antonerlAvatar border
TS
antonerl
GAY itu sebenarnya apa ? Mengapa ada GAY ?
Thread ke 2 ane soal GAY, setelah sebelumnya : Kaum Gay adalah Kaum Pilihan ?

=========================================================================

“Guys, I’m gay..”

Mungkin 30 tahun lalu kata-kata ini terlarang untuk diucapkan bila kita mau diterima di lingkungan sosial. Tapi seiring perkembangan waktu, masyarakat mulai terbuka akan ide-ide dari berbagai arah, dan paradigma masyarakat pun mulai berubah, termasuk lebih berwawasan luas mengenai gay. Namun demikian, bukan berarti homoseks begitu saja diterima di masyarakat, bahkan tidak sedikit kelompok melakukan perlawanan. Memang norma agama dan norma sosial umum di Indonesia masih membatasi penerimaan kita oleh seluruh masyarakat, namun penting untuk kita pahami, apakah sebenarnya yang dimaksud homoseks tersebut, dan apa artinya keberadaan kita sebagai salah satu darinya.

Apakah gay itu kelainan?

Quote:



Homoseks sering dianggap sebagai “penyimpangan” atau “kelainan” seksual. Banyak pihak mengarahkan penentangan mereka berdasar anggapan tersebut. Bahkan, banyak diantara gay sendiri menyebut dirinya dengan istilah “sakit”, entah sebagai lelucon atau sebagai expresi kebencian diri. Namun, apakah anggapan itu tepat?

Untuk itu kita harus memahami dulu yang disebut ‘orientasi seksual’. Orientasi seksual, adalah ketertarikan emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain. Orang yang tertarik pada sesama jenis disebut homoseks (gay, untuk wanita juga disebut lesbian), dan orang yang tertarik pada lain jenis disebut heteroseks (straight). Tapi, orientasi seksual itu tidak hitam-putih, melainkan terentang antara kondisi “100% homoseks” sampai “100% heteroseks” dan di antaranya ada “biseks” yang kadarnya bermacam-macam.

Walau homoseks murni adalah minoritas, perlu dicatat bahwa secara biologis, orientasi homoseks dan heteroseks sama saja “normal”nya. Jadi keberadaan homoseks bukan kelainan, dan bukan penyimpangan, melainkan sesuatu yang wajar dan lumrah. Prosentase masing-masing dalam sekelompok manusia hampir selalu sama. Tidak ada bangsa yang ‘banyak’ homoseksnya, dan tidak ada bangsa yang ‘bebas’ dari homoseks. Gay dan lesbian berada di mana-mana dan dalam semua lapisan masyarakat. Di Indonesia, menurut salah satu survey online baru-baru ini, jumlah homoseks mungkin mencapai hampir 10% dari masyarakat ( silakan liat hasilnya di sini).

Perlu diingat bahwa orientasi seksual tidak berubah sepanjang hidup. Orientasi seksual ini juga tidak otomatis berarti perilaku seksual, karena orientasi seksual hanya mencakup perasaan dan kesadaran diri. Dalam perilakunya, seseorang bisa saja mewujudkan atau tidak mewujudkan orientasi seksual mereka. Jadi seorang gay bisa saja memilih menikah dengan wanita, dan seorang straight bisa saja berhubungan seks dengan sesama jenis, tapi itu tidak merubah orientasi seksual dasar mereka.

Kemudian, sama layaknya heteroseks, homoseks tidak tertarik pada sembarang orang. Homoseksual memang tertarik pada sesama jenis, namun jenis hubungan yang terjalin tidak berbeda dengan hubungan kaum heteroseksual, misalkan komitmen emosional, saling ketergantungan dan keinginan untuk bersama selamanya.


Apakah gay itu penyakit?

A big NO, sekali lagi NO. Psikolog, psikiater, dan ahli kejiwaan yang lain sepakat bahwa homseksualitas bukan penyakit, kelainan mental, atau masalah kejiwaan.

Anggapan palsu banwa homoseks adalah penyakit, menuju ke pertanyaan paling yang tidak logis: dapatkah homoseksual disembuhkan? Jawaban saya: bisakah anda coba berjalan dengan tangan? Sama tidak mungkinnya. Orientasi seksual ini terlalu mendasar dalam diri kita untuk dapat diubah. Mustahil untuk merubah homoseks menjadi seorang heteroseks, atau kebalikannya.

Menganggap gay adalah penyakit, ibarat menganggap rambut pirang adalah penyakit. Dari seluruh manusia, kebanyakan berambut hitam. Hanya sedikit yang berambut pirang. Tapi tidak lalu berarti orang berambut pirang itu “sakit”, dan memang tidak bisa dan tidak perlu “disembuhkan”!

Mungkin ada yang dengar metode-metode psikiatri yang melibatkan hipnotis dan metode cuci otak, bahkan metode elektro-shock yang ekstrim. Banyak terapis yang mengaku berhasil, namun penelitian lebih lanjut terhadap laporan tersebut menimbulkan keraguan, karena klaim tesebut ternyata berasal dari organisasi yang mengutuk homoseksual. Bahkan ada yang mengaku bahwa mereka diubah melalui doa atau agama. Ya deh, kalau yang satu ini lebih baik saya tidak komentar.


Mengapa saya gay?

Nah, kini saatnya membahas beberapa hal yang menjadi sumber prasangka buruk masyarakat terhadap kaum homoseksual.

“Kenapa kamu menganggap diri gay?”
- wow, sungguh pertanyaan yang menuduh seakan-akan orang tersebut menyesatkan dirinya sendiri. Pertanyaan ini pada dasarnya sudah salah. Seorang gay tidak “menganggap” bahwa dirinya adalah gay, melainkan dia “mengetahui” dan “menyadari” bahwa dia adalah gay. Seorang gay mengenali perasaannya sendiri bahwa dia tertarik terhadap sesama jenis.

“Kenapa kamu memilih menjadi gay?”
- pertanyaan ini mengingatkan pada wawancara Justin Bieber di majalah Rolling Stone: “Being gay is a decision. It's everyone's own decision to do that...” - wow, kiddo, sungguh pernyataan yang aneh! Tidak ada seorang pun yang pernah memilih menjadi homoseksual. Kita tidak bisa memilih menjadi gay, lesbian, biseks, atau straight. Sudah terbukti secara ilmiah bahwa orientasi seksual itu terbentuk pada masa kecil, paling tidak pada masa akil balig, tanpa didahului pengalaman seksual, bahkan bisa dibilang bawaan lahir. Hal ini sudah diterima sebagai fakta dalam bidang ilmiah, psikiatri dan kedokteran. So yes, we were born this way! Terserah pada pribadi masing-masing untuk mengikuti atau menekan orientasi seksual kita.

“Kalau begitu, apa sebabnya orang jadi gay?”
- maksud pertanyaan ini adalah, mengapa orientasi seksual seseorang bisa berupa ketertarikan pada sesama jenis? Wah, terus terang, saat ini, tidak ada yang tahu pasti apa alasan sesungguhnya. Banyak teorinya. Yang pasti, sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa orientasi seksual disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara faktor lingkungan, kognitif dan faktor biologis (genetis dan hormonal).

Selama sejarah dunia psikiatri, banyak berkembang teori-teori yang mencoba menjelaskan, apa yang membuat seseorang menjadi homoseks. Mana yang mitos, mana yang fakta? Banyak orang mengajukan pendapat yang berbeda-beda, dan bahkan suatu forum terbesar di Indonesia mencoba mendebat teori-teori yang ada (silakan liat thread forumnya di sini).

1. Akibat genetika?
Telah ditemukan bukti bahwa hal ini dapat disebabkan karena perubahan genetika. Sebagai contoh, ditemukan bahwa jika seorang anak adalah gay, maka kakaknya mempunyai kemungkinan lebih besar untuk menjadi seorang homoseks juga. Seorang kembar identik mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi (50%) untuk mempunyai saudara yang juga homoseks. Pada riset yang dilakukan oleh Dean Hamer di Amerika Serikat, ditemukan tanda genetika di daerah Xq28 dari kromosom X yang berhubungan erat dengan orientasi homoseksual. Hal ini membuktikan bahwa orientasi homoseksual mempunyai komponen genetika. (Mungkin benar. But, I’m not saying it’s God’s plan to make someone gay. All I know is, I was gay, even before I had sexual experience...)

2. Akibat biologis lainnya?
Bukti-bukti lainnya juga didapatkan dari faktor hormonal pada saat pembentukan janin. Bukti-bukti yang sementara berlaku adalah struktur otak orang homoseks berbeda dari orang heteroseks, dan perbedaan dalam bentuk struktur otak ini disebabkan oleh perkembangan otak semasa perkembangan janin. Bukti utama dari perbedaan perkembangan otak ini diakibatan oleh keseimbangan hormon si ibu hamil yang berpengaruh pada keseimbangan hormon si janin. ( Saya nggak bermaksud menyalahkan ibu saya yang sudah mengandung saya lho, tapi somehow it makes sense...)

3. Lingkungan masa kecil?
Sebagian orang menganggap pengasuhan atau lingkungan masa kecil adalah salah satu faktor penyebab homoseks, tetapi ini tidak terbukti sama sekali. Orang-orang cenderung memunculkan dua ide kuno di bawah ini:

a. Ayah yang jauh, ibu yang dominan? Para peneliti yang serius mendalami homoseksualitas menyatakan anggapan ini adalah salah sama sekali, dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Ini sebenarnya hanya suatu prasangka, yang menyatakan bahwa pria gay cenderung kewanita-wanitaan karena pengaruh ibu mereka yang sangat dominan, sementara sang ayah yang diharapkan berperan sebagai contoh tidak berfungsi. Hal ini sangat bertolak belakang dari hasil penyelidikan yang didapat. Banyak pria gay yang sama maskulinnya dengan pria normal.

b. Penganiayaan/ pelecehan seksual waktu masa kecil? Lagi-lagi sebuah ide yang juga tanpa data-data yang mendukung. Hal ini diakibatkan dari anggapan yang salah bahwai orang heteroseks dapat “berubah” menjadi homoseks melalui pelecehan seksual yang mereka derita, atau melalui hubungan dengan kaum homoseks yang mereka alami pada masa kecil. Menurut psikiater, teori ini hanyalah anggapan yang tidak berdasar, karena orientasi seksual tidak berubah karena pengalaman seksual.

Nyatanya, kebanyakan homoseks (termasuk saya sendiri) lahir dan besar di lingkungan keluarga yang bahagia, dengan penuh kasih sayang dari kedua orangtua, dan juga tidak mengalami pelecehan seksual waktu kecil. Mengapa saya tidak straight?

4. Bergaul dengan kaum homoseks?
Ada anggapan, jika bergaul dengan gay, seseorang akan terpengaruh agar jadi gay juga. Ini juga mitos, karena orientasi seksual seseorang tidak dapat diubah! Seorang heteroseks tidak langsung berubah menjadi homoseks bahkan jika ia bergaul dengan kaum homoseks. Jangankan orang dewasa, bahkan anak-anak atau remaja tidak bisa langsung berubah menjadi seorang gay atau lesbian hanya karena mereka bergaul dengan homoseks dewasa. Anak-anak yang diangkat dan diasuh oleh pasangan sesama jenis pun normal saja (dalam pengertian, tidak terpengaruh orientasi seksualnya).

Pengamatan saya, faktor-faktor lingkungan seperti pergaulan dan pengasuhan ini, biasanya muncul sebagai pembenaran orang-orang yang berusaha menyangkal dirinya adalah homoseks. Ada yang menyalahkan pengasuhan ayah-ibunya, atau berpikir bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual ataupun menyalahkan kaum homoseks yang sudah ”merubah” mereka menjadi homoseks. Dan teori-teori mengenai “menjadi homoseks karena lingkungan yang salah, atau karena trauma masa lalu” inilah yang menyebabkan munculnya suatu ide konyol: homoseksual adalah “penyakit” dan dapat “disembuhkan”.

Beberapa orang merancukan gay dengan free sex, pelecehan seksual, pramuriaan atau bentuk amoralitas lainnya. Ini jelas salah kaprah. Perlu digarisbawahi, bahwa orientasi seksual seseorang itu biologis semata, dan tidak langsung mendikte moralitas atau nilai budaya yang dianutnya. “Gay” tidak sama dengan “rusak” - itu pencitraan buruk yang tidak mendasar. Kaum homoseks kebanyakan adalah warga biasa yang terhormat dan berguna bagi masyarakat, bahkan tidak sedikit yang punya bakat hebat dan prestasi tinggi.

Coming Out

Setelah kita membahas hal-hal mendasar tentang homoseks, sekarang kita bahas bagian yang bagi sebagian besar merupakan tahap yang paling mendebarkan. Coming out. Telling the world who truly we are. Mungkin buat para straight, mereka memandang aneh tentang gay/lesbian yang coming out. Aneh dan tidak tahu malu. Pandangan ini yang harus diubah. Proses coming out bukanlah sekedar ajang pamer bahwa kita itu super pede dan berani ngelawan aturan, makna coming out lebih dalam daripada itu.

Ingat Kurt di serial “Glee” dan Justin di serial “Queer as Folk” dan banyak karakter lainnya di film bertemakan gay yang mengalami tekanan bertubi-tubi setelah dia mencoba coming out? Atau karakter “closeted gay” seperti David Karofsky yang merasakan betapa tertekannya dia menyangkal dirinya sendiri? Bagi sebagian gay/lesbi dan biseks proses membuka diri ini super sulit. Seringkali mereka merasa inferior, merasa berbeda, feeling weird dan merasa bersalah ketika meyadari bahwa orientasi seksual mereka berbeda dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Belum lagi masalah tekanan sosial, seperti pengucilan sosial, bullying/kekerasan fisik dan diskriminasi lainnya. Bahkan penelitian di California membuktikan pada pertengahan 1990an menunjukkan hampir seperlima lesbian yang berpartisipasi dalam studi tersebutdan seperempat gay yang diteliti telah menjadi korban hate crime karena orientasi seksual mereka. Sangat berisiko.

Proses coming out adalah tahap pengakuan diri, bahwa kita mengakui bahwa kita memiliki sesuatu yang berbeda dan proses memahami diri sendiri, mencintai diri sendiri apa adanya, membebaskan diri sendiri dari perasaan berasalah, bahkan bagi beberapa orang adalah proses memaafkan diri sendiri. Coming out timbul dari kebutuhan untuk dihargai apa adanya diri mereka dan tidak hidup dalam kemunafikan. I’m not saying that you should do parade on the street wearing banner saying “I’m gay, so what?” Coming out lebih ke arah jujur kepada orang lain tentang keadaan yang sebenarnya tentang dirinya, karena kejujuran adalah sebuah dasar dalam menjalin hubungan keluarga dan persahabatan.

Bahkan menurut saya, inti proses coming out itu adalah penerimaan kita terhadap diri kita sendiri. Dengan berdamai dengan segala kekurangan, bebas dari rasa malu terhadap diri sendiri, kita telah bebas, melihat diri kita setara seperti orang lain, bukan seorang yang selalu direndahkan karena orientasi seksualnya.

Namun tantangan proses coming out bukan hanya dari internal diri sendiri, namun juga tekanan dari para “homophobes”/pembenci gay. Ancaman mental, tekanan sosial bahkan kekerasan fisik mungkin akan dilayangkan oleh mereka. Sesungguhnya, kebanyakan orang menjadi homophobes karena ketidak tahuan mereka akan homoseksual dan ketakutan mereka akan kaum homoseksual memberikan pengaruh buruk bagi lingkungan dan keluarga mereka, somehow we’ll make them turn int gay. Mereka berprasangka buruk kepada kaum homoseksual karena kekurang tahuan mereka apakah sebenarnya homoseksual tersebut, mereka hanya mendapatkan pemahaman dari generasi sebelum-sebelum mereka, bahwa homoseksual harus diberantas. Banyak juga yang menganggap bahwa homoseksual itu hanya berisi hal-hal tentang seks terlarang (well, thanks to some of us, I don’t blame them). Inilah yang harus diluruskan oleh kita, bahwa kaum homoseksual itu bukan untuk diperangi, kita sama normalnya seperti mereka, hanya dengan orientasi seksual yang berbeda.

Quote:



( By Dhaka F - BoyzForum

BACA JUGA GAN! : Gay dalam Islam (Kaum Gay adalah Kaum Pilihan?)
Diubah oleh antonerl 13-06-2014 04:27
0
34.8K
240
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.