- Beranda
- The Lounge
Rawagede dari Sumbar [Peristiwa Situjuh]
...
TS
kodratzikri
Rawagede dari Sumbar [Peristiwa Situjuh]
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرحْمَنِ اارحِيم
السلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
السلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Quote:
Selamat Datang di Trit Ane, gan..
Quote:
Spoiler for Bukti Gak Repost 1:
Spoiler for Bukti gak repost 2:
maap, ane gak ada bermaksud
ane hanya ingin sekedar berbagi salah satu sejarah bangsa indonesia yang pernah terjadi di kampung ane..
Quote:
Quote:
Spoiler for Sejarah Singkat:
Quote:
64 tahun silam, Lurah Kincia di Nagari Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat adalah ladang pembantaian manusia oleh manusia. Hari itu, Sabtu 15 Januari 1949, tentara Belanda yang sedang melancarkan agresi militer di Sumatera Tengah, bertindak membabi-buta.
Kompeni-kompeni itu mengepung Lurah Kincia yang dikelilingi tebing. Mereka juga melancarkan peluru ke arah surau dan bangunan kincir air yang menjadi arena konsolidasi Gubernur Militer bersama Bupati Militer, terkait strategi perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Tengah.
Akibat berondongan peluru tentara Belanda, para pejuang kocar-kacir. Sebagian berupaya membalas tembakan. Tapi kekuatan sungguh tidak seimbang. Lurah Kincia pun bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan, di lereng tebing, di bandar air, di sekitar lurah itu.
Tidak hanya menembak para pejuang dikala Subuh masih buta, Belanda yang murka juga mengumpulkan penduduk Situjuah Batua. Mereka dikumpulkan di belakang Balai Adat, tidak jauh dari Lurah Kincia. Setelah dikumpulkan, warga sipil dipaksa untuk berbaris dan mengikuti aba-aba siap-gerak.
Bagi warga sipil yang gerakan baris-berbarisnya dianggap Belanda mirip dengan gerakan tentara Indonesia, dipaksa berlutut dan ditembak mati. Sisanya, dipukuli, ditendang, dan dihantam dengan popor senjata. Kemudian, disuruh mengangkut hasil rampasan perang menuju Kota Payakumbuh.
Tragedi kemanusiaan itu terus berlanjut. Saksi mata peristiwa Situjuah, H Khairudin Makinudin mengatakan, penembakan tentara Belanda terhadap warga sipil, tidak hanya terjadi di Balai Adat Situjuah Batua, tapi juga berlangsung pada sejumlah kampung yang berada di jalan Situjuah menuju Payakumbuh.
Kendati tentara Belanda sempat mendapat serangan balasan dari pejuangan Indonesia di kawasan Limau Kapeh (kini masuk Kelurahan Limbukan, Kecamatan Payakumbuh Selatan), tapi tetap saja pembalasan itu tidak seimbang. Malahan, 7 pejuang ikut terbunuh dalam penyerangan terhadap Belanda di Limau Kapeh.
Sampai tragedi berdarah di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua berakhir, tercatat sebanyak 69 orang tewas. Korban tewas itu merupakan korban terbanyak sepanjang sejarah perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1948-1949) dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara berlangsung di Sumatera Tengah.
Ironisnya, dari 69 orang yang terbunuh dalam tragedi berdarah di Situjuah, lebih dari separoh adalah warga sipil. Warga yang tidak tahu apa-apa, soal rapat atau konsolidasi Gubernur Militer dengan para Bupati Militer, Wedana Militer dan pejuang PDRI di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949.
Warga disebut tidak tahu apa-apa, karena memang rapat di Situjuah Batua itu dirahasiakan. Penyedia tempat rapat yakni Wedana Militer Payakumbuh Mayor Makinuddin HS, nyaris tidak memberitahu warga, soal akan digelarnya pertemuan antar pejuang PDRI yang kini sudah diakui pemerintah sebagai bagian dari bela negara. Tapi kenapa tentara Belanda tega melakukan pembantaian di Situjuah?
Jika tidak sepenuhnya menemukan para pejuang republik, kenapa rakyat sipil tak berdosa yang diberondong dengan senjata? Kenapa suami-suami yang mencintai anak-istrinya dibunuh? Kenapa bapak-bapak yang menyanyangi anak-anaknya ditembak mati? Memang benar, perang adalah perang. Tapi perang menghabisi sipil, apalagi anak-anak dan wanita adalah sebuah kejahatan.
Sebagian dari tragedi yang terjadi dalam peristiwa Situjuah 15 Januari, jelas merupakan kejahatan perang. Kejahatan perang adalah pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusian seperti ini, dua tahun sebelum peristiwa Situjuah, terjadi pula di Rawagede yang kini dikenal sebagai Balongsari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
Hanya saja, tragedi kemanusiaan di Rawagede merenggut lebih banyak korban jiwa. Tercatat mencapai 431 orang, tapi Belanda hanya mengakui sebanyak 150 orang. Nasib korban Rawagede 9 Desember 1947 juga jauh lebih beruntung ketimbang nasib korban pembunuhan tentara Belanda di Situjuah 15 Januari 1949.
Kompeni-kompeni itu mengepung Lurah Kincia yang dikelilingi tebing. Mereka juga melancarkan peluru ke arah surau dan bangunan kincir air yang menjadi arena konsolidasi Gubernur Militer bersama Bupati Militer, terkait strategi perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Tengah.
Akibat berondongan peluru tentara Belanda, para pejuang kocar-kacir. Sebagian berupaya membalas tembakan. Tapi kekuatan sungguh tidak seimbang. Lurah Kincia pun bersimbah darah. Mayat-mayat bergelimpangan, di lereng tebing, di bandar air, di sekitar lurah itu.
Tidak hanya menembak para pejuang dikala Subuh masih buta, Belanda yang murka juga mengumpulkan penduduk Situjuah Batua. Mereka dikumpulkan di belakang Balai Adat, tidak jauh dari Lurah Kincia. Setelah dikumpulkan, warga sipil dipaksa untuk berbaris dan mengikuti aba-aba siap-gerak.
Bagi warga sipil yang gerakan baris-berbarisnya dianggap Belanda mirip dengan gerakan tentara Indonesia, dipaksa berlutut dan ditembak mati. Sisanya, dipukuli, ditendang, dan dihantam dengan popor senjata. Kemudian, disuruh mengangkut hasil rampasan perang menuju Kota Payakumbuh.
Tragedi kemanusiaan itu terus berlanjut. Saksi mata peristiwa Situjuah, H Khairudin Makinudin mengatakan, penembakan tentara Belanda terhadap warga sipil, tidak hanya terjadi di Balai Adat Situjuah Batua, tapi juga berlangsung pada sejumlah kampung yang berada di jalan Situjuah menuju Payakumbuh.
Kendati tentara Belanda sempat mendapat serangan balasan dari pejuangan Indonesia di kawasan Limau Kapeh (kini masuk Kelurahan Limbukan, Kecamatan Payakumbuh Selatan), tapi tetap saja pembalasan itu tidak seimbang. Malahan, 7 pejuang ikut terbunuh dalam penyerangan terhadap Belanda di Limau Kapeh.
Sampai tragedi berdarah di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua berakhir, tercatat sebanyak 69 orang tewas. Korban tewas itu merupakan korban terbanyak sepanjang sejarah perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1948-1949) dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara berlangsung di Sumatera Tengah.
Ironisnya, dari 69 orang yang terbunuh dalam tragedi berdarah di Situjuah, lebih dari separoh adalah warga sipil. Warga yang tidak tahu apa-apa, soal rapat atau konsolidasi Gubernur Militer dengan para Bupati Militer, Wedana Militer dan pejuang PDRI di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949.
Warga disebut tidak tahu apa-apa, karena memang rapat di Situjuah Batua itu dirahasiakan. Penyedia tempat rapat yakni Wedana Militer Payakumbuh Mayor Makinuddin HS, nyaris tidak memberitahu warga, soal akan digelarnya pertemuan antar pejuang PDRI yang kini sudah diakui pemerintah sebagai bagian dari bela negara. Tapi kenapa tentara Belanda tega melakukan pembantaian di Situjuah?
Jika tidak sepenuhnya menemukan para pejuang republik, kenapa rakyat sipil tak berdosa yang diberondong dengan senjata? Kenapa suami-suami yang mencintai anak-istrinya dibunuh? Kenapa bapak-bapak yang menyanyangi anak-anaknya ditembak mati? Memang benar, perang adalah perang. Tapi perang menghabisi sipil, apalagi anak-anak dan wanita adalah sebuah kejahatan.
Sebagian dari tragedi yang terjadi dalam peristiwa Situjuah 15 Januari, jelas merupakan kejahatan perang. Kejahatan perang adalah pelanggaran terhadap hak azazi manusia. Kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusian seperti ini, dua tahun sebelum peristiwa Situjuah, terjadi pula di Rawagede yang kini dikenal sebagai Balongsari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.
Hanya saja, tragedi kemanusiaan di Rawagede merenggut lebih banyak korban jiwa. Tercatat mencapai 431 orang, tapi Belanda hanya mengakui sebanyak 150 orang. Nasib korban Rawagede 9 Desember 1947 juga jauh lebih beruntung ketimbang nasib korban pembunuhan tentara Belanda di Situjuah 15 Januari 1949.
Spoiler for Kompensasi:
Quote:
Kompensasi Peristiwa Situjuah
Lantas, bagaimana dengan peristiwa Situjuah? Sampai saat ini, belum terdengar sekalipun permintaan maaf pemerintah Belanda atas tragedi berdarah yang terjadi di Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Ini tentu disebabkan karena kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak pernah diurus serius, sekalipun oleh pemerintah Indonesia.
Kendati sama-sama terjadi pada zaman agresi militer, tapi tentara Belanda dalam peristiwa Situjuah tidak mencari individu-individu pejuang, sebagaimana layaknya mencari Kapten Lukas dalam tragedi di Rawagede.
Yang dicari Belanda dalam serangan mereka ke Situjuah adalah para Gubernur Militer, Bupati Militer, Wedana Militer atau para pejuang PDRI yang datang dari berbagai daerah di Sumatera Tengah. Para pejuang itu ada yang berpangkat Letnan Satu, Letnan Dua, Mayor, dan Kapten.
Para pejuang berkumpul di Situjuah untuk membahas keberlangsungan perjuangan PDRI yang dipimpin MR Syafruddin Prawiranegara. Pembahasan itu tentu penting, apalagi tentara Belanda terus saja meringsek ke sejumlah kawasan yang menjadi basis pertahanan PDRI, seperti ke Nagari Kototinggi di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar.
Jika tidak digelar pertemuan di Situjuah, pejuang khawatir gerakan ataupun strategi PDRI di Sumatera Tengah akan melemah akibat gempuran tentara Belanda. Padahal PDRI sangat penting bagi republik Indonesia. PDRI berbeda dengan PRRI. PDRI adalah upaya menjaga pemerintahan Soekarno-Hatta yang ditawan Belanda. Sedangkan PRRI koreksi atas pembangunan bangsa.
Dengan demikian, amat jelas betapa besar arti pertemuan para pejuang di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua, dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran Agresi II Belanda. Tidak heran pula, bila mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, pernah hadir untuk memperingati peristiwa Situjuah.
Upacara beserta ziarah ke makam pahlawan peristiwa Situjuah, mulai digelar sejak 15 Januari 1968. Sampai kini, peringatan selalu digelar setiap tahun. Bekas Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mayjend A Thalib yang termasuk pelaku peristiwa Situjuah juga pernah datang untuk mengikuti peringatan dimaksud.
Begitupula dengan sejumlah tokoh yang pernah menjadi gubernur, bupati, dan wali kota di Sumbar. Terakhir atau Minggu (15/1/2012), giliran Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang datang memperingati peristiwa Situjuah. Gubernur Irwan sedikit berbeda dengan pendahulunya. Irwan erjanji akan menerbitkan peraturan gubernur tentang peristiwa Situjuah.
Jika jadi diterbitkan -kapan perlu dibarengi dengan pengusulan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD Sumbar- tentu peraturan gubernur it, akan menjadi catatan baru sepanjang peringatan peristiwa Situjuah. Setidaknya, peristiwa Situjuah tidak lagi sekedar diperingati untuk upacara, tabur bunga, sedikit ceremony, lalu pergi dan kembali pada tahun berikutnya.
Walau begitu, peristiwa Situjuah bukan hanya membutuhkan pengakuan lewat peraturan gubernur ataupun peraturan daerah, tapi juga memerlukan permohonan maaf sekaligus kompensasi dari pemerintah Belanda. Jangan bilang, permohonan maaf dan kompensasi itu terlambat. Sebab dalam tragedi kemanusiaan atau kejahatan perang seperti peristiwa Situjuah, tidak ada istilah kedaluwarsa.
Warga Situjuah, terutama para keluara korban peristiwa Situjuah, dengan di-support pemerintah daerah, bisa saja membentuk yayasan atau bekerjasama dengan pihak ketiga, untuk menggugat pemerintah Belanda melalui pengadilan sipil di negeri Kincir Angin tersebut. Upaya gugat-mengugat ini terbukti sudah berhasil dilakukan Yayasan Rawagede, terkait tragedi Rawagede di Jawa Barat.
Hanya saja persoalannya, adakah yayasan atau gerakan keswadayaan masyarakat yang mau untuk serius, menyelesaikan kejahatan kemanusian seperti tragedi Rawagede atau peristiwa Situjuah? Adakah pengacara atau pejuang hak azazi manusia yang mau membela nasib korban kejahatan perang?
Lantas, bagaimana dengan peristiwa Situjuah? Sampai saat ini, belum terdengar sekalipun permintaan maaf pemerintah Belanda atas tragedi berdarah yang terjadi di Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Ini tentu disebabkan karena kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak pernah diurus serius, sekalipun oleh pemerintah Indonesia.
Kendati sama-sama terjadi pada zaman agresi militer, tapi tentara Belanda dalam peristiwa Situjuah tidak mencari individu-individu pejuang, sebagaimana layaknya mencari Kapten Lukas dalam tragedi di Rawagede.
Yang dicari Belanda dalam serangan mereka ke Situjuah adalah para Gubernur Militer, Bupati Militer, Wedana Militer atau para pejuang PDRI yang datang dari berbagai daerah di Sumatera Tengah. Para pejuang itu ada yang berpangkat Letnan Satu, Letnan Dua, Mayor, dan Kapten.
Para pejuang berkumpul di Situjuah untuk membahas keberlangsungan perjuangan PDRI yang dipimpin MR Syafruddin Prawiranegara. Pembahasan itu tentu penting, apalagi tentara Belanda terus saja meringsek ke sejumlah kawasan yang menjadi basis pertahanan PDRI, seperti ke Nagari Kototinggi di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar.
Jika tidak digelar pertemuan di Situjuah, pejuang khawatir gerakan ataupun strategi PDRI di Sumatera Tengah akan melemah akibat gempuran tentara Belanda. Padahal PDRI sangat penting bagi republik Indonesia. PDRI berbeda dengan PRRI. PDRI adalah upaya menjaga pemerintahan Soekarno-Hatta yang ditawan Belanda. Sedangkan PRRI koreksi atas pembangunan bangsa.
Dengan demikian, amat jelas betapa besar arti pertemuan para pejuang di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua, dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran Agresi II Belanda. Tidak heran pula, bila mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, pernah hadir untuk memperingati peristiwa Situjuah.
Upacara beserta ziarah ke makam pahlawan peristiwa Situjuah, mulai digelar sejak 15 Januari 1968. Sampai kini, peringatan selalu digelar setiap tahun. Bekas Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mayjend A Thalib yang termasuk pelaku peristiwa Situjuah juga pernah datang untuk mengikuti peringatan dimaksud.
Begitupula dengan sejumlah tokoh yang pernah menjadi gubernur, bupati, dan wali kota di Sumbar. Terakhir atau Minggu (15/1/2012), giliran Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang datang memperingati peristiwa Situjuah. Gubernur Irwan sedikit berbeda dengan pendahulunya. Irwan erjanji akan menerbitkan peraturan gubernur tentang peristiwa Situjuah.
Jika jadi diterbitkan -kapan perlu dibarengi dengan pengusulan Rancangan Peraturan Daerah kepada DPRD Sumbar- tentu peraturan gubernur it, akan menjadi catatan baru sepanjang peringatan peristiwa Situjuah. Setidaknya, peristiwa Situjuah tidak lagi sekedar diperingati untuk upacara, tabur bunga, sedikit ceremony, lalu pergi dan kembali pada tahun berikutnya.
Walau begitu, peristiwa Situjuah bukan hanya membutuhkan pengakuan lewat peraturan gubernur ataupun peraturan daerah, tapi juga memerlukan permohonan maaf sekaligus kompensasi dari pemerintah Belanda. Jangan bilang, permohonan maaf dan kompensasi itu terlambat. Sebab dalam tragedi kemanusiaan atau kejahatan perang seperti peristiwa Situjuah, tidak ada istilah kedaluwarsa.
Warga Situjuah, terutama para keluara korban peristiwa Situjuah, dengan di-support pemerintah daerah, bisa saja membentuk yayasan atau bekerjasama dengan pihak ketiga, untuk menggugat pemerintah Belanda melalui pengadilan sipil di negeri Kincir Angin tersebut. Upaya gugat-mengugat ini terbukti sudah berhasil dilakukan Yayasan Rawagede, terkait tragedi Rawagede di Jawa Barat.
Hanya saja persoalannya, adakah yayasan atau gerakan keswadayaan masyarakat yang mau untuk serius, menyelesaikan kejahatan kemanusian seperti tragedi Rawagede atau peristiwa Situjuah? Adakah pengacara atau pejuang hak azazi manusia yang mau membela nasib korban kejahatan perang?
Quote:
Kajian sejarah lokal di sekolah-sekolah dan kampus harus memberi porsi yang pas untuk PDRI dan rangkaiannya. Jika tidak, seremonial peringatan kejadian 15 Januari itu, tidak akan terulang lagi. Makin jauh zaman dari tanggal peristiwa, kian hambar peringatannya.
Spoiler for Pesan TS:
Semoga maksud ane menulis ini bisa tersampaikan kepada agan2 semua.
ane menulis ini murni karna ingin berbagi kepada agan2 tentang salah satu sejarah bangsa kita..
Semoga kejadian serupa tak terulang lagi dimasa mendatang.
ane menulis ini murni karna ingin berbagi kepada agan2 tentang salah satu sejarah bangsa kita..
Semoga kejadian serupa tak terulang lagi dimasa mendatang.
Selamat memperingati peristiwa Situjuh ke-64 tahun. Merdeka!!
sumber
Diubah oleh kodratzikri 18-04-2014 20:11
0
1.9K
Kutip
12
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.3KThread•84KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru