- Beranda
- The Lounge
Logika Kita Logika Sitok: Tips Trik Menikahi Luna Maya, Agnes Monica dan Personil JKT
...
TS
abahkabayan80
Logika Kita Logika Sitok: Tips Trik Menikahi Luna Maya, Agnes Monica dan Personil JKT
ane copas Tulisan Nosa Normanda biar publik tahu dan melihat sisi lain kasus Sitok .....silahkan masuk tulisan asli di bagian akhir tulisan....
Saya menulis ini dengan kapasitas saya sebagai (1) penulis; (2) alumni FIB UI yang mengenal cukup dekat lingkungan akademik sekeliling RW, termasuk kawan dekat RW, Bimo, dan anak Sitok Srengenge, Laire; (3) orang yang menikmati seni dan kegiatan-kegiatan akademik di Salihara dan; (4) insan yang dilahirkan sebagai pria heteroseksual kelas menengah yang punya lebih banyak hak daripada perempuan dalam masyarakat patriarkis ini. Tulisan ini saya tujukan untuk khalayak umum, bukan akademisi, karenanya saya buat seringan mungkin. Bukan berarti saya menganggap khalayak umum bodoh, tapi agar kita bisa lebih santai tapi objektif dan serius membicarakan kasus rumit ini.
Saya tidak akan membahas kasus SS-RW ini panjang lebar. Anda bisa mencarinya sendiri di Internet. Tulisan soal ini sudah banyak sekali dan seringkali membuat telinga sakit, kuping kita panas. Kronologi sudah berkali-kali dilepaskan dan ada berbagai macam versi. Banyak ruang kosong yang ditinggalkan dalam setiap versi, membuat kasus ini lama-kelamaan makin terdengar seperti infotainment. Maka itu sekalian saja saya beri tips dan trik buat penggemar infotainment yang membaca dengan tujuan memperistri Luna Maya, Agnes Monica dan idol group JKT48. Bacalah terus, tips dan trik ini akan anda pahami belakangan dan saya jamin jika anda hidup di jaman ini, anda akan berhasil! Tidak berhasil uang kembali!
***
“Bagaimana bisa seorang pria ‘merudapaksa’ seorang perempuan berkali-kali, sementara si perempuan tidak punya hubungan langsung dengan keluarga atau lingkaran pertemanannya dan beberapa kali datang kepada si pelaku dengan ‘pilihannya’ sendiri? “
Kira-kira itu ide yang saya utarakan di akun FB saya beberapa hari sebelum saya menulis artikel ini. Lalu orang-orang mulai memberi tanggapan. Ini hasil kasarnya: yang membela RW tidak ada yang bisa menjawab dengan konkrit sebuah lubang logika dalam pertanyan di atas. Jawaban yang saya dapat seringkali metaforis atau dilempar ke topik lain.
Sementara, kebanyakan orang yang tidak berhubungan langsung dengan kasus ini, yang bisa menjadi sedikit representasi dari “khalayak umum,” menanggapi kasus ini dengan negatif dan tak bisa mendukung aksi pembelaan dan penuntutan karena alasan logis: kasus ini bolong. Untuk banyak orang (khususnya orang Indonesia) tidaklah masuk akal jika seorang perempuan yang ‘dirudapaksa’ atau ‘dianiaya’, memilih untuk datang lagi dan lagi kepada pemerkosa/penganiayanya, bahkan hingga hamil. Itu dianggap tindakan yang tidak logis untuk dibawa ke rudapaksaan.
Maka baiknya kita bicarakan dulu logika yang berjalan di budaya kita.
Logikanya, jika seorang perempuan dirudapaksa, oleh orang yang tidak tinggal serumah dengannya atau tidak menculiknya, mestinya ia bisa pergi atau kabur. Bukan malah kembali ke si pemerkosa ketika dipanggil.
Logikanya, seorang korban rudapaksaan melapor kepada orang dekat, LSM, atau polisi setelah ia dirudapaksa. Bukan malah diam dan kembali ke pemerkosanya, hamil dan malah berusaha bunuh diri ketika ia sudah hamil dan si pemerkosa tak mau tanggung jawab. Logikanya kalau takut punya anak, perempuan bisa aborsi.
Logikanya, jika seorang perempuan dipaksa tapi mau datang ke pelaku berkali-kali, artinya ada hubungan ‘suka-sama-suka’ dan jika saja Sitok mau bertanggung jawab sejak awal, maka kasus ini selesai. Dan logikanya, tanggung jawab itu berarti Sitok menikahi perempuan yang ia hamili. Dan logikanya lagi, si perempuan mestinya mau dinikahi.
Logikanya, jika RW terus datang pada Sitok hingga hamil, mudah dimanipulasi, dan ketika putus asa ia berusaha bunuh diri, maka ia adalah perempuan yang tidak hanya lemah dan polos (seperti info yang seringkali diberikan oleh para pembela RW) tapi juga perempuan yang bodoh dan kemungkinan besar punya keterbelakangan mental.
Logis kan? Jika menurut kita itu logis, maka kita dan Sitok telah bersama-sama melecehkan (kalau bukan merudapaksa) RW. Kita juga bersama-sama telah ikut berperan dalam pemerkosaan banyak perempuan yang bungkam karena takut stigma dan hukuman sosial jika orang (yaitu kita), tahu bahwa mereka korban rudapaksaan. Tunggu! Saya harap kuping anda tidak panas dulu. Saya bilang ‘kita’, artinya saya juga termasuk. Tolong biarkan saya menjelaskan dulu kenapa logika kita di atas itu adalah logika Sitok juga.
Modus Operandi Maskulin, Kebudayaan Kita dan Logika rudapaksaan
Kita harus kasih applause kepada Sitok Srengenge karena ia telah begitu bodoh untuk ketahuan. Karena sungguh, kalau ia tidak ketahuan mungkin kita tidak bicarakan ini dan dunia kurang seru. Sebelum RW ada perempuan-perempuan lain, kemungkinan besar didekati dengan modus operandi yang sama. Modus operandi ini biasanya hanya bisa dibicarakan oleh lelaki dan di antara lelaki. Ini tidak terbahas dalam teori gender atau feminisme manapun, walau sebenarnya begitu jelas di kebudayaan kita. Kami para lelaki intelek kelas menengah bicara seksis-misoginis (merendahkan perempuan), hanya jika tidak ada feminis perempuan di sekitar kami, karena kami malas berdebat. Dalam buku Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita (2003, Gagas Media), Ayu Utami bilang bahwa di kafe Tempo Utan Kayu, para lelaki tak bicara lelucon seksis misoginis. Padahal saya rasa itu terjadi hanya kalau Ayu ada di sekitar mereka. Sama dengan di FIB UI, tak ada lelaki yang akan bicara seksis di depan Intan Paramaditha, Saras Dewi atau Gadis Arivia [para feminis kondang asal FIB UI]. Di belakang mereka, kami saling bertukar film porno dan membicarakan perempuan seperti mainan atau binatang piaraan (dan mungkin mereka membicarakan lelaki seperti jenis-jenis anjing yang mau diadopsi atau dibuang).
Seksisme ada di sekitar kita, dan kita semua punya sisi seksis. Itu dulu yang mesti kita paham. Kalau anda perempuan, saya harap anda sabar dan jangan naik pitam ketika saya bicara dengan bahasa lelaki ini, paling tidak sampai tulisan ini habis anda baca. Dalam bagian ini saya akan bicara soal seksisme khusus: stereotipe seniman yang mendasari modus operandi maskulin dan logika rudapaksaan di budaya kita. Ini cuma semacam ilustrasi karena orang yang kita bicarakan adalah seniman. Kalau dia Kiai, saya akan bahas dengan ayat suci.
Mitos Seniman dan Skandal
Bukankah mitos terkenal kesenimanan adalah skandal? Kalau tidak berskandal, sepertinya tidak sah disebut seniman kenamaan. Dari Chairil sampai Ariel, istri dan selingkuhan mesti ada. Dari yang tua sampai yang cabe. ‘WAJAR’ seniman punya skandal, karena bukan WS Rendra namanya kalau istrinya cuma satu. Siapa yang dapat perempuan paling banyak, artinya dia paling jantan! Seniman itu dalam banyak hal mirip kiai-kiai pendukung poligami, hanya caranya saja yang lebih gaya—kalau tidak gaya, percuma jadi seniman, toh?
Gayanya bisa berbeda-beda. Gaya dilaksanakan tergantung kebutuhan target. Ibarat berburu di hutan, tak mungkin membunuh gajah dengan peluru BB yang dipakai untuk bunuh tupai. Gaya adalah senjata dan perempuan adalah hewan eksotisnya. Jika seleranya adalah gadis-gadis intelek, rayu dengan buku atau bikin/pandu/edit buku mereka untuk diorbitkan, dan nikmati proses bikin buku plus-plus [ini metodenya Voldemort, kalau anda tahu siapa dia, acungkan tangan dalam hati saja]. Jika seleranya adalah gadis-gadis yang sudah terbuka seksualitasnya, coba cari kesempatan dengan SMS mesra—satu kasus seniman besar yang saya tahu menggunakan SMS template dan suka salah nama, maksud hati merayu A dan C, eh... malah sms buat A kekirim ke C dan sebaliknya, maklum orang tua suka pikun ngegebet gadis muda. Masing-masing seniman punya gayanya sendiri, termasuk Sitok Srengenge
Logika Kita Logika Sitok: Tips dan Trik Menikahi Luna Maya, Agnes Monica dan JKT48
Dari napak tilas Sitok yang terekspos, kita bisa mendeduksi seleranya: gadis muda, mahasiswi-mahasiswi yang haus ilmu atau butuh bimbingan. Gayanya: tentu membuka pintu bimbingan akademik dan curhat jalan hidup. Harus perempuan muda karena mengutip seorang kawan maskulinis di FIB UI, umur 22 perempuan sudah expired. Dari situ ia masuk mengajarkan dan membimbing, memberi sedikit alkohol supaya ‘sifat asli’ si perempuan keluar. Memaksimalkan potensi perempuan muda agar jujur dengan tubuhnya sendiri bahwa semua orang suka seks dan hanya mesti sedikit didorong. Dan logikanya, itu cara PDKT yang sah dan legal-legal saja—setelah sedikit paksaan, ini akan jadi perselingkuhan suka sama suka. Karena setelah seks kedua dan ketiga, logikanya, ini bukan rudapaksaan.
Perempuan demi perempuan ia lalui, dengan manis dan pahitnya. Modus operandinya bekerja dengan baik. Logika berjalan dengan baik pula, tak ada lubang untuk bilang kalau itu rudapaksaan. Kok bisa? Ya jelas bisa, wong perempuan-perempuan muda mahasiswi ini dididik kebudayaannya untuk menghargai seks dan keperawanan di atas segalanya, dan langsung tergantung setelah durennya dibelah. Tanpa keperawanan, tak ada mahkota. Hayo! Ngaku! Berapa dari kalian perempuan-perempuan yang jadi dependen sama pasangan setelah diperawani? (pertanyaan retorika, jawab saja dalam hati).
Tahap dua setelah diperawani adalah dibebaskan dari konstruksi sosial soal perawan. Diberi kepahitan dan kesakitan hidup untuk menerima kenyataan. Untuk menjadi perempuan dewasa. Perempuan demi perempuan nampaknya bisa disakiti macam itu: merasa dirudapaksa, lalu ditipudaya dan dimanipulasi, dibuat malu, lalu menerima itu sebagai kenyataan hidup dan bungkam soal itu. Tapi RW tidak. Dia depresi dan akhirnya patah. Ini bukan berarti dia lemah, justru sebaliknya ini manusiawi. Saya salut bagaimana sistem patriarki bisa membuat perempuan-perempuan jadi superwoman, seperti nasihat Marge Simpson pada putrinya Lisa, “You’re a woman, you can take everything!” Perempuan dari kecil didoktrin biar kuat, kuat, kuat. Jadi wanita karir dan ibu rumah tangga, mengorbankan impian untuk keluarga, bla bla bla. Tapi seperti rocker, bukankah perempuan juga manusia?
Nah, kalau RW manusia, logikanya, jika dirudapaksa mestinya perempuan tidak bungkam.
YA! Perempuan harus bicara kalau dia dirudapaksa, supaya bisa kita nikahi! Karena kalau dia bilang, “Aku dirudapaksa,” apa yang terjadi? Lapor polisi dan polisi akan bilang, “Kamu kenapa pake baju itu?” Lapor ke orang tua, mereka tetap sayang tapi malu punya anak tidak perawan di luar nikah, anak perempuan yang RUSAK. Nanti kalau jatuh cinta, berapa banyak lelaki yang bisa menerima, “Aku sudah tidak perawan—“ belum selesai kalimat itu, si lelaki langsung beranggapan bahwa si perempuan bispak, bisa langsung pakai dan bukan untuk dinikahi. “Pacaran sama cewek bispak, nikah sama cewek santri,” itu banyolan anak alay di Sevel! Siapa yang mau dengar kenapa dia tidak perawan? Lebih baik ia menikahi si pemerkosa bukan? Seks enak kan?
Aih! Sebagai lelaki, asik sekali ada di kebudayaan macam ini! Dan yang paling asik adalah..., ini yang anda semua tunggu, tips dan trik:
Yang paling asik adalah, jika kita lelaki merudapaksa perempuan yang kita suka, kita bisa tanggung jawab dengan menikahinya! Asik! Mari sama-sama kita rudapaksa Luna Maya atau Agnes Monicah! JKT48, kami dataang! Gang bang sekalian, biar mereka poliandri dan kita bisa jadi saudara selubang! Bromance kita!
***
Inilah Logika kita. Logika Sitok. Logika maskulin. Dan dalam logika ini, Sitok tak mungkin datang dipanggil polisi, ia tak mungkin diadili, dan kasus ini akan segera kita lupakan sama-sama. Sejauh ini logika inilah yang kita pakai. Dibawa ke Polres, polisi bilang RW harus minta maaf dan minta dinikahi, dibawa ke Polda dan polisi di tim RENATA (Remaja Anak dan Wanita) mulai dukung, tiba-tiba dipindah kasusnya jadi keamanan negara dimana polisinya bernada sama dengan di Polres. Jelas! Polisi macam itu kan polisi maskulin. Logika mereka sejalan dengan kita. Sipdah!
Jadi pilihan hanya ada dua: pertama, kita setia pada logika kita, dan biarkan para peleceh seksual, pemerkosa dan pervert-pervert itu bebas. Kita bisa setia pada logika kita dan kita susun rencana merudapaksa perempuan-perempuan cantik yang kita suka. Persetan dengan tabu. Toh, akhirnya kita nikahi juga mereka dan masalah selesai. Kita bisa setia pada logika kita dan menjadi LELAKI SEJATI, karena cuma lelaki yang bisa merudapaksa lalu menikahi, perempuan tak mungkin bisa begitu.
Atau pilihan kedua: kita bisa menjadi manusiawi dengan membengkokan logika kita. Dukung Sitok untuk naik ke pengadilan. Singkirkan prasangka-prasangka dari lubang logika di kasus ini, karena hanya pengadilan yang boleh dan berhak untuk mempertanyakannya. Yang jelas, adalah sebuah fakta bahwa ada yang dilecehkan, dan kemungkinan besar diawali dengan rudapaksaan. Ada kejahatan terencana dengan metode yang rapih dan pemahaman logika budaya patriarkis; sebuah gaya hebat untuk membuat pemerkosaan menjadi suka sama suka. Kejahatan yang pada awalnya dianggap biasa, bahkan mungkin dianggap kebaikan karena ‘membebaskan’ perempuan dengan tubuhnya sendiri.
Kita bisa jadi binatang logis maskulinis yang memuaskan hasrat dengan memaklumi pelecehan dan pemerkosaan. Atau kita bisa jadi manusia yang bisa memiliki kontrol atas ** SENSOR **nya sendiri dengan imajinasi yang diberikan Allah SWT—atau siapapun makhluk super yang anda percaya memberikan kita akal. Karena jika imajinasi [seksual] bocor ke kenyataan seluruhnya, maka tidak akan ada kemanusiaan.
Dan tanpa kemanusiaan, tidak akan ada kepedulian.
Sumber Tulisan
Saya menulis ini dengan kapasitas saya sebagai (1) penulis; (2) alumni FIB UI yang mengenal cukup dekat lingkungan akademik sekeliling RW, termasuk kawan dekat RW, Bimo, dan anak Sitok Srengenge, Laire; (3) orang yang menikmati seni dan kegiatan-kegiatan akademik di Salihara dan; (4) insan yang dilahirkan sebagai pria heteroseksual kelas menengah yang punya lebih banyak hak daripada perempuan dalam masyarakat patriarkis ini. Tulisan ini saya tujukan untuk khalayak umum, bukan akademisi, karenanya saya buat seringan mungkin. Bukan berarti saya menganggap khalayak umum bodoh, tapi agar kita bisa lebih santai tapi objektif dan serius membicarakan kasus rumit ini.
Saya tidak akan membahas kasus SS-RW ini panjang lebar. Anda bisa mencarinya sendiri di Internet. Tulisan soal ini sudah banyak sekali dan seringkali membuat telinga sakit, kuping kita panas. Kronologi sudah berkali-kali dilepaskan dan ada berbagai macam versi. Banyak ruang kosong yang ditinggalkan dalam setiap versi, membuat kasus ini lama-kelamaan makin terdengar seperti infotainment. Maka itu sekalian saja saya beri tips dan trik buat penggemar infotainment yang membaca dengan tujuan memperistri Luna Maya, Agnes Monica dan idol group JKT48. Bacalah terus, tips dan trik ini akan anda pahami belakangan dan saya jamin jika anda hidup di jaman ini, anda akan berhasil! Tidak berhasil uang kembali!
***
“Bagaimana bisa seorang pria ‘merudapaksa’ seorang perempuan berkali-kali, sementara si perempuan tidak punya hubungan langsung dengan keluarga atau lingkaran pertemanannya dan beberapa kali datang kepada si pelaku dengan ‘pilihannya’ sendiri? “
Kira-kira itu ide yang saya utarakan di akun FB saya beberapa hari sebelum saya menulis artikel ini. Lalu orang-orang mulai memberi tanggapan. Ini hasil kasarnya: yang membela RW tidak ada yang bisa menjawab dengan konkrit sebuah lubang logika dalam pertanyan di atas. Jawaban yang saya dapat seringkali metaforis atau dilempar ke topik lain.
Sementara, kebanyakan orang yang tidak berhubungan langsung dengan kasus ini, yang bisa menjadi sedikit representasi dari “khalayak umum,” menanggapi kasus ini dengan negatif dan tak bisa mendukung aksi pembelaan dan penuntutan karena alasan logis: kasus ini bolong. Untuk banyak orang (khususnya orang Indonesia) tidaklah masuk akal jika seorang perempuan yang ‘dirudapaksa’ atau ‘dianiaya’, memilih untuk datang lagi dan lagi kepada pemerkosa/penganiayanya, bahkan hingga hamil. Itu dianggap tindakan yang tidak logis untuk dibawa ke rudapaksaan.
Maka baiknya kita bicarakan dulu logika yang berjalan di budaya kita.
Logikanya, jika seorang perempuan dirudapaksa, oleh orang yang tidak tinggal serumah dengannya atau tidak menculiknya, mestinya ia bisa pergi atau kabur. Bukan malah kembali ke si pemerkosa ketika dipanggil.
Logikanya, seorang korban rudapaksaan melapor kepada orang dekat, LSM, atau polisi setelah ia dirudapaksa. Bukan malah diam dan kembali ke pemerkosanya, hamil dan malah berusaha bunuh diri ketika ia sudah hamil dan si pemerkosa tak mau tanggung jawab. Logikanya kalau takut punya anak, perempuan bisa aborsi.
Logikanya, jika seorang perempuan dipaksa tapi mau datang ke pelaku berkali-kali, artinya ada hubungan ‘suka-sama-suka’ dan jika saja Sitok mau bertanggung jawab sejak awal, maka kasus ini selesai. Dan logikanya, tanggung jawab itu berarti Sitok menikahi perempuan yang ia hamili. Dan logikanya lagi, si perempuan mestinya mau dinikahi.
Logikanya, jika RW terus datang pada Sitok hingga hamil, mudah dimanipulasi, dan ketika putus asa ia berusaha bunuh diri, maka ia adalah perempuan yang tidak hanya lemah dan polos (seperti info yang seringkali diberikan oleh para pembela RW) tapi juga perempuan yang bodoh dan kemungkinan besar punya keterbelakangan mental.
Logis kan? Jika menurut kita itu logis, maka kita dan Sitok telah bersama-sama melecehkan (kalau bukan merudapaksa) RW. Kita juga bersama-sama telah ikut berperan dalam pemerkosaan banyak perempuan yang bungkam karena takut stigma dan hukuman sosial jika orang (yaitu kita), tahu bahwa mereka korban rudapaksaan. Tunggu! Saya harap kuping anda tidak panas dulu. Saya bilang ‘kita’, artinya saya juga termasuk. Tolong biarkan saya menjelaskan dulu kenapa logika kita di atas itu adalah logika Sitok juga.
Modus Operandi Maskulin, Kebudayaan Kita dan Logika rudapaksaan
Kita harus kasih applause kepada Sitok Srengenge karena ia telah begitu bodoh untuk ketahuan. Karena sungguh, kalau ia tidak ketahuan mungkin kita tidak bicarakan ini dan dunia kurang seru. Sebelum RW ada perempuan-perempuan lain, kemungkinan besar didekati dengan modus operandi yang sama. Modus operandi ini biasanya hanya bisa dibicarakan oleh lelaki dan di antara lelaki. Ini tidak terbahas dalam teori gender atau feminisme manapun, walau sebenarnya begitu jelas di kebudayaan kita. Kami para lelaki intelek kelas menengah bicara seksis-misoginis (merendahkan perempuan), hanya jika tidak ada feminis perempuan di sekitar kami, karena kami malas berdebat. Dalam buku Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita (2003, Gagas Media), Ayu Utami bilang bahwa di kafe Tempo Utan Kayu, para lelaki tak bicara lelucon seksis misoginis. Padahal saya rasa itu terjadi hanya kalau Ayu ada di sekitar mereka. Sama dengan di FIB UI, tak ada lelaki yang akan bicara seksis di depan Intan Paramaditha, Saras Dewi atau Gadis Arivia [para feminis kondang asal FIB UI]. Di belakang mereka, kami saling bertukar film porno dan membicarakan perempuan seperti mainan atau binatang piaraan (dan mungkin mereka membicarakan lelaki seperti jenis-jenis anjing yang mau diadopsi atau dibuang).
Seksisme ada di sekitar kita, dan kita semua punya sisi seksis. Itu dulu yang mesti kita paham. Kalau anda perempuan, saya harap anda sabar dan jangan naik pitam ketika saya bicara dengan bahasa lelaki ini, paling tidak sampai tulisan ini habis anda baca. Dalam bagian ini saya akan bicara soal seksisme khusus: stereotipe seniman yang mendasari modus operandi maskulin dan logika rudapaksaan di budaya kita. Ini cuma semacam ilustrasi karena orang yang kita bicarakan adalah seniman. Kalau dia Kiai, saya akan bahas dengan ayat suci.
Mitos Seniman dan Skandal
Bukankah mitos terkenal kesenimanan adalah skandal? Kalau tidak berskandal, sepertinya tidak sah disebut seniman kenamaan. Dari Chairil sampai Ariel, istri dan selingkuhan mesti ada. Dari yang tua sampai yang cabe. ‘WAJAR’ seniman punya skandal, karena bukan WS Rendra namanya kalau istrinya cuma satu. Siapa yang dapat perempuan paling banyak, artinya dia paling jantan! Seniman itu dalam banyak hal mirip kiai-kiai pendukung poligami, hanya caranya saja yang lebih gaya—kalau tidak gaya, percuma jadi seniman, toh?
Gayanya bisa berbeda-beda. Gaya dilaksanakan tergantung kebutuhan target. Ibarat berburu di hutan, tak mungkin membunuh gajah dengan peluru BB yang dipakai untuk bunuh tupai. Gaya adalah senjata dan perempuan adalah hewan eksotisnya. Jika seleranya adalah gadis-gadis intelek, rayu dengan buku atau bikin/pandu/edit buku mereka untuk diorbitkan, dan nikmati proses bikin buku plus-plus [ini metodenya Voldemort, kalau anda tahu siapa dia, acungkan tangan dalam hati saja]. Jika seleranya adalah gadis-gadis yang sudah terbuka seksualitasnya, coba cari kesempatan dengan SMS mesra—satu kasus seniman besar yang saya tahu menggunakan SMS template dan suka salah nama, maksud hati merayu A dan C, eh... malah sms buat A kekirim ke C dan sebaliknya, maklum orang tua suka pikun ngegebet gadis muda. Masing-masing seniman punya gayanya sendiri, termasuk Sitok Srengenge
Logika Kita Logika Sitok: Tips dan Trik Menikahi Luna Maya, Agnes Monica dan JKT48
Dari napak tilas Sitok yang terekspos, kita bisa mendeduksi seleranya: gadis muda, mahasiswi-mahasiswi yang haus ilmu atau butuh bimbingan. Gayanya: tentu membuka pintu bimbingan akademik dan curhat jalan hidup. Harus perempuan muda karena mengutip seorang kawan maskulinis di FIB UI, umur 22 perempuan sudah expired. Dari situ ia masuk mengajarkan dan membimbing, memberi sedikit alkohol supaya ‘sifat asli’ si perempuan keluar. Memaksimalkan potensi perempuan muda agar jujur dengan tubuhnya sendiri bahwa semua orang suka seks dan hanya mesti sedikit didorong. Dan logikanya, itu cara PDKT yang sah dan legal-legal saja—setelah sedikit paksaan, ini akan jadi perselingkuhan suka sama suka. Karena setelah seks kedua dan ketiga, logikanya, ini bukan rudapaksaan.
Perempuan demi perempuan ia lalui, dengan manis dan pahitnya. Modus operandinya bekerja dengan baik. Logika berjalan dengan baik pula, tak ada lubang untuk bilang kalau itu rudapaksaan. Kok bisa? Ya jelas bisa, wong perempuan-perempuan muda mahasiswi ini dididik kebudayaannya untuk menghargai seks dan keperawanan di atas segalanya, dan langsung tergantung setelah durennya dibelah. Tanpa keperawanan, tak ada mahkota. Hayo! Ngaku! Berapa dari kalian perempuan-perempuan yang jadi dependen sama pasangan setelah diperawani? (pertanyaan retorika, jawab saja dalam hati).
Tahap dua setelah diperawani adalah dibebaskan dari konstruksi sosial soal perawan. Diberi kepahitan dan kesakitan hidup untuk menerima kenyataan. Untuk menjadi perempuan dewasa. Perempuan demi perempuan nampaknya bisa disakiti macam itu: merasa dirudapaksa, lalu ditipudaya dan dimanipulasi, dibuat malu, lalu menerima itu sebagai kenyataan hidup dan bungkam soal itu. Tapi RW tidak. Dia depresi dan akhirnya patah. Ini bukan berarti dia lemah, justru sebaliknya ini manusiawi. Saya salut bagaimana sistem patriarki bisa membuat perempuan-perempuan jadi superwoman, seperti nasihat Marge Simpson pada putrinya Lisa, “You’re a woman, you can take everything!” Perempuan dari kecil didoktrin biar kuat, kuat, kuat. Jadi wanita karir dan ibu rumah tangga, mengorbankan impian untuk keluarga, bla bla bla. Tapi seperti rocker, bukankah perempuan juga manusia?
Nah, kalau RW manusia, logikanya, jika dirudapaksa mestinya perempuan tidak bungkam.
YA! Perempuan harus bicara kalau dia dirudapaksa, supaya bisa kita nikahi! Karena kalau dia bilang, “Aku dirudapaksa,” apa yang terjadi? Lapor polisi dan polisi akan bilang, “Kamu kenapa pake baju itu?” Lapor ke orang tua, mereka tetap sayang tapi malu punya anak tidak perawan di luar nikah, anak perempuan yang RUSAK. Nanti kalau jatuh cinta, berapa banyak lelaki yang bisa menerima, “Aku sudah tidak perawan—“ belum selesai kalimat itu, si lelaki langsung beranggapan bahwa si perempuan bispak, bisa langsung pakai dan bukan untuk dinikahi. “Pacaran sama cewek bispak, nikah sama cewek santri,” itu banyolan anak alay di Sevel! Siapa yang mau dengar kenapa dia tidak perawan? Lebih baik ia menikahi si pemerkosa bukan? Seks enak kan?
Aih! Sebagai lelaki, asik sekali ada di kebudayaan macam ini! Dan yang paling asik adalah..., ini yang anda semua tunggu, tips dan trik:
Yang paling asik adalah, jika kita lelaki merudapaksa perempuan yang kita suka, kita bisa tanggung jawab dengan menikahinya! Asik! Mari sama-sama kita rudapaksa Luna Maya atau Agnes Monicah! JKT48, kami dataang! Gang bang sekalian, biar mereka poliandri dan kita bisa jadi saudara selubang! Bromance kita!
***
Inilah Logika kita. Logika Sitok. Logika maskulin. Dan dalam logika ini, Sitok tak mungkin datang dipanggil polisi, ia tak mungkin diadili, dan kasus ini akan segera kita lupakan sama-sama. Sejauh ini logika inilah yang kita pakai. Dibawa ke Polres, polisi bilang RW harus minta maaf dan minta dinikahi, dibawa ke Polda dan polisi di tim RENATA (Remaja Anak dan Wanita) mulai dukung, tiba-tiba dipindah kasusnya jadi keamanan negara dimana polisinya bernada sama dengan di Polres. Jelas! Polisi macam itu kan polisi maskulin. Logika mereka sejalan dengan kita. Sipdah!
Jadi pilihan hanya ada dua: pertama, kita setia pada logika kita, dan biarkan para peleceh seksual, pemerkosa dan pervert-pervert itu bebas. Kita bisa setia pada logika kita dan kita susun rencana merudapaksa perempuan-perempuan cantik yang kita suka. Persetan dengan tabu. Toh, akhirnya kita nikahi juga mereka dan masalah selesai. Kita bisa setia pada logika kita dan menjadi LELAKI SEJATI, karena cuma lelaki yang bisa merudapaksa lalu menikahi, perempuan tak mungkin bisa begitu.
Atau pilihan kedua: kita bisa menjadi manusiawi dengan membengkokan logika kita. Dukung Sitok untuk naik ke pengadilan. Singkirkan prasangka-prasangka dari lubang logika di kasus ini, karena hanya pengadilan yang boleh dan berhak untuk mempertanyakannya. Yang jelas, adalah sebuah fakta bahwa ada yang dilecehkan, dan kemungkinan besar diawali dengan rudapaksaan. Ada kejahatan terencana dengan metode yang rapih dan pemahaman logika budaya patriarkis; sebuah gaya hebat untuk membuat pemerkosaan menjadi suka sama suka. Kejahatan yang pada awalnya dianggap biasa, bahkan mungkin dianggap kebaikan karena ‘membebaskan’ perempuan dengan tubuhnya sendiri.
Kita bisa jadi binatang logis maskulinis yang memuaskan hasrat dengan memaklumi pelecehan dan pemerkosaan. Atau kita bisa jadi manusia yang bisa memiliki kontrol atas ** SENSOR **nya sendiri dengan imajinasi yang diberikan Allah SWT—atau siapapun makhluk super yang anda percaya memberikan kita akal. Karena jika imajinasi [seksual] bocor ke kenyataan seluruhnya, maka tidak akan ada kemanusiaan.
Dan tanpa kemanusiaan, tidak akan ada kepedulian.
Sumber Tulisan
0
13.7K
117
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
925.1KThread•90.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya