Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Freeport & Newmont tetap jalankan operasi tambang walau melanggar aturan Pemerintah

wiryoasmoroAvatar border
TS
wiryoasmoro
Freeport & Newmont tetap jalankan operasi tambang walau melanggar aturan Pemerintah
Freeport & Newmont tetap menjalankan operasi tambang walaupun melanggar aturan Pemerintah



Freeport dan Newmont memang berniat membangkang UU Minerba no 4 tahun 2009 sejak awal.

Wajah pertambangan Indonesia baru ingin 'dirias' agar membawa keuntungan bagi bangsa. Caranya ialah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

Aturan ini utamanya menginginkan agar tidak ada lagi barang tambang mentah Indonesia diekspor. Semua pengusaha tambang harus melakukan pengolahan di dalam negeri sebelum melakukan ekspor barang tambang Tanah Air.

Namun, rencana ini ternyata tidak berjalan begitu mulus. Perusahaan tambang besar, khususnya PT Freeport dan PT Newmont yang berasal dari Amerika ini langsung keberatan. Kedua perusahaan ini pun mengajukan dispensasi.

Seperti diketahui, pertambangan Indonesia sudah lama dikuasai perusahaan asing. Hal ini tentu tidak sejalan dengan cita-cita bapak pendiri bangsa.

Presiden Soekarno tahu kapitalisme pertambangan akan menerkam Indonesia bulat-bulat. Maka sejak awal Soekarno tak mau ada pemodal asing berkuasa. Dia menolak saat para pengusaha Amerika Serikat hendak membuka usaha tambang di Papua.

Tahun 1961, Soekarno berpendapat baru 20 tahun kemudian pemerintah bisa mengeluarkan izin perusahaan tambang asing beroperasi. Berarti sekitar tahun 1981. Saat itu Soekarno yakin Indonesia sudah memiliki ahli-ahli pertambangan sendiri sehingga tak hanya jadi jongos, tetapi bisa menjadi rekan. Para pengusaha asing pun tak bisa mengeruk kekayaan alam seenaknya.

Menurut sejarawan Asvi Marwan Adam, Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri.

Kini baru saja rencana implementasi UU Minerba akan dilaksanakan sudah menemui banyak pertentangan. Pengamat Pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta pemerintah mengabaikan permohonan dispensasi atas larangan ekspor mineral mentah yang diajukan oleh perusahaan tambang.

Terlebih yang diajukan perusahaan tambang raksasa semisal Freeport dan Newmont. Marwan menilai, sedari awal kedua perusahaan raksasa ini tidak menunjukkan niat baik menjalankan UU Nomor 4 Tahun 2009 dengan tidak membangun smelter.

Dia menuturkan, seluruh perusahaan baik pemegang Kontrak Karya (KK) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) menyatakan menyanggupi ketentuan hilirisasi atau pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri pada saat UU Minerba disahkan.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio ikut angkat bicara terkait rencana implementasi UU tersebut. Dalam pandangannya, aturan ini cukup menguras tenaga. Sebab, banyak pertentangan terutama dari Freeport dan Newmont yang notabene raksasa sektor pertambangan.

"Freeport dan Newmont itu mereka wajar menolak karena jual konsentrat hasil pemurnian mahal. Konsentrat kita mahal, bersaing dengan negara lain. Dijual mahal dan Freeport dan Newmont bakal rugi," ucap Agus kepada merdeka.com di Jakarta.

Karena Freeport dan Newmont yang tak mau rugi besar, urusan UU Minerba No 4 Tahun 2009 menjadi panjang. Bahkan Freeport dan Newmont mengancam memecat ratusan karyawannya jika mereka dilarang melakukan ekspor mentah.

Manajer Penggalangan Dukungan Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), Andika, merasa heran dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak pernah tegas menindak perusahaan asing tersebut. Bahkan dia menyebut wajah pertambangan Indonesia sama saja dengan zaman penjajahan atau kolonial.

"Wajah pertambangan kita belum ada perubahan bahkan dari fase fase kolonial. Belum ada perubahan signifikan. Itulah saya heran kepada SBY, sebetulnya tidak ada harapan lagi pada SBY ini. Kita butuh kebijakan komitmen yang tinggi tegas," ucap Andika.

Pembangkangan Freeport dan Newmont bukan hanya satu atau dua kali saja. Pemerintah pun seperti tak berdaya menghadapi dua raksasa korporasi asal Amerika ini.

--------

Tragedi longsornya gua Big Gosan, di tambang Freeport, Tembagapura pada Mei tahun lalu yang menewaskan 28 orang, memaksa Freeport menghentikan seluruh kegiatan penambangannya.

Berdasarkan keterangan Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Minyak, Gas Bumi dan Umum Indonesia, insiden di area Freeport Papua itu merupakan kecelakaan tambang terburuk sepanjang sejarah republik ini. Bahkan Duta Besar Amerika untuk Indonesia Scot Marciel mengakui data itu. "Dari perspektif kami ini adalah kecelakaan buruk," ujar Scot kemarin.

Namun, pemerintah tidak ingin menganggap kejadian ini sebagai suatu kelalaian. Oleh karena itu, pemerintah melalui Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menjamin, Freeport tidak akan mendapat hukuman akibat insiden yang menewaskan 28 pekerja itu.

Tragedi longsornya terowongan pusat pelatihan Big Gosan PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua, yang menewaskan 28 orang pekerja pekan lalu, telah menyita perhatian publik.

Tragedi ini juga seolah ingin mengingatkan pemerintah untuk mendesak Freeport agar taat akan aturan main di Indonesia. Tidak hanya soal keselamatan dan jaminan kerja bagi pekerja perusahaan tambang emas itu saja, tapi juga soal andilnya Freeport untuk Indonesia yang selama ini kekayaan alamnya telah dikuras habis.

Penutupan kawasan tambang emas terbesar di Indonesia itu dilakukan untuk proses evakuasi sekaligus investigasi. Tujuh orang tim investigasi independen yang terdiri 4 orang pakar dalam negeri serta 3 orang pakar asing, diberi target menyelesaikan investigasi dalam kurun waktu 60 hari. Artinya, selama 2 bulan Freeport tidak bisa berproduksi.

Lagi-lagi, ketidaktegasan pemerintah menghukum Freeport membuat perusahaan ini tidak takut untuk menjalankan kembali aktivitasnya. Terlebih, pemerintah sempat berucap bahwa perusahaan asing itu boleh melakukan aktivitas lagi secara terbatas di area terbuka. Asalkan telah mendapat lampu hijau dari inspektorat jenderal pertambangan kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM).

Freeport nekad tetap menjalankan operasi tambang, walaupun penyelidikan sebab-sebab kecelakaan belum selesai & Pemerintah belum memberikan izin operasi.

"Dalam 2 atau 3 hari ini kita akan mulai produksi tapi tidak mencapai 140.000 ton," ujar Direktur Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto.

Pernyataan itu seolah menjadi angin segar bagi perusahaan yang berpusat di Kota Phoenix, Amerika Serikat ini. Benar saja, Direktur Freeport Indonesia Rozik B. Soetjipto menuturkan, dalam waktu dekat, Freeport akan kembali dibuka dan kembali beraktivitas. Padahal, belum jelas apakah sudah ada izin dari pemerintah atau belum.

Jika belum mengantongi izin dari pemerintah namun Freeport tetap nekat beroperasi, maka perusahaan asing itu benar-benar membuat masalah baru. Pasca tragedi longsor, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Freeport tidak nekat memaksakan kehendak. Jangan sampai ada jatuh korban lagi karena Freeport memaksakan kehendak untuk beroperasi.

--------
Bagi hasil (Royalti) yang tidak seimbang & Deviden kepada Pemerintah RI yang belum dibayarkan

Sejak pertengahan 2010, wacana renegosiasi kontrak karya Freeport terus bergulir. Salah satu poin utama adalah soal andil Freeport terhadap Indonesia dalam bentuk royalti dan dividen.

Freeport hanya memberikan royalti 1 persen dari hasil penjualan emas dan 3,75 persen masing-masing untuk tembaga dan perak. Kewajiban yang terbilang sangat rendah dibanding keuntungan yang dikantongi Freeport.

Pemerintah menginginkan royalti Freeport sepuluh persen. Dari ujung timur Indonesia, Freeport menyatakan siap berunding, namun belum sepakat mengenai besaran royalti. Setelah lebih dari dua tahun berunding, hasilnya bisa ditebak. Pemerintah tak berdaya menghadapi kuatnya Freeport.

Selain royalti, Freeport juga berkewajiban memberikan dividen ke negara. Sebab, pemerintah memiliki 9,36 persen saham Freeport Indonesia. Tapi, lagi-lagi Freeport berulah. Tahun lalu saja, dari kewajiban memberi dividen Rp 1,5 triliun, setoran Freeport kurang Rp 350 miliar.

Tidak ada yang bisa memastikan kapan pemerintah berhasil memaksa Freeport ikut aturan main di Indonesia. Padahal, idealnya negara tidak boleh kalah dari kepentingan asing yang telah menguras kekayaan alam Indonesia.



---------

PT Newmont Nusa Tenggara menyatakan akan ada dampak buruk akibat pelarangan ekspor bahan tambang tanpa dimurnikan 100 persen di dalam negeri, seperti diamanatkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009. Salah satunya adalah pemecatan pegawai, karena tingkat produksi dan penjualan anjlok.

Direktur Utama Newmont Martiono Hadianto mengatakan, jika pemerintah berkukuh melarang mereka mengekspor konsentrat tembaga dan emas, maka risikonya harus ditanggung pegawai. Dia memastikan, pemecatan merupakan opsi yang serius dipikirkan perusahaan berinduk ke Amerika Serikat itu buat mengurangi biaya operasional.

Newmont bersama sesama perusahaan AS lainnya, yakni PT Freeport Indonesia, jadi salah satu kubu paling bersuara keras terhadap keputusan melarang ekspor produk tambang yang belum dimurnikan di dalam negeri mulai 1 Januari 2014.

Pemerintah pun pusing dibuatnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantas meminta bantuan ahli hukum Yusril Izha Mahendra untuk mengkaji aturan ini. Pandangan Yusril akan dijadikan pertimbangan pemerintah dalam PP untuk 'kompensasi' UU Minerba.

---------

Pengamat Pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta pemerintah mengabaikan permohonan dispensasi atas larangan ekspor mineral mentah yang diajukan oleh perusahaan tambang.

Terlebih yang diajukan perusahaan tambang raksasa semisal Freeport dan Newmont. Marwan menilai, sedari awal kedua perusahaan raksasa ini tidak menunjukkan niat baik menjalankan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dengan tidak membangun smelter.

Dia menuturkan, seluruh perusahaan baik pemegang Kontrak Karya (KK) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) menyatakan menyanggupi ketentuan hilirisasi atau pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri pada saat UU Minerba disahkan.

Bahkan mereka menyanggupi membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun, lebih cepat dua tahun dibandingkan dengan tawaran yang ditawarkan DPR.

"Melihat kondisi sekarang, dapat disimpulkan bahwa kontraktor KK seperti Freeport dan Newmont pada dasarnya memang tidak mempunyai niat membangun smelter dan telah menunjukkan sikap pembangkangan terhadap UU Minerba," ujar Marwan di Jakarta, Kamis (9/1).

Marwan menuturkan, alasan yang digunakan Freeport dan Newmont yang menyebutkan bahwa telah mereka melakukan pengolahan di dalam negeri, tidak dapat diterima. Sebab, pengolahan yang sudah dikerjakan hanya 30 persen, sehingga belum dapat memberikan nilai tambah bagi negara.

"UU Minerba itu mewajibkan pengolahan meningkat dari 30 persen menjadi 100 persen, seperti tertuang dalam Pasal 170, atau keseluruhan konsentrat Freeport dan Newmont harus diolah di dalam negeri. Karena itu, mereka tidak pantas untuk diberi kelonggaran," kata dia.

Freeport dan Newmont juga dituding sudah mengantisipasi pemberlakuan UU Minerba dengan cara menggenjot produksi berkali lipat sehingga merugikan negara.

"Hasilnya, harga produk turun, penerimaan negara justru jauh lebih rendah dibanding berlipatgandanya produksi dan kerusakan lingkungan yang masif," ucapnya.

-------------

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Wira Budiman meminta pemerintah menyamaratakan hak antara pengusaha lokal dan pengusaha asing. Dioa menegaskan selama ini pemerintah menganaktirikan pengusaha nasional.

Dia mencontohkan perusahaan tambang asing sampai kini masih berstatus kontrak karya dan bukan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Selain itu, luasan lahan tambang mereka miliki lebih dari 25 ribu hektar, batas maksimal dibolehkan oleh Undang-undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Barang Tambang.

Contoh lain adalah royalti. Pengusaha nasional membayar royalti lima persen dari tiap ton barang tambang atau mineral dijual. Sedangkan perusahaan asing hanya membayar royalti di bawah lima persen.

Berikut penjelasan Wira saat ditemui Faisal Assegaf dari merdeka.com Selasa lalu di kantornya, lantai enam gedung Manggala Wanabakti.

Kenapa Anda bilang pemerintah menganaktirikan pengusaha nasional dan lebih mengistimewakan pengusaha asing?

Kontrak karya secara luasan perizinan diberikan 250 ribu hektar, ada yang 300 ribu. IUP dibatasi maksimal 25 ribu hektar. Di undang-undang minerba baru, sejak disahkan setahun setelah itu kontrak karya wajib disesuaikan dengan IUP, diganti menjadi IUPK (izin Usaha Pertambangan Khusus).

Undang-undang itu menjelaskan dengan terang, IUPK hanya boleh memiliki luasan maksimal 25 ribu hektar. Setelah renegosiasi 2010, tidak ada lagi yang namanya kontrak karya, tapi berganti menjadi IUPK.

Soal royalti, Vale (perusahaan nikel Australia) bayar empat persen. Freeport saya tidak tahu, tapi yang pasti mereka tidak bayar lima persen. Ini perlu kita sikapi. Asing bayar royalti lebih rendah daripada warga lokal. Lucu (seraya tertawa).

Lantas apa upaya pengusaha lokal melawan hegemoni pengusaha asing?

Apemindo tidak mau mencari musuh. Kita cuma mau memberitahu pemerintah tolong sejajarkan hak kita dengan pengusaha asing. Jangan kita dianaktirikan.

Apakah Anda melihat ada motif politik?

Kalau motif politik saya nggak mengerti dari pihak. Saya baca dari berbagai sumber asing menunggangi untuk memiskinkan bangsa Indonesia dengan cara-cara tertentu. Karena mereka kalah bersaing dengan China, mereka menggunakan pemerintah Indonesia sebagai alat.

Bisa Anda jelaskan hegemoni perusahaan tambang asing di Indonesia. Bagaimana menekan pemerintah dan pengusaha lokal?

Ada beberapa hal mereka lakukan seakan pemerintah Indonesia tidak berdaya. Mereka menolak renegosiasi dengan alasan kontrak dibikin antara pemerintah dengan mereka. Mereka memperlakukan pemerintah sebagai korporat. Padahal pemerintah itu adalah negara.

Dalam klausul kontrak, mereka harus menaati undang-undang dan peraturan di Indonesia. Ketika undang-undang minerba mengisyaratkan hal itu, pemerintah Indonesia seakan tidak berdaya untuk menekan. Padahal ada di klausul kontrak karena takut dibawa ke pengadilan arbitrase.

Mereka menekan pemerintah Indonesia sehingga tidak berdaya untuk renegosiasi. Alhasil sumber daya alam mereka pegang dan tidak bisa dipakai untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Padahal yang punya mineral adalah orang Indonesia.

Saya baca di Kompas : Glencore (kartel mineral internasional) mendatangi salah satu menteri. Mereka mensyaratkan kalau Indonesia melarang ekspor, kita akan bangun smelter di Indonesia. Kita akan bangun, bukan kita pasti bangun.

Kalau Indonesia benar-benar melarang ekspor bahan mentah, harga nikle dunia naik. Indonesia belum siap emslter, ujungnya pengusaha lokal mati, kita impor, perusahaan asing di luar menikmati kenaikan harga itu. Padahal, setelah larang ekspor, pengusaha asing akan masuk dan mereka beli.

Kalau pemerintah Indonesia tunduk, orang Indonesia tidak akan bisa tegak lagi. Selamanya akan tunduk. Di Indonesia timur mereka bakal menguasai mineral dan di Indonesia barat pengusaha asing sudah menguasai industri sawit.

Saya mengusulkan agar tata niaga menggunakan rupiah. Kita bayar gaji pakai rupiah, bayar solar pakai rupiah, bayar pajak pakai rupiah. Ya udah kita jual dengan rupiah, jangan pakai dolar. Kita nggak mau dipermainkan oleh asing.

Apakah idealisme Anda soal industri mineral di Indonesia?

Saya mau tambang harus ditata oleh orang Indonesia. Tata niaga juga kita atur. Semua harus pakai rupiah, supaya tidak tergantung pada dolar. China sudah mulai, semua pakai yuan. Kenapa Indonesia nggak berani? Kalau mau beli pakai rupiah. Kalau nggak mau, kita nggak mau jual.

-------------

Yang bertanggung akan hal ini :
1. Anggota DPR (Komisi yg berkaitan, anggota dari dapilnya tempat perusahaan itu ada)
2. Pejabat Daerah
3. Polisi setempat
4. WNI yg punya jabatan tinggi di Perusahaan itu.

Mereka inilah yg seharusnya bertanggung jawab terhadap negara ke depannya.
Mereka bisa senang atas enaknya bekerja sama dengan perusahaan Amerika itu, tapi dampaknya akan dirasakan mereka sendiri menghina dan menginjak tanah airnya.

0
4.1K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.