- Beranda
- The Lounge
Hari Raya Nyepi TAhun Baru Saka 1936
...
TS
artha2future
Hari Raya Nyepi TAhun Baru Saka 1936
Spoiler for Welcome:
Om Awighnam Astu namo siddham,
OM SWASTIASTU
OM SWASTIASTU
“SELAMAT TAHUN BARU SAKA 1936”
Apa kabar Agan2 sekalian???
Semoga baik2 saja. Kali ini ane mau membahas singkat mengenai hari raya Nyepi yg akan dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 2014 oleh Umat Hindu di seluruh Dunia. Cekidot….
Apa kabar Agan2 sekalian???
Semoga baik2 saja. Kali ini ane mau membahas singkat mengenai hari raya Nyepi yg akan dilaksanakan pada tanggal 31 Maret 2014 oleh Umat Hindu di seluruh Dunia. Cekidot….
Spoiler for PENGERTIAN:
Pengertian Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) danBhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit (alam manusia/microcosmos) danBhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
Spoiler for Makna:
Keseimbangan antara Buana Agung dan Buana Alit benar-benar harus terjaga karena manusia sangat tergantung kehidupannya kepada alam. Makna kurban suci bukan hanya sebagai perwujudan dari rasa bakti umat kepada Sang Pencipta, akan tetapi juga sebagai perwujudan niat baik untuk tetap melestarikan ciptaan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Niat baik ini perlu ditumbuhkan dan selalu dimaknai dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya dalam hal sewaktu menghaturkan kurban suci saja. Menghaturkan kurban suci itu adalah suatu ritual, tetapi makna yang lebih mendalam haruslah tercermin dalam setiap langkah perbuatan (Karma). Keseimbangan harus terjadi secara vertical dan juga horizontal untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian semesta.
Unsur Panca Maha Butha dalam diri manusia sama dengan unsur Panca Maha Butha yang ada dalam semesta. Manusia satu dengan manusia lainnya demikian juga halnya. Apabila kita menumbuhkan sikap negative dalam diri kita, tentulah akan terjadi benturan dengan yang lain, demikian sebaliknya apabila kita menumbuhkan sikap positif maka persatuan seluruh umat akan tercipta yang berakhir dengan kedamaian dan kebahagiaan untuk semua.
Setiap menyambut Hari Raya Nyepi, beberapa hari sebelumnya juga selalu diawali dengan Upacara Melasti. Secara awam/umum kita ketahui bahwa upacara Melasti ditujukan untuk membersihkan Pratima dengan melakukan penyucian ke laut atau sumber air lainnya yang pada akhirnya berakhir di laut juga. Bila kita mau mengkaji lebih mendalam dan didasari dengan pengertian hakikat dari Melasti, mestinya bukan hanya sekedar arak-arakan menuju laut atau sumber air dan membersihkan Pratima. Ada arti yang lebih mendalam lagi yang langsung mnyentuh Jiwa Suci/Atman dalam diri kita.
Pratima adalah symbol-symbol suci yang dapat dilihat dengan kasat mata dan melibatkan tangan manusia dalam pembuatannya. Sedangkan Jiwa Suci adalah ciptaan dan bagian dari Brahman yang ada dalam setiap diri manusia. Kalau Pratima itu bisa kita bersihkan, mengapa kita tidak berpikir dan berbuat untuk membersihkan diri kita dari perbuatan-perbuatan dosa yang akhirnya mengotori kesucian Sang Atman? Marilah kita berusaha untuk menyadari hal ini. Bukankah lautan yang luas dan sumber air sudah ada dalam diri kita. Mengapa tidak kita lakukan penyucian untuk Sang Jiwa? Penyucian diri tidak harus menentukan kapan waktunya dan dimana tempatnya. Lakukan kapan saja dan dimana saja, dengan pikiran yang hening dan diimbangi dengan perbuatan-perbuatan berdasarkan Dharma.
Upacara me-buu-buu dengan menyalakan obor, memukul kentongan, memukul-mukul tanah dengan kayu atau pelepah kelapa sebagaimana kita ketahui adalah dimaksudkan untuk mengusir Butha Kala atau sejenis yang suka mengganggu kehidupan manusia. Makna yang lebih mendalam lagi tidak hanya sekedar upacaranya, tetapi perlu kita sadari bahwa Butha Kala itu juga ada dalam diri kita. Kita akan dirasuki oleh sifat Butha bila kita tidak memegang teguh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan ajaran-ajaran suci yang telah diturunkanNya.
Butha Kala selalu mengganggu dan akan merasuki setiap orang yang tidak kuat imannya atau bahkan tidak beriman sama sekali. Sifat-sifat Butha akan tampak dalam diri manusia apabila orang tersebut keluar dari jalur/rel Dharma. Kemanapun, dimanapun, dan kapanpun, Butha itu selalu menyertai kita. Hal ini tampak dalam perilaku kita sehari-hari yang setiap saat dapat berubah pikiran dalam sekejap untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, mengkhianati kata hati nurani, menghkhianati kebenaran. Butha adalah gambaran dari hawa nafsu, keinginan yang tidak terkendali.
Meskipun hati nurani selalu mengingatkan kita, bisikan dari Butha sangat sering mengalahkan daya pikir manusia yang cenderung untuk mendapatkan sesuatu secara gampang, tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan lingkungannya, dan mau menang sendiri. Ego manusia bisa melebihi sikap kejam perilaku binatang yang tidak memiliki anugerah “Idep” (pikiran).
Tentulah hal ini sangat disayangkan, karena kita sebagai manusia telah diberikan anugerah kemuliaan Tri Pramana (Sabda, Bayu, dan Idep). Manusia yang tidak bisa memanfaatkan anugerah Tri Pramana itu dengan baik, tentulah manusia yang menyalahi takdirnya. Karma buruk yang telah dibuat akan menyeret manusia kepada perputaran Samsara yang akan berujung pada kelahiran kembali sebagai makhluk ciptaannya yang sesuai dengan perilakunya (Karma-nya) pada kehidupan yang lampau dengan derajat kehidupan di bawah derajat hidup sosok manusia..
Nyepi memiliki makna yang sangat mendalam, tidak hanya sekedar menyambut datangnya Tahun Baru Caka, bukan hanya sekedar melakukan Tawur Kesanga. Nyepi membawa makna dalam diri setiap insan manusia. Dengan menyambut Hari raya Nyepi, kita selalu diingatkan untuk bercermin diri, melihat diri kita sendiri, sudah sejauh manakah kita melangkah, sudah benarkah langkah yang kita ambil dan lakukan, sudahkah perbuatan kita berguna untuk diri sendiri dan juga untuk umat manusia yang lain, untuk lingkungan sekitar kita. Apa yang akan kita lakukan setelah memasuki tahun yang baru? Apakah tetap seperti tahun kemarin, apakah berniat untuk berubah menjadi lebih baik, atau tidak berbuat apa-apa sama sekali?
Seharusnya kita sadari benar, bahwasanya Karma yang kita buat tidaklah bisa kita nilai sendiri seutuhnya dengan pikiran seperti pelajaran berhitung. Karma baik tidaklah harus dihubungkan dengan pahala yang baik. Berbuat baik haruslah dilandasi dengan ketulusan tanpa berharap sedikitpun tentang imbalan. Cukuplah kita berbuat baik, tidak perlu untuk diingat-ingat lagi ataupun diceritakan kepada orang lain bahwa kita telah ber-Karma baik. Sudah sepatutnya sebagai manusia yang ber-iman kita selalu menghias diri dengan kebajikan-kebajikan.
Pada hari Raya Nyepi yang suci dan damai ini, marilah kita merenung untuk menatap ke depan, agar selalu dan selalu dapat berbuat amal kebajikan. Kejarlah kehidupan spiritual menuju kehidupan suci. Begitu banyak ajaran suci yang telah kita tinggalkan, dengan semangat baru kita kembali kepada wahyu suci. Marilah kita buka tabir gelap yang menyelimuti jiwa suci dalam diri, tumbuhkan rasa cinta dan welas asih, yang pada akhirnya akan menghantar kita menuju cahaya Nirvana.
I. BAGAIMANA MENYIKAPI NYEPI?
Ada berbagai sudut pandang dalam hal menyikapi Nyepi. Untuk mudahnya, sudut pandang tersebut dapat dibedakan antara yang bersifat fisik (skala) dan non fisik (niskala). Secara awam sebagaimana diketahui, upacara Kurban suci adalah merupakan rentetan awal dari penyambutan hari raya Nyepi, Hal ini sudah berlangsung ratusan tahun semenjak awal hari raya Nyepi dilaksanakan.
Secara gamblang dari sudut pandang secara universal, upacara kurban suci dimaknai sebagai perwujudan “bhakti” dari manusia kepada Sang Pencipta, sebagai perwujudan untuk mendapatkan keseimbangan antara Buana Agung (Alam Semesta) dengan Buana Alit (diri manusia).
Upacara kurban suci dilaksanakan dengan meriah dan suka cita sebagai wujud kebahagiaan untuk menyongsong tahun baru yang diharapkan dapat memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah dicapai pada waktu sebelumnya. Begitu banyak harapan-harapan yang diinginkan untuk mendapatkan kebahagiaan bagi diri manusia.
Dari sudut pandang non fisik (niskala) yang menjurus kepada sisi spiritual manusia, Nyepi dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat spiritual dan suci yang harus selalu dikembangkan dan ditumbuhkan dalam setiap jiwa manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kebahagiaan lahir maupun batin.
Tapa, Brata, Yoga, dan Semedi, sebagai suatu ritual kejiwaan yang wajib dilakukan, dan dilaksanakan tidak hanya pada saat hari raya Nyepi, akan tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan rohani yang harus didapatkan dalam segi kehidupan sehari-hari. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna dan tujuan dari melakukan Tapa, Brata, Yoga, dan Semedi. Makna dan tujuannya sudah jelas adalah pengendalian diri untuk mendapatkan kebahagiaan berdasarkan Dharma.
A. TAPA
Untuk kondisi saat ini yang sudah memasuki era modernisasi, sudah tidak mungkin untuk melakukan Tapa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang suci pada jaman dahulu. Melakukan Tapa tidak berarti kita harus pergi ke hutan-hutan ataupun ke gunung-gunung. Tapa dapat dilakukan di dalam kamar suci, tempat suci atau dimanapun kita berada dan bisa menghadirkan kesunyian, kesucian, dan ketenangan dalam diri. Lakukan Tapa dengan segenap kepasrahan diri kehadapan Yang Maha Kuasa, bahwasanya beliau adalah merupakan Awal dan Akhir, tiada kekuatan lain yang menandingiNya, dan semua terjadi adalah atas kehendakNya.
B. BRATA
Brata dapat dilakukan kapan saja dengan suatu niatan suci. Brata yang paling umum adalah dengan melakukan puasa makan (upawasa). Dengan melakukan Brata, banyak manfaat yang didapatkan asalkan dilakukan dengan niat baik dan tulus. Brata bisa bermanfaat untuk kesehatan dan juga untuk pengekangan terhadap hawa nafsu. Dengan melakukan Brata yang benar, badan kita dikembalikan pada posisi nol (netral) sedemikian hingga metabolisme tubuh dikembalikan pada posisi asalnya. Dengan melakukan Brata kita akan lebih mudah untuk mengendalikan sifat ego dan hawa nafsu yang muncul dari pikiran yang tidak baik.
C. YOGA SEMEDI
Yoga Semedi adalah tahapan kehidupan spiritual yang tertinggi, sebagaimana dijabarkan dalam Catur Marga Yoga. Dengan melakukan Yoga Semedi, kita berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, melepas semua ego dan nafsu yang ada dalam diri. Yoga Semedi adalah pengorbanan suci yang tertinggi, sehingga harus dilakukan dengan sepenuh hati, penuh keyakinan atas Kuasa-Nya. Tanpa berpasrah diri dalam melakukan Yoga Semedi, mustahil akan didapatkan suatu hubungan spiritual yang suci kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Yoga Semedi memerlukan ketekunan, tidak bisa diraih dalam waktu yang singkat, dan semua itu berpaling kepada diri kita sendiri, sudah sejauh mana keyakinan kita.
Yoga Semedi adalah ditujukan untuk mencapai keharmonisan rohani yang dilandasi oleh Kesucian, tidak ada kekuatan lain, hanya semata-mata Kesucian. Yoga Semedi bukan untuk menggali power/kekuatan-kekuatan tertentu. Bila kita berpikir untuk mendapatkan kekuatan, maka niatan dan makna Yoga Semedi sudah keluar dari jalur Dharma.
Yoga Semedi dilakukan untuk mendapatkan penyatuan diri/jiwa dengan Sang Pencipta/Brahman yang akhirnya akan menghantar kita pada pencapaian Mokhsartham Jagadhitam ya ca iti Dharma. Jadi sangat jelas Yoga Semedi dilakukan untuk mendapatkan Spiritual Kesucian dalam segala segi aspek kehidupan. Tiada kekuatan lain, murni hanya Kesucian.
II. MENYINGKAP CAHAYA MENEMBUS KEGELAPAN, MENEROPONG JIWA YANG TERKUNGKUNG
Begitu mulia kita terlahir sebagai manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yang ada di dunia ini. Dengan kemuliaan tersebut sudah semestinya kita sebagai manusia bisa menyadari bahwasanya Sang Pencipta telah memberikan Kasih dan Sayang-Nya kepada kita. Akan tetapi kenyataannya, kita teramat sering lupa, bahkan mengabaikan hal-hal yang semestinya menjadi kewajiban kita sebagai umat Tuhan.
Kemuliaan yang didapatkan sebagai anugrah, lebih sering terabaikan karena suatu tuntutan dalam diri manusia yang dilandasi oleh ego dan hawa nafsu yang tidak terkendali. Semestinya kita menyadari, begitu banyak masa lalu kita yang terlupakan, bahkan terlupakan sama sekali. Karma yang telah diperbuat pada masa lampau sudah terlupakan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kabut gelap yang menyelimuti jiwa kita. Semenjak dilahirkan, kabut awidya telah menyelimuti kita dengan gemerlap duniawi yang terus mengkungkung jiwa.
Dalam kehidupan nyata, Karma buruk gampang dilupakan dan Karma baik selalu diingat-ingat. Hal ini terjadi karena sifat ego yang menguasai diri. Perbuatan jahat beberapa menit yang lalu dengan segera ditutupi oleh perbuatan baik yang pernah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Dibanding-bandingkan, dihitung-hitung, ditimbang-timbang seolah-olah bisa menilai sendiri takaran pahala yang akan didapat. Inilah cara berpikir yang sesat dan akan menjerumuskan diri kita lebih dalam lagi ke jurang dosa. Bila sudah demikian, Sang Jiwa sudah terperosok lebih dalam lagi di kegelapan dosa.
Dengan lebih memaknai hari suci, marilah kita berusaha untuk instropeksi diri. Teropong diri kita sendiri. Hindari menimbang-nimbang perbuatan baik atau buruk orang lain, karena bukan kita yang menentukan apakah orang itu masuk Sorga atau Neraka. Lihatlah diri sendiri, sudahkah kita berbuat baik. Berpikirlah, sudah seberapa jauh kaki kita terjerembab di ambang neraka. Itu lebih baik agar kita selalu waspada dan menghindari berbuat Adharma.
Bukalah tabir diri kita, telanjangi diri kita sendiri dari perbuatan-perbuatan Adharma. Ingatlah, Ida Sanghyang Widhi itu Maha Pengasih dan Penyayang. Hanya kita yang sering mengingkarinya. Dengan penuh rasa takut untuk mengakui perbuatan jahat yang pernah dilakukan, maka pintu untuk bertobat akan semakin rapat kita tutupi sendiri. Mengapa takut dengan diri sendiri, mengapa takut untuk memohon ampunanNya atas segala dosa-dosa yang kita perbuat sendiri?
Itu adalah sifat munafik yang umumnya terjadi karena cara berpikir yang picik dan lebih mengutamakan keduniawian. Perkuatlah iman, sadarilah dengan tulus keberadaanNya. Niscaya cahaya terang akan diberikanNya. Pintu untuk keluar dari tabir gelap selalu terbuka dan akan tertutup bila saatnya kita kembali kepadaNya. Pergunakanlah sisa waktu dalam hidup kita untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya.
III. MENYEPI DALAM DIRI, MEMASUKI ALAM “SUNYA”
Sewaktu kita lahir keluar dari rahim Ibu, kita hanya sendiri dan telanjang. Pada saatnya nanti kita dipanggil kembali kepadaNya, kita juga sendiri dan telanjang. Tidak ada harta duniawi, kehormatan, pangkat, dan lain-lainnya yang kita bawa. Hanya catatan karma selama hidup yang kita bawa. Terlahir dalam sepi dan kembali juga sepi. Sudahkah kita siap dengan kesepian itu? Mengapa kita tidak menyiapkan diri untuk memasuki wilayah “Sepi” itu semasih kita punya kesadaran? Mengapa kita tidak berusaha untuk melepaskan diri dari siklus “Sepi” itu?
Kita tidak akan pernah berpikir untuk melepaskan diri dari siklus karma selama kita tidak memegang teguh makna Mokhsartam Jagadhitam. Kecenderungan untuk berpikir bahwa selama hidup berbuat baik dan nantinya akan masuk sorga, selanjutnya bila terlahir kembali akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik karena dihormati, cukup harta, dan hal-hal duniawi lainnya.
Cara berpikir ini tidak salah, akan tetapi belum lengkap untuk mencapai tujuan hidup. Untuk melengkapinya tentu diperlukan usaha dan pengetahuan spiritual yang cukup untuk pemahaman tentang Ketuhanan. Ini bukan suatu hal yang muluk, setiap orang dapat melakukannya.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dengan berlatih Tapa, Brata, dan Yoga Semedi, kita dapat memasuki kondisi “Sepi/Sunya” dengan pendekatan diri dan akhirnya menyatu dengan Brahman. Dengan latihan-latihan itu kita akan siap untuk memasuki alam “SUNYA”. Dengan penguasaan Tapa, Brata, dan Yoga Semedi kita terlatih untuk mengendalikan diri dan dapat memposisikan diri dalam kondisi “Sepi” dalam kehidupan yang ramai dan kondisi “ramai/bahagia” dalam kesendirian. Ini bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Dengan kesadaran spiritual yang cukup, kita dapat mencapai hal itu. Semua kembali kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita mempunyai niat untuk berbuat yang lebih baik dan meningkatkan diri sendiri dalam olah spiritual.
Ingatlah, ajaran suci yang telah diturunkan lewat Wahyu Suci bukan hanya sekedar untuk diketahui, dibaca, dibicarakan, dan dibahas. Ajaran Suci perlu penghayatan yang mendalam dan pengamalan yang tanpa pamrih. Janganlah menilai perbuatan orang, nilailah diri sendiri, karena perbuatan baik tiada pernah habisnya untuk dilakukan selama hayat dikandung badan. Instropeksi diri jauh lebih baik daripada menilai kesalahan orang lain. Terbukalah terhadap diri sendiri, karena kata hati tidak pernah mengkhianati. Keabadian ada dalam diri, keabadian ada didalam Sepi/Sunya. Pada akhirnya kesanalah tujuan kita kembali.
Unsur Panca Maha Butha dalam diri manusia sama dengan unsur Panca Maha Butha yang ada dalam semesta. Manusia satu dengan manusia lainnya demikian juga halnya. Apabila kita menumbuhkan sikap negative dalam diri kita, tentulah akan terjadi benturan dengan yang lain, demikian sebaliknya apabila kita menumbuhkan sikap positif maka persatuan seluruh umat akan tercipta yang berakhir dengan kedamaian dan kebahagiaan untuk semua.
Setiap menyambut Hari Raya Nyepi, beberapa hari sebelumnya juga selalu diawali dengan Upacara Melasti. Secara awam/umum kita ketahui bahwa upacara Melasti ditujukan untuk membersihkan Pratima dengan melakukan penyucian ke laut atau sumber air lainnya yang pada akhirnya berakhir di laut juga. Bila kita mau mengkaji lebih mendalam dan didasari dengan pengertian hakikat dari Melasti, mestinya bukan hanya sekedar arak-arakan menuju laut atau sumber air dan membersihkan Pratima. Ada arti yang lebih mendalam lagi yang langsung mnyentuh Jiwa Suci/Atman dalam diri kita.
Pratima adalah symbol-symbol suci yang dapat dilihat dengan kasat mata dan melibatkan tangan manusia dalam pembuatannya. Sedangkan Jiwa Suci adalah ciptaan dan bagian dari Brahman yang ada dalam setiap diri manusia. Kalau Pratima itu bisa kita bersihkan, mengapa kita tidak berpikir dan berbuat untuk membersihkan diri kita dari perbuatan-perbuatan dosa yang akhirnya mengotori kesucian Sang Atman? Marilah kita berusaha untuk menyadari hal ini. Bukankah lautan yang luas dan sumber air sudah ada dalam diri kita. Mengapa tidak kita lakukan penyucian untuk Sang Jiwa? Penyucian diri tidak harus menentukan kapan waktunya dan dimana tempatnya. Lakukan kapan saja dan dimana saja, dengan pikiran yang hening dan diimbangi dengan perbuatan-perbuatan berdasarkan Dharma.
Upacara me-buu-buu dengan menyalakan obor, memukul kentongan, memukul-mukul tanah dengan kayu atau pelepah kelapa sebagaimana kita ketahui adalah dimaksudkan untuk mengusir Butha Kala atau sejenis yang suka mengganggu kehidupan manusia. Makna yang lebih mendalam lagi tidak hanya sekedar upacaranya, tetapi perlu kita sadari bahwa Butha Kala itu juga ada dalam diri kita. Kita akan dirasuki oleh sifat Butha bila kita tidak memegang teguh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa dan ajaran-ajaran suci yang telah diturunkanNya.
Butha Kala selalu mengganggu dan akan merasuki setiap orang yang tidak kuat imannya atau bahkan tidak beriman sama sekali. Sifat-sifat Butha akan tampak dalam diri manusia apabila orang tersebut keluar dari jalur/rel Dharma. Kemanapun, dimanapun, dan kapanpun, Butha itu selalu menyertai kita. Hal ini tampak dalam perilaku kita sehari-hari yang setiap saat dapat berubah pikiran dalam sekejap untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak baik, mengkhianati kata hati nurani, menghkhianati kebenaran. Butha adalah gambaran dari hawa nafsu, keinginan yang tidak terkendali.
Meskipun hati nurani selalu mengingatkan kita, bisikan dari Butha sangat sering mengalahkan daya pikir manusia yang cenderung untuk mendapatkan sesuatu secara gampang, tidak memperhatikan kepentingan orang lain dan lingkungannya, dan mau menang sendiri. Ego manusia bisa melebihi sikap kejam perilaku binatang yang tidak memiliki anugerah “Idep” (pikiran).
Tentulah hal ini sangat disayangkan, karena kita sebagai manusia telah diberikan anugerah kemuliaan Tri Pramana (Sabda, Bayu, dan Idep). Manusia yang tidak bisa memanfaatkan anugerah Tri Pramana itu dengan baik, tentulah manusia yang menyalahi takdirnya. Karma buruk yang telah dibuat akan menyeret manusia kepada perputaran Samsara yang akan berujung pada kelahiran kembali sebagai makhluk ciptaannya yang sesuai dengan perilakunya (Karma-nya) pada kehidupan yang lampau dengan derajat kehidupan di bawah derajat hidup sosok manusia..
Nyepi memiliki makna yang sangat mendalam, tidak hanya sekedar menyambut datangnya Tahun Baru Caka, bukan hanya sekedar melakukan Tawur Kesanga. Nyepi membawa makna dalam diri setiap insan manusia. Dengan menyambut Hari raya Nyepi, kita selalu diingatkan untuk bercermin diri, melihat diri kita sendiri, sudah sejauh manakah kita melangkah, sudah benarkah langkah yang kita ambil dan lakukan, sudahkah perbuatan kita berguna untuk diri sendiri dan juga untuk umat manusia yang lain, untuk lingkungan sekitar kita. Apa yang akan kita lakukan setelah memasuki tahun yang baru? Apakah tetap seperti tahun kemarin, apakah berniat untuk berubah menjadi lebih baik, atau tidak berbuat apa-apa sama sekali?
Seharusnya kita sadari benar, bahwasanya Karma yang kita buat tidaklah bisa kita nilai sendiri seutuhnya dengan pikiran seperti pelajaran berhitung. Karma baik tidaklah harus dihubungkan dengan pahala yang baik. Berbuat baik haruslah dilandasi dengan ketulusan tanpa berharap sedikitpun tentang imbalan. Cukuplah kita berbuat baik, tidak perlu untuk diingat-ingat lagi ataupun diceritakan kepada orang lain bahwa kita telah ber-Karma baik. Sudah sepatutnya sebagai manusia yang ber-iman kita selalu menghias diri dengan kebajikan-kebajikan.
Pada hari Raya Nyepi yang suci dan damai ini, marilah kita merenung untuk menatap ke depan, agar selalu dan selalu dapat berbuat amal kebajikan. Kejarlah kehidupan spiritual menuju kehidupan suci. Begitu banyak ajaran suci yang telah kita tinggalkan, dengan semangat baru kita kembali kepada wahyu suci. Marilah kita buka tabir gelap yang menyelimuti jiwa suci dalam diri, tumbuhkan rasa cinta dan welas asih, yang pada akhirnya akan menghantar kita menuju cahaya Nirvana.
I. BAGAIMANA MENYIKAPI NYEPI?
Ada berbagai sudut pandang dalam hal menyikapi Nyepi. Untuk mudahnya, sudut pandang tersebut dapat dibedakan antara yang bersifat fisik (skala) dan non fisik (niskala). Secara awam sebagaimana diketahui, upacara Kurban suci adalah merupakan rentetan awal dari penyambutan hari raya Nyepi, Hal ini sudah berlangsung ratusan tahun semenjak awal hari raya Nyepi dilaksanakan.
Secara gamblang dari sudut pandang secara universal, upacara kurban suci dimaknai sebagai perwujudan “bhakti” dari manusia kepada Sang Pencipta, sebagai perwujudan untuk mendapatkan keseimbangan antara Buana Agung (Alam Semesta) dengan Buana Alit (diri manusia).
Upacara kurban suci dilaksanakan dengan meriah dan suka cita sebagai wujud kebahagiaan untuk menyongsong tahun baru yang diharapkan dapat memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah dicapai pada waktu sebelumnya. Begitu banyak harapan-harapan yang diinginkan untuk mendapatkan kebahagiaan bagi diri manusia.
Dari sudut pandang non fisik (niskala) yang menjurus kepada sisi spiritual manusia, Nyepi dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat spiritual dan suci yang harus selalu dikembangkan dan ditumbuhkan dalam setiap jiwa manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kebahagiaan lahir maupun batin.
Tapa, Brata, Yoga, dan Semedi, sebagai suatu ritual kejiwaan yang wajib dilakukan, dan dilaksanakan tidak hanya pada saat hari raya Nyepi, akan tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan rohani yang harus didapatkan dalam segi kehidupan sehari-hari. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna dan tujuan dari melakukan Tapa, Brata, Yoga, dan Semedi. Makna dan tujuannya sudah jelas adalah pengendalian diri untuk mendapatkan kebahagiaan berdasarkan Dharma.
A. TAPA
Untuk kondisi saat ini yang sudah memasuki era modernisasi, sudah tidak mungkin untuk melakukan Tapa sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang suci pada jaman dahulu. Melakukan Tapa tidak berarti kita harus pergi ke hutan-hutan ataupun ke gunung-gunung. Tapa dapat dilakukan di dalam kamar suci, tempat suci atau dimanapun kita berada dan bisa menghadirkan kesunyian, kesucian, dan ketenangan dalam diri. Lakukan Tapa dengan segenap kepasrahan diri kehadapan Yang Maha Kuasa, bahwasanya beliau adalah merupakan Awal dan Akhir, tiada kekuatan lain yang menandingiNya, dan semua terjadi adalah atas kehendakNya.
B. BRATA
Brata dapat dilakukan kapan saja dengan suatu niatan suci. Brata yang paling umum adalah dengan melakukan puasa makan (upawasa). Dengan melakukan Brata, banyak manfaat yang didapatkan asalkan dilakukan dengan niat baik dan tulus. Brata bisa bermanfaat untuk kesehatan dan juga untuk pengekangan terhadap hawa nafsu. Dengan melakukan Brata yang benar, badan kita dikembalikan pada posisi nol (netral) sedemikian hingga metabolisme tubuh dikembalikan pada posisi asalnya. Dengan melakukan Brata kita akan lebih mudah untuk mengendalikan sifat ego dan hawa nafsu yang muncul dari pikiran yang tidak baik.
C. YOGA SEMEDI
Yoga Semedi adalah tahapan kehidupan spiritual yang tertinggi, sebagaimana dijabarkan dalam Catur Marga Yoga. Dengan melakukan Yoga Semedi, kita berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta, melepas semua ego dan nafsu yang ada dalam diri. Yoga Semedi adalah pengorbanan suci yang tertinggi, sehingga harus dilakukan dengan sepenuh hati, penuh keyakinan atas Kuasa-Nya. Tanpa berpasrah diri dalam melakukan Yoga Semedi, mustahil akan didapatkan suatu hubungan spiritual yang suci kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Yoga Semedi memerlukan ketekunan, tidak bisa diraih dalam waktu yang singkat, dan semua itu berpaling kepada diri kita sendiri, sudah sejauh mana keyakinan kita.
Yoga Semedi adalah ditujukan untuk mencapai keharmonisan rohani yang dilandasi oleh Kesucian, tidak ada kekuatan lain, hanya semata-mata Kesucian. Yoga Semedi bukan untuk menggali power/kekuatan-kekuatan tertentu. Bila kita berpikir untuk mendapatkan kekuatan, maka niatan dan makna Yoga Semedi sudah keluar dari jalur Dharma.
Yoga Semedi dilakukan untuk mendapatkan penyatuan diri/jiwa dengan Sang Pencipta/Brahman yang akhirnya akan menghantar kita pada pencapaian Mokhsartham Jagadhitam ya ca iti Dharma. Jadi sangat jelas Yoga Semedi dilakukan untuk mendapatkan Spiritual Kesucian dalam segala segi aspek kehidupan. Tiada kekuatan lain, murni hanya Kesucian.
II. MENYINGKAP CAHAYA MENEMBUS KEGELAPAN, MENEROPONG JIWA YANG TERKUNGKUNG
Begitu mulia kita terlahir sebagai manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yang ada di dunia ini. Dengan kemuliaan tersebut sudah semestinya kita sebagai manusia bisa menyadari bahwasanya Sang Pencipta telah memberikan Kasih dan Sayang-Nya kepada kita. Akan tetapi kenyataannya, kita teramat sering lupa, bahkan mengabaikan hal-hal yang semestinya menjadi kewajiban kita sebagai umat Tuhan.
Kemuliaan yang didapatkan sebagai anugrah, lebih sering terabaikan karena suatu tuntutan dalam diri manusia yang dilandasi oleh ego dan hawa nafsu yang tidak terkendali. Semestinya kita menyadari, begitu banyak masa lalu kita yang terlupakan, bahkan terlupakan sama sekali. Karma yang telah diperbuat pada masa lampau sudah terlupakan sama sekali. Hal ini disebabkan oleh kabut gelap yang menyelimuti jiwa kita. Semenjak dilahirkan, kabut awidya telah menyelimuti kita dengan gemerlap duniawi yang terus mengkungkung jiwa.
Dalam kehidupan nyata, Karma buruk gampang dilupakan dan Karma baik selalu diingat-ingat. Hal ini terjadi karena sifat ego yang menguasai diri. Perbuatan jahat beberapa menit yang lalu dengan segera ditutupi oleh perbuatan baik yang pernah dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Dibanding-bandingkan, dihitung-hitung, ditimbang-timbang seolah-olah bisa menilai sendiri takaran pahala yang akan didapat. Inilah cara berpikir yang sesat dan akan menjerumuskan diri kita lebih dalam lagi ke jurang dosa. Bila sudah demikian, Sang Jiwa sudah terperosok lebih dalam lagi di kegelapan dosa.
Dengan lebih memaknai hari suci, marilah kita berusaha untuk instropeksi diri. Teropong diri kita sendiri. Hindari menimbang-nimbang perbuatan baik atau buruk orang lain, karena bukan kita yang menentukan apakah orang itu masuk Sorga atau Neraka. Lihatlah diri sendiri, sudahkah kita berbuat baik. Berpikirlah, sudah seberapa jauh kaki kita terjerembab di ambang neraka. Itu lebih baik agar kita selalu waspada dan menghindari berbuat Adharma.
Bukalah tabir diri kita, telanjangi diri kita sendiri dari perbuatan-perbuatan Adharma. Ingatlah, Ida Sanghyang Widhi itu Maha Pengasih dan Penyayang. Hanya kita yang sering mengingkarinya. Dengan penuh rasa takut untuk mengakui perbuatan jahat yang pernah dilakukan, maka pintu untuk bertobat akan semakin rapat kita tutupi sendiri. Mengapa takut dengan diri sendiri, mengapa takut untuk memohon ampunanNya atas segala dosa-dosa yang kita perbuat sendiri?
Itu adalah sifat munafik yang umumnya terjadi karena cara berpikir yang picik dan lebih mengutamakan keduniawian. Perkuatlah iman, sadarilah dengan tulus keberadaanNya. Niscaya cahaya terang akan diberikanNya. Pintu untuk keluar dari tabir gelap selalu terbuka dan akan tertutup bila saatnya kita kembali kepadaNya. Pergunakanlah sisa waktu dalam hidup kita untuk lebih mendekatkan diri kepadaNya.
III. MENYEPI DALAM DIRI, MEMASUKI ALAM “SUNYA”
Sewaktu kita lahir keluar dari rahim Ibu, kita hanya sendiri dan telanjang. Pada saatnya nanti kita dipanggil kembali kepadaNya, kita juga sendiri dan telanjang. Tidak ada harta duniawi, kehormatan, pangkat, dan lain-lainnya yang kita bawa. Hanya catatan karma selama hidup yang kita bawa. Terlahir dalam sepi dan kembali juga sepi. Sudahkah kita siap dengan kesepian itu? Mengapa kita tidak menyiapkan diri untuk memasuki wilayah “Sepi” itu semasih kita punya kesadaran? Mengapa kita tidak berusaha untuk melepaskan diri dari siklus “Sepi” itu?
Kita tidak akan pernah berpikir untuk melepaskan diri dari siklus karma selama kita tidak memegang teguh makna Mokhsartam Jagadhitam. Kecenderungan untuk berpikir bahwa selama hidup berbuat baik dan nantinya akan masuk sorga, selanjutnya bila terlahir kembali akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik karena dihormati, cukup harta, dan hal-hal duniawi lainnya.
Cara berpikir ini tidak salah, akan tetapi belum lengkap untuk mencapai tujuan hidup. Untuk melengkapinya tentu diperlukan usaha dan pengetahuan spiritual yang cukup untuk pemahaman tentang Ketuhanan. Ini bukan suatu hal yang muluk, setiap orang dapat melakukannya.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dengan berlatih Tapa, Brata, dan Yoga Semedi, kita dapat memasuki kondisi “Sepi/Sunya” dengan pendekatan diri dan akhirnya menyatu dengan Brahman. Dengan latihan-latihan itu kita akan siap untuk memasuki alam “SUNYA”. Dengan penguasaan Tapa, Brata, dan Yoga Semedi kita terlatih untuk mengendalikan diri dan dapat memposisikan diri dalam kondisi “Sepi” dalam kehidupan yang ramai dan kondisi “ramai/bahagia” dalam kesendirian. Ini bukanlah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Dengan kesadaran spiritual yang cukup, kita dapat mencapai hal itu. Semua kembali kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita mempunyai niat untuk berbuat yang lebih baik dan meningkatkan diri sendiri dalam olah spiritual.
Ingatlah, ajaran suci yang telah diturunkan lewat Wahyu Suci bukan hanya sekedar untuk diketahui, dibaca, dibicarakan, dan dibahas. Ajaran Suci perlu penghayatan yang mendalam dan pengamalan yang tanpa pamrih. Janganlah menilai perbuatan orang, nilailah diri sendiri, karena perbuatan baik tiada pernah habisnya untuk dilakukan selama hayat dikandung badan. Instropeksi diri jauh lebih baik daripada menilai kesalahan orang lain. Terbukalah terhadap diri sendiri, karena kata hati tidak pernah mengkhianati. Keabadian ada dalam diri, keabadian ada didalam Sepi/Sunya. Pada akhirnya kesanalah tujuan kita kembali.
Spoiler for Penutup:
Sekian Thread ane gan.. Terima Kasih sudah mengunjungi Thread ane.. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu menyertai kita. “Om Ḉanti Ḉanti Ḉanti Om”.
Spoiler for Sumber:
Diubah oleh artha2future 30-03-2014 00:36
0
2.7K
Kutip
19
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.3KThread•83.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru