- Beranda
- Sejarah & Xenology
Tepat Seratus Tahun Lalu, Sriwijaya Dikira Nama Seorang Raja. Kini?
...
TS
showcard
Tepat Seratus Tahun Lalu, Sriwijaya Dikira Nama Seorang Raja. Kini?
Bismillah... Sepertinya belum ada yang bahasa Kerajaan Sriwijaya .. Ane sudah nyari di Index belum ada ..
Lelaki itu muncul begitu saja. Berdiri di sebelah kiri saya lalu mengiringi berjalan perlahan. Rambut, kumis, dan kemeja lengan panjang yang dikenakannya semua berwarna putih. Celananya berwarna abu-abu. Ia menegur, “Anda datang dari mana?”
Handuk berwarna merah muda tergantung di leher dan dadanya. Lelaki yang sekurangnya berumur 60-an tahun ini terkesan lelah. Saya menjawab, “Indonesia.” Ada kilat cahaya di matanya. Seakan-akan ia telah menduga. “Wihara ini dahulu dibangun oleh seorang raja dari Sumatra yang sekarang bagian dari Indonesia,” katanya cepat-cepat, sebelum berlalu untuk mendampingi satu keluarga pelancong lokal. Ia rupanya seorang pemandu wisata.
Saya sedang berada di Nalanda, suatu desa di Negara Bagian Bihar, India. Tepatnya di dalam salah satu bangunan dalam kompleks berdinding bata merah yang sebagian besar bagiannya telah berusia lebih dari satu milenium.
Kompleks ini, Nalanda Mahawihara, dikenal sebagai sisa-sisa dari pusat pendidikan ajaran Buddha yang paling terkenal sejak abad kelima hingga ke-12. Selain wihara tempat saya berdiri, yang ditandai dengan nama Monastery 1, terdapat sembilan bangunan bekas wihara lain. Semua wihara bentuknya seperti bujursangkar kalau dilihat dari atas.
Pada keempat sisi setiap wihara terdapat jajaran kamar untuk para biksu. Lantainya dua tingkat. Pelataran utama terdapat di tengah lantai bawah, tempat berdirinya beberapa bangunan lain—di antaranya untuk pemujaan.
Pelataran bagian tengah ini tidak sama antara satu wihara dengan lainnya. Khusus di Monastery 1 terdapat sumur di satu sudut. Ada juga dua ruangan menyerupai gua, diperkirakan gudang ransum untuk para biksu. Dekat salah satu dinding berdiri struktur persegi yang merupakan caitya (tempat pemujaan) utama. Di balik bentukan itu terdapat panggung kecil persegi dari batu. Di atasnya diletakkan batu-batu, untuk tempat duduk dan berdiskusi antara guru dan murid-murid—suatu kelas terbuka.
Monastery 1 di Nalanda Mahawihara ini merupakan salah satu saksi tertua tentang hubungan resmi antara suatu negeri dalam wilayah Indonesia sekarang dengan negeri lain di seberang lautan. Adalah Balaputradewa—dengan titel maharaja (raja di antara raja-raja)—yang terkait erat dengan pembangunan Monastery 1. Ia raja dari Swarnadwipa, sebutan orang India untuk Sumatra di masa sejarah klasik. Namanya terukir bersamaan dengan pembangunan Monastery 1 ini menjelang pertengahan abad kesembilan.
“Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Swarnadwipa melalui utusannya, saya membangun wihara ini.” Itu bunyi kalimat pertama bagian inti isi prasasti berbahan pelat tembaga ini. Prasasti Nalanda, para ahli menyebutnya, ditemukan di reruntuhan tangga masuk Monastery 1 pada penggalian tahun 1921.
Bagian atas prasasti dihiasi semacam cap resmi dengan ukiran indah. Secara keseluruhan, prasasti ini memang menyerupai piagam. Cendekiawan India bernama Hirananda Sastri yang pertama kali menerbitkan isinya pada 1924. Menurut Sastri, penerbit prasasti Nalanda adalah Raja Devapala dari Kerajaan Pala di Benggala yang waktu itu menguasai wilayah luas di India. Devapala sendiri berkuasa pada 810-850.
Permintaan Balaputradewa kepada Devapala itu disampaikan melalui seorang utusan bernama Balawarman. Raja Devapala tidak hanya mengabulkan. Ia sekaligus mengalokasikan lima desa untuk kesejahteraan para biksu serta mendukung perawatan wihara atas nama Maharaja Balaputradewa.
Pada baris lain dari prasasti yang kini disimpan—namun tak dipamerkan—di National Museum di New Delhi itu, disebutkan nama-nama keluarga Balaputradewa.
Ia anak dari pasangan Samaragrawira—kelak diidentifikasi sebagai Samaratungga—dan Tara. Nama terakhir ini adalah putri Dharmasetu, raja Sriwijaya sebelumnya. Jadi, Balaputradewa adalah cucu dari raja Sriwijaya Dharmasetu (dari pihak ibu) dan cucu dari raja Sailendra yang dipuji sebagai permata di wangsanya, Rakai Panamkaran. Penyebutan silsilah dalam prasasti Nalanda menyiratkan kebanggaan Balaputradewa akan asal-usulnya, keturunan Wangsa Sailendra.
SRIWIJAYA BUKAN RAJA
Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, kerajaan yang pernah berpusat di Sumatra. Isi prasasti Nalanda ini memperkaya pengetahuan tentang Sriwijaya yang baru dikenali lagi namanya di awal abad ke-20. Sebelumnya, selama ratusan tahun Sriwijaya (Crivijaya, Srivijaya) terlupakan.
Sembilan tahun sebelum publikasi Sastri, tepatnya pada 1913, J.H.C. Kern, ahli epigrafi di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga pengkajian seni dan ilmu pengetahuan Kerajaan Belanda di Batavia), menerbitkan teorinya. Menurut Kern, “Sriwijaya” adalah nama seorang raja.
Kern saat itu mengulas terjemahan isi prasasti Kotakapur. Prasasti yang ditemukan pada 1892 di pesisir barat Pulau Bangka itu menyebutkan kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang berkhianat kepada Sriwijaya. Juga menyebutkan penyerangan Sriwijaya terhadap Jawa.
Pada 1918, direktur National Library Bangkok, George Coedes, mengapungkan bantahan yang mengejutkan. Menurutnya, Sriwijaya bukanlah raja melainkan kerajaan. Teori Coedes dalam tulisan berjudul Le Royaume de Crivijaya itu dimuat dalam buletin Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO)—institusi Prancis yang mempelajari masyarakat Asia.
Teori Coedes segera masyhur di kalangan cendekiawan internasional. Memancing penelitian lebih dalam soal apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut Sriwijaya. Kini, hampir seratus tahun setelah Sriwijaya dikenali kembali, namanya dipinjam di mana-mana dan untuk apa saja.
Di suatu tempat kita menyebut Sriwijaya sebagai klub sepak bola, pabrik pupuk, atau maskapai penerbangan. Di tempat lain sebagai nama hotel, perseroan dagang, universitas, toko, restoran, judul film, dan lain sebagainya. Dongeng dan mitos tentang Sriwijaya ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India. Alhasil, informasi dari kalangan ilmiah harus mengimbanginya.
Quote:
Assalamu'alaikum ..
Quote:
Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Mempersembahkan :
Quote:
"Siddhayatra" Sriwijaya
Quote:
Quote:
Lelaki itu muncul begitu saja. Berdiri di sebelah kiri saya lalu mengiringi berjalan perlahan. Rambut, kumis, dan kemeja lengan panjang yang dikenakannya semua berwarna putih. Celananya berwarna abu-abu. Ia menegur, “Anda datang dari mana?”
Handuk berwarna merah muda tergantung di leher dan dadanya. Lelaki yang sekurangnya berumur 60-an tahun ini terkesan lelah. Saya menjawab, “Indonesia.” Ada kilat cahaya di matanya. Seakan-akan ia telah menduga. “Wihara ini dahulu dibangun oleh seorang raja dari Sumatra yang sekarang bagian dari Indonesia,” katanya cepat-cepat, sebelum berlalu untuk mendampingi satu keluarga pelancong lokal. Ia rupanya seorang pemandu wisata.
Saya sedang berada di Nalanda, suatu desa di Negara Bagian Bihar, India. Tepatnya di dalam salah satu bangunan dalam kompleks berdinding bata merah yang sebagian besar bagiannya telah berusia lebih dari satu milenium.
Kompleks ini, Nalanda Mahawihara, dikenal sebagai sisa-sisa dari pusat pendidikan ajaran Buddha yang paling terkenal sejak abad kelima hingga ke-12. Selain wihara tempat saya berdiri, yang ditandai dengan nama Monastery 1, terdapat sembilan bangunan bekas wihara lain. Semua wihara bentuknya seperti bujursangkar kalau dilihat dari atas.
Pada keempat sisi setiap wihara terdapat jajaran kamar untuk para biksu. Lantainya dua tingkat. Pelataran utama terdapat di tengah lantai bawah, tempat berdirinya beberapa bangunan lain—di antaranya untuk pemujaan.
Pelataran bagian tengah ini tidak sama antara satu wihara dengan lainnya. Khusus di Monastery 1 terdapat sumur di satu sudut. Ada juga dua ruangan menyerupai gua, diperkirakan gudang ransum untuk para biksu. Dekat salah satu dinding berdiri struktur persegi yang merupakan caitya (tempat pemujaan) utama. Di balik bentukan itu terdapat panggung kecil persegi dari batu. Di atasnya diletakkan batu-batu, untuk tempat duduk dan berdiskusi antara guru dan murid-murid—suatu kelas terbuka.
Monastery 1 di Nalanda Mahawihara ini merupakan salah satu saksi tertua tentang hubungan resmi antara suatu negeri dalam wilayah Indonesia sekarang dengan negeri lain di seberang lautan. Adalah Balaputradewa—dengan titel maharaja (raja di antara raja-raja)—yang terkait erat dengan pembangunan Monastery 1. Ia raja dari Swarnadwipa, sebutan orang India untuk Sumatra di masa sejarah klasik. Namanya terukir bersamaan dengan pembangunan Monastery 1 ini menjelang pertengahan abad kesembilan.
“Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Swarnadwipa melalui utusannya, saya membangun wihara ini.” Itu bunyi kalimat pertama bagian inti isi prasasti berbahan pelat tembaga ini. Prasasti Nalanda, para ahli menyebutnya, ditemukan di reruntuhan tangga masuk Monastery 1 pada penggalian tahun 1921.
Bagian atas prasasti dihiasi semacam cap resmi dengan ukiran indah. Secara keseluruhan, prasasti ini memang menyerupai piagam. Cendekiawan India bernama Hirananda Sastri yang pertama kali menerbitkan isinya pada 1924. Menurut Sastri, penerbit prasasti Nalanda adalah Raja Devapala dari Kerajaan Pala di Benggala yang waktu itu menguasai wilayah luas di India. Devapala sendiri berkuasa pada 810-850.
Permintaan Balaputradewa kepada Devapala itu disampaikan melalui seorang utusan bernama Balawarman. Raja Devapala tidak hanya mengabulkan. Ia sekaligus mengalokasikan lima desa untuk kesejahteraan para biksu serta mendukung perawatan wihara atas nama Maharaja Balaputradewa.
Pada baris lain dari prasasti yang kini disimpan—namun tak dipamerkan—di National Museum di New Delhi itu, disebutkan nama-nama keluarga Balaputradewa.
Ia anak dari pasangan Samaragrawira—kelak diidentifikasi sebagai Samaratungga—dan Tara. Nama terakhir ini adalah putri Dharmasetu, raja Sriwijaya sebelumnya. Jadi, Balaputradewa adalah cucu dari raja Sriwijaya Dharmasetu (dari pihak ibu) dan cucu dari raja Sailendra yang dipuji sebagai permata di wangsanya, Rakai Panamkaran. Penyebutan silsilah dalam prasasti Nalanda menyiratkan kebanggaan Balaputradewa akan asal-usulnya, keturunan Wangsa Sailendra.
Quote:
Spoiler for Gambar:
Quote:
Prasasti Nalanda
Quote:
Prasasti Kedukan Bukit
Quote:
SRIWIJAYA BUKAN RAJA
Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, kerajaan yang pernah berpusat di Sumatra. Isi prasasti Nalanda ini memperkaya pengetahuan tentang Sriwijaya yang baru dikenali lagi namanya di awal abad ke-20. Sebelumnya, selama ratusan tahun Sriwijaya (Crivijaya, Srivijaya) terlupakan.
Sembilan tahun sebelum publikasi Sastri, tepatnya pada 1913, J.H.C. Kern, ahli epigrafi di Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga pengkajian seni dan ilmu pengetahuan Kerajaan Belanda di Batavia), menerbitkan teorinya. Menurut Kern, “Sriwijaya” adalah nama seorang raja.
Kern saat itu mengulas terjemahan isi prasasti Kotakapur. Prasasti yang ditemukan pada 1892 di pesisir barat Pulau Bangka itu menyebutkan kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang berkhianat kepada Sriwijaya. Juga menyebutkan penyerangan Sriwijaya terhadap Jawa.
Pada 1918, direktur National Library Bangkok, George Coedes, mengapungkan bantahan yang mengejutkan. Menurutnya, Sriwijaya bukanlah raja melainkan kerajaan. Teori Coedes dalam tulisan berjudul Le Royaume de Crivijaya itu dimuat dalam buletin Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO)—institusi Prancis yang mempelajari masyarakat Asia.
Teori Coedes segera masyhur di kalangan cendekiawan internasional. Memancing penelitian lebih dalam soal apa dan bagaimana sebenarnya yang disebut Sriwijaya. Kini, hampir seratus tahun setelah Sriwijaya dikenali kembali, namanya dipinjam di mana-mana dan untuk apa saja.
Di suatu tempat kita menyebut Sriwijaya sebagai klub sepak bola, pabrik pupuk, atau maskapai penerbangan. Di tempat lain sebagai nama hotel, perseroan dagang, universitas, toko, restoran, judul film, dan lain sebagainya. Dongeng dan mitos tentang Sriwijaya ditemukan di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan India. Alhasil, informasi dari kalangan ilmiah harus mengimbanginya.
Quote:
Spoiler for Gambar:
Quote:
Kerajaan Sriwijiya
Quote:
Quote:
JALUR NALANDA
Penelitian untuk mengungkapkan, mengon-firmasi, dan merunutkan sejarah Sriwijaya sangat rumit. Para peneliti harus menelusuri banyak serpihan bukti seperti remah-remah yang tersebar di mana-mana. Ibarat merangkai mozaik dari petunjuk berupa prasasti, sisa-sisa struktur bangunan, arca, serta catatan kuno milik bangsa Cina, India, Arab yang menyebutkan Sriwijaya dengan nama berbeda-beda.
George Coedes dan ahli epigrafi terkemuka Indonesia, Boechari, dalam karya-karya ilmiah mereka pernah menulis, topik ini telah “mengucurkan banyak tinta.” Kiranya demikian. Baru soal kajian dari catatan Bangsa Cina saja sudah menyulitkan.
Menurut ahli sejarah dan filologi Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya, “Nama-nama tempat dan tokoh sejarah yang diberitakan oleh Bangsa Cina pada masa itu ditulis menurut pendengaran penulisnya.” Padahal, ucapan kata-kata dalam bahasa Cina yang digunakan pun beragam sehingga sulit ditafsirkan. Selain itu, antara dinasti Cina yang satu dengan dinasti lain tidak menandai Sriwijaya dengan nama sama.
Bagaimanapun, kerja keras para ahli dari berbagai disiplin ilmu selama seratus tahun lebih telah memberikan kita banyak pengetahuan penting. Pada awal abad ke-20, salah satu sumber penelitian yang sangat membantu adalah apa yang disebut sebagai “Jalur Nalanda”.
Ketika Nalanda berkembang sebagai pusat pendidikan agama Buddha, banyak biksu dari berbagai negara mengunjunginya, termasuk dari Negeri Cina. Mereka menumpang kapal dagang. Pada masa itu, pelayaran dari Cina ke India tak dapat dilakukan sekali jalan. Kapal-kapal layar melaju dengan bantuan angin, karenanya tergantung pada angin monsun. Dari Cina, biasanya kapal berangkat pada bulan November atau Desember saat angin bertiup ke selatan.
Kemudian, kapal-kapal dagang itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan penting untuk berdagang, mengisi perbekalan, dan menunggu angin baik. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya ikut disinggahi. Dari Sriwijaya, kapal akan mengangkat sauh dan berlayar ke utara pada bulan Mei atau Juni tahun berikutnya.
Menjelang akhir abad ketujuh, salah seorang biksu Cina yang pergi ke Nalanda melalui jalur perdagangan laut ini adalah I-Tsing. Ia membuat catatan-catatan perjalanan, juga tentang praktik agama Buddha yang disaksikannya di negeri-negeri lain. Tak lupa, ia membuat periplus tempat-tempat yang disinggahinya.
I-Tsing menulis catatannya sebagai suatu reportase kepada khalayak di negerinya. Ia tidak pernah mengira, sekitar 1.300 tahun kemudian, sebagian kecil saja dari catatan itu sangat berjasa mengungkap pengetahuan tentang suatu negeri di seberang samudra, Sriwijaya.
Penelitian untuk mengungkapkan, mengon-firmasi, dan merunutkan sejarah Sriwijaya sangat rumit. Para peneliti harus menelusuri banyak serpihan bukti seperti remah-remah yang tersebar di mana-mana. Ibarat merangkai mozaik dari petunjuk berupa prasasti, sisa-sisa struktur bangunan, arca, serta catatan kuno milik bangsa Cina, India, Arab yang menyebutkan Sriwijaya dengan nama berbeda-beda.
George Coedes dan ahli epigrafi terkemuka Indonesia, Boechari, dalam karya-karya ilmiah mereka pernah menulis, topik ini telah “mengucurkan banyak tinta.” Kiranya demikian. Baru soal kajian dari catatan Bangsa Cina saja sudah menyulitkan.
Menurut ahli sejarah dan filologi Slamet Muljana dalam bukunya Sriwijaya, “Nama-nama tempat dan tokoh sejarah yang diberitakan oleh Bangsa Cina pada masa itu ditulis menurut pendengaran penulisnya.” Padahal, ucapan kata-kata dalam bahasa Cina yang digunakan pun beragam sehingga sulit ditafsirkan. Selain itu, antara dinasti Cina yang satu dengan dinasti lain tidak menandai Sriwijaya dengan nama sama.
Bagaimanapun, kerja keras para ahli dari berbagai disiplin ilmu selama seratus tahun lebih telah memberikan kita banyak pengetahuan penting. Pada awal abad ke-20, salah satu sumber penelitian yang sangat membantu adalah apa yang disebut sebagai “Jalur Nalanda”.
Ketika Nalanda berkembang sebagai pusat pendidikan agama Buddha, banyak biksu dari berbagai negara mengunjunginya, termasuk dari Negeri Cina. Mereka menumpang kapal dagang. Pada masa itu, pelayaran dari Cina ke India tak dapat dilakukan sekali jalan. Kapal-kapal layar melaju dengan bantuan angin, karenanya tergantung pada angin monsun. Dari Cina, biasanya kapal berangkat pada bulan November atau Desember saat angin bertiup ke selatan.
Kemudian, kapal-kapal dagang itu akan singgah di pelabuhan-pelabuhan penting untuk berdagang, mengisi perbekalan, dan menunggu angin baik. Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya ikut disinggahi. Dari Sriwijaya, kapal akan mengangkat sauh dan berlayar ke utara pada bulan Mei atau Juni tahun berikutnya.
Menjelang akhir abad ketujuh, salah seorang biksu Cina yang pergi ke Nalanda melalui jalur perdagangan laut ini adalah I-Tsing. Ia membuat catatan-catatan perjalanan, juga tentang praktik agama Buddha yang disaksikannya di negeri-negeri lain. Tak lupa, ia membuat periplus tempat-tempat yang disinggahinya.
I-Tsing menulis catatannya sebagai suatu reportase kepada khalayak di negerinya. Ia tidak pernah mengira, sekitar 1.300 tahun kemudian, sebagian kecil saja dari catatan itu sangat berjasa mengungkap pengetahuan tentang suatu negeri di seberang samudra, Sriwijaya.
Quote:
PENGEMBARAAN BIKSU I-TSING
Bulan November 671 pada masa Dinasti Tang, biksu I-Tsing menaiki sebuah kapal dagang asal Persia di pelabuhan Kwang-tung (Kanton). Ia diantarkan oleh handai tolan yang mengira tak akan lagi dapat berjumpa dengannya. Usianya saat itu 37 tahun.
Benak I-Tsing dipenuhi bayangan negeri impian: India. Ia mengeraskan hati untuk mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh sumber inspirasi yang dikaguminya yaitu Fa Hien dan Hsuan Tsang. Meninggalkan Cina, mengembara menuju Nalanda. I-Tsing ingin memperdalam ilmu agama sembari menyalin catatan-catatan tentang ajaran Buddha dari negeri kelahirannya.
Demikianlah, I-Tsing ikut berangkat bersama kapal Persia yang telah melepaskan tali-temali dari tambatan di dermaga dan membuka layarnya. I-Tsing mencatat, setelah 20 hari perjalanan, kapal itu mencapai Kota Foshih di negeri Shihlifoshih. Di sana ia singgah enam bulan, menunggu angin baik untuk berlayar ke utara sambil mempelajari tata bahasa Sanskerta.
Tahun berikutnya (672) I-Tsing berlayar meninggalkan Shihlifoshih dengan tujuan India. Etape pertama yang ditempuhnya adalah ke Moloyu (Melayu) selama 13 hari dengan bantuan raja. Di Moloyu, I-Tsing berdiam selama dua bulan lalu ikut berlayar lagi ke Kacha (Kedah), Lojengkuo (Nikobar), dan akhirnya mencapai pelabuhan Tamralipti (kini Tamluk) di India.
Para ahli mendapat satu kesimpulan pasti. Pada tahun 671 ketika I-Tsing pertama kali menjejakkan kaki, Sriwijaya telah berdiri. Pada tahun 685, I-Tsing kembali menyinggahi Sriwijaya dalam perjalanan pulangnya setelah mempelajari agama Buddha di Nalanda. Ia mencatat, sesampainya di Kedah, tujuan berikutnya adalah Melayu lagi. Namun saat mencatat tentang Melayu kali ini, dibuatnya keterangan tambahan: “Moloyu, yang sekarang Shihlifoshih.”
Kalimat ini dibuat I-Tsing karena ketika ia singgah pertama kali pada 14 tahun sebelumnya, Melayu masih menjadi negeri tersendiri. Dari Melayu baru I-Tsing menuju Sriwijaya lagi. Di sana, ia mulai menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatannya sendiri.
Tahun 689, I-Tsing secara tak sengaja terbawa kapal sampai ke Kanton. Alkisah, saat itu ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke tanah air agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta. Namun, pada saat itu angin baik bertiup. Layar-layar dikembangkan. Kapal berlayar. Entah bagaimana ceritanya, I-Tsing terbawa.
Pada akhir tahun itu pula I-Tsing segera kembali ke Sriwijaya. Kali ini disertai beberapa asisten. Lalu ia meneruskan penerjemahan naskah-naskah Sanskerta. Dari Sriwijaya, pada 692 ia mengirimkan beberapa naskah salinan ke Cina. Dua bundel catatan perjalanannya juga ia kirimkan. Termasuk yang lebih dari satu milenium kemudian diterjemahkan oleh Takakusu. I-Tsing akhirnya kembali ke Cina pada 695 dan disambut secara khusus oleh ratu.
Menjelang akhir abad ketujuh, Buddhisme di Sriwijaya berkembang pesat. I-Tsing mencatat, “Ibu kota (Sriwijaya) merupakan pusat belajar agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sini bermukim Sakyakirti yang pernah menjelajahi India untuk belajar.”
Dalam bagian lain I-Tsing menulis, “Di kota Foshih yang dikelilingi benteng, ada lebih dari seribu biksu Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian dan amal baik. Dengan saksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran yang mungkin ada, persis seperti di India. Aturan dan upacaranya sama.” I-Tsing membuat suatu saran pula bagi biksu-biksu lain yang ingin belajar ke Nalanda.
“Jika seorang biksu Cina hendak pergi ke barat untuk belajar dan membaca naskah-naskah Buddhisme yang asli, sebaiknya ia tinggal di Foshih selama setahun atau dua tahun dan di sana menerapkan aturan-aturan yang sesuai; baru melanjutkan ke India,” tulisnya.
Bulan November 671 pada masa Dinasti Tang, biksu I-Tsing menaiki sebuah kapal dagang asal Persia di pelabuhan Kwang-tung (Kanton). Ia diantarkan oleh handai tolan yang mengira tak akan lagi dapat berjumpa dengannya. Usianya saat itu 37 tahun.
Benak I-Tsing dipenuhi bayangan negeri impian: India. Ia mengeraskan hati untuk mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh sumber inspirasi yang dikaguminya yaitu Fa Hien dan Hsuan Tsang. Meninggalkan Cina, mengembara menuju Nalanda. I-Tsing ingin memperdalam ilmu agama sembari menyalin catatan-catatan tentang ajaran Buddha dari negeri kelahirannya.
Demikianlah, I-Tsing ikut berangkat bersama kapal Persia yang telah melepaskan tali-temali dari tambatan di dermaga dan membuka layarnya. I-Tsing mencatat, setelah 20 hari perjalanan, kapal itu mencapai Kota Foshih di negeri Shihlifoshih. Di sana ia singgah enam bulan, menunggu angin baik untuk berlayar ke utara sambil mempelajari tata bahasa Sanskerta.
Tahun berikutnya (672) I-Tsing berlayar meninggalkan Shihlifoshih dengan tujuan India. Etape pertama yang ditempuhnya adalah ke Moloyu (Melayu) selama 13 hari dengan bantuan raja. Di Moloyu, I-Tsing berdiam selama dua bulan lalu ikut berlayar lagi ke Kacha (Kedah), Lojengkuo (Nikobar), dan akhirnya mencapai pelabuhan Tamralipti (kini Tamluk) di India.
Para ahli mendapat satu kesimpulan pasti. Pada tahun 671 ketika I-Tsing pertama kali menjejakkan kaki, Sriwijaya telah berdiri. Pada tahun 685, I-Tsing kembali menyinggahi Sriwijaya dalam perjalanan pulangnya setelah mempelajari agama Buddha di Nalanda. Ia mencatat, sesampainya di Kedah, tujuan berikutnya adalah Melayu lagi. Namun saat mencatat tentang Melayu kali ini, dibuatnya keterangan tambahan: “Moloyu, yang sekarang Shihlifoshih.”
Kalimat ini dibuat I-Tsing karena ketika ia singgah pertama kali pada 14 tahun sebelumnya, Melayu masih menjadi negeri tersendiri. Dari Melayu baru I-Tsing menuju Sriwijaya lagi. Di sana, ia mulai menyalin naskah-naskah agama Buddha yang diperolehnya di India sembari membuat catatannya sendiri.
Tahun 689, I-Tsing secara tak sengaja terbawa kapal sampai ke Kanton. Alkisah, saat itu ia naik ke kapal dengan maksud menitipkan surat ke tanah air agar dikirimi kue-kue, kertas, dan tinta. Namun, pada saat itu angin baik bertiup. Layar-layar dikembangkan. Kapal berlayar. Entah bagaimana ceritanya, I-Tsing terbawa.
Pada akhir tahun itu pula I-Tsing segera kembali ke Sriwijaya. Kali ini disertai beberapa asisten. Lalu ia meneruskan penerjemahan naskah-naskah Sanskerta. Dari Sriwijaya, pada 692 ia mengirimkan beberapa naskah salinan ke Cina. Dua bundel catatan perjalanannya juga ia kirimkan. Termasuk yang lebih dari satu milenium kemudian diterjemahkan oleh Takakusu. I-Tsing akhirnya kembali ke Cina pada 695 dan disambut secara khusus oleh ratu.
Menjelang akhir abad ketujuh, Buddhisme di Sriwijaya berkembang pesat. I-Tsing mencatat, “Ibu kota (Sriwijaya) merupakan pusat belajar agama Buddha di antara pulau-pulau di Laut Selatan. Di sini bermukim Sakyakirti yang pernah menjelajahi India untuk belajar.”
Dalam bagian lain I-Tsing menulis, “Di kota Foshih yang dikelilingi benteng, ada lebih dari seribu biksu Buddhis yang sepenuhnya menekuni pengkajian dan amal baik. Dengan saksama mereka periksa dan pelajari semua pokok pemikiran yang mungkin ada, persis seperti di India. Aturan dan upacaranya sama.” I-Tsing membuat suatu saran pula bagi biksu-biksu lain yang ingin belajar ke Nalanda.
“Jika seorang biksu Cina hendak pergi ke barat untuk belajar dan membaca naskah-naskah Buddhisme yang asli, sebaiknya ia tinggal di Foshih selama setahun atau dua tahun dan di sana menerapkan aturan-aturan yang sesuai; baru melanjutkan ke India,” tulisnya.
Quote:
DAPUNTA HYANG
Apakah itu dia? Saya membatin, melihatnya tergolek di ujung sana saat berusaha melewati celah-celah di antara sejumlah batu prasasti lain. Salah satu teras di Museum Nasional Jakarta ini dipenuhi puluhan prasasti dari masa klasik. Semuanya diletakkan berdekatan.
Akan sulit menemukan prasasti mungil ini kalau tidak mengetahui bentuknya. Dibuat dari sebuah batu sungai, prasasti ini berukuran panjang 43,5 sentimeter, lebar 29 sentimeter, dan tinggi 34 sentimeter. Saya berjongkok dan membaca tulisan pada pelat bertuliskan keterangan yang dipasang di samping prasasti ini. Benar, ini dia.
Prasasti Kedukanbukit, begitu sebutannya. Prasasti ini ditemukan oleh orang Belanda bernama Batenburg, bulan November 1920 di Kampung Kedukanbukit di tepian Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Selintas ada rasa getir. Prasasti ini diletakkan di tepi teras sempit di museum, dekat selokan. Seakan-akan kurang penting. Padahal, inilah prasasti Sriwijaya yang bersifat seperti proklamasi. Mungkin prasasti Sriwijaya terpenting, paling menunggu penyelesaian tafsir.
Dalam prasasti inilah terdapat fakta sejarah yang terjadi 10 tahun setelah I-Tsing meninggalkan Sriwijaya menuju Melayu lalu terus ke India. Prasasti ini mengisahkan suatu perubahan besar di Sriwijaya.
“Pada tanggal 23 April 682, Dapunta Hyang melakukan siddhayatra. Pada tanggal 19 Mei tahun yang sama, ia berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 kotak perbekalan di perahu. Pasukan yang berjalan kaki 1.312 orang. Tiba di Mukha Upang dengan senang hati. Pada tanggal 16 Juni, dengan lega gembira ia mendirikan wanua. Sriwijaya jaya. Siddhayatra sempurna.”
Demikian isi prasasti Kedukanbukit setelah berhasil dibaca. Para ahli silih-berganti menerbitkan tafsir mengenai nama-nama tempat yang disebutkan dalam prasasti itu, beserta proses telaahnya. Bagaimanapun, setelah berselang 1.300 tahun, penafsiran toponimi menjadi sangat rumit. Nama-nama tempat sudah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan bahasa, dialek, dan peradaban.
Berkat tafsir oleh Boechari pada 1985-1986, Mukha Upang dikenali sebagai pulau kecil di pertemuan Sungai Musi dan Sungai Upang—ke arah pesisir timur Sumatra dari arah Palembang. Namun, letak Minanga (tempat Dapunta Hyang bertolak pada 19 Mei 682) tetaplah misterius.
Beberapa penafsiran pernah digagas mengenai lokasi Minanga: Sumatra Barat (Minangkabau), Riau (pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri atau Batang Kuantan), Sumatra Utara (Binanga), Muara Tamban (sekitar muara Sungai Musi), Semenanjung Malaka, bahkan Kamboja (Sungai Mekong). Terlepas dari misteri yang belum terjawab ini, beberapa hal lainnya sudah disepakati sebagai fakta.
Hal pertama, waktu kejadiannya sudah diketahui karena tahun Saka yang aslinya digunakan dalam prasasti itu dapat dikonversi ke tahun Masehi. Hal kedua, kata siddhayatra merupakan penggambaran suatu perjalanan suci untuk mencapai kesempurnaan. Bisa pula ziarah Waisak. Hal ketiga, wanua adalah permukiman.
Para ahli sepakat, prasasti Kedukanbukit memberitakan tiga peristiwa yang dilakukan Dapunta Hyang: perjalanan ziarah, perjalanan berperang lalu berkumpul di Mukha Upang, dan pendirian wanua baru. Jadi, 10 tahun setelah I-Tsing singgah untuk pertama kali, tersebutlah nama Dapunta Hyang sebagai raja Sriwijaya dan perpindahannya dari Minanga ke permukiman baru setelah melakukan ekspedisi militer.
Segera terbit aneka pertanyaan: Apakah Dapunta Hyang adalah raja yang membantu I-Tsing ke Melayu dalam persinggahan pertama? Di mana persisnya kota Foshih saat persinggahan pertama I-Tsing? Apakah Foshih dalam persinggahan pertama I-Tsing sama dengan asal-usul Dapunta Hyang, yakni Minanga?
Apakah itu dia? Saya membatin, melihatnya tergolek di ujung sana saat berusaha melewati celah-celah di antara sejumlah batu prasasti lain. Salah satu teras di Museum Nasional Jakarta ini dipenuhi puluhan prasasti dari masa klasik. Semuanya diletakkan berdekatan.
Akan sulit menemukan prasasti mungil ini kalau tidak mengetahui bentuknya. Dibuat dari sebuah batu sungai, prasasti ini berukuran panjang 43,5 sentimeter, lebar 29 sentimeter, dan tinggi 34 sentimeter. Saya berjongkok dan membaca tulisan pada pelat bertuliskan keterangan yang dipasang di samping prasasti ini. Benar, ini dia.
Prasasti Kedukanbukit, begitu sebutannya. Prasasti ini ditemukan oleh orang Belanda bernama Batenburg, bulan November 1920 di Kampung Kedukanbukit di tepian Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Selintas ada rasa getir. Prasasti ini diletakkan di tepi teras sempit di museum, dekat selokan. Seakan-akan kurang penting. Padahal, inilah prasasti Sriwijaya yang bersifat seperti proklamasi. Mungkin prasasti Sriwijaya terpenting, paling menunggu penyelesaian tafsir.
Dalam prasasti inilah terdapat fakta sejarah yang terjadi 10 tahun setelah I-Tsing meninggalkan Sriwijaya menuju Melayu lalu terus ke India. Prasasti ini mengisahkan suatu perubahan besar di Sriwijaya.
“Pada tanggal 23 April 682, Dapunta Hyang melakukan siddhayatra. Pada tanggal 19 Mei tahun yang sama, ia berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 kotak perbekalan di perahu. Pasukan yang berjalan kaki 1.312 orang. Tiba di Mukha Upang dengan senang hati. Pada tanggal 16 Juni, dengan lega gembira ia mendirikan wanua. Sriwijaya jaya. Siddhayatra sempurna.”
Demikian isi prasasti Kedukanbukit setelah berhasil dibaca. Para ahli silih-berganti menerbitkan tafsir mengenai nama-nama tempat yang disebutkan dalam prasasti itu, beserta proses telaahnya. Bagaimanapun, setelah berselang 1.300 tahun, penafsiran toponimi menjadi sangat rumit. Nama-nama tempat sudah banyak mengalami perubahan seiring perkembangan bahasa, dialek, dan peradaban.
Berkat tafsir oleh Boechari pada 1985-1986, Mukha Upang dikenali sebagai pulau kecil di pertemuan Sungai Musi dan Sungai Upang—ke arah pesisir timur Sumatra dari arah Palembang. Namun, letak Minanga (tempat Dapunta Hyang bertolak pada 19 Mei 682) tetaplah misterius.
Beberapa penafsiran pernah digagas mengenai lokasi Minanga: Sumatra Barat (Minangkabau), Riau (pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri atau Batang Kuantan), Sumatra Utara (Binanga), Muara Tamban (sekitar muara Sungai Musi), Semenanjung Malaka, bahkan Kamboja (Sungai Mekong). Terlepas dari misteri yang belum terjawab ini, beberapa hal lainnya sudah disepakati sebagai fakta.
Hal pertama, waktu kejadiannya sudah diketahui karena tahun Saka yang aslinya digunakan dalam prasasti itu dapat dikonversi ke tahun Masehi. Hal kedua, kata siddhayatra merupakan penggambaran suatu perjalanan suci untuk mencapai kesempurnaan. Bisa pula ziarah Waisak. Hal ketiga, wanua adalah permukiman.
Para ahli sepakat, prasasti Kedukanbukit memberitakan tiga peristiwa yang dilakukan Dapunta Hyang: perjalanan ziarah, perjalanan berperang lalu berkumpul di Mukha Upang, dan pendirian wanua baru. Jadi, 10 tahun setelah I-Tsing singgah untuk pertama kali, tersebutlah nama Dapunta Hyang sebagai raja Sriwijaya dan perpindahannya dari Minanga ke permukiman baru setelah melakukan ekspedisi militer.
Segera terbit aneka pertanyaan: Apakah Dapunta Hyang adalah raja yang membantu I-Tsing ke Melayu dalam persinggahan pertama? Di mana persisnya kota Foshih saat persinggahan pertama I-Tsing? Apakah Foshih dalam persinggahan pertama I-Tsing sama dengan asal-usul Dapunta Hyang, yakni Minanga?
Quote:
Sekian dulu gan.. Semoga bermanfaat .
Jangan lupa gan kalo merasa tambah Ilmu, mohon di & juga boleh gan. Terimakasih
Jangan lupa gan kalo merasa tambah Ilmu, mohon di & juga boleh gan. Terimakasih
Quote:
Quote:
Lanjutan Di Bawah Gan
Diubah oleh showcard 11-03-2014 00:06
0
24.9K
Kutip
280
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•10.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya