agninistanAvatar border
TS
agninistan
[Miris Banget !!!] Nasib Parmalim di Lembar Kartu Penduduk
http://www.analisadaily.com/mobile/p...d.php?id=72511

Nasib Parmalim di Lembar Kartu Penduduk

Berita dimuat pada 23 Dec 2013

(Analisa/Dedy Hutajulu) PEMUKIMAN PARMALIM: Atap-atap rumah dari seng berkarat menghiasi pemukiman warga penganut agama Malim di Desa Batunagodang Siatas, Onan Ganjang, Humbang Hasundutan. Belum diakuinya agama untuk dicantumkan di kartu penduduk mengakibatkan banyak warga Parmalim kehilangan hak-hak sipilnya.

Oleh: Dedy Hutajulu. Rianti Simanjuntak, 29 tahun, gagal mendaftar dalam rekrutmen tenaga kesehatan (bidan) di Rumah Sakit Angkatan Udara Polonia, Medan. Namanya dicoret panitia hanya karena ia mencantumkan agama Parmalim pada formulir pendaftaran.

“Gak bisa. Itu bukan agama. Coret saja!” kata Rianti menirukan ucapan seorang petugas pendaftaran. Peristiwa tujuh tahun silam itu masih membekas di pikiran Rianti sampai kini. Ia bahkan hampir menangis ketika menuturkan pengalamannya itu. Air mukanya berubah.

Rianti juga mengatakan, ia sempat dipaksa panitia mencantumkan salah satu agama resmi pada borang formulir jika ingin berkasnya diterima. Tapi, Rianti menolak. Atas penolakan itu, panitia yang melayaninya, seorang bapak berbadan gempal dengan kulit sawo matang menudingnya sebagai bukan warga Indonesia.

Tak terima dengan tuduhan itu, Rianti memberi klarifikasi. Antara Rianti dan panitia sempat adu mulut. “Masakan aku dibilang bukan warga negara Indonesia? Sakit hati aku. Kubilanglah ke bapak itu begini, ‘Oppungku, Mamakku, Bapakku juga agamanya itu. Mereka warga negara [Indonesia] kok. Kenapa aku tidak?”’ tuturnya.

Usai berdebat dengan petugas, Rianti segera meninggalkan panitia. Ia pulang dengan menangis. Sepanjang jalan menuju rumahnya di Jalan Seksama, Medan, ia merenungi nasib. “Kok kek ginilah nasibku ya Tuhan. Cuma mau cari kerja saja harus negak-negakkan agama.” Ia membatin.

Setiba di rumah, Rianti meluapkan kekesalannya. Ia tak menyangka kalau gara-gara agama yang dianutnya itu, ia akan kesulitan melamar kerja bahkan dituding bukan warga Indonesia.

Penolakan yang diterimanya dari panitia itu mengingatkannya pada masa-masa kuliah dulu, di akademi kebidanan Helvetia Medan. Selama ini, ia mengira kalau penolakan terhadap agamanya ketika di kampus tak bakal berlanjut sampai ke dunia alumni. Ternyata perkiraannya melenceng. Penolakan yang dialaminya di dunia kerja bahkan jauh lebih berat.

Semasa kuliah, Rianti pernah dikucilkan kakak-kakak kelasnya. Biangnya juga gara-gara agamanya. Penolakan itu terjadi sejak pertama kali Rianti menginjakkan kaki di kampus sampai kuliahnya hampir rampung. Tak seorang pun kakak kelasnya mau berkawan dengan Rianti. “Semua menjauhiku karena aku seorang Parmalim,” tuturnya.

Ibu satu anak itu menuturkan, di kampusnya ada aturan, setiap mahasiswa baru harus punya kakak angkat. Sialnya, senior-seniornya menjauhinya. “Gak ada yang mau menerimaku. Mereka bilang aku harus pindah agama. Aku enggak mau. Biar enggak berkakak angkat pun, aku bisa hidup.” kata Rianti.

Penolakan itu dialami Rianti sampai ia hampir tamat dari kampusnya. Rianti sekarang bekerja sebagai bidan tidak tetap di Puskesmas di Kota Kisaran, Sumatera Utara. Ia bekerja di sana sejak 2008. Gaji pertamanya Rp 450 ribu. Gaji serendah itu bertahan hingga 2010. Barulah di 2011 gajinya menjadi Rp 1,450.000. Dan angka itu bertahan sampai hari ini. Belum ada kabar kenaikan gaji.

Sebelum bekerja di Kisaran, Rianti pernah berwira-wiri di beberapa klinik dan Rumah sakit swasta di Medan. Rianti ingin sekali bisa diterima jadi pegawai negeri, katanya, selain terjamin masa pensiun juga karena ia ingin kuliah lagi sampai meraih gelar sarjana. “Sekiranya dulu aku lolos pegawai negeri, mungkin gajiku sudah dua jutaan. Dan separuh dari gaji itu akan kupakai untuk biaya kuliah. Tapi cita-citaku itu terpaksa harus menggantung lantaran terbentur dana,” ucapnya.

Tindakan panitia yang menggugurkan namanya dari calon peserta ujian bagai sembilu yang menyayat hati Rianti. Menyakikan. Penolakan panitia itu jelas mematikan hak Rianti untuk ikut seleksi penerimaan pegawai negeri. “Belum apa-apa sudah dinyatakan gugur.” Rianti menggerutu.

Status agama yang tercantum di kartu penduduk Rianti saat itu adalah tanda setrip. Kartu penduduk bertanda setrip dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Berbeda dengan kartu milik Ria Sitorus, rekan seagamanya. Di kartu penduduk Ria tertulis agamanya Parmalim. Kartu penduduk Ria juga dikeluarkan pemerintah daerah.

Menjadi Persoalan

Celakanya, saat kartu penduduk-elektronik diberlakukan secara nasional, agama Parmalim justru menjadi persoalan. Akibat kebijakan negara yang hanya mengakui lima agama resmi, yakni Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Islam, keberadaan agama-agama tradisional seperti Parmalim menjadi terpinggirkan.

Kisah teranyar dan tak kalah mengecewakan dialami Tohom Naipospos, 24 tahun, saat mau mendaftar sebagai calon pegawai negeri untuk Kementerian Hukum. Ketika mendaftar secara online tahun lalu, ia harus mengisi kolom agama. Akan tetapi pilihan yang disediakan hanya lima agama. Naipospos bimbang. Di satu sisi ia ingin menjadi pegawai negeri tetapi syarat agama pada formulir telah membatasi langkahnya.

“Sempat terbersit di pikiran saya untuk mencantumkan agama lain di formulir pendaftaran itu supaya berkas saya bisa lolos administrasi. Namun, pikiran itu cepat-cepat saya halau,” kata Naipospos yang hingga kini masih menganggur. Naipospos adalah satu tunas Parmalim dari Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.

Penolakan terhadap agama Parmalim juga terjadi di sektor perbankan, seperti dialami Poltak Sirait. Warga Perumnas Nusa Indah, Kabupaten Simalungun. Sirait gagal membuka rekening baru di Bank Central Asia, Jalan Asahan Kompleks Megaland, Siantar, Mei 2012 silam karena ia seorang penganut malim. “Daripada saya capek bikin rekening, saya simpan aja uang saya di bawah bantal,” kata Sirait

Sejumlah kasus itu menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi seorang Parmalim. Identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh negera. Pada kartu penduduk elektronik, kolom agama mereka dicantumkan tanda strip. Atau mereka terpaksa mengisi dengan agama lain. Bukan itu saja, keharusan menghilangkan identitas keagamaan itu berakibat jauh pada pengingkaran hak-hak sipil mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan pelayanan publik.

Padahal anggaran untuk pembuatan kartu penduduk-elektronik se-Indonesia mencapai Rp 5,8 triliun untuk mengkover 172 juta penduduk usia layak berkartu penduduk. Tentang fakta-fakta tersebut, Djoehermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tidak mau mengomentari.***

(Tulisan ini salah satu pemenang beasiswa peliputan mendalam yang diselenggarakan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan)

benar2 tragis & miris melihatnya. oh ternyata mau dianggap WNI, harus menganut salah satu agama resmi dari 6 agama resmi yang diakui di negeri ini yang ironisnya semuannya produk impor. Penganut agama lokal malah dianggap bukan WNI. Benar2 gila negara ini, jangankan mau bikin tempat ibadah yang kadang bagi yang resmi minoritas aja masih terganjal SKB 2 menteri, mau mencantumkan agama yang diyakini aja di kolom agama di KTP, nggak bisa. bagaimana bisa melestarikan budaya bangsa jika agama tradisionalnya sendiri tak diakui resmi malah dihancurkan & diganti dengan agama impor yang ironisnya diakui resmi. tak heran jika negara ini benar2 terpuruk gara2 tak punya jati diri yang jelas
0
21.9K
178
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.