Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nobunaga01Avatar border
TS
nobunaga01
Menanggapi Pemikiran Picik & Rasis Sang Dosen di Medan
Tanggapan untuk Opini ”Naga Sudah Turun Gunung”.
Nama saya: Indra Sakti Lubis Bertempat tinggal di Medan, Sumatera Utara

Saya merasa geli ketika membaca artikel yang dituliskan oleh salah seorang Dosen Pascasarjana USU yang penuh diisi dengan pemikiran picik, sempit dan tendisius menghasut dan mendiskriminasikan etnik Tionghoa.

Terus terang, saya bukan etnik Tionghoa. Saya etnik pribumi dan beragama Islam, namun, saya sungguh merasa jijik dengan apa yang dituliskan di artikel opini “Naga Sudah Turun Gunung”. Baca selengkapnya artikel dari Sang Dosen, penulis “Naga sudah Turun Gunung” melalu link berikut:

NB: maaf gan artikelnya diklik saja melalui sumber dibawah, soalnya yang ane pajang tidak bisa padahal linknya dah sama. mgkn diblock ama kaskus linknya.

Saya dengan mata kepala saya sendiri dan juga pengalaman hidup saya selama ini, melihat dan merasakan sendiri adanya perbedaan mencolok antara cara pandang etnik Tionghoa dan etnik kita sendiri pribumi.

Dulu saya pernah berkali-kali pindah kerja di perusahaan swasta yang dimiliki oleh etnik kita pribumi, justru saya merasa diperlakukan semena-mena oleh pemilik perusahaan yang notabene adalah etnik kita sendiri – pribumi.

Malahan, saya merasa malu sendiri ketika saya berpindah kerja ke perusahaan swasta yang dimiliki oleh etnik Tionghoa, saya diperlakukan dengan baik dan sopan, upah kerja yang saya terima sesuai dengan hasil kerja yang saya lakukan.

Memang saya salah satu yang beruntung, dan memang benar tidak semua etnik Tionghoa itu baik. Etnik apapun dan dimanapun kita berada, selalu saja ada yang baik, dan ada pula yang tidak baik. Tapi kalau kita sendiri yang berpikiran picik, tidak menyadari kekurangan kita dan tidak mau belajar dari kelebihan orang lain, maka kita sendirilah yang rugi, tidak peduli agama atau etnik apapun.

Seharusnya penulis “Naga sudah Turun Gunung” dan kita semua mesti menyadari mengapa etnik Tionghoa bisa merambah dunia bisnis yang menggurita dan hampir menguasai semua lini perdagangan di seluruh Indonesia. Itu bukan karena mereka mendapatkan hak keistimewaan di bidang tersebut.

Justru, mereka sejak dulu didiskriminasi oleh pemerintah terdahulu. Tapi oleh kegigihan mereka sendiri untuk belajar dan bekerja serta rajin menabung, mereka etnik Tionghoa mampu hidup mandiri sampai seperti sekarang ini. Ini harus kita akui dan belajar dari mereka.

Ketika penulis menyinggung rasa simpati pada umat Islam yang dibunuh secara kejam di Rohingya dan suku Ughyur, kenapa penulis tidak menyinggung rasa simpati kita pada etnik Tionghoa yang pada tahun 1998 yang dibunuh, disiksa secara kejam dan hasil usahanya dijarah oleh etnik kita sendiri?

Kenapa penulis juga tidak menyinggung rasa simpati kita pada saudara kita umat Kristen yang tidak diperbolehkan untuk beribadah, meskipun sudah ada keputusan dari pengadilan dan juga bukankah kebebasan beribadah merupakan hak setiap warga negara dan hak asasi setiap manusia?

Saya sendiri juga tidak tahu apa yang ada dibenak penulis ketika mempertanyakan perkumpulan-perkumpulan Tionghoa, meskipun keberadaan mereka sampai sekarang ini tidak mengganggu kehidupan kita, tetapi penulis tidak mempertanyakan juga perkumpulan organisasi masyarakat pembuat onar seperti FPI yang jelas jelas membuat keributan antara kita umat Islam dengan umat yang lain, ataupun baleho baleho raksasa lain yang penuh dengan iklan rokok yang memakan ruang udara di kota medan dan meracuni pikiran generasi muda kini.

Dan yang lebih aneh lagi, penulis yang terkesan sangat mendiskriminasi etnik Tionghoa, mempertanyakan pemberian izin oleh pemerintah kita sendiri, tetapi di lain pihak tidak mempertanyakan keberadaan ormas preman pembuat onar, yang sama sekali tidak memberikan kontribusi positif untuk membangun kerukunan hidup beragama dan bernegara.

Penulis menuding bahwa iklan dapat mengoyak-ngoyak kepribadian bangsa, dan mempertanyakan semangat juang generasi kini, tetapi tidak menyadari bahwa justru generasi kini menyadari persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara dimata hukum. Penulis juga tidak menyadari bahwa justru kita harus menghargai semangat juang saudara kita dari etnik Tionghoa untuk mau ikut berkontribusi secara politik untuk kehidupan kita semua kearah yang lebih baik.

Penulis menyalahkan keperkasaan etnik Tionghoa membeli perahu politik, tetapi tidak menyalahkan pemerintah kita yang notabene mayoritas etnik kita sendiri kenapa perahu politik kita bisa dibeli. Jika pejabat pemerintah kita sendiri mau secara tegas menolak politik uang, maka siapapun tidak akan mampu untuk membeli perahu politik.

Pergantian nama jalan di Medan menjadi Jl. Tjong Yong Hian pun dikritik penulis, tetapi pergantian Jl. Pandu menjadi Jl. Hj. Ani Idrus oleh Bapak Walikota kita tidak disinggung sama sekali oleh penulis. Nama-nama jalan seperti Jl. Surabaya, Jl. Semarang dan sekitarnya yang sampai sekarang belum digantikan saja sudah diasumsikan oleh penulis bakalan akan diganti oleh nama-nama Kaisar China. Pemikiran seperti ini yang justru memperlihatkan bahwa penulis berwatak sempit, munafik, rasis dan diskriminatif.

Pemikiran penulis yang serba kacau berlanjut dengan asumsi yang cukup menggelikan seolah-olah jika perpolitikan Indonesia direbut oleh etnik Tionghoa sebagaimana negara tetangga kita, maka kehidupan kita akan menjadi lebih buruk, tetapi di lain pihak penulis tidak melihat kemajuan negara tetangga kita ketika kita memilih untuk menghilangkan rasa curiga dan diskriminasi kita dan sama-sama saling berkontribusi untuk masa depan yang lebih baik.

Penulis beropini seolah-olah dengan terpilihnya Ahok, akan menjadi momok bagi Indonesia, namun tidak menyadari bahwa banyak perubahan-perubahan yang bagus yang telah dilakukan oleh pasangan Jokowi-Ahok. Banyak warga kita di Jakarta yang beretnik pribumi justru mendukung perubahan yang dilakukan oleh Jokowi-Ahok. Meskipun Ahok yang ber-etnik Tionghoa dan beragama Kristen, dan saya etnik pribumi dan beragama Islam, saya lebih memilih orang-orang seperti Ahok yang lebih nasionalis melakukan perubahan yang lebih baik daripada etnik kita pribumi, yang beragama Islam, tapi tidak banyak melakukan perubahan signifikan, korupsi dan malahan menyusahkan kita sendiri, contohnya: membuat KTP di kantor lurah saja yang seharusnya gratispun dikutip biaya.

Sungguh aneh ketika penulis menceritakan pengalaman di Penang dimana orang Penang menyosialisasikan bahasa Inggris atau bahasa China, namun tidak menyadari rukunnya kehidupan berdampingan antara etnik Melayu, etnik Tionghoa dan etnik India di Penang.

Lebih parah lagi ketika penulis menyatakan bahwa etnik Tionghoa di Medan tidak berbaur, tapi tinggal di rumah eksklusif seteril etnik China dan tidak mewah terkurung jeruji besi di perkotaan, tapi tidak menyadari bahwa justru ada etnik kita pribumi yang jahat, yang males bekerja, yang sering merampas, merampok dan menjadikan hidup kita semua menjadi terancam, sementara penegak hukum kita tidak bisa kita handalkan. Saya kira jika kita dihadapkan oleh situasi yang demikian, siapapun kita, apapun etnik kita, jika kita mampu, pasti akan kita lakukan hal yang sama seperti saudara kita etnik Tionghoa.

Penulis lanjut menyalahkan etnik Tionghoa yang menggunakan bahasa-bahasa China secara bebas, namun tidak menyadari bahwa saudara kita etnik Batak, etnik Jawa dan lainnya juga menggunakan bahasa mereka sendiri secara bebas. Dan sesungguhnya, berbahasa secara bebas merupakan hak asasi setiap manusia dan negara tidak bisa mengatur bahasa yang dipakai oleh setiap warga negara.

Justru kita semua harus berwawasan luas, jika memang suatu bahasa itu cukup sering dipakai disekitar kita dan bisa membantu kehidupan kita menjadi lebih baik, mengapa kita tidak mau belajar memakai bahasa tersebut, tetapi malahan mencela , menyalahkan dan tidak memperbolehkan? Saya sendiri pun belajar bahasa Tionghoa dan mulai sedikit-sedikit belajar bahasa Mandarin. Begitu pula teman saya yang beretnik Tionghoa di Jawa, Kaban Jahe ataupun di luar kota lainnya, mereka pun belajar bahasa Batak, bahasa Jawa dan bahasa lainnya. Justru dengan begitu, kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin rukun dengan sesama dari etnik lain.

Menurut saya, pemikiran penulis sungguh aneh dan sangat menyesatkan. Penulis telah terlalu jauh memikirkan hal-hal yang terlalu negatif dan terlalu berasumsi yang tidak baik sebelum hal itu terjadi. Pemikiran penulis sungguh sangat berat sebelah dalam menulis dan asumsi yang dipakai penulis justru memcerminkan pengalaman yang dangkal dari penulis dalam hal berbaur dengan etnik lain. Sangat disayangkan jika penulis adalah benar Dosen Pascasarjana USU yang memiliki pemikiran yang sangat tidak baik dan menjadi pengajar pula di universitas USU ini.

Saya tidak tahu pengalaman buruk apa yang menyebabkan penulis menuangkan pemikirannya yang penuh dengan rasa dengki, cemburu, dan iri hati. Sama seperti saya, dalam kehidupan saya sudah pernah bertemu, bekerja kepada dan bekerja dengan etnik kita sendiri pribumi maupun etnik Tionghoa, semua ada yang baik, dan ada juga yang jahat. Namun bukan berarti yang jahat menjadi patokan untuk mencerminkan suatu etnik tertentu dan yang baik dari suatu etnik tertentu tidak kita hargai dan tidak kita ingat sama sekali.

Siapapun, etnik apapun dan di manapun itu, selalu saja ada orang yang baik dan yang tidak baik. Tetapi sungguh naïf dan tidak bijaksana jika kita hanya berpatok pada pengalaman buruk kita dalam membentuk karakter dan pemikiran kita ke depan. Jika demikian, maka tanpa kita sadari, kita akan menjadi manusia yang hidup penuh dengan curiga, cemburu dan iri hati. Pastilah hidup kita tidak akan bahagia, tidak bisa rukun dengan sesama etnik lain karena kita hidup hanya untuk mempersoalkan kelebihan orang lain, tapi tidak menyadari kekurangan kita sendiri dan tidak mau belajar merubah diri kita untuk menjadi lebih baik lagi.

Penutup

Seperti yang dikatakan oleh penulis “Naga sudah turun gunung”. Naga sudah terbang ke sana dan kemari. Terserah kita memilih, apakah ingin menjadi pecundang pada generasi nanti, atau kita sama-sama menjadi “Naga yang Turun Gunung“ dan sama-sama menghilangkan rasa curiga dan sama-sama menjadi generasi muda yang berguna untuk membangun negara kita ke arah masa depan yang lebih baik. (Penulis bukan Dosen Pascasarjana USU)

Quote:


untuk agan yang mempunyai masalah pekerjaan, patut membaca ini untuk membuka pikiran agan2 emoticon-I Love Indonesia (S)

Quote:


patut dicontoh ini gan, jadi apapun sukunya minumnya teh botol sosro..Eh maksud ane tetap ada yang baik dan jahat..emoticon-I Love Indonesia (S)

kaskuser yang baik hati emoticon-Rate 5 Star dan jangan lupa emoticon-Toast

SUMBER
Diubah oleh nobunaga01 26-01-2014 03:03
0
13.1K
108
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.