Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?

ken neroAvatar border
TS
ken nero
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?

Waspada!! “Economic Bubble” Sebagai Indikator Awal Krisis Moneter : Bisa Jadi, Indonesia Justru Sedang Diambang Krisis Keuangan!

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?


Gelembung Ekonomi atau “Economic Bubble” dapat muncul setiap saat, tanpa didahului terjadinya ketidakpastian harga dan aksi spekulasi. Fenomena globalisasi membuat krisis ekonomi di suatu negara langsung menciptakan ancaman krisis serupa di seluruh negara di dunia. Janganlah kita mudah terlena dengan indikasi ekonomi makro yang gemilang. Namun sesungguhnya keropos di dalam.
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?


Ditengah krisis dunia sejak tahun 2008 yang akhirnya berkembang secara global termasuk di AS dan Eropa, namun justru pendapatan perekonomian dan daya beli rakyat dibeberapa negara seperti Cina, India dan Indonesia semakin tinggi.

Banyak statistik membuktikan bahwa rakyat Indonesia semakin makmur, dibidang otomotive dan property misalnya, kedua jenis produk itu dibeli layaknya “kacang goreng”.

Di dunia otomotif, dari motor hingga mobil-mobil mewah berseliweran di jalan, hingga blanko STNK pun habis tanpa stok saat mengurus perpanjangan STNK dan harus menunggu beberapa bulan ke depan, gila! ini terjadi hanya karena membludaknya pembelian otomotif di Indonesia.
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Masalah macet? bukan lagi terjadi di kota besar, saat Lebaran misalnya, macet sudah seantero pulau-pulau besar di Nusantara, melalui jalan-jalan antar provinsi di tiap pulaunya.
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Harga properti dan tanah juga naik gila-gilaan, kawasan elite di Menteng Jakarta misalnya, pada periode Mei 2013 tiap satu meter persegi sudah mencapai hingga Rp. 100 juta lebih.

Tapi harga setinggi itupun tetap dibeli, harga-harga perumahan, apartemen dan properti lainnya di Indonesia juga semakin naik tanpa patokan yang jelas, tapi tetap dibeli dan terbeli oleh masyarakat. Luar biasa daya beli masyarakat pada saat ini.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Masih ingat bagaimana orang-orang golongan ekonomi menengah ke atas dengan perhiasan mencolok serta gadget terbaru yang digenggamnya, masih mau dan rela mengantri di mall-mall sepanjang lebih dari 100 meter hanya untuk dapat membeli sebuah sandal merk Crocs?

harga rumah naik dan mahalasih ingat orang berebut mengantri panjang bagaikan ular di setiap ada peluncuran handphone keluaran terbaru dengan harga discount?

Harga sebuah sandal atau handphone yang kelewat mahal “tak masuk akal” jauh dari biaya produksi hanya ada di Indonesia, karena masyarakatnya sangat konsumtif terhadap merk-merk “kelas dunia” tertentu diatas negara-negara lainnya.

Sehingga, banyak produsen handphone dan gadget meluncurkan produk terbarunya justru di Indonesia. Selain konsumtif, Indonesia memang tak berdampak signifikan oleh krisis monetar dunia yang belum pulih hingga kini.

Indonesia merupakan salah satu market atau pasar potensial di dunia dengan jumlah penduduk 250 juta, yang nyaris semuanya memakai barang import. Berbeda dengan banyak negara lain yang penduduknya jauh lebih banyak dibanding Indonesia, namun warganya tidak begitu konsumtif apalagi terhadap suatu brand atau merk seperti warga Indonesia.

Namun janganlah justru senang, BISA JADI inilah salah satu indikator awal krisis moneter Indonesia sebentar lagi untuk ke depannya, ketika harga-harga naik tanpa patokan, ketika rakyat tetap membelinya, Economic bubble! Mirip Amerika Serikat saat terpuruk ekonominya. Kredit macet perumahan tak terkira. PREPARE! Economic bubble ahead!

Gelembung ekonomi (economic bubble), atau gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah “perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya”.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Dalam kata lain, memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang jauh lebih tinggi atau lebih mahal daripada nilai fundamentalnya!

Walaupun beberapa ahli ekonomi menyangkal adanya gelembung ekonomi, tapi penyebab gelembung ekonomi tetap menjadi tantangan untuk diteliti bagi mereka yang yakin bahwa harga aset sangat sering menyimpang dari nilai intrinsiknya.



Meskipun ada banyak penjelasan tentang penyebab gelembung ekonomi, namun belakangan ini diketahui bahwa gelembung ekonomi dapat muncul bahkan tanpa didahului ketidakpastian, spekulasi, atau rasionalitas terbatas!

Penjelasan lain mengatakan gelembung ekonomi mungkin akhirnya disebabkan oleh proses koordinasi harga atau norma-norma sosial yang baru muncul.

Pengamatan nilai intrinsik sering sulit dilakukan dalam keadaan nyata di pasar, sehingga gelembung yang terjadi sering hanya dapat dikenali dengan pasti secara retrospektif, ketika terjadi penurunan harga secara tiba-tiba.

Keadaan anjloknya harga seperti itu sering disebut juga sebagai Keruntuhan (crash) atau “pecahnya gelembung” (boom economic).

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Fase “boom economic” maupun resesi dalam suatu ekonomi gelembung adalah contoh-contoh dari mekanisme “umpan balik positif” yang membedakannya dari mekanisme “umpan balik negatif” yang menentukan harga keseimbangan dalam keadaan pasar normal.

Harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat berfluktuasi dengan tidak menentu, dan menjadi tidak mungkin untuk memprediksinya hanya berdasarkan penawaran dan permintaan saja.

Ahli ekonomi menggunakan istilah “gelembung” untuk peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi dan lazimnya diikuti kenyataan yang bertolak belakang dari harapan, dan anjloknya harga-harga.

Contoh-Contoh Gelembung Ekonomi di Indonesia dan di Dunia

Sebagai contoh-contoh kecil, masih ingatkah Anda saat mewabahnya berbagai produk “dengan harga gila dan aneh” di Indonesia yang tak masuk akal beberapa tahun lalu?

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Ikan Louhan, hanya karena motif berwarna gelap yang ada disisi samping badannya dan mirip tulisan sesuatu, harganya bisa mencapai milyaran rupiah. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.

Masih ingat saat Indonesia evoria dan demam ikan Louhan? Seekor ikan Louhan bisa berharga ratusan juta hingga milyaran, hanya karena terdapat “mirip tulisan” tertentu pada corak berwarna gelap yang ada disamping badannya dan hanya dapat terlihat berupa titik-titik abstrak disamping badannya, dengan begitu harganya mencapai milyaran rupiah.

Begitu pula dengan ikan Louhan yang bentuk fisiknya cacat sejak lahir, ketidaksempurnaan bentuk tubuhnya juga dapat dihargai jutaan rupiah.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Lalu, bagaimana gilanya harga seekor tokek? Tokek yang diyakini dapat menyembuhkan AIDS, maka tokek dijual mahal, tokek merupakan binatang yang saat itu banyak dicari keberadaannya oleh sejumlah masyarakat.

Pasalnya, jenis reptil yang masuk golongan cecak besar suku Gekkonidae itu memiliki harga jual tinggi di pasaran. Harga tokek yang memiliki berat 4 ons bisa dijual lebih dari Rp 500 juta rupiah hingga milyaran rupiah.

Dengan iming-iming akan mendapatkan keuntungan besar, sejumlah masyarakat berlomba-lomba untuk berbisnis tokek. Dari tokek kecil dibeli dengan harga mahal, lalu dijual lagi dengan harga lebih mahal, begitu seterusnya, selalu dibeli oleh orang yang bukan membutuhkannya, tapi hanya karena bisnisnya.


Tokek, yang masuk golongan cecak besar suku Gekkonidae, pada masa lalu memiliki harga jual sangat tinggi di pasaran karena diyakini bisa menyembuhkan AIDS. Harga tokek yang besar isyunya bisa dijual lebih dari 1 milyar rupiah. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.

Hingga pada pembeli tokek terakhir inilah, tokek hasil pembeliannya itu akhirnya tak laku lagi dijual, tak ada pembeli lain yang berani membelinya dengan harga sangat tinggi. Yang laku untuk diekspor justru yang hanya berukuran biasa.

Bagaimana pula dengan harga sebuah tanaman Anthurium beberapa tahun lalu? Gelembung harga hingga ratusan juta rupiah tanaman talas-talasan (Aracaceae) berlabel Anthurium, yang booming pada sekitar tahun 2004-2007, membuat beberapa kalangan masyarakat kaya mendadak, dan sebaliknya, miskin mendadak!

Itu terjadi karena migrasi tingkat pendapatan, dari kalangan pejabat pemerintah yang kaya dan berpunya dari perkotaan dengan tabungannya jutaan rupiah, berpindah ke kalangan petani bunga di desa pedalaman dan kaki pegunungan, yang bahkan sebelumnya tak paham caranya bikin rekening tabungan di bank (waktu itu tak banyak orang desa punya rekening, bank biasanya cuma ada di kota).

Penawaran suplai terbesar tamanam yang datang dari desa-desa, dan permintaan terbesar datang dari perkotaan, atau ibu kota Jakarta, yang kebanyakan tidak mengerti hukum ekonomi pasar, permintaan dan penawaran, serta rekayasa sosial kelangkaan komoditas (oleh para pemain lama di pasar), untuk mengendalikan tingkat harga.


Anthurium andraeanum, pohon dari zaman dahulu kala yang biasanya ada disemak-semak hutan ini, anehnya, harganya sempat sangat mahal. Kini tak ada lagi kabar tentang bisnis ini.

Bagaimana bisa tanaman sejenis talas ini, Anthurium, yang biasanya tumbuh liar, atau ditanam sebagai penghias ruangan di rumah-rumah itu harganya bisa membumbung sampai puluhan kali lipat dari tingkat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia pada umumnya?

Semua itu karena setiap barang bisa dihargai atau divaluasi oleh pasar, dan pasar dibangun dari dua komponen utama, yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand).

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Kurva akan berusaha mencari tingkat keseimbangan (equilibrium), antara permintaan dan penawaran, dan secara ekonomi pergeseran itu bisa sangat liar, tak terkendali.

Gelembung ekonomi tanaman talas Anthurium ini sebenarnya model kasus yang meniru persis kasus gelembung ekonomi Bunga Tulip di Belanda, pada periode 1636- 1637, tahun yang sama awal-awal kapal dagang VOC mendarat di tanah Jawa.

Kasusnya seakan menggelikan, konyol tapi nyata, oleh karena itu pakar ekonomi sering melabelnya dengan : Teori Kegilaan Massal, atau Kebodohan Besar, saat manusia bisa berlomba membeli bunga atau tanaman, dengan harga yang setara dengan rumah mewah, di zamannya.

Tulip sebenarnya bukanlah tanaman asli Belanda (di dataran rendah/ Nederland), walaupun mungkin sampai sekarang menjadi ikon utama negeri itu, selain kincir angin.

Tulip aslinya dari kawasan Asia Tengah, yang pertama kali dikultivasikan pada sekitar tahun 1000, oleh para botanis dan ahli pertamanan Kesultanan Turki Usmaniyah.

Popularitas Tulip sebagai komoditas dengan nilai ekonomi meningkat, dengan bertambah eratnya relasi perdagangan antara Turki Usmaniyah dengan kerajaan-kerajaan di tanah Eropa, utamanya Tahta Suci Romawi.

Kultivasi Tulip di Belanda dimulai oleh satu orang botanis, mantan ahli taman Kaisar Maximilian II, yang membangun taman botani kerajaan di Wina, Austria, bernama Claudius Clusius. Pada 1594, Tulip tumbuh pertama kali di tanah Eropa, setahun setelah kedatangan Claudius di Belanda.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Interest rate & value stock of assests curve

Selama periode 1594 sampai 1637 Tulip menjadi komoditas ekonomi berharga tinggi di Eropa, simbol status sosial, dan tentunya langka, karena ini syarat pertama sebuah barang bisa dimainkan kurva equilibrium-nya.

Bunga Tulip yang indah menjadi simbol sosial kalangan atas, para bangsawan dan borjuis Eropa, membuat permintaan terus meningkat pesat, dan sesuai hukum pasar, maka penawaran harus mengimbangi untuk terbentuknya harga yang disepakati.

Tumbuhnya permintaan Tulip jauh lebih cepat daripada tingkat produktivitasnya. Siklus hidup Tulip butuh 7 sampai 12 tahun untuk pembibitan hingga panen bunga.

Untuk mengendalikan harga Tulip, pedagang Tulip menggunakan cara baru, yaitu dengan model surat berharga, yang dikeluarkan setiap musim dingin, hingga pembeli bisa mendapatkan produknya di musim panas.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Bunga Tulip, yang sempat menghancurkan perekonomian Belanda dimasa lalu akibat dari ‘economic bubble’.

Surat berharga itu dibuat berdasarkan prediksi kualitas bibit, dan tentunya prediksi harga yang pantas di masa depan, atau subprime lending. Peredaran instrumen transaksi, berupa surat hutang, membuat peningkatan nilai agregat nominal hutang, yang tidak diimbangi dengan transaksi riil, pertukaran barang (Tulip) dengan uang (alat tukar resmi).

Lambatnya siklus produksi Tulip yang sangat tidak sebanding dengan jumlah pertumbuhan permintaannya, sangat berkontribusi untuk terjadinya gelembung ekonomi yang berpuncak pada tahun 1636- 1637.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Tulip price index

Pada awalnya yang berjudi dengan pertumbuhan harga Tulip hanya kalangan pedagang, lalu demam Tulip ini merambah ke kalangan bangsawan dan orang kaya, bahkan masyarakat umum, karena adanya harapan bahwa pembelian hari ini, akan bisa dijual dengan harga berlipat pada bulan- bulan berikutnya.

Pada Januari 1637, harga sepucuk Tulip menyentuh harga 6000 Florins atau setara 1,8 juta USD pada masa kini (kurs April 2013) sedangkan pendapatan perkapita di Belanda saat itu di angka 150 Florins atau setara 45,000 USD (kurs April 2013 ).

Pada Februari 1637, terjadi penjualan Tulip dalam jumlah besar yang diikuti dengan panik massal penjualan stok Tulip secara beruntun oleh para pelaku pasar, harga Tulip pun anjlok, sama dengan harga seonggok bawang putih, di kala itu.

Talas Anthurium jelas punya kesamaan model kasus, banyak petani di kaki gunung yang kaya mendadak, karena ulah spekulan di perkotaan. Namun selebihnya, banyak ibu- ibu istri pejabat, yang telanjur menanamkan uangnya dengan harapan akan menangguk keuntungan berlipat, jatuh merugi.

Nilai Anthurium tertinggi yang ditawarkan pernah sampai di titik harga Rp. 300 juta rupiah, dengan perbandingan rata-rata upah minimum regional Jawa Tengah (tempat terbanyak petani Anthurium untuk perkotaan) perkapita hanya Rp. 12 juta rupiah, 25 kali lipat.

Secara agregat nominal, persentase rasio, atau skala ekonomi memang tidak sebesar “Tulipmania” 1636- 1637 di Belanda, tapi kasus Anthurium 2006- 2007 di Jawa Tengah ini cukup mampu membolak-balik status sosial ekonomi beberapa kalangan.
Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Siapa yang diuntungkan dari kasus gelembung semacam bunga Tulip dan Anthurium ini?

Yang diuntungkan tentunya adalah para spekulan yang tahu benar kapan saatnya membeli dan menjual stok barangnya, mereka yang mendengar pertama kali saat harga masih murah, dan menjualnya kembali pada titik harga tertinggi.

Siapa yang dirugikan? Tentunya adalah “para pengekor” yang membeli saat harga mendekati puncak, dan menjual stoknya, saat harga barang sudah jatuh, menjauhi titik tertinggi harga pasar, mirip fenomena jual-beli tokek.

Menariknya kurva parabol pertumbuhan persentase marjin, dalam kasus- kasus gelembung ekonomi, selalu dibumbui dengan variabel psikologi pelaku pasar, misalnya: dorongan memiliki simbol status sosial pergaulan, hasrat meraih keuntungan berlipat atau bumbu meta-fisikal segala, tentang doa-doa yang dikabulkan, bahwa tujuh turunan generasi akan kaya raya, tanpa perlu lagi bekerja.

Ya, manusia ternyata tetap rasional, selama kondisi psikisnya juga stabil dan itu bukan perkara yang mudah untuk dikendalikan, apalagi jika yang dimaksud adalah kondisi psikologi banyak manusia, komunal.

Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Bubble Lifecycle Graphic

Kasus gelembung ekonomi bisa terjadi karena para pelaku pasar, para manusia yang sebenarnya adalah makhluk- makhluk yang lebih dominan sisi psikis daripada kognitifnya (rasio). Sisi- sisi dasar psikis manusia yang sering digunakan sebagai “tombol ajaib”, untuk membuat pasar dinamis adalah: rasa takut dan harapan masa depan lebih baik.

Komodifikasi rasa takut (fear) dan harapan (hope) akan selalu dimainkan oleh segelintir kecil manusia, untuk mengendalikan sebagian besar manusia lain, dalam kasus ini adalah untuk mengendalikan kondisi psikologis komunal pelaku pasar.

Investasi terbaik adalah kembali ke diri sendiri, yaitu untuk memiliki pengetahuan dan keahlian sebanyak yang kita bisa serta perlukan dan membaca perilaku sosial masyarakat tempat kita hidup sehingga mampu menentukan posisi, apakah akan mengikuti arus kebodohan massal, memperingatkan mereka, atau tidak ikut sama sekali dan tidak terlibat dalam penanggukan keuntungan, ataupun kerugian besar, dalam waktu sekejap.

Di kasus semacam inilah kapitalisasi informasi menemukan nilai transaksional yang bisa dikalkulasi dan divaluasi, bukan sekedar jargon- jargon kosong tentang abad informasi, yang kadang justru susah dipahami publik awam.


Waspada “Economic Bubble” : Indonesia Diambang Krisis Moneter?
Tulip mania di Belanda (1646), ikan mujair jenis Lohan, cicak besar si Tokek, tanaman semak Anthurium, dan gelembung saham lainnya adalah contoh tipikal dari gelembung spekulasi. Di Jepang, penggelembungan harga aset terjadi pada akhir 1980-an.

Bahkan krisis ekonomi di Amerika Serikat yang dimulai tahun 2008 lalu juga diawali oleh economic bubble, dimana rakyatnya mempunyai daya beli yang tinggi serta suku bunga yang tinggi, hingga akhirnya tak lagi mampu membayar kredit apapun, termasuk kredit rumah yang tak terkira jumlahnya.

Tautan jurnal tentang Tulip mania 1636-1637 dapat anda unduh sebagai bahan perbandingan dan study (format PDF): University of Chicago JSTOR, UCLA , Maurits van Der Veen, University of Georgia, Scott Nicholson

Beberapa kasus krisis ekonomi yang berawal dari Economic Bubble atau Gelembung Ekonomi lainnya:

Tulip mania (berpuncak pada Februari 1637)
The South Sea Company (1720)
Mississippi Company (1720)
Spekulasi saham kereta api Inggris (1840-an)
Spekulasi tanah di Florida 1920-an (1925)
Gelembung ekonomi Amerika 1920-an (Roaring Twenties), (sekitar 1922-1929)
Nifty Fifty, akhir 1960-an dan awal 1970-an
Spekulasi saham Poseidon, awal 1970-an
Penggelembungan harga aset di Jepang (1986-1990)
Krisis finansial Asia 1997
Gelembung dot-com (1995–2000)
Gelembung perumahan Amerika Serikat (2005-2008)
Potensi Gelembung Ekonomi

0
4.7K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.