Ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis, 23 Januari 2014, mendadak gaduh, setelah lembaga penguji undang-undang tersebut mengeluarkan putusan soal UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden. Dalam putusannya, MK menyatakan pemilu presiden dilakukan serentak dengan pemilu legislatif. Mahkamah menilai pemilu presiden yang terpisah dengan pemilu legislatif bertentangan dengan konstitusi.
Keriuhan itu terjadi saat puluhan jurnalis berebut hendak mewawancarai Effendi Ghazali, yang mengajukan uji materi undang-undang tersebut ke MK. Didampingi kuasa hukumnya, Ahmad Wakil Kamal, Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Moeloek, aktivis prodemokrasi Fadjroel Falakh, serta pengamat hukum dan tata negara Irman Putra Sidin, Effendi keluar dari ruang sidang untuk melayani pertanyaan wartawan.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva itu, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang diajukan Effendi Ghazali.
Spoiler for :
Effendi Ghazali saat memberikan keterangan pers seusai sidang pengujian UU Pemilu Presiden, Kamis (23/1).
Ketentuan yang dibatalkan adalah Pasal 3 Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112. Sebaliknya, MK menolak membatalkan Pasal 9 UU Pemilu Presiden yang mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. “Saya bersyukur atas putusan MK yang mengabulkan permohonan saya, meski tak bisa dilaksanakan tahun ini,” kata Effendi, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak.
Mahkamah memang menetapkan pemilu serentak dilakukan pada 2019, bukan 2014. Alasannya, seperti tertuang dalam salinan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang dirilis Jumat, 24 Januari lalu, MK menilai proses penyelenggaraan Pemilu 2014 telah berjalan dan mendekati waktu pelaksanaan. Jika harus dilaksanakan tahun ini, tahapan Pemilu 2014 yang sedang berjalan bisa terganggu. “Terutama karena kehilangan dasar hukum,” demikian bunyi putusan tersebut.
Hal itu tidak dikehendaki MK karena akan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, MK menilai perlu ada aturan mengenai pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 setelah keluarnya putusan ini.
Waktu untuk membuat aturan baru itu dinilai tidak cukup jika pemilu serentak harus dilaksanakan tahun ini. Mahkamah juga menyatakan, meski putusan dijatuhkan, penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009 tetap sah dan konstitusional.
Toh, putusan itu tetap dinilai aneh. Sebabnya, putusan dikeluarkan pada 26 Maret 2013 dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri sembilan hakim konstitusi. Mereka di antaranya Mahfud Md. selaku ketua merangkap anggota, Achmad Sodiki, Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman. Namun entah mengapa pembacaan putusan uji materi yang diajukan sejak 23 Januari 2013 itu baru dibacakan hampir setahun kemudian. Padahal, seharusnya dua minggu setelah RPH, putusan sudah dibacakan.
Spoiler for :
Pekerja menyelesaikan pembuatan baliho calon legislator di sebuah percetakan di Kota Madiun, Jawa Timur, Senin (20/1).
Mantan Ketua MK Mahfud Md., secara terpisah, mengakui putusan itu dijatuhkan sejak 26 Maret tahun lalu.Namun ia beralasan tidak bisa membacakan putusannya karena empat hari setelahnya ia pensiun.Pria yang digadang-gadang oleh Partai Kebangkitan Bangsa untuk diusung dalam Pilpres 2014 ini menduga, penundaan pembacaan putusan karena para hakim konstitusi tidak memiliki ketertarikan politik.
Selain itu, MK sedang banyak menyidangkan kasus pemilihan kepala daerah. Perkara pilkada selama 14 hari harus segera diputus. Apalagi Mahkamah kemudian disibukkan dengan kasus Akil Mochtar, yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap. “Saya saat itu juga menanyakan, kenapa tidak segera dibacakan? Tapi, ya itu tadi dugaan saya. Alasan jelasnya saya tidak tahu pasti,” ujar Mahfud.
Namun mantan Ketua MK yang juga pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menganggap alasan Mahfud bahwa saat itu MK sedang banyak menyidangkan kasus pilkada tidak tepat. Sebab, selama dua atau tiga tahun terakhir justru tidak ada putusan MK sepenting putusan tentang pemilu serentak yang dibacakan Kamis lalu itu.
“Putusan MK tentang pemilu serentak ini paling penting dan bersejarah dibanding putusan lainnya,” tutur Jimly saat dihubungi. Menurut Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini, MK tidak memiliki aturan khusus mengenai kapan putusan harus dibacakan setelah RPH. Selama ini, biasanya putusan dibacakan setelah RPH memutuskan. Saat menjabat Ketua MK, Jimly mengaku tak pernah menunda pembacaan putusan. Kendati begitu, ia mengapresiasi putusan tersebut. “Ini upaya penguatan sistem presidensial dengan menggelar pemilu serentak, meski baru dilaksanakan pada 2019,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Partai Gerindra, Habiburokhman, menilai MK semestinya memposisikan diri sebagai “dewa konstitusi” yang mengatur perundang-undangan. Bukan justru mengkhawatirkan terjadinya kekacauan jika pemilu serentak dilakukan tahun ini. “Soal teknis kan dikerjakan lembaga lain, yaitu KPU (Komisi Pemilihan Umum). Kenapa MK mengesampingkan konstitusi?” kata Direktur Pengacara Rakyat tersebut. Menurut dia, alasan MK bahwa jarak waktu pembacaan putusan dengan penyelenggaraan Pemilu 2014 terlalu mepet jika pemilu serentak dilakukan tahun ini merupakan alasan di luar logika.
Begitu juga alasan MK yang mengkhawatirkan jika pemilu serentak dilakukan tahun ini dapat menyebabkan kekacauan karena tahapan pemilu sudah berjalan.
Bekas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra juga mempertanyakan putusan MK yang dibacakan beberapa bulan setelah RPH. Apalagi, tiga hakim konstitusi yang memutus sudah tak lagi bertugas, yakni Mahfud Md, Akil Mochtar, dan Ahmad Sodiki. “Pembacaan putusan seperti itu aneh bin ajaib.
Harusnya MK sekarang bermusyawarah lagi, siapa tahu hakim yang baru pendapatnya berbeda,” kata Yusril dalam siaran persnya, Jumat, 24 Januari lalu. Akibat putusan itu, permohonan uji materi UU Pemilu Presiden yang diajukan Yusril, terutama soal presidential threshold, seperti kehilangan relevansinya.
Bagi Yusril, MK tampak seperti dipaksa-paksa untuk membacakan putusan permohonan Effendi Ghazali dan kawan-kawan, yang dampak putusannya tidak seluas permohonan yang ia ajukan. “Saya mempertanyakan, apakah benar semua hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi seperti dikatakan oleh UUD 1945?’ Jawaban saya, entahlah. Kenyataannya, seperti itulah MK,” ujarnya.
■ KUSTIAH , DEDEN G. | DI MAS
"REFEREES" The trouble with referees is that they know the rules, but they do not know the game
Dari redaksi diatas ane coba urun anti puyengapa yg ada dibenak pribadi ane, dan ini tentu aja pasti beda ama pendapat agan yg lain.
Sifat Putusan MK yang Final dan Mengikat, sehingga tidak ada lagi upaya konstitusional yang bisa dilakukan masyarakat dalam menyikapi putusan MK
Masalah putusan MK yg terlambat, itu sudah dijelaskan bla bla bla sebabnya, bahkan pak mahfud akhirnya mengatakan "penundaan pembacaan putusan karena para hakim konstitusi tidak memiliki ketertarikan politik", kalaulah ada alasan-2 yg dianggap ga masuk akal menyangkut cara kerja MK nurut ane sebaiknya balik ke point 1
Mengenai putusan pemilu 2014 tidak serentak, MK memandangnya demi asas manfaat dengan asumsi persiapan yg sudah dilakukan akan amburadul jika dilakukan di 2014 ini karena banyak hal teknis yg akan diatur ulang dan dikhawartikan malah pemilu tertunda tanpa kejelasan waktu persisnya.
Apakah sah dan konstitusional nanti pemerintahan baru hasil pemilu 2014? pendapat ane ya sah kan parpol perserta pemilu akhirnya akhirnya ikut pemilu juga, yang artinya tahu konsekuensinya dan ketika pemilu dilangsungkan juga secara 2X secara otomatis parpol peserta pemilu sama dengan patuh dan menyetujui putusan MK
Mengenai ambang batas pencalonan presiden, ane rasa masih berlaku seperti semula karena dianggap satu kesatuan dengan pemilu 2014, sedang pemilu 2019 yg serentak maka ambang batas secara otomatis gugur.
Mengenai krisis legitimasi pemerintahan baru 2014 nanti?? Ane rasa paling yg protes ya parpol yg kalah pemilu karena sejatinya krisis legitimasi atau gak rakyatlah yg pegang, kalau pemerintahannya jeblok & lemot maka secara otomatis akan terjadi krisis legitimasi, kalau yahud ya rakyat bersorak.
Bagi rakyat mau pemilu serentak 2014 atau kagak sama sekali tidak ada pengaruhnya, apakah kalau di 2014 ini pemilunya serentak kwalitas pemilu dan parpol jadi baik, ane rasa kagak .. buat rakyat emank gw pikirin kan 2019 nanti mulainya.
Kalau ga terima balik ke poin.1
Diubah oleh duta.pertamax 30-01-2014 13:33
0
1.8K
Kutip
6
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!