Sebagai manusia biasa tentu saja setiap orang berhak punya cita-cita dan meraih kesempatan. Demikianpun halnya dengan Joko Widodo, ia berhak untuk menggapai mimpinya setinggi langit. Bermula dari mahasiswa kere di UGM, Jogja, karir Joko Widodo pun semakin moncer. Kemudian ia berbisnis mebel. Bahan2 kayu didapat dari kolega2 nya di Fakultas Kehutanan tempat ia menimba ilmu. Singkat kata, dari usahanya ini Joko Widodo berhasil hidup layak untuk ukuran Indonesia. Dia bisa sekolahkan anaknya ke luar negeri (hebat).
Bisnis memang menghasilkan uang, tetapi dalam konsep jawa uang saja belum cukup untuk menjadi "manusia jawa seutuhnya". Singkat kata Joko Widodo pun masuk partai kerbau bermoncong putih.
Singkat cerita, nasib mujur terus saja berpihak pada nya. Ia dicalonkan partainya mengikuti pilkada SOLO dan menang. Semakin lengkaplah atribut kejawaan Joko Widodo. Kini ia sudah menjadi seorang "Priyayi".
Mungkin karena enak jadi priyayi, Joko Widodo pun mencoba peruntungan lain. Dengan dukungan yang luar biasa dari beberapa Taipan kelas atas, ia berangkat ke Jakarta. Dan (lagi-lagi), keberuntungan masih berpihak padanya. Bersama Ahok, Joko Widodo berhasil menguasai kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ini suatu prestasi luar biasa untuk seorang pemain baru dalam panggung politik. Dengan dukungan pasukan berbaju dengan corak kotak2 yang mirip altar pemujaan kaum kabalah (dengan dukungan finansial besar tentu saja), ia berhasil mengalahkan foke, panggilan akrab Fauzi Bowo, sang inkunben yang mulai dibenci warga jakarta karena keangkuhan dan sikap nepotismenya selama memimpin jakarta.
Hari demi hari diisi Joko Widodo yang sibuk blusukan sana-sini lengkap dengan liputan dari berbagai media yang sepertinya tidak pernah lelah. Sampai2 beberapa pihak berkomentar bahwa liputan media thd gubernur asal Solo ini sudah jauh melebihi pemberitaan terhada presiden. Luar biasa yah. Terpesona oleh berita yang sangat masif mencecoki urat sebagian besar warga Jakarta, harapan besar pun diletakan ke pundak lelaki ini agar segera membenahi jakarta.
Sayang di sayang, harapan ini sepertinyi bertepuk sebelah tangan. Segerombolan manusia ambisius berusaha mendesak ketua partai moncong putih agar segera mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden RI. Setelah penantian panjang, joko widodo pun mendapat mandat agar ikut proses capres 2014-2019.
Rupanya jabatan gubernur DKI pun belum cukup menyakinkan Joko Widodo sebagai seorang priyayi.
Tidak seperti halnya pilgub dki atau pilkada solo, pencapresan Joko Widodo mendapat beragam reaksi di kalangan rakyat. Ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Semakin hari, sikap rakyat yang kontra terhadap pencapresan Joko Widodo semakin keras dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal (kalo memang masa pendukungnya kongkrit). Berbagai cacian, isu seputar boneka asing, antek zionis, kaki tangan kelompok agama tertentu makin hari makin kuat. Sebagai manusia biasa Joko Widodo tentu gak bisa cuek begitu saja. Biar gimana pun Joko Widodo tetaplah seorang Jawa, gak suka konflik apalagi konfrotasi. Ini lah yang tampaknya membuat jokowi bimbang. Apa yang bakal terjadi kalo dia terus saja nyapres? Belum cukupkah materi dan atribut yang sudah ia dapat selama ini? Apakah setelah terpilih jadi presiden RI ini akan merasa puas? Entahlah.

Sebagai seorang jawa tulen, Jokowi tentu paham dengan filsafat jawa klasik di bawah ini :

NGONO YO NGONO, NING OJO NGONO!

Buat yang mo komeng, silahikan komeng. Buat yang mo misuh2, maki2.. boleh misuh tapi yo ojo misuh.. :P