggu lalu terancam hukuman cambuk karena dituduh melakukan perbuatan mesum.
"Kami ingin pasangan itu dihukum cambuk karena mereka melanggar hukum qanun syariat Islam tentang hubungan seksual," kata Ibrahim Latif, kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Selasa (6/5).
Hukuman cambuk yang dihadapi wanita itu menjadi kontroversial karena dia adalah korban pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh delapan pemuda yang menggerebek rumahnya.
Y, seorang janda berusia 25 tahun, dan pasangannya, W (40), digerebek oleh sekelompok pemuda di sebuah desa di Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa, karena dituduh membawa masuk W pada Kamis dinihari lalu.
Setelah memukul W dan mengikatnya di dalam kamar, delapan pemuda itu menyeret Y ke kamar lain dan merudapaksa korban secara bergiliran.
Tiga tersangka, termasuk seorang yang bocah berusia 13 tahun, telah berhasil ditangkap polisi. Sementara lima lainnya melarikan diri. Para pelaku juga sempat memandikan Y dan W dengan air got sebelum diserahkan kepada aparat desa.
Ibrahim mengatakan fakta bahwa Y telah dirudapaksa tidak ikut diperhitungkan dalam keputusan hukuman cambuk.
"Mereka telah melanggar qanun syariat Islam tentang khalwat (wanita dan pria yang bukan muhrimnya berduaan). Mereka harus diproses sebagai bentuk keadilan karena para pelaku pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap Y diproses secara hukum pidana," kata Ibrahim.
Kapolres Kota Langsa AKBP Hariadi mengatakan sedang rapat dengan Kapolda Aceh Irjen Pol Husein Hamidi di Banda Aceh.
Sedangkan, Kasat Reskrim Polres Langsa AKP M. Firdaus mengaku tak berwenang memberi keterangan kepada wartawan tanpa izin dari Kapolres.
Dalam hukum Syariah yang dipraktikkan di Aceh, Y dan W terancam hukuman cambuk sembilan kali. Para pemerkosa juga terancam hukum cambuk dengan jumlah yang sama jika perbuatan mereka diproses secara Syariah.
Setelah selesai pembuatan berkas perkara di Polres Langsa, berkas tersangka akan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Langsa. Selanjutnya akan disidangkan di Mahkamah Syariah. Setelah ada putusan Mahkamah Syariah, berkas tersebut akan dikembalikan ke polisi syariah untuk dilaksanakan prosesi hukuman cambuk.
Polisi syariah Kota Langsa diperbantukan di bawah Dinas Syariat Islam setempat. Sedangkan untuk 22 kabupaten dan kota lain di Aceh, polisi syariah berada dalam satu kesatuan dengan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Saat diwawancarai Minggu (27/4) lalu, Ibrahim menyatakan bahwa Y dan W belum sempat berhubungan layaknya suami istri. Namun, menurutnya, pasangan tersebut sudah melanggar qanun karena keduanya, bukan muhrim, berada dalam satu rumah.
“Apalagi mereka mengaku sudah pernah melakukan hubungan suami istri beberapa kali sebelumnya padahal W telah punya istri sah dan memiliki lima orang anak,” kata Ibrahim.
Teungku Faisal Ali, ketua Nahdlatul Ulama di Aceh, mendukung hukuman cambuk terhadap pasangan itu walau menurutnya para pemerkosa juga harus dihukum secara syariah dan pidana.
"Hukuman bagi sekelompok pemuda yang merudapaksa korban harus lebih berat karena mereka merusak upaya penegakan hukum Syariah di Aceh," katanya.
sumur
Quote:
Hukum Islam untuk kasus pemerkosaan ada dua:
Pertama: Pemerkosaan tanpa mengancam dengan menggunakan senjata.
Orang yang melakukan tindak pemerkosaan semacam ini dihukum sebagaimana hukuman orang yang berzina. Jika dia sudah menikah maka hukumannya berupa dirajam, dan jika belum menikah maka dia dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun. Sebagian ulama mewajibkan kepada pemerkosa untuk memberikan mahar bagi wanita korban pemerkosaan.
Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang merudapaksa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak) maka pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak maka dia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang dirudapaksa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)
Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang dirudapaksa, jika dia wanita merdeka (bukan budak), berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang merudapaksanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had (rajam atau cambuk). Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Al-Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, ‘Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.’”
Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” (Al-Muntaqa Syarh Al-Muwaththa’, 5:268).
Kedua: Pemerkosaan dengan menggunakan senjata.
Orang yang memerkosa dengan menggunakan senjata untuk mengancam, dihukumi sebagaimana perampok. Sementara, hukuman bagi perampok telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
إِنمَا جَزَاءُ الذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتلُوا أَوْ يُصَلبُوا أَوْ تُقَطعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)
Dari ayat di atas, ada empat pilihan hukuman untuk perampok:
1. Dibunuh.
2. Disalib.
3. Dipotong kaki dan tangannya dengan bersilang. Misalnya: dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
4. Diasingkan atau dibuang; saat ini bisa diganti dengan penjara.
Pengadilan boleh memilih salah satu di antara empat pilihan hukuman di atas, yang dia anggap paling sesuai untuk pelaku dan bisa membuat efek jera bagi masyarakat, sehingga bisa terwujud keamanan dan ketenteraman di masyarakat.
Harus ada bukti atau pengakuan pelaku
Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman (selain hukuman had). Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar dirudapaksa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” (Al-Istidzkar, 7:146)
Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka (diberlakukan) pengadilan ta’zir (selain hukuman had), yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.” (Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338).
[sumber: [url]http://konsultasisyariah.com/hukum-kasus-pemerkosaan][/url]