Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

univ.paramadinaAvatar border
TS
univ.paramadina
simak tulisan bu Dinna Wisnu (Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Paramadina)
Politik Luar Negeri dalam Pemilu


Author: DINNA WISNU, PhD

Dalam beberapa pekan terakhir ini situasi politik internasional yang melibatkan berbagai negara semakin panas. Di Asia, konflik Laut China Selatan masih bersifat laten dan mengkhawatirkan karena satu pemicu saja dapat membuat enam negara akan bersitegang.

Di Eropa, kasus referendum di Crimea untuk bergabung atau tidak dengan Rusia telah menempatkan negaranegara yang tergantung dengan Rusia seperti Jerman dan Inggris dalam posisi yang tidak nyaman berhadapan dengan Amerika Serikat yang tidak mengendurkan sikapnya untuk mengkritik tindakan Rusia di Ukraina. Iklim panas di Timur Tengah juga semakin panas seiring dengan penarikan duta besar negara Arab Saudi dan Mesir dari Qatar. Penarikan duta besar ini tampak cocok dengan siklus alam yang berubah dari Arab Spring menjadi Arab Summer.

Seperti halnya konflik-konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, konflik yang baru lahir akan membutuhkan proses penyelesaian yang tidak cepat. Terlebih lagi dengan krisis ekonomi dunia, makapenyelesaiankonflik juga akan bergantung pada perbaikan ekonomi dunia. Ambil contoh kasus Ukraina yang beberapa hari terakhir ini adalah buah dari ketidakberesan manajemen pemerintahan setelah berakhirnya era Uni Soviet. Korupsi, tidak produktifnya masyarakat, ketergantungan bantuan ekonomi, dan faktor- faktor perubahan demografi yang tidak diantisipasi telah membuat politik dalam negeri negara itu menjadi tidak stabil.

Penduduk Ukraina dari tahun ke tahun semakin berkurang. Puncak jumlah penduduk adalah tahun 1994. Saat itu jumlah mereka adalah 52 juta, kemudian turun dan semakin turun drastis menjadi 45,8 juta pada 2012. Sektor ekonomi tidak dapat bergerak karena kurangnya tenaga kerja yang terampil. Hal ini yang kemudian juga mengembalikan lagi kenangan-kenangan akan teraturnya hidup mereka pada saat masih bergabung dengan Uni Soviet.

Dalam konteks krisis ekonomi berkepanjangan yang berpeluang menciptakan ketidakstabilan politik baik di dalam negeri maupundalamhubunganantara negara, presiden Indonesia yang baru dan partai politik penguasa yang akan terpilih di tahun 2014 tidak akan memiliki waktu yang panjang untuk mencerna dan merumuskan kebijakan politik luar negeri. Secara sederhana, tugas pemimpin baru itu adalah mencegah timbulnya konflikkonflik baru dan menyelesaikan konflik-konflik yang telah terjadi atau minimal mencegah pemburukan situasi.

Masalahnya, rumusan kebijakan luar negeri sangat terkait dengan kepentingan ekonomipolitik dalam negeri kita sendiri dan salah satu agenda populis selama ini disuarakan para kandidat atau calon presiden adalah mengedepankan ”ekonomi kerakyatan”, ”nasionalisasi sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak”, dan slogan- slogan populis lain yang telah memunculkan rasa khawatir dari pemerintah-pemerintah negara lain di mana perusahaan- perusahaan mereka telah menginvestasi ribuan miliar dolar AS di Indonesia.

Terlebih lagi dalam 10 tahun terakhir ini, sektor-sektor yang tidak mengandalkan nilai tambah seperti batu bara, minyak, bauksit, dan sebagainya justru menjadi kontributor utama perekonomian Indonesia dan bukannya dari sektor riil. Dengan kata lain, kontrak ekonomi kita terhadap pihak luar lebih kuat ketimbang kemandirian kita. Apabila kita ingin mengoreksi ”kebijakan yang tidak tepat” di masa lalu dengan negara-negara lain, kita harus siap dengan konsekuensi yang timbul dari tindakan tersebut atau apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.

Selain konflik bilateral yang mungkin terjadi karena masalah ekonomi, konflik politik regional seperti di Laut China Selatan atau konflik ekonomi dalam forum-forum ekonomi dunia seperti APEC, G-20 , ASEAN atau WTO , konflik dunia seperti yang terjadi di Timur Tengah atau Ukraina akan menuntut Indonesia untuk aktif dalam proses penyelesaian. Di sini posisi Indonesia diamat-amati betul oleh negara lain: ke mana kita cenderung berpihak? Dalam pemilu di negara-negara tertentu seperti AS atau anggota Uni Eropa, arah kebijakan politik luar negeri seorang calon presiden akan ikut menentukan besaran jumlah suara yang diperoleh dalam pemilu.

Namun, ”untungnya” hal tersebut tidak berlaku bagi calon presiden di Indonesia. Meskipun para pemilih Indonesia cukup kritis tentang dominasi ekonomi dan hegemoni politik asing di dalam negeri, mereka cenderung tidak terlalu ambil pusing dengan kebijakan politik luar negeri bakal calon presiden yang akan dipilihnya. Meski demikian, hal ini bukan sepenuhnya kesalahan para pemilih dan bukan berarti bakal calon itu dapat tenang-tenang saja. Sekali lagi situasi global tidak memungkinkan adanya ruang wait and see,apalagi sekadar jadi penonton saja.

Bahkan negara-negara tetangga sangat menanti langkah konkret Indonesia segera setelah pemilu berakhir karena pada 2015 sudah langsung dijalankan integrasi masyarakat ekonomi ASEAN. Di sinilah kritik saya kepada para calon presiden di Indonesia: mereka abai mendidik para pemilihnya tentang peranan penting Indonesia di tingkat global. Strategi ”yang penting menang dulu” dan mengabaikan pendidikan politik global kepada pemilih mungkin akan bisa menjadi bumerang ketika mereka berkuasa. Para pemimpin dunia yang mencoba melawan arus dominan politik dan ekonomi dunia untuk kepentingan politik-ekonomi dalam negeri mereka masing-masing,

baik yang berasal dari sayap kanan maupun kiri, tetap akan tergantung dengan konstituen mereka untuk mendukung kebijakan itu. Idealnya, sejak saat ini hingga saat pencoblosan nanti, para calon presiden dan partai politik dapat mulai menggalang dukungan dari akar rumput untuk kebijakan politik luar negerinya. Bagi saya sendiri tujuannya praktis saja, yaitu untuk menciptakan kestabilan politik akibat kebijakan yang populis/tidak populis yang akan diambil nanti. Kita perlu melihat kasus Thailand sebagai contoh yang terdekat.

Dari perbincangan dengan sejumlah wakil dari 12 partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2014, saya menyaksikan hanya sedikit individu calon legislatif yang dapat melihat gambaran makro hubungan Indonesia dalam peta strategis dunia; selebihnya menanggap semua itu bisa dilakukan ”sambil jalan”. Sungguh memprihatinkan karena demi Indonesia yang mampu lepas landas dibutuhkan pemimpin yang teruji dalam berbagai jenjang politik, baik di tingkat daerah,

nasional maupun internasional. Kepiawaian seorang pemimpin seharusnya tidak berhenti pada meyakinkan pemilih untuk mendukungnya, tetapi juga meyakinkan pemimpin negara-negara lain untuk mendukung agenda- agenda yang diusung oleh Indonesia, termasuk ketika agenda tersebut dianggap berseberangan dengan kepentingan negara lain tadi. Kita harus ingat bahwa sejarah telah membuktikan bahwa di balik pemimpin yang hebat berdiri rakyat yang siap berjuang untuk mempertahankan keyakinannya. 

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina @dinnawisnu

taken from : http://www.koran-sindo.com/node/374365simak tulisan bu Dinna Wisnu (Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Paramadina)
0
2K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.