Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mr.righthandAvatar border
TS
mr.righthand
RI Wajib Rangkul Australia (??????)

RI Wajib Rangkul Australia

Oleh: Derek Manangka


inilah..com, Jakarta - Kendati pemerintah Australia tidak selalu menunjukkan sikap bersahabat terhadap Indonesia dan media-medianya pun seperti menyimpan dendam tak berkesudahan, tetapi sebagai salah satu tetangga terdekat, Indonesia wajib merangkulnya.

Bak dalam sebuah 'adu tinju'. Indonesia jangan menciptakan 'jarak' pada Australia. Karena dengan adanya jarak, dapat membuat kemampuan Australia memukul yang didukung ancang-ancang, jauh lebih kuat. Tapi kalau Australia di-clinch rapat-rapat, ia tidak punya peluang untuk memukul.

Dalil yang mengatakan Australia akan mengalami kerugian besar jika Indonesia memusuhinya, harus dibuang jauh-jauh. Karena kalau hal itu dilakukan, Indonesia juga akan menelan kerugian lebih besar.

Memusuhi Australia, hasilnya diperhitungkan bakal menuai lebih banyak persoalan negatif ketimbang positif. Sahabat Australia di komunitas internasional, jauh lebih banyak ketimbang sahabat Indonesia. Sebagai anggota Negara-negara Persemakmuran (Commonwealth), sahabat Australia berada di seluruh benua. Indonesia tidak punya aset seperti itu.

Bila Indonesia memusuhi, anggota Commonwealth dipastikan akan lebih memihak Australia. Yang paling segera, Australia akan merangkul dan mencari sahabat dari negara-negara tetangganya seperti Papua Nugini, Selandia Baru, plus Kaledonia Baru (Prancis). Bahkan negara-negara kecil yang berada di kawasan Samudera Pasifik, pun dapat dijadikannya sebagai sahabat untuk sama-sama memusuhi Indonesia.

Vanuatu misalnya salah satu negara kecil di gugus kepulauan Pasifik bakal lebih merapat ke Australia. Negara-negara serumpun Vanuatu juga akan bersikap sama. Secara geopolitik, Indonesia kehilangan kaki di kawasan Pasifik.

Tapi yang paling berisiko sebetulnya bila Australia bisa meyakinkan Papua Nugini untuk ikut memusuhi Indonesia. Negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Papua tersebut, sangat mungkin berpihak kepada Australia.

Alasannya cukup banyak. Antara lain hubungannya dengan Indonesia, tidak bisa disebut akrab. Adanya simpatisan dan anasir OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua Nugini termasuk hal yang mengganjal hubungan kedua negara.

Kekerabatan RI dengan Papua Nugini (PNG) belum teruji. Sehingga PNG bisa menjadi basis pertahanan OPM untuk mengobarkan semangat pemisahan Papua dan Papua Barat dari NKRI.

Alasan PNG lebih percaya kepada Australia masuk akal. PNG akan bersikap realistis dan pragmatis. Indonesia tidak pernah membantu PNG. Sementara Australia masih merupakan donatur utama bagi perekonomian dan pembangunan negaranya. Demikian kuatnya pengaruh Australia di PNG, sampai-sampai seorang pemimpin di negara itu hanya mungkin eksis dan bertahan apabila mendapat dukungan penuh dari Canberra.

Jika harus memilih berdasarkan kategori tetangga terdekat, masih jauh lebih bermanfaat bagi Indonesia merangkul Australia ketimbang Singapura. Bersikap keras, termasuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura, masih jauh lebih menguntungkan dibanding bila hal serupa dilakukan terhadap Australia.

Pandangan ini tidak dimaksudkan untuk mendorong Indonesia menciptakan permusuhan apalagi disusul dengan pemutusan hubungan diplomatik. Melainkan sebatas wacana dan sebuah komparasi.

Bagi Australia pun, memusuhi Indonesia bakal menimbulkan biaya besar. Berperang dengan Indonesia, secara ekonomi juga berisiko tinggi. Terutama karena letak Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan internasional. Jadi sesungguhnya Australia membutuhkan Indonesia.

Sementara bagi Singapura, jangankan bermusuhan, memiliki konflik kecil saja, negara tetangga ini sudah akan kerepotan. Kalau seluruh penerbangan Singapore Airlines dan anak usahanya Silk Air, dilarang melewati wilayah Indonesia, dampak negatifnya akan langsung dirasakan Singapura. Sedangkan Qantas Airlines (Australia) tidak demikian.

Tapi sekali lagi, kerugian tak akan signifikan apabila Australia bermusuhan dengan Indonesia. Sikap Australia yang terkesan tidak selalu bersahabat dengan Indonesia lebih dikarenakan perbedaan latar belakang budaya dan sejarah. Perbedaan ini melahirkan perspektif yang keliru.

Mayoritas penduduk Australia berkulit putih, merupakan imigran bangsa Eropa. Penduduk Australia yang bermigrasi bisa disebut "Overseas Europeans" atau dalam konteks Asia, bisa disamakan dengan "Overseas Chinese", (China Perantauan) yang tersebar di mana-mana.

Bangsa Australia mewarisi budaya kolonialis. Dengan latar belakang itu "Overseas Europeans" masih membawa budaya sebagai warga satu kelas di atas negara seperti Indonesia. Australia masih terus melihat Indonesia sebagai sebuah negara jajahan. "Overseas Europeans" sepertinya tidak mau membaur dengan Indonesia yang beretnis Asia dan masuk kategori negara miskin.

Sudah begitu, sekalipun Australia berada jauh di ufuk benua Selatan, tetapi kiblat Australia masih tetap ke Eropa atau Inggris Raya khususnya. Kiblat itu relatif tidak logis. Selisih waktu saja, terlalu banyak. Selisih waktu antara London dan Sydney, sekitar 11 jam. Dalam persoalan musim pun demikian. Ketika di London sedang musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat Celcius, pada saat yang sama (Desember) di Sydney, temperatur musim panas bisa mencapai 40 derajat Celcius.

Perbedaan budaya dan kiblat ini, menempatkan Australia sebagai negara yang sejatinya tidak atau belum punya identitas. Australia terjepit, apakah mengambil indentitas Eropa, Asia atau bentuk lainnya. Australia sedang mencari.

Keberadaan Australia sebagai negara yang lebih makmur dibanding Indonesia dan tetangga lainnya, ikut membentuknya menjadi seperti tetangga kaya yang rumahnya dikelilingi penduduk miskin.

Di kalangan elit Australia, perbedaannya dengan Indonesia cukup dipahami. Itu sebabnya desakan dan keinginan untuk memiliki hubungan yang akrab dalam semangat kesetaraan, juga beredar di kalangan elit tertentu Australia. Sebut saja misalnya tokoh Partai Buruh seperti Paul Keating dan Kim Beazely.

Dalam rangka mewujudkan hubungan yang lebih akrab dengan Indonesia, saat Paul Keating menjadi Perdana Menteri (1991-1995), ia menggagas perlunya Bahasa Indonesia dijadikan bahasa asing utama yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah. Tujuannya jelas, Keating menginginkan bangsanya lebih paham tentang Indonesia. Dan penguasaan Bahasa Indonesia merupakan medium penting.

Sementara ketika Beazley menjadi Menteri Pertahanan, kerja sama kedua negara, sempat dimaksimalkannya. Tetapi begitu John Howard menggantikan Keating, Australia melakukan revisi besar-besaran atas kebijakan yang sudah diambil sebelumnya. Indonesia sendiri kurang agresif merespon agenda Keating supaya Bahasa Indonesia menjadi bahasa asing utama di negeri tetangga tersebut.

Merangkul Australia dan merajut hubungan yang didasarkan pada kesetaraan, sejatinya bukan hal yang sulit bagi Indonesia. Sebab dalam satu dekade terakhir ini, generasi muda Indonesia yang menimba ilmu di Australia mengalami lonjakan besar.

Jumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan Australia mencapai puluhah ribu orang. Alumni Australia sudah berimbang dengan mereka yang berasal dari negara-negara Eropa ataupun Amerika Serikat.

Satu di antara alumni Australia adalah Boediono, Wakil Presiden RI periode 2009-2014. Lewat jalur alumni dan pendidikan agenda merapatkan hubungan RI-Australia dapat dikonkritkan. Satu syarat saja yang diperlukan, kemauan politik!

Untuk melakukannya, Indonesia tidak boleh terpengaruh oleh sikap Australia yang terkesan 'berisik' dan berlebihan alias 'lebay'. [mdr]

[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2057513/ri-wajib-rangkul-australia#.UrOYEidjG6M[/url]

Ya akhi/ukthi sekalian.

Ada yang kenal penulis artikel ini siapa?

Pas ana googling, ehh nemunya malah tulisan doi yang mempertanyakan komitmen warga keturunan cina emoticon-Malu (link: [url]http://nasional.inilah..com/read/detail/1887775/mempertanyakan-komitmen-keturunan-china#.UrOY6CdjG6M[/url])

Kalo menurut ana..., tulisan beliau lebih condong ke Australia. Seolah-olah Indonesia ini adalah megalomaniak war lord, padahal ini pun kita kaya gini karena dipicu oleh sikap Australia yang sudah sangat kurang ajar.
0
2.9K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.