Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

thewalrusAvatar border
TS
thewalrus
Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung
Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung
Cadas lava Tohlangkir

Agan sekalian, ane mau share cerita perjalanan mendaki Gunung Agung lewat jalur Pura Pasar Agung nih. Cerita ini edisi sedikit revisi dari cerita perjalanan di blog ane plus foto-foto perjalanannya.

Berikut ceritanya.

Waktu itu saya berangkat bersama dua orang teman, Yogi yang semakin menggila dalam urusan mendaki gunung dan Dian, seorang teman yang masih baru dalam urusan pendakian gunung.

Ini kali pertama saya mendaki Gunung Agung melalui jalur Pura Pasar Agung. Sebelumnya saya sudah pernah dua kali mendaki Gunung Agung, tapi melalui jalur Pura Besakih. Jadi saya masih awam dengan trek yang akan saya lalui melalui jalur ini.

Malam sebelum pendakian saya mendapat sedikit gambaran tentang jalur yang akan kami lewati melalui video yang diunggah oleh Hendra Wijaya pada channel youtube miliknya seperti yang ada pada video dibawah.


Yogi juga memberikan bayangan lebih lanjut tentang kondisi jalur yang sudah menanjak tanpa ampun sejak awal pendakian. Terdiri dari hutan basah, batu-batu besar kemudian dilanjutkan dengan lava beku cukup panjang sampai di bibir kawah. Ancer-ancer waktu perjalanan yang diberikan Yogi untuk pendakian Gunung Agung Melalui Pura Pasar Agung kali ini adalah tiga setengah jam. Biasanya waktu yang saya butuhkan molor sekitar 1 sampai 2 jam jika dibandingkan dengan ancer-ancer waktu pendakian yang biasa dia berikan. Fisik dan mental saya masih berada beberapa tingkat dibawahnya Gan.

Malam pendakian tiba, hujan belum henti mengguyur semenjak petang. Saya mulai sedikit ragu akan pendakian ini. Tapi Yogi kembali meyakinkan, “tidak apa-apa paling disana terang” begitu pesannya. Jadwal berangkat jadi sedikit molor akibat hujan. Beruntung sekitar jam 8 sudah agak reda, sayapun berangkat dari Tabanan bersama Yogi kemudian menjemput Dian di Denpasar sebelum lanjut menuju Karangasem.

Kabut begitu tebal ketika kami sampai di wilayah Karangasem. Hujan masih mengguyur, sesekali juga mereda, tapi tidak lama sudah deras lagi. Jadi semacam lomba lari maraton dengan ujan, sesekali kami mendahului, berdamping-dampingan, lain kalinya kami tertinggal di belakang. Jalanan begitu sepi, mungkin baru sepuluh menit sekali kami berpapasan dengan satu kendaraan. Penerangan jalan yang minim membuat saya melaju kendaraan dengan pelan, mungkin hanya 40 km/jam. Dengan berjalan pelan saja, beberapa kali saya hampir menabrak sesuatu dan salah memilih jalur. Sedikit khawatir sebenarnya, tapi terselip kesenangan juga Gan. Perjalanan lempeng tanpa tantangan sering membosankan, bagai sayur tanpa garam, hambar.

Hampir 3 jam perjalanan dari Denpasar, akhirnya kami sampai di parkiran Pura Pasar Agung. Waktu itu sekitar pukul 1 dini hari. Hujan masih awet, tapi tidak sederas sebelumnya. Di areal parkir gelap gulita, tidak ada penerangan sedikitpun disana. Hanya tampak cahaya remang dari bangunan dikejauhan. Saya hendak ke sumber cahaya itu sekedar untuk bertegur sapa dengan siapa saja yang ada disana sebenarnya, tapi dingin yang begitu menusuk membuat malas beranjak. Akhirnya kami bertiga memilih untuk beristirahat di mobil sebelum memulai pendakian.

Lamat suara obrolan terdengar mulai mendekat, jejeran senter juga tampak mulai bergerak dari bangunan yang ada dibagian timur tempat kami parkir. Saya melihat jam, sudah jam 2, kami lalu bergegas dan bergabung dengan rombongan yang melintas.

Pendakian dimulai. Perjalanan dimulai dengan menyusuri tangga cukup panjang. Kalau tidak salah, kami membutuhkan 20 menit untuk mencapai ujung paling atas tangga yang juga merupakan areal jaba dari Pura Pasar Agung. Trek berikutnya adalah tanah licin ditengah hutan basah. Seandainya tidak hujan tentu jalur akan lebih bersahabat. Benar apa yang disampaikan teman saya Yogi, jalur ini hanya sedikit memberikan bonus, menanjak tanpa ampun.

Malam itu banyak turis asing yang juga melakukan pendakian. Dengan mudahnya mereka melewati kami kemudian hilang ditelan gelap. Andai malam itu Yogi tidak bersama saya dan Dian, tentu dia akan berpacu bersama turis-turis asing tersebut. Jalur hutan basah lalu berganti bebatuan besar setelah Telaga Mas. Masih tetap menanjak, tanpa ampun. Pandangan disini sudah sedikit terbuka, tapi belum terlalu lapang. Masih ada pepohonan disekitar, namun tidak selebat sebelumnya.

Kerlip lampu senter para turis sudah tak tampak lagi, apalagi suara obrolan mereka. Mereka sudah jauh meninggalkan kami. Perlahan kami memanjati bebatuan yang ada. Secara bergilir saya dan Yogi mendampingi Dian. Staminanya sedang kurang prima waktu itu, nampaknya dia masih kelelahan sepulang dari pendakian Batur beberapa hari sebelumnya.

Selalu menyenangkan ketika berhasil keluar dari hutan basah lalu bertemu pandangan lapang didepan mata. Cadas lava Tohlangkir begitu gumam saya dalam hati. Saya teringat judul salah satu album foto Yogi di laman facebooknya. Jalur ini masih sama dengan jalur-jalur sebelumnya, minim bonus. Perlahan saya menanjak bersama Dian. Kali ini Yogi hilang entah kemana. Nampaknya dia sedang tidur, entah dimana. Dia sering begitu, meninggalkan teman sependakiannya tidur jika sedang merasa bosan akan pendakian yang berjalan lambat. Tapi dia enggan kalau meninggalkan teman sependakian terlalu jauh dibelakang. Jadilah tidur menjadi pilihannya.

Langit timur mulai memerah, pandangan disekitar mulai tampak jelas, bibir kawah juga terlihat sudah lumayan dekat. Dian sempat berkata “Duh, pengen nangis jadinya.” Saya mendiamkan saja, tidak ingin mengganggu kecamuk didadanya. Beberapa kali saya mengalami hal yang sama ketika begitu takjub menyaksikan pemandangan didepan mata. Momen-momen ketika lelah langsung berganti nikmat yang tak terkira.

Meski agak siang, puncakpun berhasil kami gapai. Sudah tidak ada lagi orang di atas, hanya kami bertiga. Di kejauhan tampak orang melambai-lambaikan tangan dari puncak tertinggi di bibir kawah bagian barat. Dian lebih banyak diam awalnya, dia memilih untuk berlindung dibawah batu besar sementara saya dan Yogi melihat-lihat sekitar. Disamping pengaruh dingin yang begitu menusuk, mungkin begitu cara Dian menikmati ketakjuban akan apa yang baru saja dilaluinya. Saya mendengar dia terisak, tapi saya diamkan saja, tidak ingin mengganggu. Berhasil mengantarkan teman menggapai puncak selalu menghadirkan kesenangan tersendiri.

Beruntung cuaca sangat bersahabat untuk menghadirkan pemandangan epik waktu itu. Rinjani tampak gagah menjulang menembus awan di ufuk timur, awan putih berarak di bagian tenggara sampai barat daya. Dasar kawah juga terlihat jelas dari bibir kawah tempat kami beristirahat. Kami menyantap perbekalan yang ada sambil sesekali dikejutkan oleh ulah monyet yang hendak mengambil perbekalan yang kami keluarkan. Sesekali saya coba untuk menghalaunya dengan memukulkan kayu di tanah. Sesekali mereka terkaget lalu berlari namun mereka lebih sering menyeringai, mungkin hendak menyatakan "kami tidak takut". Cukup lama kami berada di puncak, mungkin sekitar satu jam sebelum memulai perjalanan turun.

Perjalanan menurun akan menjadi perjalanan begitu menyenangkan bagi sebagian orang, tapi juga dapat menjadi perjalanan yang sama melelahkannya seperti ketika menanjak bagi sebagian orang lainnya. Beberapa teman begitu menyukai perjalanan menuruni lereng gunung. Mereka berlari, melompat kesana sini bahkan berperosotan ketika memungkinkan. Beberapa kali saya ikut melakukan kegilaan seperti itu ketika mendaki bersama teman-teman yang sedikit gila. Karung, Yogi, Bawa, Wawan, Ikbal, Zain, Dwi dan Adi berada di deret teratas orang-orang yang mengajarkan saya kegilaan tersebut. Beberapa teman lainnya memilih untuk menikmati perjalanan menurun dengan santai. Mba Lina, Mba Umay dan Fatur merupakan tiga diantaranya. Mereka tidak terbiasa berlari, maka berjalan santai sambil bercengkrama tentang apa saja menjadi pilihan cara menurun mereka. Saya menikmati keduanya, berlari maupun berjalan santai kadar kesenangannya tetap sama, sejauh semua teman perjalanan sampai dibawah dengan selamat.

Lereng menurun pada jalur lava beku begitu terjal. Nampaknya hal tersebut membuat Dian sedikit khawatir. Wajar saja, tentu dia belum terbiasa berjalan di lereng curam seperti itu. Pendakian kali ini merupakan pendakian ketiganya setelah sebelumnya mendaki puncak keramat dan Gunung Batur. Tingkat kesulitan pendakian kali ini berada beberapa level diatas dua bukit/gunung yang telah dia daki sebelumnya. Sesekali saya menuntunnya ketika menemukan lereng yang begitu terjal. Entah berapa kali dia menyampaikan maaf karena telah merepotkan. Beberapakali dia juga menyuruh saya untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Yogi karena tidak enak hati telah memperlambat perjalanan. Dalam sebuah kesempatan, dia sempat berujar,

“Kenapa mesti buru-buru? kan udah capek-capek naik, terus pemandangannya juga bagus banget.”

Betul juga pikir saya. Kamipun berbaring sejenak ditempat rindang dibawah pohon yang tumbuh disela-sela lava beku.

Ada rasa tidak sabar untuk mencapai kaki gunung sebenarnya dalam setiap perjalanan menurun yang saya lakukan. Ketidak sabaran untuk meraih kelegaan berikutnya setelah berhasil menggapai puncak. Belum lagi jika orang tua saya mengetahui perihal pendakian yang saya lakukan. Ada yang mengganjal rasanya jika saya tidak berkabar pada mereka sesegera mungkin. Orang tua saya lebih sering begitu ketika mengetahui saya hendak mendaki gunung. Khawatir, walau akhirnya mengijinkan, tapi dengan muka masam.

Lava beku berganti bebatuan besar, saya ingin sedikit berlari memacu adrenalin dengan berlari, melompat juga sesekali berperosotan, jadilah saya berjalan mendahului Dian. Waktu itu Yogi ganti menemani Dian sampai di Telaga Mas sebelum kemudian dia meninggalkan kami cukup jauh sampai akhirnya tertidur cukup lama di wantilan yang ada di sebelah barat Pura Pasar Agung.

Sinyal Hp mulai bersahabat disekitaran pura, saya langsung berkabar pada orangtua di rumah. Pertanyaan Dian masih terngiang dalam perjalanan pulang kami waktu itu. “Kenapa mesti buru-buru? kan udah capek-capek naik, terus pemandangannya juga bagus banget.” Saya belum memberikan jawaban ketika itu, seharusnya waktu itu saya memberi jawaban seperti apa yang saya ceritakan dua paragraf sebelum paragraf ini. Rasanya saya juga harus menanyakan pertanyaan ini pada Yogi sesegera mungkin.

Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung

Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung
Puncak tertinggi di bibir kawah bagian barat

Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung

Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung

Mendaki Gunung Agung lewat Jalur Pura Pasar Agung
Siluet Rinjani di ufuk timur
Diubah oleh thewalrus 09-02-2014 10:55
0
13.2K
48
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Catatan Perjalanan OANC
Catatan Perjalanan OANCKASKUS Official
1.9KThread1.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.