barajp2014Avatar border
TS
barajp2014
Penculikan Aktivis 1998 : Prabowo Subianto Terjerat kasus Penculikan Aktivis 1998


inilah..com, Jakarta - Anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) dikenal memiliki disiplin dan solidaritas yang kuat. Disiplin dan solidaritas sudah menjadi dogma. Demikian kuatnya disiplin dan solidaritas korps TNI, sampai-sampai, dogma itu terbawa hingga ke masa pensiun.

Setelah pensiun mereka bergabung dalam organisasi seperti Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) atau Pepabri (Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Lewat organisasi itulah mereka melanjutkan silaturahmi. Menjaga kekompakan dan persahabatan.

Namun bagi Prabowo dan Wiranto yang dua-duanya sudah masuk golongan 'orangtua', dogma ini nampaknya tidak berlaku. Mereka berdua mungkin tetap menjadi anggota PPAD atau Pepabri. Namun kata 'persatuan' .'persahabatan', 'kekompakan' atau saling bersilaturahmi, tidak berlaku dan tidak dikenal.

Keduanya sekarang ini justru bersaing, saling mengungguli dan saling menyalahkan serta saling menyerang. Mereka bermusuhan secara pribadi maupun politik. Demikian kuatnya permusuhan Wiranto - Prabowo, membuat keduanya menggunakan partai politik - Hanura (Wiranto) dan Gerindra (Prabowo), sebagai sarana.

Permusuhan paling tajam dan mencolok menjelang pelaksanaan Pemilu Legilslatif dan Pemilu Presiden. Prabowo dan Wiranto sama-sama bersaing menjadi Presiden. Tapi yang sensitif soal siapa sebetulnya yang patut disalahkan atas meletusnya apa yang disebut Kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan itu banyak menelan korban warga Indonesia keturunan Chinese selain mahasiwa dan warga sipil lainnya tentunya. Publik sendiri sudah jenuh mendengar perdebatan ini. Karena semakin diperdebatkan dan dibawa ke jalur hukum, semakin sulit menemukan siapa yang bersalah.

Persoalan yang cukup terang benderang, berubah menjadi kabur, keluar dari konteks yang dipersoalkan. Jadi soal Kerusuhan 1998 merupakan isu lama. Tapi menjelang Pemilihan Umum, isu lama ini didaur ulang.

Setelah saling menuding melalui pernyataan, tiba-tiba publik dikejutkan oleh peluncuran film "Patriot". Film yang diproduksi oleh Media Center Partai Gerindra ini, kabarnya menokohkan kepahlawanan Prabowo sebagai Panglima Kostrad pada saat kerusuhan itu terjadi.

Sekalipun belum ditonton Wiranto, namun sudah bisa ditebak, reaksi pendiri partai Hanura itu, pasti merasa tidak nyaman. Karena diedarkan menjelang Pemilu 2014, film itu dapat menjadi 'kampanye hitam' bagi Wiranto dan Hanura pada tahun politik 2014 ini.

Sampai tulisan ini disusun, belum ada tanda-tanda akan terjadi rekonsiliasi antara Wiranto dan Prabowo. Tetapi bukan soal bagaimana kedua pihak agar berrekonsialiasi, yang menjadi isu terpenting. Melainkan sikap Prabowo maupun Wiranto sebagai calon pemimpin, dalam menyelesaikan sebuah masalah rumit dan sensitif.

Mereka tidak menggunakan pendekatan yang membangun persatuan. Padahal bangsa Indonesia saat ini sangat butuh pemimpin yang mampu menggerakkan semangat persatuan. Keduanya justru mengajak bangsa Indonesia membentuk kubu-kubu yang saling bertentangan.

Oleh sebab itu kasus ini menjadi pembelajaran yang cukup berharga bagi bangsa Indonesia. Sebagai pemimpin yang tidak menonjolkan kampanye persatuan, keduanya tidak layak menjadi Presiden RI. Kalau belum apa-apa sudah berkelahi, sudah mengajak masyarakat membentuk kubu permusuhan, lantas apa fungsi dan peran mereka sebagai pemimpin? Jangan-jangan kerusuhan ala Mei 1998, bisa berulang kembali.

Lagi pula kalau hanya bisa mengelak, cuci tangan dari sebuah persoalan yang dihadapai bangsa, lantas kemampuan apa yang diharapkan dari mereka berdua?

Tanpa mereka sadari, Prabowo dan Wiranto sudah memperlihatkan "kekerdilan" mereka dalam memahami bagaimana bangsa Indonesia melihat sebuah persoalan. Mereka hanya berfikir bagaimana "membeli" simpati tanpa melihat bahwa rakyat pun sudah mampu memilah-,milah.

Dengan mengelak sebagai pejabat militer - dari kasus itu, Prabowo dan Wiranto juga telah bertindak tidak jujur kepada bangsa Indonesia. Setelah hampir 16 tahun kerusuhan yang berbau SARA itu terjadi, rakyat sudah diam. Dua-duanya masih merasa sebagai putera Indonesia yang paling bersih dan tidak bersalah. Mereka lupa diamnya masyarakat, tidak berarti membenarkan sikap dan tindakan mereka.

Padahal anak-anak SMP saja, yang ketika kerusuhan terjadi, belum lahir, tapi kalau diberi "kata kunci", dengan mudah akan menuding- penguasa militer (TNI) pada waktu itulah yang paling bertanggung jawab.

Hal yang janggal dari permusuhan Prabowo-Wiranto, rakyat "sudah melupakan" peristiwa itu. Publik sudah tidak percaya bahwa investigasi oleh lembaga manapun akan memberi hasil. Sebaliknya keduanya justru menghidupkan lagi luka yang sudah hampir sembuh. Plus keduanya bukan lagi mencari cara bagaimana menyembuhkan luka akibat kerusuhan itu.

Yang mereka kejar agar rakyat manggut-manggut bahwa mereka berdua "innocent". Mereka hanya ingin dicap sebagai tokoh yang paling benar bersih dari segala dosa pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia).

sumber : [url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2075008/prabowo-wiranto-tak-layak-jadi-presiden#.UygkAc65FYQ[/url]


Penculikan aktivis 1997/1998


Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.

Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.

Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.

Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief.

Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan mahasiswa.[2]

Kesimpulan Komnas HAM

Kasus ini diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006.

Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang.

Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) meminta agar hasil penyelidikan yang didapat dapat dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena telah didapat bukti permulaan yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyatakan ada beberapa orang dari 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di Pos Komando Taktis (Poskotis) Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta.

Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban dan warga masyarakat, 18 anggota dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI.

Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak hukum untuk menuntaskan persoalan. Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.
Tim Mawar

Tim Mawar adalah sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tim ini adalah dalang dalam operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi.

Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI. Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.[4]

Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.[4]. Menurut pengakuan, Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono di sidang Mahkamah Militer, seluruh kegiatan penculikan aktivis itu dilaporkan kepada komandan grupnya, yakni Kolonel Chairawan, tetapi sang komandan tidak pernah diajukan ke pengadilan sehingga tidak bisa dikonfirmasi.[5]

Sementara itu tanggung jawab komando diberlakukan kepada para Perwira pemegang komando pada saat itu. Dewan Kehormatan Perwira telah memberikan rekomendasi kepada Pimpinan ABRI. Atas dasar rekomendasi itu Pangab menjatuhkan hukuman terhadap mantan Danjen Kopassus Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto berupa pengakhiran masa dinas TNI (Pensiun). Pejabat Danjen Kopassus Mayjen TNI Muchdi PR. Serta Dan Group-4 Kolonel Inf. Chairawan berupa pembebasan tugas dari jabatannya karena ketidak mampuannya mengetahui segala kegiatan bawahannya.[6]

Hasil temuan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diumumkan para petinggi TNI saat itu adalah bahwa dari hasil pemeriksaan atas mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto dan Mayjen Muchdi P.R. serta Komandan Grup IV Kopassus Kol. Chairawan, telah tegas-tegas dinyatakan bahwa penculikan tersebut dilakukan atas perintah dan sepengetahuan para pimpinan Kopassus saat itu, bukan semata-mata atas inisiatif kesebelas anggotanya. Mantan Komandan Puspom ABRI, Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., berpendapat seperti yang dinyatakan KSAD dan Ketua DKP Jenderal TNI Soebagyo, Prabowo telah mengaku melakukan tindak pidana penculikan sehingga harus diajukan ke mahkamah militer. Pemerintah Habibie mengeluarkan pernyataan senada setelah mempelajari temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam temuan TGPF itu, disebutkan bahwa jika dalam persidangan anggota Kopassus tersebut terbukti Prabowo terlibat, bekas Komandan Kopassus dan juga bekas Panglima Kostrad itu akan diajukan ke mahkamah militer.[7]
Keadaan tahun 2007

Keenam prajurit yang dipecat mengajukan banding, sehingga sanksi pemecatan belum bisa dikenakan atas mereka. Sementara itu mereka tetap meniti karier di TNI dan meduduki beberapa posisi penting, rincianya sbb:

1. Bambang Kristiono: dipecat
2. Fausani Syahrial Multhazar: pada tahun 2007 menjabat Dandim Jepara dengan pangkat Letnan Kolonel.[8]
3. Nugroho Sulistyo Budi:
4. Untung Budi Harto: tahun 2007 menjabat Dandim Ambon dengan pangkat Letnan Kolonel.[9]
5. Dadang Hendra Yuda: pada September 2006 menjabat Dandim Pacitan dengan pangkat Letnan Kolonel.[10]
5. Jaka Budi Utama: pada tahun 2007 menjabat Komandan Batalyon 115/Macan Lauser [11]
6. Sauka Nur Chalid:
7. Sunaryo:
8. Sigit Sugianto:
9. Sukardi:

Sedangkan Kolonel Infantri Chairawan dipromosikan menjadi Danrem 011 Lilawangsa . Kabar terakhir dari Mayjen Muchdi PR adalah kemunculanya dalam sidang pembunuhan aktifis HAM Munir untuk dimintai keterangan mengenai keterlibatan dirinya maupun BIN dalam pembunuhan tersebut. Muchdi PR adalah mantan Deputi V BIN pada saat Munir terbunuh.

Ketika kasus ini kembali mencuat, Panglima TNI menyatakan bahwa dari hanya satu dari enam tentara yang dipecat yang telah benar-benar dipecat yaitu Mayor (inf) Bambang Kristiono. Lima tentara yang lain dinyatakan terbebas dari hukuman pemecatan, dan hukuman penjaranyapun dikurangi.
Panitia Khu­sus Penghilangan dan Pembunuhan Berencana Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang)

Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga terlibat dalam kasus itu.

Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI.

28 September 2009, Panitia Khu­sus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) mere­ko­me­ndasikan peme­rintah, da­lam hal ini Kejaksaan Agung, segera membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1998-1999.
Isi rekomendasi

1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak–pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang;
3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
4. Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.

sumber : http://id.wikipedia.org/w/index.php?...&printable=yes

Kontras Minta Prabowo Bertanggung Jawab


JAKARTA, HALUAN— Ko­misi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta Danjen Kopassus yang kini menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto terkait kasus penculikan aktivis tahun

Seperti dilansir tribun, Kordinator Kontras, Haris Azhar dalam keterangan persnya di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Kamis (7/11), menuturkan pernyataan Kon­tras itu dipicu oleh wawancara Prabowo kepada majalah Tempo beberapa waku lalu, yang mengaku tidak melaku­kan penculikan dan penghi­langan paksa aktivis 1997-1998 maupun kerusuhan Mei 1998.

Prabowo dalam wawancara itu juga menuturkan perintah penculikan terhadap para aktivis hanya untuk menja­lankan tugas.

Tim Mawar yang melaku­kan penculikan aktivis adalah tim yang terdiri dari anggota Kopassus, dan bermarkas di Cijantung. Pada periode 1997-1998 puluhan aktivis telah diculik, sembilan di antaranya telah dilepaskan dan tiga belas lainnya hingga kini masih hilang.

Kata Haris, prabowo seba­gai Danjen Kopassus saat itu adalah orang yang paling bertanggungjawab secara komando.

Pertanggung jawaban Pra­bo­wo itu sesuai dengan pasal 42 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang penga­dilan HAM, yang berbunyi komandan militer atau seorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yuridiksi Pengadilan HAM, yang dilaku­kan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengen­daliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif.

Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasu­kan secara patut “Pernyataan Prabowo tersebut seharusnya dijadikan bukti atau petunjuk bagi Komnas HAM maupun Kejagung untuk melakukan pemanggilan secara resmi terhadap Prabowo,” ujar Haris.

Haris juga meminta kepa­da Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menge­luarkan Instruksi Presiden (Inpres) pembentukan pengadi­lan HAM Ad Hoc atas peris­tiwa penculikan dan penghi­langan paksa aktivis 1997-1998 serta kerusuhan Mei 1998

sumber : http://www.harianhaluan.com/index.ph...tanggung-jawab



Semoga Prabowo subianto segera bertaubat dan mengakui kesalahannya di kasus penculikan aktivis tersebut.. dan semoga rakyat indonesia bisa cerdas dalam memilih presiden di Pemilu 2014. Pilihlah presiden yg bersih dari bayang2 masalah pelanggaran HAM..
Indonesia Baru hanya bisa dipimpin oleh Tokoh yg bebas dari "dosa" masa lalu..emoticon-I Love Indonesia (S)

http://www.indonesiabergerak.com/
0
7.3K
37
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Pilih Capres & Caleg
Pilih Capres & CalegKASKUS Official
22.5KThread3.1KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.