Kaskus

Entertainment

adielistiyoAvatar border
TS
adielistiyo
Media Harus Netral!
Sekarang ini, kebutuhan akan informasi seperti sama mendesaknya dengan makan nasi tiga kali sehari.

Ada rasa yang hilang, jika satu hari saja terlewati tanpa lihat televisi, baca koran, atau minimal cek status terbaru rekan di situs pertemanan.

Bisnis media pun bukan lahan investasi sembarangan. Berjejer konglomerat tentu punya alasan logis-ekonomis mengapa mau jualan produk jurnalistik.

Privatisasi media oleh pihak swasta bahkan mampu menggencet channel milik negara, seperti RRI, Antara, dan yang paling utama TVRI, sampai penyek ditinggal eksodus pemirsa yang lebih tergoda tawaran informasi yang dijajakan media terestrial swasta..

Itu realita.

Jika di masa orde baru suara media massa disumpal rapat-rapat, gempita reformasi malah tawarkan ruang lebar bagi corong pewarta untuk menganga selebar-lebarnya.

Namun, setelah saluran frekuensi publik laris dijadikan sebagai objek privasi, dan pemilik juga tak ketinggalan menggarap serius ranah politik, kolaborasi kedua hal itu kemudian memunculkan apa yang jamak disebut sebagai praktek “politisasi media”.

Kebetulan, ini tahun di mana rakyat beramai-ramai diberi hak memilih bokong mana yang akan menduduki kursi legislator periode terbaru untuk 5 tahun kedepan.

Layaknya bensin yang bertemu percik api, bara pencitraan pelaku politik langsung berkobar di berbagai media massa ragam jenis.

Dan tak sekadar dandani citra diri, menggembosi popularitas lawan yang dianggap kuat pun giat dan tekun ditunaikan.

Jokowi bisa dinobatkan jadi korban paling parah.

Badan kerempengnya babak belur ditinju isa-isu warna-warni di media (tertentu), yang seperti berusaha keras berkoloni menjatuhkannya dari langit elektabilitas dan grafik survey yang sejak lama masih saja ketinggian untuk dijangkau para lawan.

Dari kondisi tersebut, saya coba mengadakan sebuah penelitian “ecek-ecek” yang menghubungkan tiga variabel yang saya pikir akan punya hubungan yang cukup lekat;

Media massa, Jokowi dan kualitas informasi.

Penelitian kecil-kecilan ini memang tak layak dibilang ilmiah, tapi hasilnya cukup representatiflah..

Saya mulai mengumpulkan sampel media, dari varian televisi, saya jadikan duo Transcorp (Trans7 dan TransTV), TV One, trio MNC Group (MNC TV, Global TV, dan RCTI), dan terakhir SCTV.

Untuk media cetak—khusus untuk ini saya mesti sisihkan uang saku :’)—saya jadikan harian Kompas, majalah Tempo, dan koran Sindo menjadi bakal sampel.

Dan buat pewarta dunia maya, saya tetapkan Kompas.com, Okezone.com, Vivanews.com, dan Detiknews.com sebagai ladang pengeruk data.

Bermodal tumpukan media di atas dan bantuan seonggok HP tua, saya kunyah setiap berita yang ada di media itu satu persatu, pokoknya semua informasi yang memuat nama Joko Widodo tak akan lepas dari patroli pengamatan.

Perlu beberapa hari, penelitian tak tampan milik saya ini, berakhir dengan terbentuknya dua kubu media; mereka yang pro Jokowi dan mereka anti Jokowi.

Di akhirnya, tersebutlah TransCorp dan SCTV, Kompas dan Tempo, Detik.com dan Kompas.com, yang masih mau memuat berita positif-netral tentang sosok dan kinerja Jokowi, media-media itu tetap konsisten sajikan Jokowi sebagai “apa adanya dia”.

Jika salah, ucap salah, kalau benar, ya beritakan tanpa memangkas fakta, dan yang paling penting, awak kuli tintanya masih tetap sisipkan tak cuma argumen kontra saja, tapi juga suara pembelaan dari si objek berita.

Sedangkan kubu antagonis sendiri diisi oleh media milik Bakrie Group (TvOne dan Viva News) + kelompok MNC (MNC TV, Global TV, RCTI, Sindo dan OkeZone.com).

Untuk kubu ini, jangan pernah sekali pun berharap bisa lihat gerak-gerik Jokowi dielu-elukan seperti romantisme pemilu DKI kala dulu.

Bahkan jika mengetik key word “Jokowi okezone” di mesin perambah Google.com, hasil pencarian akan total “berdarah-darah”, judul yang dimuat begitu kejam menghujam mengenai apa pun yang berkaitan dengan si mantan walikota Solo itu.

Nah, mungkin bagi beberapa orang, fakta yang saya temukan di atas bukanlah seguyur info segar, sudah sering disebut dan bahkan bukan hal yang mengherankan.

Namun satu garis simpul yang saya tarik dari penelitian (yang bukan penelitian itu) adalah: jika ingin memeroleh sumber informasi netral dari sebuah media massa, konsumsilah channel yang tak memuat judul kritis bablas tentang Jokowi.

Alasannya? Selain latar belakang pemilik media yang mengisi poros anti-Jokowi total terjun ke politik praktis, analisis isi media juga bisa dengan mudah menelanjangi bau menyengat subjektifitas konten yang dicipta.

Kalau dulu media seakan kompak dan seragam memuat sanjung dan puji buat Jokowi sebagai pemimpin ideal yang ada dalam mimpi rakyat, namun layaknya digendam, kini angin semilir itu berbalik arah menjadi tiup topan yang memuntahkan hujat-hujat telak ke wajah JKW, namun di saat yang bersamaan, mirisnya, menghujani pemirsa dengan citra narsis sang pemilik media yang digambarkan dengan sungguh berlebihan, mengharu biru palsu, cenderung alay.

Dan hei, sudah tentu tak pantas lagi jika kita buta dari pola semenyilaukan itu.

Singkatnya, jika dalam menyusun materi pemberitaan saja sebuah lembaga media massa sudah tak lagi berimbang dan jelas berikrar sepihak, dan si pewarta mau menggadaikan independensi yang vital nilainya (yang sama maknanya dengan harga diri) demi menyenangkan hati sang bos, bagaimana mungkin ia tetap bisa diberi kepercayaan mengisi kebutuhan dasar akan informasi yang kini seakan sama mendesaknya dengan makan nasi tiga kali sehari.?

Pantaskah “boneka” jurnalisme dijadikan sumber referensi?

Netralitas tentu hal yang sudah sangat sulit ditemukan di era ketika seluruh aspek telah menjadi panggung yang kotor diseraki pertarungan berbagai kepentingan.

Media juga sama, dilekati ragam agenda yang membisik manja dari belakang layar.

Namun, jika tak ada yang mampu memberi netralitas murni total, pilihan yang mendekati kategori tersebut bukannya tak ada.

Bukan bermaksud nepotis, namun seperti hasil “penelitian” barusan, Kompas adalah salah satu dari sedikit media, yang karena “sikapnya” terhadap Jokowi, maka ia kemudian layak disebut sebagai saluran informasi yang netral dan layak dipercayai.

Ada kepentingan di belakang? Ah, apa iya media sekelas Kompas mau sembunyi-sembunyi menjalin relasi dengan pihak Jokowi, padahal jika mau terang-terangan saja seperti Bakrie, Surya Paloh dan Harry Tanoe, toh, tak ada yang mempermasalahkan media sebagai alat politik pincitraan kok. Lumrah malah.

Tempo juga serupa. Silahkan cek, tak ada satu pun termuat iklan politik di setiap lembar halamannya. Kebijak redaksional sepertinya membuat godaan pengiklan politik tak mampu terdengar mesra.

Hidden advertaising? Entahlah, tapi pendapat pribadi mengatakan kalau isi berita majalah yang redaksinya sempat dipimpin oleh Gunawan Muhammad ini cenderung netral-netral saja. Tak memihak dan cover both side.

Memang, sosok Jokowi lebih mendapat sorot yang sedikit lebih intens dibanding kompetitor capres lain. Namun rasanya, “keagakberpihakan” tersebut lebih dikarenakan arus opini publik yang sentimennya terbentuk positif terhadap citra Jokowi—bukan karena pesanan pemilik, apalagi iklan puja-puji berlebih tapi tak berisi.

Sebagai penutup, dalam kajian ilmu komunikasi, ada dua mahzab teori besar mengenai efek media massa terhadap audiens.

Pertama, kita punya bullet theory, yang berasumsi jika media massa punya kekuatan yang begitu superior terhadap masyarakat, semua konten yang ditembakkan akan mulus menghujam khalayak yang cuma bisa manggut-manggut saja menerima suapan informasi dari media, karena pada teori ini terdapat pendapat jika masyarakat hanyalah sekumpulan individu pasif, atomistis (terpecah) dan homo gen!

Sedangkan teori kedua, uses and gratification, menjadi kontrasnya bullet theory karena lebih menekankan pada peran aktif masyarakat (sebagai komunikan) dalam memilih asupan informasi dari media yang akan dia konsumsi, dalam artian selektivitas komunikanlah yang berbalik memegang peranan, bukan lagi kontrol yang dilakukan media.

Nah, di manakah kita akan memosisikan diri di antara bombardir ragam konten yang dimuntahkan media massa ke tengah masyarakat?

Sekadar manggut-manggut menerima dan mengangap apa yang ada di media adalah benar sepenuhnya, atau.. menjadi komunikan kritis yang selektif dalam mengunyah informasi?

..mudah saja, kan tinggal pilih.
0
2.9K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
1.3MThread104KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.