Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mr.righthandAvatar border
TS
mr.righthand
Dendam (Media) Australia Tak Berkesudahan ?

Dendam (Media) Australia Tak Berkesudahan ?


inilah..com, Jakarta - Dalam satu bulan terakhir ini, media-media utama Australia berturut-turut memberitakan Indonesia dalam perspektif yang negatif. Dalam soal penyadapan telpon Presiden SBY dan sejumlah pejabat tinggi negara, Indonesia seakan dipersepsikan sebagai sebuah negara yang gampang disusupi dan dibodohi oleh intelejen.

Semua kelemahan pemerintahan SBY sudah di tangan pemerintah Australia. Sampai-sampai berita yang disebarkan media Australia mendorong publik berspekulasi jangan-jangan penyadapan yang dilakukan antara 2007-2009 itu, antara lain berisikan pembicaraan tentang bagaimana merekayasa penalangan dana Rp6,7 triliun bagi bank kecil, tanpa bisa ditelusuri siapa yang bertanggung jawab plus siapa yang harus kecipratan dananya.

Dalam dunia politik, Ibu Negara Ani Yudhoyono, dipersepsikan seperti "The Shadow President" (seorang Presiden Bayangan). Dengan kata lain, Presiden SBY hanyalah seorang 'boneka' sementara yang berperan sebagai Presiden sesungguhnya sang isteri. Persepsi itu menunjukkan Indonesia juga merupakan sebuah negara yang dipertintah atas konsep Dinasti. Jadi tidak benar Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara.

Pengembangan persepsi ini, bukan mustahil akan menggiring ke persepsi yang lebih negatif. Bagi negara-negara yang sudah matang demokrasinya, Indonesia sebetulnya merupakan negara yang tidak punya akuntabilitas dan kredibilitas di mata masyarakat internasional.

Itulah semuanya yang menjadi substansi sekaligus benang merah dari semua pemberitaan media Australia. Media negeri kanguru itu secara tidak langsung sudah menohok bahkan melecehkan Indonesia.

"The Sydney Morning Herald", "The Guardian" (edisi Australia), jaringan televisi "Australia Broadcasting Corporation" (ABC) dan terakhir suratkabar "The Australian", seakan sebuah "dream team". Secara bergantian mereka laporkan Indonesia kepada komunitas internasional melalui bahasa bersayap.

Negara kita yang terdiri atas 17-an ribu pulau ini merupakan prototipe negara yang tak punya indentitas, tak berkarakter bahkan tak memiliki martabat. Coba perhatikan bagaimana media Australia mempertentangkan atau mengadu domba Presiden SBY dengan Jenderal AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN).


Di saat SBY dilaporkan sangat marah dengan tindakan intelejen Australia, pada waktu yang sama media Australia mengutip pernyataan Hendropriyono yang isinya bertolak belakang dengan sikap SBY. Apa yang dilakukan intelejen Australia tersebut, menurut Hendropriyono merupakan sebuah pekerjaan intelejen yang wajar.

Media Australia lalu memutar kembali video hasil wawancara dengan Hendropriyono di 2004 tentang bagaimana intelejen Indonesia juga menyadap pembicaraan para politisi Australia.

Pemberitaan media-media Australia ini secara tidak langsung menafikan semua rekor Indonesia sebagai negara yang masuk dalam keanggotaan APEC dan Kelompok 20 - forum dimana Australia juga ikut aktif.

Bertolak belakang dengan sikap media-media Indonesia yang nyaris tak pernah mengusik ketenangan hidup publik dan pemerintah Australia. Maka wajar muncul pertanyaan apa sebabnya demikian atau ada apa sebetulnya ?

Di awal 1990-an sikap media Australia sebetulnya jauh lebih 'ganas' kalau sudah melaporkan Indonesia, terutama situasi dan para pejabat yang mengelola negara. Demikian ganasnya media Australia sampai-sampai rezim Soeharto pernah melarang media dari Australia memiliki perwakilan di Indonesia.

Bahkan Radio Australia seksi Indonesia yang siaran bahasa Indonesia sangat terkenal di seantero Nusantara, tidak dibolehkan punya perwakilan di Jakarta atau kota lain.

Keadaan ini berlangsung hampir dua dekade, hingga akhirnya muncul gagasan dari bekas Dubes Australia untuk Indonesia Richard "Dick" Woolcot. Setelah pensiun dari kementerian luar negeri di Canberra, Dick merancang sebuah dialog antarwartawan senior kedua negara. Dialog tahunan itu diselenggarakan secara bergantian. Tahun ini di Indonesia, tahun depan di Australia.

Tema pembahasan adalah menghilangkan mispersepsi dan miskonsepsi yang ada di antara kedua negara. Mispersepsi dan miskonsepsi itu ditengarai sebagai akibat laporan-laporan media yang membentuk opini, sesuai dengan nilai masing-masing.

Sebelum dialog tahunan itu digelar, Indonesia secara sengaja menempatkan Duta Besar di Canberra yang memiliki latar belakang dan pengetahuan yang kuat tentang media. Keduanya August Marpaung (alm) jenderal Angkatan Darat yang pernah berdwifungsi selaku Kepala Lembaga Kantor Berita Nasional "Antara", kemudian Sabam Siagian, mantan Pemimpin Redaksi "Tha Jakarta Post".

Penempatan Duta Besar yang punya latar belakang pengetahuan tentang media berikut dialog antarwartawan senior itu, relatif cukup menolong. Wartawan Australia jika ingin melaporkan tentang Indonesia dan memerlukan komentar (tambahan) rupanya ingin selalu mendapatkan keterangan atau jawaban langsung dari Dubes RI.

Adanya akses itu menimbulkan rasa percaya, sehingga dalam realita di lapangan, nyaris tidak ada laporan miring tentang Indonesia. Bahkan ada semacam "self censorship" di kalangan media Australia. Dialog antarwartawan juga lebih mengerucut ke soal yang lebih teknis.

Namun semenjak Sabam Siagian kembali ke Indonesia di 1995, tak ada lagi diplomat ditugaskan di Canberra memiliki latar belakang yang kuat tentang media. Dialog antarwartawan senior pun sudah tak kedengaran lagi.

Ada hal yang menarik sekaligus mengejutkan dari dialog antarwartawan kedua negara. Australia masih belum bisa melupakan atau memaafkan peristiwa terbunuhnya 5 wartawan mereka di Timor Timur (kini Timor Leste) pada 16 Oktober 1975. Peristiwa yang dijuluki 'The Balibo Five", mengambil nama desa Balibo menelan korban wartawan muda Greg Shackleton (29), Tonny Stewart (21), Garry Cyunningham (27), Brian Peters (24) dan Malcolm Rennie (29).

Hanya dua dari lima yang berkewarganegaraan Australia. Selebihnya Selandia Baru dan Inggris. Tapi akhirnya kasus ini diributkan di semua negara anggota persemakmuran - dengan Indonesia sebagai negara "pembantai wartawan". Media Australia menuduh kelima wartawan itu sengaja dibunuh oleh tentara Indonesia yang beroperasi di Timor Timur.

Persoalannya menjadi rumit, karena setelah terbunuh, kabarnya semua jenasah dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Tanah Kusir. Tapi kebenaran ini tak pernah terkonfirmasi. Terakhir Juli 2012, Shirley Shackleton (68) sempat ke Jakarta untuk meminta kerangka jenazah suaminya bisa dia bawa pulang ke Australia. Hasilnya nihil.

Dugaan sementara sentimen dan dendam wartawan Australia terhadap pemerintah Indonesia, apalagi pemimpinnya seorang militer yang pernah bertugas di Timor Timur (SBY di antaranya), selalu muncul manakala terjadi friksi dalam hubungan kedua negara.

Sehingga faktor ini selalu memicu media Australia bersemangat melaporkan hal-hal yang bersifat negatif tentang Indonesia. Entah kapan perasaan dendam itu berakhir.

Secara politik dan ekonomi kehidupan di dua negara sudah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Indonesia masih terus terbelit oleh krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan, sangat kontras dengan keadaan 20 tahun lalu. Sedangkan Australia juga semakin menjadi negara kuat di benua Selatan, terbukti dengan meningkatnya nilai tukar uangnya terhadap mata uang dolar Amerika. Sejak 2010, mata uang Australia mengalami kenaikan yang luar biasa. Dolar Australia lebih kuat dibanding dolar Amerika Serikat.

Pada intinya persepsi dan konsepsi masyarakat Australia terhadap Indonesia pun kembali atau ikut berubah. Di sisi lain wartawan atau media yang peran mereka dalam membentuk opini publik, sangat kuat di Australia, saat ini sudah menjadi pengendali dan penentu.

Bukan hal yang mengejutkan kalau mereka punya persepsi yang keliru tentang Indonesia. Hal inilah yang antara lain akan terus menghantui sekaligus mengganggu hubungan kedua negara. [mdr]

[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2057065/dendam-media-australia-tak-berkesudahan-#.UrFAWCdjG6M.[/url]

Ya akhi/ukthi sekalian.

Ternyata tetangga kita itu "dendam" perihal kejadian "Balibo Five"...

Kalo menurut ana, kalo kita mau lebih tampil berwibawa dihadapan negara tetangga tersebut sudah seyogianya kita memilih presiden yang "ditakuti" oleh mereka. Siapa dia?

Ana nggak etis kalo kudu nyebut nama.. Satu yang pasti, Australia pasti akan "ciut" nyalinya kalo presiden terpilih kita mendatang adalah veteran Perang Timtim.

Itu saya clue dari ana.. Silakan, pilihan ada di tangan antum sekalian

Syukron emoticon-shakehand
0
3.3K
36
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.