Salam mumpung masih anget.. mari lihat kasu munarwan Dari Sisi Lainnya. mungkin lebih mendewasakan mereka yang sangat butuh Kehormatan :
HEHEHEH BIASA AJA GAN SEBELUM NYOLOT
cek thisss
PRESIDEN Soekarno pernah berpidato tentang sebuah negara di dunia pewayangan. Tersebutlah sebuah negara bernama Astina Kuru. Di negara tersebut rakyatnya hidup sejahtera. Gemah ripah loh jinawi. Tidak ada cuaca yang terlalu panas atau dingin. Semua rakyatnya hidup tentram dan sejahtera. Apakah kita ingin menjadi negara seperti itu?
Tidak! Kata Presiden Soekarno. Negara yang seperti itu rakyatnya tidak akan maju. Negara seperti seperti itu tidak akan kuat. Indonesia adalah negara yang rakyatnya harus digembleng. Dihancurkan, bangun lagi. Digembleng, bangun lagi. Gemblengan yang bertubi-tubi itulah yang membuat rakyat kuat dan negara yang kokoh. Digembleng hingga papak paluning pande. Otot kawat balung wesi.
Spoiler for Berkaca:
Di dunia pewayangan, ditentangkan dua kutub berseberangan yakni Pandawa dan Kurawa. Pandawa adalah golongan para ksatria yang selalu menonjolkan watak-watak ksatria yang berbudi luhur, jujur, setia, membela kebenaran dan sebagainya. Sementara Kurawa adalah sosok yang mewakili kebalikan dari sifat Pandawa. Para Kurawa mewakili kaum yang tidak tahu aturan, mencari senangnya sendiri, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, mengejar kesenangan duniawi dan sebagainya.
Di kerajaan Amarta atau lain-lain kerajaan yang punya afiliasi dengan Pandawa, orang harus pandai mengendalikan emosinya. Harus tahu tata krama dan sopan santun. Bagaimana pun marahnya seseorang, emosi itu harus dikendalikan, dikuasai dan lalu disesuaikan dengan melihat keadaan, situasi dan kondisi setempat. Rasa marah tidak pantas jika langsung diekspresikan.
Lain dengan di kerajaan Astina atau kerajaan lain dibawah pemerintahan para Kurawa. Marah atau emosi lainnya bisa saja langsung diekspresikan tanpa memandang tempat, situasi atau kondisinya. Jika marah ya langsung marah. Tidak peduli apakah saat itu lagi berada di hadapan raja saat pertemuan agung atau di lapangan.
Spoiler for Kurawa:
Kebiasaan para Pandawa yang selalu menunjukkan sikap ksatria berbudi luhur ini tidak selamanya mengenakkan pihak Kurawa jika berhubungan dengan mereka. Jika utusan Kurawa (biasanya Resi Durna) bertamu di pendapa agung kerajaan Amarta, ketidak-setujuan pendapat biasanya diusahakan diselesaikan di luar pendapa agung. Jauh dari kehidupan kerajaan yang selalu menjaga ketertiban dan kesopanan. Tempat itu selalu mengambil berada di lapangan.
Biasanya si patih akan menyarankan pihak Kurawa keluar dulu dari pendapa dan menunggu di lapangan nanti utusan raja akan memberitahu keputusannya. Mengusir para Kurawa tersebut secara halus untuk keluar dari lingkungan kerajaan yang dipandang tidak pantas untuk adu argumentasi apalagi main fisik.
Untuk mengajak menyelesaikan pendapat di lapangan pun, pihak Pendawa tidak bisa secara terus terang yang berkesan menantang atau sok kuasa. Jika sudah di lapangan, patih kerajaan Astina akan mendatangi utusan Kurawa. Di tempat inilah kedua pihak bisa leluasa caci maki atau baku hantam.
Untuk menantang baku hantam pun, pihak Pandawa tidak terang-terangan menantang. Kadang memakai alat sebagai penghalus. Salah satunya adalah memberi pertanyaan kepada Kurawa. Jika bisa menjawab pertanyaan dengan benar, Kurawa akan mendapat apa yang diinginkan. Jika tidak dan tetap ngotot dengan kemauannya, maka harus melangkahi mayat si patih dulu.
Biasanya Kurawa akan diberi pertanyaan yang mustahil bisa dijawab dengan benar. Sengaja diberi pertanyaan sulit agar tujuan utamanya untuk adu fisik terlaksana. Ksatria Pandawa terkenal dengan keberaniannya. Mereka tidak pernah gentar melawan musuh manapun. Tidak pernah ngiris kehilangan nyawanya demi saudara, raja dan negara. Maka jotosan pun bukan hal baru, asal di tempat yang tepat, situasi yang pas dan tidak frontal menunjukkan kekuasaan atau kelebihannya.
Penyiraman Teh
Kasus penyiraman teh saat debat di TV banyak mengejutkan pemirsanya. Kalau bisa disimpulkan, apa yang membuat terkejut adalah karena pertimbangan-pertimbangan umum yang selama ini kita kenal dan kita akrabi dalam pergaulan sosial sebagaimana sikap kaum Pandawa diilustrasikan tersebut di atas.
Apa yang terjadi dalam kasus tersebut melenceng dari konvensi sosial yang selama ini secara kolektif kita setujui dalam bawah sadar kita. Sebuah nilai konvensi sosial yang mungkin telah terinternalisasi sebagai kepribadian kita.
Spoiler for Wajar!?:
Konvensi pergaulan sosial itu memang beda-beda bagi setiap orang. Namun melihat dari reaksi-reaksi yang timbul dari masyarakat, nampaknya konvensi sosial tersebut belum banyak berubah. Yakni konvensi pergaulan sosial yang baik adalah menghormati orang yang lebih tua, tidak adu fisik, tidak ngotot, mencerminkan sebagai orang terdidik, tidak boleh merendahkan, sopan dan lain-lainnya.
Maka ketika sebuah tindakan yang melenceng dari konvensi sosial tersebut tidak heran jika membuat orang terkesima. Apalagi tindakan tersebut berlangsung di TV ditonton banyak orang dan dengan setting seolah lagi berada di ruang tamu, lengkap dengan suguhanan minumannya.
Sebenarnya kejadian serupa banyak terjadi di acara TV negara lain. Jadi bukan melulu terjadi di Indonesia. Bahkan dalam acara-acara yang lebih terhormat serta peserta terpandang pula. Tidak cuma siram-siraman air teh tapi sudah main tampar dan adu jotos. Tidak benar anggapan bahwa peristiwa tersebut sebagaii indikator negara kita telah mengalami degradasi moral.
Kejadian tersebut adalah kejadian wajar yang bisa menimpa siapapun. Manusia memang tidak selamanya bisa mengontrol diri dengan kemarahannya. Marah adalah hak setiap orang dan untuk mengekspresikan amat sulit untuk sepenuhnya tunduk pada konvensi sosial yang berbelit-belit dan bertele-tele. Kadang perlu jalan pintas agar lebih praktis dan to the point.
Menuju Budaya Egaliter
Apa yang menjadi aneh adalah fenomena kejadian tersebut dalam kaitannya dengan budaya pergaulan sosial. Benarkah budaya kita mulai mengarah ke budaya egaliter. Semua orang mendudukkan dirinya secara sederajat? Usia, kekayaan, posisi, gelar, pendidikan, status dan sebagainya mulai ditinggalkan sebagai acuan dalam memandang orang lain di ranah sosial?
Barangkali inilah nilai positif yang bisa dipetik dari kejadian kasus penyiraman teh tersebut. Usia bukan jaminan orang untuk bertingkah laku “arif”, “bijak” dan “benar”. Latar belakang pendidikan seseorang bukan hal yang perlu dihormati. Posisi dalam organisasi bukan berarti tidak bisa marah dan main fisik. Kesadaran tempat bukan lagi hal yang harus dipertimbangkan. Orientasi politik meski keagamaan juga bukan alasan orang untuk tidak bertindak kasar.
Spoiler for Anarki:
Konvensi sosial tentang aturan pergaulan sosial antar individu mulai ditanggalkan oleh kelas-kelas tertentu di masyarakat. Orang kini digiring untuk menilai tindakan nyata seseorang tanpa memandang latar belakang atau nilai-nilai yang melekat di pribadi orangnya. Orang secara sosial dinilai dari apa yang dilakukan dan tidak tergantung dengan apa yang diyakini atau attribut status sosialnya. Kayakinan agama adalah masalah pribadi dan tidak ada hubungannya dengan tindakan sosial.
Penilaian orang lain adalah urusan dan hak masing-masing orang untuk menilai. Sanksi sosial tidak lagi digubris. Masyarakat lebih mempercayakan sanksi formal lewat pengaduan delik hukum rasionil. Penamparan pramugari yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan satu contoh. Dan mungkin saja kasus penyiraman teh akan terseret ke kasus hukum.
Spoiler for The Topic !!:
Kasus penyiraman teh yang secara luas kini tersebar di Indonesia akankah membawa pengaruh signifikan dalam meletakkan konvensi sosial baru? Apakah hal itu bisa dipandang sebagai kecenderungan pergeseran budaya yang terjadi di kelas menengah atas? Menuju budaya yang lebih egaliter?
Dalam kasus beda yang mengetengahkan sikap egaliter dalam bentuk lain adalah dua tokoh yang dianggap kontroversial saat ini yakni Jokowi dan Ahok. Sebagaimana kita pahami, sikap Ahok yang lugas, terus terang, ceplas-ceplos juga masih dipandang sebagai hal baru bagi kebanyakan masyarakat kita. Sikap Ahok tersebut sebenarnya juga mengetengahkan sikap egaliter. Ahok menjajarkan dirinya setara dengan pihak lain tidak tergantung status atau atribut sosialnya.
Spoiler for End Note:
sDemikian juga dengan tindakan Jokowi yang suka blusukan dan dekat dengan masyarakat adalah juga sikap yang mencoba mengetengahkan egalitarianisme. Posisi camat atau lurah yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai pangreh praja dengan status terhormat, tiba-tiba dilelang dan memberi kesempatan siapa saja yang punya kemampuan terukur bisa menduduki jabatan tersebut lewat test logis dan obyektif. Ini salah satu contoh saja dari sikap Jokowi dalam memperkenalkan budaya egalitarian.
Maka kasus penyiraman teh tersebut sebenarnya tidaklah semuanya bersifat negatif. Ada sisi-sisi positif meski tersirat yang bisa kita pelajari . Kasus tersebut mencerminkan arah budaya egalitarian yang hendak kita tuju meski dengan contoh dalam bentuknya yang relatif ekstrim. Suatu hal yang hampir jarang terjadi di media publik bila kita pertimbangkan atribut sosial pihak-pihak yang terlibat.
Banyak orang mengecam kasus siram air teh tersebut sebagai tindakan tidak pantas dan hanya dilakukan oleh orang tidak pendidikan, tidak tahu sopan santun, tidak punya rasa hormat, barbar dan sebagainya. Tapi mau tidak mau, sadar atau tidak, budaya kita mengalami pergeseran yang menghendaki penyesuaian cara pikir.
Spoiler for The End:
Mungkin ukuran-ukuran konvensi sosial yang kita anut selama ini sudah tidak pas lagi. Kini ditantang untuk menyesuaikan dengan perubahan. Untuk melihat manusia sebagaimana manusia seutuhnya dengan segala kebaikan dan kejelekannya tanpa embel-embel atribut sosial yang menyertai dan keluar dari kotak-kotak stereotype tradisionil.
Kita memang perlu digembleng untuk menuju kebaikan bersama. Disiram, nongol lagi. Gagal, coba lagi. Jatuh, bangun lagi. Hancur, bangkit lagi. Selamat datang Indonesia baru!*** (HBS)