- Beranda
- The Lounge
Misteri Supersemar, Surat Perintah 11 Maret 1966
...
TS
adjisti
Misteri Supersemar, Surat Perintah 11 Maret 1966
UPDATE DARI >> TERKUAK : MISTERI LUKA JENAZAH 7 PAHLAWAN REVOLUSI!
Sebelumnya Cek dulu
Bongkar Konspirasi Hebat: Antara John F. Kennedy, Sukarno, Suharto dan Freeport
Terkuak: Misteri Luka Jenazah 7 Pahlawan Revolusi!
BIAR GIMANAPUN TETEP CINTA INDONESIA GAN
Spoiler for SUPERSEMAR:
Quote:
Quote:
Keraguan akan keaslian naskah Supersemar yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) muncul setelah tumbangnya Orde Baru (Orba) pada 1998. Keraguan publik soal otentisitas surat perintah dari Presiden Soekarno ke Menteri Panglima Angkatan Darat, Letjen Soeharto, dikala itu semakin diperkuat oleh beberapa saksi sejarah bekas tahanan politik Orba yang akhirnya buka suara.
Tiga Versi Supersemar, Misteri Lebih Dari Empat Puluh Tahun
Lebih dari empat puluh tahun berlalu, misteri Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) hingga kini belum juga terpecahkan. Di mana naskah asli surat tersebut juga masih belum bisa ditemukan.
Sejumlah versi proses terbitnya Supersemar pun beredar. Entah siapa yang benar. Namun dari sejumlah keterangan, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di ANRI adalah palsu.
Supersemar yang disimpan di etalase arsip negara itu kini ada tiga versi versi:
Quote:
Versi Pertama, yakni surat yang berasal dari Sekretariat Negara. Surat itu terdiri dari dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.
Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.
Versi Kedua, berasal dari Pusat Penerangan TNI AD. Surat ini terdiri dari satu lembar dan juga berkop Burung Garuda. Ketikan surat versi kedua ini tampak tidak serapi pertama, bahkan terkesan amatiran. Jika versi pertama tertulis nama Sukarno, versi kedua tertulis nama Soekarno.
Versi Ketiga, lebih aneh lagi. Surat yang terakhir diterima ANRI itu terdiri dari satu lembar, tidak berkop dan hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno di versi ketiga ini juga tampak berbeda dari versi pertama dan kedua.
yang versi ke tiganya belum nemu gan maaf
Kepala ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), M Asichin, memastikan ketiga surat itu adalah Supersemar palsu. “Sebab, lazimnya surat kepresidenan, seharusnya kop surat Supersemar berlambang bintang, padi dan kapas. Bukannya Burung Garuda. Apalagi yang polosan seperti yang terakhir,” kata Asichin di Jakarta, Sabtu (10/3/2012).
Dari segi isi, kata Asichin, beberapa versi Supersemar tersebut relatif sama. Hanya ada perbedaan dari versi pertama dan kedua. Surat pertama terdiri dari empat poin yakni:
I. Mengingat,
II. Menimbang,
III. Memutuskan/Memerintahkan dan
IV. Selesai.
“Bedanya, di versi kedua tidak ada IV. Selesai,” ujar Asichin.
Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, pernah mengatakan Supersemar asli sengaja dihilangkan. Hal itu didapatkan Anderson dari pengakuan seorang tentara yang bertugas di Istana Bogor, tempat Supersemar dibuat.
Tanpa menyebut nama dan pangkat tentara tersebut, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bukan kop surat dengan lambang Burung Garuda seperti yang ada sekarang.
Jelas keterangan ini menyudutkan Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat. Sebab, dengan Supersemar berkop surat MBAD menunjukkan surat perintah itu memang diinginkan oleh Soeharto. Apalagi, muncul versi Soekarno dipaksa oleh beberapa jenderal utusan Soeharto untuk meneken Supersemar di bawah todongan senjata.
Jenderal M Jusuf, salah satu petinggi AD yang menemui Soekarno di Istana Bogor, pernah mengklaim memiliki naskah Supersemar. ANRI pernah berkali-kali meminta keterangan kepada Menteri Perindustrian Kabinet Dwikora itu. Namun, hingga akhir hayat M Jusuf pada 8 September 2004, upaya itu gagal.
Pada 31 Agustus 2005, ANRI pernah memawancarai keponakan M Jusuf, Andi Heri di Makassar. “Namun pengakuan keluarga katanya kami tidak pernah menyimpan”, ujar Asichin.
Pada 2008, pengakuan lain dibuat oleh Ubaydillah Thalib, putra Salim Thalib, staf intel Komando Operasi Tertinggi Gabungan-5 (G-5 KOTI). Thalib mengatakan ayahnya, yang meninggal 2002 lalu, pernah bercerita kepadanya bahwa Supersemar yang ada selama ini adalah palsu.
“Teks itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik,” ujar Ubay saat itu.
Menurut Ubay, ayahnya sempat melihat sekilas teks tersebut saat diperintahkan oleh Letkol Sudharmono untuk menyimpan di ruangannya. “Tapi sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa orang,” kata Ubay.
Cek Kosong Untuk Soeharto
Soekarno memberi surat lanjutan bahwa Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis.
Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) tidak hanya seputar keberadaan (fisik) surat itu, namun juga soal isinya. Tiga versi Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) secara isi memang sama, yakni perintah untuk mengamankan negara. Namun, bagaimana tafsir atas isi surat tersebut?
Seperti diketahui, Supersemar telah dijadikan alat pembenaran bagi Soeharto, si penerima, untuk memberangus Partai Komunis Indonesia (PKI), menangkap 15 menteri yang dianggap beraliran kiri dan loyal terhadap Presiden Soekarno serta mengawasi pemberitaan di media massa saat itu.
Melihat langkah Soeharto itu, Soekarno segera mengeluarkan surat lanjutan dua hari berikutnya atau 13 Maret 1966 (Wisnu: 2010). Surat yang berisi tiga poin penting ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr J Leimena, dan diserahkan kepada Soeharto.
Surat itu pada intinya mengingatkan Soeharto bahwa:
Quote:
Pertama, Supersemar bersifat teknis/administratif semata, bukan politis. Surat semata-mata berisi perintah untuk mengamankan rakyat, pemerintah dan presiden.
Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.
Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.
Kedua, surat juga mengingatkan pembubaran partai politik harus atas seizin presiden.
Ketiga, Soeharto diminta datang menghadap presiden untuk memberikan laporan.
Surat yang tidak banyak diketahui publik ini akhirya tak digubris Soeharto. Semua tahu bahwa setahun setelah penyerahan Supersemar atau 12 Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Presiden menggantikan Soekarno tanpa proses pemilu.
Sejarawan Asvi Warman Adam (2009) menilai Supersemar seperti blanko cek kosong yang bisa diisi semaunya oleh Soeharto. Hal ini terlihat dalam frasa “mengambil tindakan yang dianggap perlu” dalam poin perintah pertama surat itu.
Supersemar, kata Asvi, akhirnya ditafsirkan bukan hanya sebagai perintah pengamanan, namun juga pemindahan kekuasaan (transfer of authority). Brigjen Amir Machmud, salah satu orang dekat Soeharto, setelah melihat surat itu menilai surat itu bernada penyerahan kekuasaan.
Menurut Asvi, seharusnya surat kepada militer jelas batas dan jangka waktu pelaksanaannya. Poin ketiga surat lanjutan Soekarno pada 13 Maret 1966 menunjukkan sang presiden telat menyadari ketidakjelasan jangka waktu pelaksanaan Supersemar.
Namun keterangan Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, setelah lepas dari tahanan Orde Baru, menunjukkan Sang Pemimpin Besar Revolusi tak seceroboh itu. Menurutnya, Supersemar terdapat frasa “setelah keadaaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.” Ketarangan Soebandrio itu dibenarkan oleh Pangkostrad Letjen Kemal Idris.
Kontroversi isi Supersemar ini akhirnya membuat persepsi bahwa Supersemar palsu sengaja dibuat mengarahkan ke transfer of authority. Sementara yang asli jelas merupakan perintah mengamankan negara atau delegation of authority. Ini pula yang diamini Roeslan Abdul Gani, salah satu menteri Soekarno saat itu.
Siapa yang mengetik Supersemar?
Kontroversi keberadaan (fisik) dan isi Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) juga diikuti dengan misteri siapa yang mengetik surat sakti itu. Namun, dari sekian lama kontroversi bergulir, baru satu orang yang mengaku mengetik surat itu. Dia adalah Letkol (Purn) Ali Ebram.
Saat Supersemar terbit, Ebram adalah Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Dia mengaku mengetik Supersemar dengan didiktekan Presiden Soekarno. Ebram, yang tidak terbiasa mengetik, mengaku gemetar saat menekan tombol-tombol mesin cetak itu.
Dalam ‘Kudeta Supersemar’ (Wisnu: 2010) diceritakan, Ebram mengaku dipanggil oleh bosnya Komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen Sabur, untuk membawa mesin tik dan kertas berkop kepresidenan ke paviliun Hartini, ruang pribadi presiden di Istana Bogor. Ebram mengetik surat itu selama satu jam.
Menurut pengakuannya, di ruang lain, tiga petinggi Angkatan Darat yakni Brigjen M Jusuf, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen Basuki Rahmat, sudah menunggu. Keterangan Ebram klop dengan pengakuan Amirmachmud bahwa saat menunggu, ia melihat presiden masuk ke kamar dalam waktu yang cukup lama.
Namun, Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden, Mangil Martowidjojo, mengatakan lain. Mangil mengatakan, sang pengetik adalah Sabur sendiri. Dengan membawa kertas dan mesin tik, kata Mangil, Sabur mengatakan sedang membuat surat perintah. Sabur, kata dia, mengetik hasil koreksi Supersemar setalah Soekarno mendiskusikan versi awal kepada tiga jenderal itu bersama dua wakil perdana menteri, Soebandrio dan Chaerul Saleh.
Sementara itu, Soebandrio, yang mengaku turut mengoreksi, mengaku tidak tahu siapa yang mengetik Supersemar. Dia hanya mengetahui Supersemar diketik oleh salah satu staf di Istana Bogor.
Sedangkan Benedict Anderson, pakar sejarah Indonesia asal Amerika Serikat, mengatakan lain. Dari pengakuan seorang tentara di Istana Bogor, Anderson mengatakan, Supersemar asli berkop surat Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Keterangan ini secara tidak langsung membantah Ebram sebagai pengetik Supersemar karena ia mengaku mengetik surat itu di atas surat berkop kepresidenan.
Namun sayang, Anderson tidak mau mengungkapkan siapa tentara pemberi informasi tersebut, berikut pangkatnya.
Pistol di Dada Soekarno
Dada Soekarno malam itu mungkin tak sebusung waktu ia mengatakan “ini dadaku mana dadamu” kepada Malaysia. Dini hari, 11 Maret 1966 di Istana Bogor, pistol FN-46 itu ditodongkan Brigjen Basuki Rachmat ke dada sang presiden. Soekarno dipaksa untuk meneken sebuah surat di dalam map merah jambu.
Dalam “Mereka Menodong Soekarno” Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, pengawal presiden yang berjaga malam itu, mengaku langsung mencabut pistolnya. Namun, Soekarno menyuruh pengawalnya itu untuk memasukkan kembali ke sarungnya.
Saat membaca isi naskah di map merah itu, kata dia, Soekarno sempat bertanya “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!” Secara refleks, kata Sukardjo, ia melihat naskah tersebut.
Kop surat, kata dia, tidak ada lambang kepresidenan. Dia justru melihat kop Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di sisi kiri atas surat tersebut.
“Untuk mengubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah,” kata Basuki Rachmat, yang ditemani Brigjen Amirmachmud, Brigjen M Jusuf dan M Panggabean.
Surat yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) itu akhirnya diteken oleh Soekarno. Keempat jenderal utusan Soeharto itu lantas membawa surat dengan sumringah. Setelah kejadian itu, Soekarno langsung mewanti-wanti Sukardjo.
“Kamu harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujar Sukardjo menirukan pesan Soekarno saat itu.
Quote:
Dan benar saja, tak lama setelah kejadian itu, Sukardjo dilucuti oleh pasukan Kostrad dan RPKAD untuk kemudian ditahan. Dia dipenjara oleh Orde Baru tanpa peradilan selama 14 tahun. Selama ditahan, ia menerima penyiksaan, seperti disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Meski banyak yang membantah cerita tersebut, setidaknya itulah kesaksian dari Sukardjo, pengawal presiden, yang kedatangan tamu empat jenderal pada pukul 01.00 WIB. Selain soal pistol, kesaksian yang paling diragukan adalah kehadiran Brigjen M Panggabean. Dari beberapa versi cerita, cuma Sukardjo yang mengatakan kehadiran Panggabean di Istana Bogor. Jadi bukan 3 orang Jenderal, namun 4 orang Jenderal.
Namun, tak sedikit juga yang memperkuat kesaksian Sukardjo. Mereka yang memperkuat kesaksian Sukardjo adalah R Seoekiram, S Ponirah, Soeprapto Karto Siswoyo dan Rian Ismali. Keempatnya merupakan purnawirawan CPM dan TNI AD.
Akibat pengakuannya yang menghebohkan usai reformasi pecah pada 1998 itu, Sukardjo sempat menghadapi proses hukum atas tuduhan menyebarkan berita bohong. Namun, ia berhasil lolos dari jeratan hukum karena tuduhan itu tidak terbukti.
Kesaksian Sukardjo Wilardjito
Pintu kamar Bung Karno diketuk pengawal. Ada perwira Angkatan Darat yang ingin bertemu presiden. Mereka diutus oleh Suharto. Ada map merah muda di tangan salah seorang jendral. Di dalamnya berisi naskah yang mesti ditandatangani Sukarno.
Naskah itu tidak segera ditandatangani Sukarno. Dia sempat bertanya tentang mengapa kop surat itu dari Markas Besar Angkatan Darat. Seharusnya Surat Perintah itu ber-kop surat kepresidenan.
Tapi pertanyaan Sukarno hanya dijawab Jendral Basuki Rachmat, “Untuk membahas, waktunya sangat sempit. Paduka tandatangani saja”.
Kesaksian ini dituturkan Sukardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Sukarno.
Sesudah jatuhnya Sukarno, Sukardjo pernah dipenjara oleh rezim Orba selama 14 tahun tanpa proses pengadilan, termasuk menjalani beragam penyiksaan, disetrum puluhan kali dan dipaksa mengaku PKI.
Sukardjo ini pernah mengejutkan orang dengan kesaksiannya yang bersikukuh menyatakan Basuki Rachmat dan Panggabean menodongkan pistol ke muka Sukarno karena ia bimbang untuk menandatangani.
Melihat itu, Sukardjo sebagai pengawal presiden secara refleks mencabut pistol untuk melindungi presiden.
Namun Sukardjo meletakkan pistolnya kembali, karena Sukarno tidak ingin melihat pertumpahan darah.
Surat yang akhirnya ditandatangani Sukarno itu dikenal kemudian dengan nama Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret.
Sukardjo juga bersaksi bahwa yang menghadap Sukarno adalah empat jendral dan bukan tiga jendral seperti yang disebutkan selama ini.
Quote:
Keempat jendral utusan Suharto itu adalah:
1. Muhammad. Yusuf
2. Maraden Panggabean
3. Amir Machmuddan
4. Basuki Rachmat.
Biarpun ada yang masih meragukan kesaksian Sukardjo itu, tapi dia tetap berpegang pada kesaksiannya itu. Kemudian malah menulis kesaksiannya di bukunya berjudul “Mereka Menodong Bung Karno”.
Kesaksian Sukardjo bahwa Sukarno ditodong, pernah dibantah M. Yusuf dan Panggabean sendiri.
Kesaksian itu juga dibantah oleh A.M. Hanafi mantan Dubes RI di Kuba, dalam bukunya “Hanafi Menggugat”. Sehingga kebenaran kesaksian Sukardjo itu masih perlu ditelusuri lagi. Benarkah demikian?
Ditodong atau tidak, rasanya Sukarno bukan orang yang mudah digertak. Bagaimanapun, apapun alasan Sukarno menandatangani naskah Supersemar, pada dasarnya kesaksian Sukardjo itu menggambarkan situasi yang tidak kompromistik.
Situasi yang membuat Sukarno terjepit. Tak ada waktu bernegosiasi. Pokoknya teken sekarang! Ada bau konspirasi di balik itu. Dan hasilnya adalah lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar. Bung Karno menyebutnya dengan istilah SP Sebelas Maret.
Sesudah menandatangani surat itu, Bung Karno masih sempat mengatakan, bahwa surat itu mesti dikoreksi kalau keadaan sudah pulih.
Permintaan itu tidak pernah terwujud, karena ketika menandatangani surat itu, tanpa disadari Sukarno sedang menandatangani kejatuhannya.
Sesudah penandatanganan Supersemar, boleh dikatakan “wahyu sebagai pemimpin” seakan sudah tercabut dari Sukarno.
Sebagai presiden, Sukarno sudah menandatangani ribuan surat. Tapi tandatangannya di surat yang satu ini, Supersemar, menjadi pedang yang menghunus kekuasaannya sendiri.
Kita tahu, Supersemar adalah surat mandat Sukarno pada Suharto untuk mengamankan negara yang kacau akibat G30S PKI.
Belakangan mandat Supersemar ini ternyata dijadikan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan yang menyingkirkan Sukarno.
Dengan Supersemar itu Suharto memperoleh surat sakti, kemudian bergerak cepat meraih kursi presiden.
Bung Karno yang sadar bahwa Supersemar ternyata dimanipulasi, dalam pidatonya berteriak “Jangan jegal perintah saya!
Jangan saya dikentuti!”. Ini ekspresi kemarahan Sukarno kepada orang-orang yang dianggapnya telah menipunya, melangkahinya dan membangkang perintahnya.
Menjelang kejatuhannya, Bung Karno mulai agak kehilangan kontrol diri. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang emosional. Tampaknya Bung Karno mulai frustrasi. Dia sudah mulai merasa ditinggalkan dan dikhianati oleh orang-orang sekitarnya.
Salah satunya yang bikin Sukarno merasa dikentuti, seperti katanya, adalah Supersemar tadi. Bagaimana tidak? Bung Karno merasa Supersemar diplintir!
Padahal Supersemar dimaksudkan Sukarno untuk memberi mandat pada Suharto agar segera memulihkan keamanan negara, bukan melengserkannya.
Kecurigaan presiden Sukarno bahwa ada persekongkolan yang berniat memanipulasi Supersemar, tercermin dari pidatonya.
Ketika itu Bung Karno mulai melihat tanda-tanda Supersemar yang disebutnya SP 11 Maret itu mulai “dimainkan” oleh Suharto. Karena itu Bung Karno menekankan berkali-kali, dirinya tidak bermaksud mengalihkan kekuasaannya pada Suharto.
Quote:
Kata Bung Karno, “Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu, suatu transfer of sovereignty. Transfer of authority. Padahal TIDAK! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah. SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Pengamanan jalannya ini pemerintahan. Seperti kukatakan dalam pelantikan kabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah PENGAMANAN beberapa hal”.
Berdasarkan pidato Sukarno di atas, timbul kecurigaan orang. Mungkinkah Supersemar “sengaja” dinyatakan hilang? Betulkah naiknya Suharto sebagai presiden adalah inskonstitusional karena bertentangan dengan amanat Supersemar? Dan karenanya Supersemar mesti lenyap secara misterius? Apakah bisa dipercaya begitu saja bahwa dokumen negara sepenting itu bisa hilang?
Dua naskah Supersemar di Arsip Nasional disebutkan hanya fotocopy. Yang janggal, dua naskah itu tidak mirip karena diketik dengan spasi berbeda. Pertanyaannya, yang manakah di antara kedua naskah itu yang otentik? Atau apakah malah keduanya sama-sama tidak otentik?
LANJUT DI BAWAHNYA
armanke13 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
38.5K
Kutip
97
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.1KThread•91KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya