Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • [ EDISI IMLEK ] Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an

matii.rasaAvatar border
TS
matii.rasa
[ EDISI IMLEK ] Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an
[ EDISI IMLEK ] Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an

Pendahuluan

Kehidupan etnis Cina di Indonesia memang sangat menarik untuk dikaji. Pertama, karena sensitif menyangkut pembicaraan SARA, kedua, latar belakang historis dan cara pandang mereka serta pengalaman hidup di bumi nusantara ini, tidak bisa begitu saja digeneralisasi.
Makalah ini mencoba membahas secara obyektif, perilaku budaya dan ekonomi etnis Cina di Indonesia, dimana perilaku tersebut merupakan perilaku yang saling terkait satu sama lain. Isu ini memang sering menjadi diskusi dibanyak kalangan masyarakat Indonesia.

.Etnis Cina dengan perilaku ekonominya disadari atau tidak, dalam kenyataan telah menyumbangkan beragam kegiatan perekonomian bangsa Indonesia baik yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan budaya “pecinan”-nya memperkaya keunikan khasanah budaya Indonesia.

Seperti yang dicatat oleh Fujitsu Research di Tokyo (Naisbitt, 1997:19-20) yang mengamati daftar perusahaan-perusahaan di 6 (enam) negara kunci di Asia, didalamnya di gambarkan betapa perusahaan-perusahaan tersebut secara mayoritas dikuasai oleh etnis Cina perantauan, misalnya, Thailand sebanyak 81%, Singapura sebanyak 81% di Indonesia sebanyak 73% dan lain-lain.

Gambaran di atas membuktikan betapa berpengaruhnya peran ekonomi etnis Cina dalam perekonomian di Indonesia. Telah menjadi suatu ketentuan atau syarat utama kesuksesan suatu pembangunan ekonomi, bahwa partisipasi ekonomi segala pihak yang harus lepas dari kasus primordialisme termasuk SARA di dalamnya. Ini menjadi permasalahan dalam tulisan ini. Sebab adanya stereotipe-stereotipe negatif tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat akan mengganggu pertumbuhan ekonomi, khususnya stereotipe negatif yang berhubungan dengan peran ekonomi mereka.

Selama Orde Baru berjaya dalam 3 dekade lebih, selama itu pula etnis Cina banyak mengalami diskriminasi. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia.

*.Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.

*.Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan

*.Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan

*.Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.

*.Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan

*WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.

*Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.

*Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.

*Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina. (Kompas Minggu, 6 Februari 2000: 9).

Perjalanan etnis Cina dalam sejarah bangsa Indonesia, memang perlu dipertanyakan seberapa besar hak dan dimana letak keadilan berbangsa yang diterima oleh etnis Cina di Indonesia. Oleh sebab itu tulisan ini akan membahas latar belakang sejarah dari jaman penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan masa Reformasi.
Secara khusus, tulisan ini membahas tentang bagaimana latar belakang sejarah etnis Cina di Indonesia, sejak tahun 1930-an sampai awal tahun 2000, serta bagaimana sikap mereka dalam bidang ekonomi, yang menyangkut perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia.

Pembahasan

Perilaku ekonomi etnis Cina di Indonesia dipengaruhi oleh persepsi mereka tentang situasi dan kondisi politik, hankam dan sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1991:125), bahwa persepsi individu ataupun sekelompok orang merupakan suatu proses dimana individu atau suatu kelompok mengorganisir dan menerjemahkan kesan sensorik mereka untuk memberikan tanda bagi lingkungan mereka. Terlepas dari pengukuran seseorang berjiwa nasionalis ataupun bukan, hal ini terkait dengan salah satu kebutuhan dasar hidup manusia yaitu menyangkut keselamatan dan keamanan etnis Cina di Indonesia. Selain itu persepsi tentang etnis Cina di Indonesia juga tergantung streotipe yang beredar di kalangan masyarakat pribumi tentang etnis Cina di Indonesia.
Pembentukan persepsi tentang etnis Cina di Indonesia terkait dengan karakteristik pribadi mereka, terutama dalam menyikapi situasi lingkungan yang mereka hadapi, dengan motivasi tertentu terutama untuk mendapatkan keamanan dan kesejahteraan hidup, bahkan kemapanan. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman masa lampau, yang merupakan dasar untuk melangkah maju meraih harapan-harapan hidup mereka di masa kini dan yang akan datang. Oleh sebab itu, perlu diketahui latar belakang sejarah etnis Cina, sebagai pengetahuan untuk memahami perilaku ekonomi dan budaya etnis Cina. Lintasan sejarah, dalam makalah ini akan dibatasi dalam beberapa bagian, yaitu periode tahun 1930-an, periode tahun 1941sampai tahun 1958, periode tahun 1959 sampai tahun 1966, periode tahun 1966 sampai tahun 1986, periode tahun 1986 sampai Agustus 1999, dan periode Agustus 1999 sampai Maret 2000.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1930-an

Pada era ini, dalam bidang agraria, etnis Cina masih dibatasi kepemilikannya, kecuali di Pulau Bangka, di Kalimantan Barat, dan beberapa lokasi di Pulau Sumatera serta Pulau Jawa. Akibat kondisi jaman Malaise, ada pergeseran peran ekonomi tertentu terutama dari kuli perkebunan di Sumatera Timur menjadi tengkulak, pedagang ikan, atau pemilik penggilingan beras. Demikian juga munculnya dominasi dalam per-dagangan eceran oleh etnis Cina, pada tingkat yang lebih rendah daripada Belanda. Profesi ini diikuti pula oleh peran sebagai tengkulak dan penjaja keliling kecil-kecilan. Bisnis di bidang keuangan hanya bersifat tengkulak pegadaian tingkat bawah dan tidak berbentuk perbankan. Industri pabrik kretek, batik dan tekstil kecil juga dimiliki oleh etnis Cina ini, sedangkan pribumi sebagian besar masih berkutat di bidang agraria dan dinas-dinas pemerintah Hindia Belanda.
Etnis Cina yang telah berpendidikan mulai menekuni bidang-bidang yang terspesialisasi, misalnya dokter, akuntan dan pengajar. Yang bekerja sebagai kuli, atau buruh kasar baik yang terampil ataupun tidak, mulai menyusut jumlahnya. Selain itu, banyak yang bekerja di perusahaan-perusahaan Cina (Mackie, 1991:322-323). Jadi, pada periode tahun 1930-an, sebagian besar etnis Cina bekas kuli berganti peran menjadi pedagang dan usahawan dalam perdagangan kecil-kecilan atau industri berskala kecil yang menyisihkan para pedagang dan usahawan kecil pribumi, tetapi tidak usahawan-usahawan Belanda.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1941 sampai Tahun 1958

Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki ushaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.

Terjadi pergeseran peran dari tenaga “kasar” (misalnya sebagai kuli perkebunan) menjadi tenaga kerja “halus” yang pekerjaannya memiliki status atau “gengsi” yang lebih tinggi dan lebih membutuhkan keterampilan, misalnya penata rambut, pengrajin emas, wartawan, dokter, pengacara dan lain-lain. Sehingga, pada jaman perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia dan Demokrasi Terpimpin, peran ekonomi etnis Cina meluas, lebih-lebih dengan adanya kebijakan Benteng yang membuat usaha pribumi tidak berjalan efektif dan memacu hubungan “Ali-Baba”, serta terjadi persaingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi lainnya.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1959 sampai Tahun 1966

Perilaku ekonomi etnis Cina semakin menonjol pada periode ini, lebih-lebih tahun 1957 sampai tahun 1958. Keberhasilan usaha mereka mengambil alih perusahaan-perusahaan besar Belanda yang dinasionalisasi, walaupun kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak menguntungkan mereka, lebih-lebih setelah peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965. Pada masa itu, etnis Cina kelas menengah melakukan human capital besar-besaran dibidang pendidikan terutama yang bersifat teknis dan manajerial, sehingga pada saat terjadi inflasi tinggi dan perasaan anti etnis Cina menyebar luas hingga tahun 1966, etnis Cina dapat beradaptasi dengan fleksibel. Hal tersebut dilakukan melalui penyediaan modal dan valuta asing yang didapat dari modal sendiri atau keluarga dan atau jaringan dengan pihak luar. Kunci utama keberhasilan pelaku ekonomi baru etnis Cina, adalah merintis kedekatan dengan pejabat pemerintah pada awal Orde Baru sebagai pembinaan hubungan secara ekonomi dan politis. Walaupun demikian, orang Cina tidak banyak yang terjun secara terbuka dalam politik praktis saat itu, mereka melakukannya lewat dukungan material dan non material.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1966 sampai Tahun 1986

Pada tahun 1965 sampai tahun 1968 merupakan tahun-tahun dimana tindakan kekerasan terhadap etnis Cina meningkat akibat peristiwa G 30 S/PKI, yang oleh rezim Soeharto diatasi secara gradual.
Situasi kondusif bagi pertumbuhan perekonomian dirangsang oleh pemerintah Orde Baru, yang tentunya membutuhkan lebih banyak usaha, dan modal swasta. Secara kebetulan, kedua hal tersebut banyak dimiliki oleh etnis Cina dan ditunjang pula oleh kemampuan teknis dan hubungan perekonomian dengan pihak luar negara, terutama dengan sesama etnis Cina di luar negara. Akibatnya, kebanyakan etnis Cina mengalami peningkatan status sosial ekonomi daripada kondisi sebelumnya. Namun demikian, mereka masih dikesampingkan dari usaha-usaha perekonomian utama, dan terdiskri-minasi untuk memasuki Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, administrasi sipil pemerintah dan perguruan tinggi negara.
Dampak dari perlakuan diskriminatif ini adalah terjadinya pembagian kerja yang bersifat pri dan non pri (bumi). Perubahan peran ekonomi cenderung menghambat kerjasama ekonomi yang lebih kuat sejak pasca perang kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut Mackie (1991: 327-328), para etnis Cina akhirnya lambat laun mengganti identitasnya menjadi identitas Indonesia, terutama disebabkan atas alasan peran ekonomi mereka.
Munculnya perusahaan-perusahaan yang dikuasai etnis Cina berdampak negatif, dengan tidak dilibatkannya pengusaha pribumi untuk bekerjasama dalam korporatisasi perusahaan-perusahaan. Efek negatif yang muncul adalah semakin tajamnya persaingan usaha pri dan non pri (bumi).

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Tahun 1986 sampai Agustus 1999

Masa ini merupakan masa keemasan bisnis etnis Cina di Indonesia, terlebih-lebih bagi yang dekat dengan “Keluarga Cendana”. Etnis Cina mengokohkan diri sebagai salah satu pilar penyanggga pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberanian pengusaha dan pelaku ekonomi etnis Cina lainnya dalam penanaman modal, spekulasi, strategi kerjasama dan jaringan kerja dengan pihak luar negara menjadi point istimewa perilaku ekonomi etnis Cina di tahun-tahun ini. Kedekatan dengan pejabat bahkan sampai ke hal-hal pribadi yang cenderung dihubungkan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme juga dilakukan oleh beberapa pengusaha etnis Cina kelas menengah dan atas.

Akan tetapi, pembangunan ekonomi juga kemapanan hidup yang didengungkan dan dibanggakan Orde Baru, bagaikan suatu menara gading yang dasar konstruksi tidak kuat, maka terjadi keruntuhan rezim dan kemapanan hidup yang “menyakitkan” dengan adanya krisis moneter. Kalangan bawah “bergerak” karena ketidakpuasan terhadap situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonominya, serta sikap anti kemapanan, yang salah satunya tercetus dalam bentuk kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan berupa penghancuran toko-toko serta pusat perdagangan terutama yang dimiliki oleh etnis Cina. Hal ini ikut mendorong jatuhnya mantan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan.
Kerusuhan Mei 1998, juga berpengaruh pada sikap anti etnis Cina terutama yang memiliki usaha. Orang Cina yang trauma akibat kerusuhan Mei 1998, banyak yang lari ke luar negara, dan sebagian ada yang melarikan modal ke luar negara. Usaha-usaha niaga etnis Cina di kota-kota besar banyak yang vakum, dan baru mulai bangkit setelah ada jaminan keamanan dari mantan Presiden Habibie. Pelaku ekonomi etnis Cina hanya menunggu perkembangan keadaan.

Perilaku Ekonomi Etnis Cina Agustus 1999 sampai Maret 2000


Kondisi ekonomi yang kondusif pun digalakkan dalam pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan dicabutnya beberapa Kepres ataupun Inpres yang mendiskri-minasikan etnis Cina serta himbauan yang ditujukan kepada pelaku ekonomi etnis Cina untuk menjalankan usahanya kembali ke atau di tanah air.
Akan tetapi, kinerja pemerintah Gus Dur belum meyakinkan banyak pihak termasuk pelaku ekonomi etnis Cina, karena gaya kepemimpinan dan gaya politik Gus Dur sering berubah arah, sehingga berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang asing terutama dollar Amerika Serikat di bursa saham Jakarta. Tentu saja, hal ini menggoyahkan kestabilan usaha ekonomi terutama kalangan pihak asing dan pelaku ekonomi etnis Cina. Pelaku ekonomi etnis Cina masih menunggu langkah-langkah konkret pemerintah Gus Dur untuk memperbaiki situasi per-ekonomian dan usaha nasional, walaupun demikian pelaku ekonomi etnis Cina masih merasa “aman” berbisnis dan bertempat tinggal sementara waktu di Indonesia. Oleh sebab itu usaha-usaha etnis Cina yang saat itu dilakukan cenderung yang bukan beresiko atau berspekulatif tinggi tetapi dapat menguntungkan mereka, terutama di usaha-usaha bagian hilir.
Perilaku ekonomi etnis Cina sepanjang periode tahun 1930-an sampai Maret 2000 masih dibumbui oleh berbagai stereotipe yang “miring” tentang peran ekonomi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia. Antara lain, yaitu: (a) kebobrokan ekonomi Indonesia adalah akibat banyaknya dana yang dibawa pengusaha etnis Cina ke luar negara; (b) kolusi dan nepotisme menjadi kebiasaan pengusaha etnis Cina yang mempengaruhi kepada kinerja para birokrat. Stereotipe-stereotipe miring di atas yang terasa sebagai generalisasi beberapa hal negatif perilaku ekonomi etnis Cina tampaknya perlu dikaji dengan pikiran yang obyektif dan bijaksana.
Mengutip pernyataan Bustanil Arifin, dalam Pasific Business Forum (Naisbitt, 1997:19-20), bahwa perusaha-an kecil dan menengah memperkerjakan separuh tenaga kerja di banyak negara-negara Asia dan etnis Cina memiliki 90% dari perusahaan-perusahaan tersebut. Khususnya di Indonesia, populasi etnis Cina hanya 3,5% dari seluruh total populasi penduduk Indonesia tetapi ternyata mengendalikan 73% ekonomi di Indonesia.

[ EDISI IMLEK ] Perilaku Ekonomi Etnis Cina di Indonesia Sejak Tahun 1930-an


Etnis Cina di Indonesia menjadi salah satu masyarakat keturunan Cina perantauan yang hidup dan tinggal di luar negara asalnya. Jaringan kerja etnis Cina perantauan sejak kegiatan ekonomi tahun 1990-an hingga kini mendominasi kegiatan ekonomi wilayah Asia, termasuk Indonesia. Menguatnya jaringan-jaringan kerja lintas negara ini mendominasi pula cara atau perilaku etnis Cina di Indonesia dalam menyikapi galobalisasi. Etnis Cina di Indonesia sebagian besar lebih siap menyongsong globalisasi. Seperti yang beritakan dalam majalah berbahasa Cina Forbes Zibenjia pada tahun 1994, yang menganalisa ratusan perusahaan besar dan 10 (sepuluh) pasar saham Asia yaitu Taipei, Seoul, Shanghai, Hongkong, Shenzhen, Bangkok, Kuala Lumpur, Jakarta, Singapura dan Manila:
“Their combined assets came to $ 1.14 trilion, or 89 percent of total market capitalizition of the top thousand companies, 517 had an etnic Chinese as the single largest stockholder. Thus, ethnic Chinese controlled $ 541 billion, some 42 percent of the total in these ten markets ¡V quite a bit more than the $200 billion to $300 billion cited in other estimates”. (Naisbitt, 1997:19)
Keistimewaan perilaku ekonom etnis Cina yang pertama adalah terletak pada kuatnya sistem jaringan kerja. Walaupun demikian sikap kompetitif antara mereka tetap terpelihara secara sehat. Hal ini semakin memperkuat kinerja bisnis di kalangan mereka. Bahkan saat terjadi krisis ataupun munculnya tantangan besar, mereka akan saling bekerjasama. Oleh sebab itu bisnis keluarga menjadi salah satu ciri jaringan kerja yang mereka bentuk. Demikian pula di Indonesia, usaha kecil sampai perusahaan besar etnis Cina di Indonesia banyak yang dikelola sebagai usaha keluarga, contohnya Salim Group, Khong Guan, PT “Cap Orang Tua” perusahaan jamu “Jago”, perusahaan jamu “Air Mancur”, dan lain-lain.

Sebagai gambaran tokoh konglomerat etnis Cina, salah satunya adalah Liem Sioe Liong yang oleh Naisbitt disebutkan memiliki kekayaan bersih $4,5 juta (1997:24). Liem Sioe Liong alias Soedono Salim pemilik Salim Group, merupakan salah satu sosok etnis Cina perantauan yang sukses mengadu untung di luar negara asalnya. Soedono Salim yang meninggalkan Cina Selatan di tahun 1930-an menuju Indonesia, melalui jaringan usaha perdagangan ia bisa berhubungan erat dengan Soeharto, Presiden II RI, yang dimasa lalu Liem Sioe Liong menyediakan dukungan untuk melawan penjajah Belanda. Mereka saling bersahabat sampai Soeharto menggantikan Presiden Soekarno tahun 1965. Keuntungan yang didapat Liem Sioe Liong dari hubungan ini adalah diperolehnya berbagai fasilitas ijin ataupun proyek untuk perusahaan Salim Group, hingga penjualannya meningkat drastis sampai $ 9 juta tahun 1994, yang dihitung sebagai 5% pendapatan kotor domestik Indonesia.

Perilaku hubungan jaringan kerja antara etnis Cina terbentuk karena pengalaman yang mereka lalui. Sesama migran etnis Cina dimanapun berada saling menjaga dan membantu pendatang-pendatang baru di bumi nusantara yang mereka tempati sebagai negara harapan. Manfaat dari adanya hubungan jaringan kerja yaitu:

*memaksimalkan “contact points” untuk (informasi) pekerjaan
*menyebarluaskan berita termasuk tukar menukar berita, dan
*memperkuat dukungan psikologis antar anggota.

Menurut Wertheim yang dikutip oleh Mackie (1991: 293), pembagian kelas etnis Cina dengan masyarakat pribumi bersifat vertikal dalam artian sebagai sikap primordial, akibat tanggapan bahwa etnis Cina dianggap kelompok minoritas. Kompetisi antar perlaku ekonomi Cina (terutama sebagai pengusaha atau wiraswastawan) dengan masyarakat pribumi sering menjadi penyebab konflik tertutup maupun terbuka terhadap etnis Cina.
Hubungan jaringan kerja antar etnis Cina di Indonesia ini, menguatkan psikis anggotanya melalui hubungan bisnis dan sebagainya. Selain itu hubungan jaringan kerja ini berfungsi sebagai mediator toleransi antaretnis Cina dengan masyarakat, terutama dalam hubungan bisnis.
Diubah oleh matii.rasa 30-01-2014 19:41
0
5.5K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.