- Beranda
- Berita dan Politik
[NOSTALGIA] Dibalik Kisah antara James Tjahja Riady - Bill Clinton (1996)
...
TS
doraemonkey
[NOSTALGIA] Dibalik Kisah antara James Tjahja Riady - Bill Clinton (1996)
Kini sedang hangat-hangatnya Pemilu 2014. Banyak yang mulai memunculkan sosok konglomerat Indonesia berdarah China James Tjahja Riady dengan JOKOWI (?) . Diteliti-teliti memang info yang bersliweran di Dunia Maya masih banyak yang sekedar spekulasi belaka.
Sebenarnya siapakah sosok James Tjahja Riady ini ?
Apa kaitannya dengan Bill Clinton?
Mari kita telaah sedikit demi sedikit..
Lobi Riady di Gedung Putih
MENDADAK James Riady, 42 tahun, menyita perhatian Amerika Serikat. Pengusaha ternama Indonesia itu disiarkan New York Times edisi 7 Oktober 1996 telah menyumbang sejumlah US$ 200 ribu untuk menyokong kampanye Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat pada tahun 1992.
Adalah wartawan William Safire yang mengungkapkan hubungan Riady-Clinton itu. Menurut Safire, setelah Clinton menghuni Gedung Putih, ada perbedaan sikap yang jelas dalam politik luar negeri AS terhadap Indonesia. Misalnya soal buruh di Timor Timur.
Di dalam negeri, Riady dipuja dan dicaci. Pemilik harian Media Indonesia yang juga seorang pengusaha, Surya Paloh, mengacungkan jempol atas lobi hebat Riady. Tapi, dari Kamar Dagang Indonesia terdengar kabar bahwa Riady seharusnya dijatuhi sanksi karena "memalukan" nama Republik dengan "kolusi" itu.
Siapa James Riady yang anak taipan Mochtar Riady ini?
Di sini, orang banyak mengenalnya sebagai bankir, sekaligus businessman. James Tjahaja Riady adalah generasi kedua yang disiapkan memimpin tampuk kekuasaan di kelompok Lippo -- grup yang kini meraksasa dan dibangun oleh Mochtar Riady. Bahkan dia sering disebut-sebut sebagai calon tunggal pewaris tahta bisnis ayahnya, Mochtar Riady, yang selama ini dikenal sebagai bankir bertangan dingin. Boleh jadi, itu karena langkah-langkah bisnis yang dibuat James. Dia memang cepat, dan inovatif.
Tenang dan murah senyum, James adalah duplikat bapaknya. Kedudukan sebagai Chief Executif Officer (CEO) Grup Lippo sungguh pantas untuknya. Kemampuannya berbisnis tampak dari beberapa lahan proyek yang digarap Lippo belakangan ini. Misalnya, ia bereksperimen dengan menerapkan jurus sukses di bisnis keungan pada bisnis properti "kota mandiri" Lippo Vilagge (Tangerang) dan Lippo Cikarang (Bekasi). Keduanya sukses menyedot jutaan penghuni. Konsepnya sangat sederhana dan belum pernah dilakukan developer manapun di negeri ini: pre-sale alias jual di depan. Dia juga punya kiat lain. "Yang kami jual bukan hanya rumah, lapangan golf, ataupun gedung perkantoran, tapi kepercayaan," katanya.
Tak berlebihan, bila dia disebut putra mahkota. Tanggapan James? "Ah, Anda ternyata ikut-ikutan salah juga. Tidak benar saya dipersiapkan sebagai pewaris Lippo," sangkalnya. Kata dia, kalau memandang Lippo hanya dari figur Mochtar dan James, berarti orang memandang Lippo dari luarnya saja. "You boleh bertanya sendiri, langsung kepada profesional di sini," ujarnya serius tentang kerja tim dan rapinya organisasi Lippo. Semua punya "bagian" dalam pengambilan keputusan bisnis Lippo.
Dia menunjuk Markus Parmadi dan Roy Tirtadji. "Mereka bukan pajangan. Tapi punya otoritas penuh, lainnya juga begitu," kata James. Jadi, ujarnya, yang terpenting bukan nantinya Lippo milik siapa, tetapi bagaimana terus mencapai dan menerapkan strategi yang tepat untuk melembagakan kelompok Lippo. Artinya, keluarga Mochtar Riady boleh saja mundur, tapi nama Grup Lippo harus tumbuh terus.
James mencontohkan, di Bank Lippo yang menjadi tulang punggung bisnis grupnya, kepemilikan saham keluarga Mochtar Riady sekarang sekitar 50 persen. Pada sepuluh tahun mendatang, katanya, kepemilikan keluarganya, mungkin tinggal 30 persen. Dan pada lima belas atau dua tahun mendatang, kepemilikan saham keluarga, mungkin tinggal 15 atau 10 persen saja. "Ini bukan lagi masalah kerelaan melepas saham mayoritas, tetapi strategi jangka panjang," ujar pemilik Bank Lippo yang punya aset Rp 7,6 trilyun ini.
Dia adalah anggota kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Meskipun kini jaringan bisnis Lippo sudah merambah ke mancanegara -- Singapura, AS, Hongkong, Cook Island, Australia -- James mengaku tetap memiliki komitmen untuk membantu teman-temannya dalam wadah tersebut. "Dari dulu Lippo selalu memberi perhatian terhdap HIPMI, tentu saja, asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku," ujarnya.
Tak hanya berkiprah di dunia bisnis, dalam bidang sosial, dengan bendera Lippo, James melahirkan gagasan untuk mendirikan suatu pendidikan terpadu, bernama Sekolah Pelita Harapan (SPH). Cita-citanya, ia hendak mendirikan 10 sekolah untuk kalangan atas, 100 sekolah untuk kalangan menengah, dan 1000 sekolah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini telah berdiri di tiga tempat : Karawaci, Sentul, dan Cikarang. " Di SPH, 20 % muridnya adalah beasiswa dari daerah-daerah," ujar James.
Menurutnya SPH tidak berkait secara langsung dengan Grup Lippo. Dukungan yang diberikan, hanya berupa subsidi. Hanya, kebetulan pengurus yayasan, tergabung dalam Lippo. Bahkan, ia tidak setuju jika SPH membisniskan dunia pendidikan. "Proyek SPH, semata-mata keinginan pendirinya untuk mengembangkan visi sosial," ujarnya. Namun, James yang juga bendahara Yayasan Bhakti Medika Universitas Trisakti ini, tak menyangkal tentang biaya pendidikan yang tinggi. "Pelita Harapan bukan pendidikan termahal di Indonesia. Jakarta Intenational School (JIS) jauh lebih mahal," tuturnya.
Dari pernikahannya dengan Aileen Hambali pada 1982, James dikaruniai dua putra dan dua putri. Tentang anak-anaknya, ia berujar," Saya tak berambisi anak-anak saya terjun ke dunia bisnis, seperti yang saya tekuni sekarang." Dalam mendidik putra-putrinya, menurutnya, ia lebih modern dibandingkan ayahnya. " Saya malah berharap, moga-moga anak saya jangan bekerja di Lippo," kata James yang membebaskan anak-anaknya memilih masa depannya.
Di luar kesibukannya membesarkan bisnis Lippo, James turut andil dalam organisasi olahraga sebagai ketua bidang dana PBSI. Bahkan saat berlangsung kejuaraan Piala Thomas dan Uber, ia menjabat sebagai wakil manajer. Tak hanya itu, Lippo tercatat sebagai sponsor utama kejuaraan bulutangkis paling bergengsi dunia tersebut pada 1996t, di Hong Kong. Tentang keterlibatannya dalam kepengurusan PBSI, tak lain karena ia menyenagi olah raga tersebut. "Sebulan bisa dua kali main bulutangkis," ujarnya.
Sebagai taipan terkemuka di tanah air, James memimpikan Grup Lippo dapat menjadi kelompok perusahaan yang tangguh, seperti perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa. Anak keempat pasangan Mochtar Riady dengan Suryawai Lidya ini lahir di Jember. Sejak kecil James telah dipersiapkan secara serius oleh sang ayah untuk jadi pedagang. Di usia delapan tahun James sudah disekolahkan bapaknya di Macau. Sang ayah memang berharap banyak darinya. "Saya tahu kenampuan James, dan saya ingin dia sejak kecil sudah belajar mandiri."
Empat tahun di Macau, James melanjutkan studi di Australia selama delapan tahun. Pada 1975, saat usianya 18 tahun, ia terbang ke New York AS, dan bekerja selama setahun pada lrving Trust Banking Company. Pada 1976, James pindah ke Little Rock, Arkansas, masih di AS. Di kota inilah debutnya mulai tampak, dengan mendirikan bank yang diberi nama Worthen Bank dengan modal awal US$ 20 juta. Ia bekerjasama dengan Jack Steven, sahabat kental ayahnya, seorang bankir terkenal dengan julukan god father-nya masyarakat Arkansas.
Lewat Jack Steven, James dikenalkan dengan tokoh-tokoh politik ternama AS. Seperti Jimmy Carter, para senator, serta Bill Clinton, yang kemudian menjadi presiden AS. Persahabatannya dengan Clinton berlanjut hingga kini. Saat ia dipercaya oleh Jack Steven, sebagai Presdir Worthen Bank pada 1984, isteri Clinton, Hillary, menjadi pengacara pada bank yang dipimpinnya. Saat itu, hubungan akrab mulai terbentuk. Kebetulan tempat tinggal keduanya saling berdekatan, dan mereka pun sudah biasa saling mengunjungi.
Bahkan hingga Clinton menjadi orang nomor satu di negerinya, persahabatan itu terus berlanjut. Ketika diadakan Clinton Economic Conference, misalnya, James adalah satu-satunya orang di luar AS yang diundang secara pribadi oleh sang presiden. Dan pada saat upacara pelantikan Clinton sebagai presiden, keluarga besar Mochtar Riady diundang menghadiri acara tersebut. Seusai upacara, Mochtar dan isteri, James dan isteri beserta anak-anaknya, diundang sehari penuh untuk menikmati hari bahagia dalam kehidupan keluarga presiden. Tentang persahabatannya dengan peminpin dunia itu, ia berujar, "Sudahlah, itu cuma hubungan biasa, hubungan antarkawan." Kemampuannya bergaul dengan berbagai kalangan adalah salah satu kelebihan yang dimilikinya, dibandingkan dengan eksekutif lainnya.
Sumber: Tempo (1996): http://tempo.co.id/ang/pro/1996/jame...haja_riady.htm
Di Tempo tertera surat kabar Amerika - New York Times (WILLIAM SAFIRE - 7 Oktober 1996). Beginilah bunyi essay asli yang ditulis oleh William Safire kala itu yang berjudul "The Asian Connection"
(mohon maaf apabila tidak diartikan kedalam bahasa Indonesia karena ane yakin penghuni sini sudah pintar-pintar )
Dan mari kita lihat dari tabloid GATRA Nomor 04/III, 14 Desember 1996 yang berisikan mengenai hubungan dekat antara Bill Clinton dengan James Riady ini yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS kala itu dengan Vietnam.
Namun, apakah lolos dari jerat hukum begitu saja James Tjahja Riady dengan bekingandari Bill Clinton? Sayang seribu sayang, ternyata James Riady ini pun dikenakan hukum atas tindakannya dan diadili di Amerika
Berikut liputannya berdasarkan arsip GATRA...
....
....
....
lanjut di post 2
Sebenarnya siapakah sosok James Tjahja Riady ini ?
Apa kaitannya dengan Bill Clinton?
Mari kita telaah sedikit demi sedikit..
Spoiler for Profil James Tjahja Riady & Sepak Terjangnya - Tempo:
Lobi Riady di Gedung Putih
MENDADAK James Riady, 42 tahun, menyita perhatian Amerika Serikat. Pengusaha ternama Indonesia itu disiarkan New York Times edisi 7 Oktober 1996 telah menyumbang sejumlah US$ 200 ribu untuk menyokong kampanye Presiden Bill Clinton dari Partai Demokrat pada tahun 1992.
Adalah wartawan William Safire yang mengungkapkan hubungan Riady-Clinton itu. Menurut Safire, setelah Clinton menghuni Gedung Putih, ada perbedaan sikap yang jelas dalam politik luar negeri AS terhadap Indonesia. Misalnya soal buruh di Timor Timur.
Di dalam negeri, Riady dipuja dan dicaci. Pemilik harian Media Indonesia yang juga seorang pengusaha, Surya Paloh, mengacungkan jempol atas lobi hebat Riady. Tapi, dari Kamar Dagang Indonesia terdengar kabar bahwa Riady seharusnya dijatuhi sanksi karena "memalukan" nama Republik dengan "kolusi" itu.
Siapa James Riady yang anak taipan Mochtar Riady ini?
Di sini, orang banyak mengenalnya sebagai bankir, sekaligus businessman. James Tjahaja Riady adalah generasi kedua yang disiapkan memimpin tampuk kekuasaan di kelompok Lippo -- grup yang kini meraksasa dan dibangun oleh Mochtar Riady. Bahkan dia sering disebut-sebut sebagai calon tunggal pewaris tahta bisnis ayahnya, Mochtar Riady, yang selama ini dikenal sebagai bankir bertangan dingin. Boleh jadi, itu karena langkah-langkah bisnis yang dibuat James. Dia memang cepat, dan inovatif.
Tenang dan murah senyum, James adalah duplikat bapaknya. Kedudukan sebagai Chief Executif Officer (CEO) Grup Lippo sungguh pantas untuknya. Kemampuannya berbisnis tampak dari beberapa lahan proyek yang digarap Lippo belakangan ini. Misalnya, ia bereksperimen dengan menerapkan jurus sukses di bisnis keungan pada bisnis properti "kota mandiri" Lippo Vilagge (Tangerang) dan Lippo Cikarang (Bekasi). Keduanya sukses menyedot jutaan penghuni. Konsepnya sangat sederhana dan belum pernah dilakukan developer manapun di negeri ini: pre-sale alias jual di depan. Dia juga punya kiat lain. "Yang kami jual bukan hanya rumah, lapangan golf, ataupun gedung perkantoran, tapi kepercayaan," katanya.
Tak berlebihan, bila dia disebut putra mahkota. Tanggapan James? "Ah, Anda ternyata ikut-ikutan salah juga. Tidak benar saya dipersiapkan sebagai pewaris Lippo," sangkalnya. Kata dia, kalau memandang Lippo hanya dari figur Mochtar dan James, berarti orang memandang Lippo dari luarnya saja. "You boleh bertanya sendiri, langsung kepada profesional di sini," ujarnya serius tentang kerja tim dan rapinya organisasi Lippo. Semua punya "bagian" dalam pengambilan keputusan bisnis Lippo.
Dia menunjuk Markus Parmadi dan Roy Tirtadji. "Mereka bukan pajangan. Tapi punya otoritas penuh, lainnya juga begitu," kata James. Jadi, ujarnya, yang terpenting bukan nantinya Lippo milik siapa, tetapi bagaimana terus mencapai dan menerapkan strategi yang tepat untuk melembagakan kelompok Lippo. Artinya, keluarga Mochtar Riady boleh saja mundur, tapi nama Grup Lippo harus tumbuh terus.
James mencontohkan, di Bank Lippo yang menjadi tulang punggung bisnis grupnya, kepemilikan saham keluarga Mochtar Riady sekarang sekitar 50 persen. Pada sepuluh tahun mendatang, katanya, kepemilikan keluarganya, mungkin tinggal 30 persen. Dan pada lima belas atau dua tahun mendatang, kepemilikan saham keluarga, mungkin tinggal 15 atau 10 persen saja. "Ini bukan lagi masalah kerelaan melepas saham mayoritas, tetapi strategi jangka panjang," ujar pemilik Bank Lippo yang punya aset Rp 7,6 trilyun ini.
Dia adalah anggota kehormatan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Meskipun kini jaringan bisnis Lippo sudah merambah ke mancanegara -- Singapura, AS, Hongkong, Cook Island, Australia -- James mengaku tetap memiliki komitmen untuk membantu teman-temannya dalam wadah tersebut. "Dari dulu Lippo selalu memberi perhatian terhdap HIPMI, tentu saja, asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku," ujarnya.
Tak hanya berkiprah di dunia bisnis, dalam bidang sosial, dengan bendera Lippo, James melahirkan gagasan untuk mendirikan suatu pendidikan terpadu, bernama Sekolah Pelita Harapan (SPH). Cita-citanya, ia hendak mendirikan 10 sekolah untuk kalangan atas, 100 sekolah untuk kalangan menengah, dan 1000 sekolah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Saat ini telah berdiri di tiga tempat : Karawaci, Sentul, dan Cikarang. " Di SPH, 20 % muridnya adalah beasiswa dari daerah-daerah," ujar James.
Menurutnya SPH tidak berkait secara langsung dengan Grup Lippo. Dukungan yang diberikan, hanya berupa subsidi. Hanya, kebetulan pengurus yayasan, tergabung dalam Lippo. Bahkan, ia tidak setuju jika SPH membisniskan dunia pendidikan. "Proyek SPH, semata-mata keinginan pendirinya untuk mengembangkan visi sosial," ujarnya. Namun, James yang juga bendahara Yayasan Bhakti Medika Universitas Trisakti ini, tak menyangkal tentang biaya pendidikan yang tinggi. "Pelita Harapan bukan pendidikan termahal di Indonesia. Jakarta Intenational School (JIS) jauh lebih mahal," tuturnya.
Dari pernikahannya dengan Aileen Hambali pada 1982, James dikaruniai dua putra dan dua putri. Tentang anak-anaknya, ia berujar," Saya tak berambisi anak-anak saya terjun ke dunia bisnis, seperti yang saya tekuni sekarang." Dalam mendidik putra-putrinya, menurutnya, ia lebih modern dibandingkan ayahnya. " Saya malah berharap, moga-moga anak saya jangan bekerja di Lippo," kata James yang membebaskan anak-anaknya memilih masa depannya.
Di luar kesibukannya membesarkan bisnis Lippo, James turut andil dalam organisasi olahraga sebagai ketua bidang dana PBSI. Bahkan saat berlangsung kejuaraan Piala Thomas dan Uber, ia menjabat sebagai wakil manajer. Tak hanya itu, Lippo tercatat sebagai sponsor utama kejuaraan bulutangkis paling bergengsi dunia tersebut pada 1996t, di Hong Kong. Tentang keterlibatannya dalam kepengurusan PBSI, tak lain karena ia menyenagi olah raga tersebut. "Sebulan bisa dua kali main bulutangkis," ujarnya.
Sebagai taipan terkemuka di tanah air, James memimpikan Grup Lippo dapat menjadi kelompok perusahaan yang tangguh, seperti perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa. Anak keempat pasangan Mochtar Riady dengan Suryawai Lidya ini lahir di Jember. Sejak kecil James telah dipersiapkan secara serius oleh sang ayah untuk jadi pedagang. Di usia delapan tahun James sudah disekolahkan bapaknya di Macau. Sang ayah memang berharap banyak darinya. "Saya tahu kenampuan James, dan saya ingin dia sejak kecil sudah belajar mandiri."
Empat tahun di Macau, James melanjutkan studi di Australia selama delapan tahun. Pada 1975, saat usianya 18 tahun, ia terbang ke New York AS, dan bekerja selama setahun pada lrving Trust Banking Company. Pada 1976, James pindah ke Little Rock, Arkansas, masih di AS. Di kota inilah debutnya mulai tampak, dengan mendirikan bank yang diberi nama Worthen Bank dengan modal awal US$ 20 juta. Ia bekerjasama dengan Jack Steven, sahabat kental ayahnya, seorang bankir terkenal dengan julukan god father-nya masyarakat Arkansas.
Lewat Jack Steven, James dikenalkan dengan tokoh-tokoh politik ternama AS. Seperti Jimmy Carter, para senator, serta Bill Clinton, yang kemudian menjadi presiden AS. Persahabatannya dengan Clinton berlanjut hingga kini. Saat ia dipercaya oleh Jack Steven, sebagai Presdir Worthen Bank pada 1984, isteri Clinton, Hillary, menjadi pengacara pada bank yang dipimpinnya. Saat itu, hubungan akrab mulai terbentuk. Kebetulan tempat tinggal keduanya saling berdekatan, dan mereka pun sudah biasa saling mengunjungi.
Bahkan hingga Clinton menjadi orang nomor satu di negerinya, persahabatan itu terus berlanjut. Ketika diadakan Clinton Economic Conference, misalnya, James adalah satu-satunya orang di luar AS yang diundang secara pribadi oleh sang presiden. Dan pada saat upacara pelantikan Clinton sebagai presiden, keluarga besar Mochtar Riady diundang menghadiri acara tersebut. Seusai upacara, Mochtar dan isteri, James dan isteri beserta anak-anaknya, diundang sehari penuh untuk menikmati hari bahagia dalam kehidupan keluarga presiden. Tentang persahabatannya dengan peminpin dunia itu, ia berujar, "Sudahlah, itu cuma hubungan biasa, hubungan antarkawan." Kemampuannya bergaul dengan berbagai kalangan adalah salah satu kelebihan yang dimilikinya, dibandingkan dengan eksekutif lainnya.
Sumber: Tempo (1996): http://tempo.co.id/ang/pro/1996/jame...haja_riady.htm
Di Tempo tertera surat kabar Amerika - New York Times (WILLIAM SAFIRE - 7 Oktober 1996). Beginilah bunyi essay asli yang ditulis oleh William Safire kala itu yang berjudul "The Asian Connection"
(mohon maaf apabila tidak diartikan kedalam bahasa Indonesia karena ane yakin penghuni sini sudah pintar-pintar )
Spoiler for IN: NYTimes - The Asian Connection (William Safire, 7-10-1996):
WASHINGTON— On April 12, 1993, Associate Attorney General Webster Hubbell received a call from the Indonesian businessman James Riady, a former client, and the Arkansas lawyer and Clinton golfing partner Mark Grobmyer. Both men had, a month before, been seen in Indonesia's East Timor, a human-rights hellhole.
Hubbell's log shows Riady called again the next day, this time from the Washington number 456-2684. That is the Office of Presidential Personnel, then supervised by Bruce Lindsey, Clinton confidential aide.
James Riady is the son of Mochtar Riady, the ethnic Chinese at the head of the Lippo Group, a $6 billion conglomerate with great commercial and political influence throughout Asia.
Both Hubbell and Clinton knew the Riadys well. During the 1980's, the Riadys held an interest with the Little Rock financier Jackson Stephens in the Clinton-friendly Worthen Bank, which retained lawyer Webster Hubbell.
During the 1992 race for President, James Riady and his wife overtly contributed close to $200,000 in ''soft money'' to the Democratic campaign. The Democratic finance chairman, Marvin Rosen, tells me he was informed that Riady employee John Huang ''helped a lot in raising money in '92.''
The Riadys were then able to boast of placing their man in a position of influence in the Clinton Administration. Mr. Huang, 46, was named Deputy Assistant Secretary of Commerce for International Economic Policy. Just before taking this job, Mr. Huang was paid almost a million dollars in salary, bonus and severance from the Lippo Group, $788,750 from Hip Hing Holdings, operator of a parking lot in Los Angeles owned by the Riadys.
Mr. Huang left the Commerce Department late last year to become a vice chairman of the Democratic Finance Committee. President Clinton praised ''my longtime friend John Huang'' on July 22, 1996, for ''his aggressive efforts to help our cause.''
Aggressive is putting it mildly. Three months before, the Riadys' man Huang introduced Mr. Clinton to a South Korean magnate who made a $250,000 contribution to the Democrats through a subsidiary of a South Korean corporation.
Such a contribution is clearly against the law, which finance chief Rosen admits; only when The Los Angeles Times began asking about it was the quarter million hastily given back. Thus, for the first time, a President of the U.S. was personally involved in the solicitation of a major illegal contribution, but the Democratic Finance Committee has not had one call on this from the Federal Election Commission.
If foreigners want to slip U.S. politicians ''soft money,'' the best conduit is a U.S. citizen or a resident alien. One of the largest Democratic contributions -- $425,000 -- is from an Indonesian gardener named Arief Wiriandinata, a green-card holder no longer in the U.S., whose wife's father helped run several Lippo ventures for the Riadys.
The Riadys gained much face in Indonesia in 1993, helping the Clinton Administration lose interest in labor abuses in East Timor; in 1994, as an Asian conference was to be held in Indonesia's capital, they were eager to impress China's leaders with their American influence. Again they turned to Webster Hubbell.
By that time, the Associate Attorney General who had loyally kept Whitewater files hidden in his basement had quit Justice because he was about to be indicted for defrauding law clients. Who would hire a man facing ruination at a time when his silence was golden to the Clintons?
The Riadys did. I'm told that between resignation and indictment, a Lippo affiliate paid Hubbell over $250,000. He went to Indonesia for them in October 1994.
One month later, at a conference in Jakarta, Indonesia, that included China's Jiang Zemin, President Clinton surprised U.S. Embassy officials by holding a private meeting with James Riady. This duly impressed Asian leaders who put great weight on connections in high places.
Clinton's foreign contributors are coming through for him in this campaign. Does Hubbell, his lip zipped in jail, expect to be sprung before his time? Will he then be made financially whole by the Clinton Asian connection? ''Nobody's promised me a damn thing,'' the felon insisted at a Senate hearing. We'll soon see.
SUMBER: NYTimes (1996) : http://www.nytimes.com/1996/10/07/op...onnection.html
Hubbell's log shows Riady called again the next day, this time from the Washington number 456-2684. That is the Office of Presidential Personnel, then supervised by Bruce Lindsey, Clinton confidential aide.
James Riady is the son of Mochtar Riady, the ethnic Chinese at the head of the Lippo Group, a $6 billion conglomerate with great commercial and political influence throughout Asia.
Both Hubbell and Clinton knew the Riadys well. During the 1980's, the Riadys held an interest with the Little Rock financier Jackson Stephens in the Clinton-friendly Worthen Bank, which retained lawyer Webster Hubbell.
During the 1992 race for President, James Riady and his wife overtly contributed close to $200,000 in ''soft money'' to the Democratic campaign. The Democratic finance chairman, Marvin Rosen, tells me he was informed that Riady employee John Huang ''helped a lot in raising money in '92.''
The Riadys were then able to boast of placing their man in a position of influence in the Clinton Administration. Mr. Huang, 46, was named Deputy Assistant Secretary of Commerce for International Economic Policy. Just before taking this job, Mr. Huang was paid almost a million dollars in salary, bonus and severance from the Lippo Group, $788,750 from Hip Hing Holdings, operator of a parking lot in Los Angeles owned by the Riadys.
Mr. Huang left the Commerce Department late last year to become a vice chairman of the Democratic Finance Committee. President Clinton praised ''my longtime friend John Huang'' on July 22, 1996, for ''his aggressive efforts to help our cause.''
Aggressive is putting it mildly. Three months before, the Riadys' man Huang introduced Mr. Clinton to a South Korean magnate who made a $250,000 contribution to the Democrats through a subsidiary of a South Korean corporation.
Such a contribution is clearly against the law, which finance chief Rosen admits; only when The Los Angeles Times began asking about it was the quarter million hastily given back. Thus, for the first time, a President of the U.S. was personally involved in the solicitation of a major illegal contribution, but the Democratic Finance Committee has not had one call on this from the Federal Election Commission.
If foreigners want to slip U.S. politicians ''soft money,'' the best conduit is a U.S. citizen or a resident alien. One of the largest Democratic contributions -- $425,000 -- is from an Indonesian gardener named Arief Wiriandinata, a green-card holder no longer in the U.S., whose wife's father helped run several Lippo ventures for the Riadys.
The Riadys gained much face in Indonesia in 1993, helping the Clinton Administration lose interest in labor abuses in East Timor; in 1994, as an Asian conference was to be held in Indonesia's capital, they were eager to impress China's leaders with their American influence. Again they turned to Webster Hubbell.
By that time, the Associate Attorney General who had loyally kept Whitewater files hidden in his basement had quit Justice because he was about to be indicted for defrauding law clients. Who would hire a man facing ruination at a time when his silence was golden to the Clintons?
The Riadys did. I'm told that between resignation and indictment, a Lippo affiliate paid Hubbell over $250,000. He went to Indonesia for them in October 1994.
One month later, at a conference in Jakarta, Indonesia, that included China's Jiang Zemin, President Clinton surprised U.S. Embassy officials by holding a private meeting with James Riady. This duly impressed Asian leaders who put great weight on connections in high places.
Clinton's foreign contributors are coming through for him in this campaign. Does Hubbell, his lip zipped in jail, expect to be sprung before his time? Will he then be made financially whole by the Clinton Asian connection? ''Nobody's promised me a damn thing,'' the felon insisted at a Senate hearing. We'll soon see.
SUMBER: NYTimes (1996) : http://www.nytimes.com/1996/10/07/op...onnection.html
Dan mari kita lihat dari tabloid GATRA Nomor 04/III, 14 Desember 1996 yang berisikan mengenai hubungan dekat antara Bill Clinton dengan James Riady ini yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS kala itu dengan Vietnam.
Spoiler for GATRA - Surat-surat Riady-Clinton (Nomor 04/III, 14 Desember 1996):
IN: GATRA - Surat-surat Riady-Clinton
[Logo GATRA]
Nomor 04/III, 14 Desember 1996
AMERIKA SERIKAT I
Surat-surat Riady-Clinton
Keluarga Riady telah mengirim 17 surat kepada Clinton dan pembantu utamanya. Lalu, 14 kali keluarga Riady berkunjung ke Gedung Putih.
KASUS mengenai sumbangan keluarga Riady kepada Partai Demokrat ternyata masih bergulir. Bahkan kini memasuki babak baru. Tiga lembar surat Mochtar Riady kepada Presiden Clinton berhasil ditemukan dan kini menjadi
pembicaraan seru di Senat dan Kongres Amerika. Surat yang dikirim 9 Maret
1993 dengan amplop yang diberi tanda personal and confidential itu menguak
hubungan yang lebih serius antara keluarga Riady dan Clinton. Lebih dari
itu, sumbangan keluarga Riady dianggap berperan dalam kebijaksanaan luar
negeri Clinton.
Adalah Koran Wall Street Journal yang mula-mula membongkar adanya surat itu.Dalam edisi 1 Desember, meski tanpa menyebut nama sumbernya, koran itu mengungkapkan adanya surat tersebut. Dan para senator dari Partai Republik, yang memang sudah lama mengincar Clinton, segera meramaikannya lagi. Padahal, sebelumnya, Jaksa Agung Janet Reno sudah tiga kali menolak permintaan Senator John McCain (Arizona) dari Partai Republik agar jaksa membentuk tim independen untuk mengusut dana kampanye dari orang asing, termasuk keluarga Riady.
"Tidak cukup bukti kuat untuk menyidik. Sebab dugaan kesalahan saja bukan
bukti yang sah menurut hukum untuk menindak orang-orang yang bekerja bagi presiden, yang selama ini dianggap melanggar hukum," ujar Jaksa Agung Janet Reno.
Dalam surat Mochtar Riady tadi jelas terungkap adanya permintaan kepada
Clinton agar ia segera menormalisasikan hubungan Amerika Serikat-Vietnam.
Dan secara khusus dikatakan bahwa Grup Lippo telah menempatkan dua
manajernya di sana untuk kepentingan bisnis. Mochtar juga meminta agar
Clinton tetap mempertahankan status Cina sebagai negara favorit Amerika
Serikat dalam hal perdagangan.
Dan Indonesia? Dalam surat tersebut, secara khusus Mochtar meminta Clinton agar bertemu dengan Presiden Soeharto pada pertemuan tingkat tinggi G-7 di Tokyo. Seperti diketahui umum, Presiden Soeharto akhirnya memang bertemu secara pribadi dengan Clinton di tengah pertemuan tujuh negara kaya tersebut.
Surat Mochtar juga mengusulkan kepada Clinton agar ia meningkatkan volume perdagangannya ke Asia dan mengangkat para pengusaha sebagai duta besar keliling.
Rupanya Clinton memang menanggapi surat kenalannya itu. Di antara baris-baris jawaban yang ditulis pada 5 April 1993, Clinton mengatakan bahwa
surat Mochtar telah diteruskan kepada Robert Rubin, Ketua Dewan Ekonomi
Nasional Gedung Putih, yang kini menjadi Menteri Keuangan Amerika Serikat.
Bocornya surat itu tentu bisa merepotkan Clinton dan kabinetnya. Sebab,
sebelumnya, 10 November 1996, Clinton mengatakan kepada pers, "Mutlak tidak ada pengaruh Jakarta-Grup Lippo dengan kebijaksanaan saya terhadap
Indonesia. Bahkan saya telah mengambil garis lebih keras terhadap penyalahgunaan hak asasi manusia di Indonesia daripada presiden-presiden
pendahulu saya."
Boleh saja Clinton tetap menyangkal. Tetapi bukti menunjukkan bahwa Grup
Lippo ternyata secara resmi membuka perwakilannya di Vietnam pada Agustus 1993. Artinya, lima bulan setelah Mochtar berkirim surat ke Clinton. Lalu, selain pertemuannya dengan Presiden Soeharto di Tokyo itu, pada Februari 1994 Clinton mencabut embargo ekonominya terhadap Vietnam.
Hubungan keluarga Riady dengan Clinton memang sudah berlangsung cukup lama. James Riady diketahui sejak 1976 bekerja di Little Rock, Arkansas. lalu di akhir 1970-an itu keluarga Riady bersama bankir Arkansas, Jack Steven, membeli saham Worthen Bank, salah satu bank terkemuka di Arkansas. James menjadi direktur utama. Sejak tahun-tahun itu, tampaknya hubungan James dengan Gubernur Arkansas, Bill Clinton, mulai terjalin. Dan berlangsung terus hingga Clinton menjadi presiden.
Sampai saat ini, tercatat keluarga Riady telah mengirim sebanyak 17 surat
kepada Clinton dan pembantu utamanya. Isinya macam-macam. Mulai dari sekadar ucapan terima kasih, ucapan ulang tahun, hingga usulan-usulan. Surat yang dikirim pada Juni 1996, misalnya, berisi pengantar bingkisan plaket nama Clinton yang dibuat khusus dari kayu. Sebelumnya, tepatnya November 1994, James Riady mengirimi Presiden Clinton doa dalam agama Kristen dan meminta agar sang presiden membaca doa tersebut dalam sembahyangnya. Sebaliknya Clinton mengirimi Mochtar Riady ucapan selamat ulang tahun pada Mei 1993.
Selain surat-menyurat itu, tercatat sebanyak 14 kali keluarga Riady berkunjung ke Gedung Putih sejak 1993. Tentu itu merupakan "prestasi"
tersendiri. Pada April 1993, misalnya, keluarga Riady bersama Grobmyer datang ke Gedung Putih untuk membicarakan perdagangan Asia. Pada September 1995, keluarga Riady datang lagi ke Gedung Putih bersama John Huang, mantan staf Grup Lippo -yang saat itu sudah menjadi salah seorang petinggi di Departemen Perdagangan Amerika- entah untuk urusan apa.
Tetapi keluarga Riady tak cuma dekat dengan Clinton dan Partai Demokrat.
Keluarga itu juga diketahui telah menyumbangkan fulus ke sejumlah senator
dan anggota Kongres lainnya. Juga kepada Bob Dole, seteru Clinton dalam
pemilihan presiden bulan lalu. Bagi keluarga Riady, persoalannya barangkali
sederhana saja: ini bisnis, Bung!. Dan bagi senator, anggota Kongres, serta
Bill Clinton: ini politik, Tuan!
Kemala Atmojo, dan A.H. Awaludin (Washington, D.C.)
Sumber: Library of Ohio University: http://www.library.ohiou.edu/indopub...2/18/0025.html
[Logo GATRA]
Nomor 04/III, 14 Desember 1996
AMERIKA SERIKAT I
Surat-surat Riady-Clinton
Keluarga Riady telah mengirim 17 surat kepada Clinton dan pembantu utamanya. Lalu, 14 kali keluarga Riady berkunjung ke Gedung Putih.
KASUS mengenai sumbangan keluarga Riady kepada Partai Demokrat ternyata masih bergulir. Bahkan kini memasuki babak baru. Tiga lembar surat Mochtar Riady kepada Presiden Clinton berhasil ditemukan dan kini menjadi
pembicaraan seru di Senat dan Kongres Amerika. Surat yang dikirim 9 Maret
1993 dengan amplop yang diberi tanda personal and confidential itu menguak
hubungan yang lebih serius antara keluarga Riady dan Clinton. Lebih dari
itu, sumbangan keluarga Riady dianggap berperan dalam kebijaksanaan luar
negeri Clinton.
Adalah Koran Wall Street Journal yang mula-mula membongkar adanya surat itu.Dalam edisi 1 Desember, meski tanpa menyebut nama sumbernya, koran itu mengungkapkan adanya surat tersebut. Dan para senator dari Partai Republik, yang memang sudah lama mengincar Clinton, segera meramaikannya lagi. Padahal, sebelumnya, Jaksa Agung Janet Reno sudah tiga kali menolak permintaan Senator John McCain (Arizona) dari Partai Republik agar jaksa membentuk tim independen untuk mengusut dana kampanye dari orang asing, termasuk keluarga Riady.
"Tidak cukup bukti kuat untuk menyidik. Sebab dugaan kesalahan saja bukan
bukti yang sah menurut hukum untuk menindak orang-orang yang bekerja bagi presiden, yang selama ini dianggap melanggar hukum," ujar Jaksa Agung Janet Reno.
Dalam surat Mochtar Riady tadi jelas terungkap adanya permintaan kepada
Clinton agar ia segera menormalisasikan hubungan Amerika Serikat-Vietnam.
Dan secara khusus dikatakan bahwa Grup Lippo telah menempatkan dua
manajernya di sana untuk kepentingan bisnis. Mochtar juga meminta agar
Clinton tetap mempertahankan status Cina sebagai negara favorit Amerika
Serikat dalam hal perdagangan.
Dan Indonesia? Dalam surat tersebut, secara khusus Mochtar meminta Clinton agar bertemu dengan Presiden Soeharto pada pertemuan tingkat tinggi G-7 di Tokyo. Seperti diketahui umum, Presiden Soeharto akhirnya memang bertemu secara pribadi dengan Clinton di tengah pertemuan tujuh negara kaya tersebut.
Surat Mochtar juga mengusulkan kepada Clinton agar ia meningkatkan volume perdagangannya ke Asia dan mengangkat para pengusaha sebagai duta besar keliling.
Rupanya Clinton memang menanggapi surat kenalannya itu. Di antara baris-baris jawaban yang ditulis pada 5 April 1993, Clinton mengatakan bahwa
surat Mochtar telah diteruskan kepada Robert Rubin, Ketua Dewan Ekonomi
Nasional Gedung Putih, yang kini menjadi Menteri Keuangan Amerika Serikat.
Bocornya surat itu tentu bisa merepotkan Clinton dan kabinetnya. Sebab,
sebelumnya, 10 November 1996, Clinton mengatakan kepada pers, "Mutlak tidak ada pengaruh Jakarta-Grup Lippo dengan kebijaksanaan saya terhadap
Indonesia. Bahkan saya telah mengambil garis lebih keras terhadap penyalahgunaan hak asasi manusia di Indonesia daripada presiden-presiden
pendahulu saya."
Boleh saja Clinton tetap menyangkal. Tetapi bukti menunjukkan bahwa Grup
Lippo ternyata secara resmi membuka perwakilannya di Vietnam pada Agustus 1993. Artinya, lima bulan setelah Mochtar berkirim surat ke Clinton. Lalu, selain pertemuannya dengan Presiden Soeharto di Tokyo itu, pada Februari 1994 Clinton mencabut embargo ekonominya terhadap Vietnam.
Hubungan keluarga Riady dengan Clinton memang sudah berlangsung cukup lama. James Riady diketahui sejak 1976 bekerja di Little Rock, Arkansas. lalu di akhir 1970-an itu keluarga Riady bersama bankir Arkansas, Jack Steven, membeli saham Worthen Bank, salah satu bank terkemuka di Arkansas. James menjadi direktur utama. Sejak tahun-tahun itu, tampaknya hubungan James dengan Gubernur Arkansas, Bill Clinton, mulai terjalin. Dan berlangsung terus hingga Clinton menjadi presiden.
Sampai saat ini, tercatat keluarga Riady telah mengirim sebanyak 17 surat
kepada Clinton dan pembantu utamanya. Isinya macam-macam. Mulai dari sekadar ucapan terima kasih, ucapan ulang tahun, hingga usulan-usulan. Surat yang dikirim pada Juni 1996, misalnya, berisi pengantar bingkisan plaket nama Clinton yang dibuat khusus dari kayu. Sebelumnya, tepatnya November 1994, James Riady mengirimi Presiden Clinton doa dalam agama Kristen dan meminta agar sang presiden membaca doa tersebut dalam sembahyangnya. Sebaliknya Clinton mengirimi Mochtar Riady ucapan selamat ulang tahun pada Mei 1993.
Selain surat-menyurat itu, tercatat sebanyak 14 kali keluarga Riady berkunjung ke Gedung Putih sejak 1993. Tentu itu merupakan "prestasi"
tersendiri. Pada April 1993, misalnya, keluarga Riady bersama Grobmyer datang ke Gedung Putih untuk membicarakan perdagangan Asia. Pada September 1995, keluarga Riady datang lagi ke Gedung Putih bersama John Huang, mantan staf Grup Lippo -yang saat itu sudah menjadi salah seorang petinggi di Departemen Perdagangan Amerika- entah untuk urusan apa.
Tetapi keluarga Riady tak cuma dekat dengan Clinton dan Partai Demokrat.
Keluarga itu juga diketahui telah menyumbangkan fulus ke sejumlah senator
dan anggota Kongres lainnya. Juga kepada Bob Dole, seteru Clinton dalam
pemilihan presiden bulan lalu. Bagi keluarga Riady, persoalannya barangkali
sederhana saja: ini bisnis, Bung!. Dan bagi senator, anggota Kongres, serta
Bill Clinton: ini politik, Tuan!
Kemala Atmojo, dan A.H. Awaludin (Washington, D.C.)
Sumber: Library of Ohio University: http://www.library.ohiou.edu/indopub...2/18/0025.html
Namun, apakah lolos dari jerat hukum begitu saja James Tjahja Riady dengan bekingandari Bill Clinton? Sayang seribu sayang, ternyata James Riady ini pun dikenakan hukum atas tindakannya dan diadili di Amerika
Berikut liputannya berdasarkan arsip GATRA...
....
....
....
lanjut di post 2
0
12.4K
Kutip
22
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
680.3KThread•48.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya