Kaskus

Entertainment

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

toni e.sAvatar border
TS
toni e.s
Tuhan itu cm kambing hitam
Rencana. Rencana. Berencana. Kita, sepertinya, adalah makhluk dengan sejuta rencana. Tapi sangat disayangkan, dari beragam-macam rencana banyak yang berakhir tanpa eksekusi, alias gagal.

Anehnya, ketika sebuah rencana gagal, kita sering mengeluhkan takdir Tuhan. Kita sering berkata, “Manusia hanya punya rencana, akhirnya Tuhan jugalah yang menentukan berhasil-tidaknya sebuah rencana!” Memang ini adalah sebuah ungkapan yang shahih, hanya saja sering disikapi dengan keliru.

Misalnya, ketika ada seseorang yang berencana sore ini akan bersilaturrahim dengan saudaranya. Karena terlalu lama menunggu hingga sore, dia pun ketiduran hingga menjelang usainya sore. Dan, itu bukan waktu yang tepat lagi menurutnya untuk berkunjung. Lalu, apa yang pertama muncul di benaknya, “Memanglah, Tuhan belum menakdirkan kami untuk bersua.” Sebelum intropeksi atas kesalahan dirinya, dia telah terlebih dahulu menyalahkan takdir Tuhan. Tentu saja ini bukanlah sikap yang benar memahami takdir Tuhan.

Misalnya lagi, ketika seorang istri mendapati suaminya bukan seperti orang yang dia tahu sebelumnya. Suaminya tidak seperti perkiraanya dahulu sebelum mereka menikah. Baru setelah menikah dia tahu bahwa sang suami ternyata sering meninggalkan sholat atau sangat jarang mengaji al-Quran dan kurang penyayang terhadap istrinya. Maka si istri pun berujar dalam hatinya, “Saya hanya bisa berharap mendapatkan suami yang baik, tetapi Tuhannya jugalah yang menentukan takdir-Nya.” Sebelum memperhatikan kembali ke belakang bagaimana dirinya sendiri, idenya telah keluar menyalahkan Tuhan. Sebelum melakukan upaya dan usaha, si istri sudah terlebih dahulu mengkambing-hitamkan tadir Tuhan yang telah mempertemukan mereka berdua di atas pelaminan.

Terakhir, takdir Tuhan juga dijadikan argumen untuk membenarkan sesuatu yang dianggap keliru. Seperti ada seorang kepala daerah, umpamanya, telah mencengkeram satu daerah dengan dinasti politiknya, menempatkan keluarga besarnya di posisi-posisi penting di daerah itu, padahal seringkali tanpa memandang kualitas individunya. Hanya untuk memantapkan singgasana pemerintah saja, hingga kekuatannya sangat sulit untuk dibendung. Hingga turun temurun memegang kendali politik di sana. Lalu berkata, “Takdir Tuhan lah yang mengizinkan kami untuk berkuasa.” Lalu masyarakat pun meng-iyakan saja omongan itu.

Sama saja ketika seorang mencuri lalu mengatakan, “Tuhan telah menakdirkan saya mencuri tadi malam.”

Seharusnya kita bertanya pada dia, apakah Anda sekarang sudah rela dengan takdir Tuhan yang telah memutuskan Anda untuk disiksa selamanya di dalam neraka? Tentu saja, orang selalu saja mengelak, dan mengharapkan sebaliknya.

Jadi, nampak jelaslah bagi kita, bahwa sebagian orang kerap kali mempermainkan takdir Tuhan, menjadikannya sebagai pembenar.

Adab kepada Allah

Kita wajib mengimani bahwa takdir, baik dan buruknya adalah dari Allah Swt. Hal ini telah sedemikian lugas dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya ketika Jibril menanyakan beberapa hal bagi Nabi di hadapan beberapa orang sahabat Nabi. Jibril ketika itu menanyakan salah satunya adalah tentang iman, yang kemudian dijawaba oleh Nabi. Di antara jawaban itu adalah beriman dengan takdir, baikdan buruknya dari Allah Swt.

Meskipun demikian, bila kita membaca al-Quran, al-Quran sangat hati-hati memilihkan kata perkata menyinggung kehendak Tuhan. Dapat kita lihat bagaimana al-Quran tidak menisbahkan sesuatu yang buruk terhadap Tuhan. Ini adalah sikap. Ini adalah adab terhadap Tuhan, yang seharusnya kita jadikan teladan agar tidak ceplas-ceplos menyalahkan kehendak Tuhan.

Misalnya firman Allah, “Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki tehadap siapa yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan baginya.” (QS al-Jinn: 10). Lebih tegas firman Allah Swt. Dalam QS an-Nisa` ayat (79), “Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan keburukan apapun yang menimpamu, itu dari dirimu sendiri.” Bahkan Allah juga mengatakan , “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulang tangan manusia..” (QS ar-Rum: 41)

Allah telah menisbahkan keburukan kepada diri manusia itu sendiri, itu artinya kita harus segera intropeksi diri terlebih dahulu sebelum menyalahkan siapapun juga sebagai biang kegagalan. Apakah itu manusia, setan, kondisi alam ataupun kesempatan dan waktu. Apalagilah kalau sempat menyalahkan takdir Tuhan. Tentu saja itu sangat tidak menghormati keagungan Tuhan.

Jadi sikap yang wajar dari kita adalah mengkaji kesalahan yang mungkin kita perbuat; Meneliti kekurangan yang kita khilafkan; Memperhatikan pelanggaran yang kita abaikan; Juga membenahi lagi berbagai corak kesalahan yang mungkin kita acuhkan.

Apatis, Agresif, Efisien

Di atas telah disebutkan beberapa contoh cerita kehidupan yang mungkin saja terjadi di sekitar kita. Dari cara seseorang memahami takdir Tuhan akan kita temukan sikap yang berbeda.

Pertama, sikap apatis, alias acuh tak acuh. Sikap ini muncul dari orang yang telah mengibarkan bendera putih, alias menyerah dengan apa yang terjadi. “Itukan sudah takdir Tuhan, Ngapain lagi dipikirkan!” Senada itulah kira-kira kata yang sering terlontar dari mulutnya ketika tertimpa suatu kegagalan.

Misalnya si istri yang punya cerita di atas. Ketika mendapati suaminya sudah berperilaku buruk, lantas membiarkannya saja. “Emang gua pikirin! Dialah itu sama Tuhannya, yang penting belanja dan biaya pendidikan anak-anak tetap ngalir terus! Soal kesalehan individu itu urusan yang bersangkutan dengan Tuhannya saja.”

Kedua, sikap agresif. Sikap ini muncul dari orang-orang yang kurang mengerti dan meyakini akan kekuasaan Tuhan, serta kehendak-Nya yang tidak ada seorang pun mampu mengalahkannya. Sikap ini sangat buruk, karena menandakan juga dangkalnya pemahaman bertuhan. Sikap ini, menurut saya bahkan lebih buruk dari sikap sebelumnya, karena dapat berakibat pengingkaran akan ke-Mahabenaran Allah dan ke-Mahabesaran-Nya.

Misalnya untuk istri tadi, bisa saja dia akan menceraikan saja suaminya yang tidak sesuai dengan harapannya, padahal itu adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah. Dan yang lebih buruk ketika dia mempertanyakan ke-Mahaadilan Allah menjodohkannya dengan orang yang dianggapnya buruk.

Ketiga, efisien. Sikap ini berada di antara dua sikap sebelumnya. Lebih memilih mengoreksi diri. Koreksi diri ini sangat perlu untuk dijadikan sebagai pertimbangan dan pelajaran agar tidak terjatuh ke dalam satu lubang yang sama. Tidak lantas mencari-cari dalih atau kambing hitam. (Tapi sesekali gak apa-apalah, tapi ngundang2 ya kalau mau disembelih kambignya!)

Bila kembali dicontohkan dengan sikap istri tadi, maka dia yang menyadari dirinya telah berjodoh dengan suaminya akan mengambil sikap bersabar. Tentu saja sabar itu bukan berarti passif atau apatis. Al-Quran mengatakan sikap sabar terhadap keluarga itu adalah dengan menyuruh mereka mengerjakan kebaikan dan kesalehan. Memberikan pengajaran dan nasihat-nasihat yang baik. Jika pasangan mulai nampak kedurhakaannya boleh dimusyawarahkan. Ataupun dengan memanggil keluarga kedua belah pihak untuk mencari solusi atau jalan keluar. Bagi ynng percaya dengan konsep Tuhan, yakinlah akan mendapatkan jalan keluar, tanpa harus melakukan sesuatu yang dibenci oleh Tuhan


Sumber :http://idrisnasution.blogspot.com/2013/12/kambing-hitam-takdir-tuhan.html


Quote:


Diubah oleh toni e.s 26-03-2014 12:24
0
2K
18
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
924.4KThread88.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.