- Beranda
- The Lounge
Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...
...
![alfinfreak](https://s.kaskus.id/user/avatar/2013/12/01/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
alfinfreak
Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...
Quote:
Kuliner Kalimantan ![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
Spoiler for "Wadai 41", Warna-warna Kehidupan "Urang" Banjar :
Quote:
"Wadai 41", Warna-warna Kehidupan "Urang" Banjar
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/09/19/1609369pasarterapungg780x390.jpg)
Pasar terapung Lok Baintan di Sungai Martapura pada pagi hari. Pasar ini dapat ditempuh dengan kelotok dari Banjarmasin dengan lama perjalanan sekitar satu jam. Pasar berlokasi di Kecamatan Sungai Tabuk, Banjar, Kalsel.
DI Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tradisi penganan, makanan kecil, atau wadai, bukan sekadar urusan mengisi perut. Wadai menjadi simbol warna kehidupan, bergerak bersama tumbuh kembang masyarakat Banjar.
Kabut belum lagi menguap habis dari Sungai Martapura kala Restu (32) mendayung perahunya. Perahu kayu itu menyibak deretan perahu penjual dan pembeli di pasar terapung Lok Baintan, Banjarmasin. Di tengah perahu Restu, sebuah cetakan kue pukis terus mengepulkan asap.
”Beli berapa potong?” kata Restu ramah, sambil menyalakan kompor gas, lantas mengolesi cekungan cetakan dengan mentega. Begitu ada pesanan, ia segera menuang adonan gandum, telur, dan gula ke cetakan. Adonan itu pun mendesis menebar wangi.
Sekitar satu menit kemudian, Restu mencongkel keluar pukisnya, 10 potong kue dibayar Rp 10.000, dan kami pun menikmati hangatnya kue pukis di dinginnya pagi. Tak lama kemudian, perahu kami diantuk bibir perahu Rasunah (30), yang menawarkan nagasari, dadar gulung, kue cincin, buras, dan tapai.
Beragam
Wadai 41 adalah sebutan untuk puluhan jenis makanan atau penganan khas Banjar yang selalu dihadirkan dalam perayaan tradisional di Kalimantan Selatan. Budayawan Mukhlis Maman menuturkan, angka ”41” dalam penamaan itu memiliki beragam versi penjelasan.
”Ada yang memahami angka 41 itu sakral, sama sakralnya dengan ’hari ke-41’ dalam tradisi keseharian urang Banjar. Ada pula yang menafsir bahwa jumlah wadai yang lazim dihadirkan dalam beragam perayaan urang Banjar memang punya 41 jenis,” kata Muhklis.
Apa pun tafsir angka 41 dalam penamaan itu, wadai hadir dalam keseharian urang Banjar. Sore di akhir Oktober lalu, sejumlah warga berbincang di Warung Wadai 41, di pinggir jalan raya di Martapura, Banjarmasin. Di meja panjang, piring-piring yang penuh kue dijajar berderet-deret. Ada gegauk, berupa ketan putih berbentuk wajik dengan cucuran gula kelapa dan parutan dagingnya, dengan ”petasan” berupa butiran garam yang meletupkan rasa asin.
Magelik, kue kacang kedelai dengan sekelebat rasa asin, tersantap bersama cocolan sambal. Dua rak di atas meja itu juga sesak oleh aneka wadai berwarna putih, merah, hijau, kuning serta coklat. ”Semua wadai di warung kami makanan turun-temurun, dikenalkan para orangtua kami,” kata Mujah.
Sejarah panjang
Wadai 41 telah lama hadir dalam kebudayaan masyarakat Banjar, bahkan sebelum Islam hadir di wilayah itu. Penggiat kebudayaan Banjar, Joerliani Dyohansyah (84), menyebutkan, tradisi wadai 41 bermula dari tradisi masyarakat Hindu pada masa Kerajaan Dipa di Hujung Tanah, kini Kalimantan Selatan. ”Wadai 41 adalah sesaji untuk para roh penghuni alam agar tidak mengganggu kehidupan manusia,” ujarnya.
Keberadaan awal sejarahnya sebagai makanan sesaji membuat kue yang tergolong sebagai wadai 41 kaya akan simbol, menjadi makanan yang bukan sekadar penganan. Joerliani menguraikan, warna putih melambangkan kebaikan, merah: keberanian, hijau: kemakmuran, dan kuning: kemuliaan atau kejayaan. Semua warna melambangkan harmoni kehidupan.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, MZ Arifin Anis, menyebutkan, Kesultanan Banjarmasin lahir dari sengketa mahkota Kerajaan Dipa antara Pangeran Samudera dan paman-pamannya. Babak sejarah itu menjadi awal islamisasi Banjar, yang mengubah corak dan keseharian hidup urang Banjar.
”Karena terancam dibunuh paman-pamannya, Pangeran Samudera meminta perlindungan Patih Masih di muara Sungai Kuin, yang sekarang menjadi Kota Banjarmasin. Patih Masih menyarankan Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak untuk mengalahkan Kerajaan Dipa. Dalam hikayat Banjar disebutkan, Demak mengirim pasukan dipimpin Khatib Dahayan, membantu pendirian sebuah kerajaan Islam, Kesultanan Banjarmasin, yang resmi berdiri pada 24 September 1524. Pangeran Samudera ditahbiskan menjadi sultan pertamanya, bergelar Sultan Suriansyah,” kata Arifin.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kota Banjarmasin menggelar pekan kuliner dan budaya pada 26-30 Mei di Siring Piere Tendean, Banjarmasin. Pengunjung bisa menikmati panganan dan jajanan khas banjar, berbagai kesenian, juga pasar terapung tiruan dari di Muara Kuen maupun Lok Baintan. Kegiatan dalam rangka menyambut kedatangan Wakil Presiden Boediono itu diharapkan mendongkrak ekonomi masyarakat.
Wadai 41 atau kue persembahan menjadi salah satu budaya yang terwariskan dari tradisi Hindu dan bertahan dalam peradaban baru urang Banjar. Joerliani menuturkan, hingga kini, wadai 41 harus ada dalam setiap acara ritual kebudayaan ataupun acara keagamaan. Setiap acara di Kesultanan Banjar ataupun acara kabupaten, biasanya wadai menjadi salah satu bagian penting melengkapi acara. Bahkan, untuk acara perkimpoian atau kelahiran orang Banjar, wadai 41 penting untuk dihadirkan.
”Wadai 41 harus selalu ada dalam setiap acara pegustian, selamatan, dan perayaan resmi daerah,” kata Joerliani. Hanya saja, orang tidak lagi menyajikan kopi pahit, kopi manis, dan air kelapa dalam ritualnya. Selain pergeseran dalam nilai makna penyajiannya, jenis variasi makanan wadai 41 juga berubah. Karena sangat suka kue manis dan lembut, masyarakat Banjar kemudian membuat bingka dengan berbagai rasa, seperti bingka nangka, tapai, pandan, kismis, durian, dan keju.
Di warung wadai Hajah Nurmakiah, kami menemukan bingka tapai, berupa ketan putih yang diolah dengan pandan hingga berwarna hijau. Tekstur lembutnya mengantarkan rasa tabai berbalur gurihnya telur, dan, hmmmm, rasa manisnya yang pekat. Wadai tak hanya penuh warna, tetapi juga kaya rasa, dan sejarah.
Quote:
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/09/19/1609369pasarterapungg780x390.jpg)
Pasar terapung Lok Baintan di Sungai Martapura pada pagi hari. Pasar ini dapat ditempuh dengan kelotok dari Banjarmasin dengan lama perjalanan sekitar satu jam. Pasar berlokasi di Kecamatan Sungai Tabuk, Banjar, Kalsel.
DI Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tradisi penganan, makanan kecil, atau wadai, bukan sekadar urusan mengisi perut. Wadai menjadi simbol warna kehidupan, bergerak bersama tumbuh kembang masyarakat Banjar.
Kabut belum lagi menguap habis dari Sungai Martapura kala Restu (32) mendayung perahunya. Perahu kayu itu menyibak deretan perahu penjual dan pembeli di pasar terapung Lok Baintan, Banjarmasin. Di tengah perahu Restu, sebuah cetakan kue pukis terus mengepulkan asap.
”Beli berapa potong?” kata Restu ramah, sambil menyalakan kompor gas, lantas mengolesi cekungan cetakan dengan mentega. Begitu ada pesanan, ia segera menuang adonan gandum, telur, dan gula ke cetakan. Adonan itu pun mendesis menebar wangi.
Sekitar satu menit kemudian, Restu mencongkel keluar pukisnya, 10 potong kue dibayar Rp 10.000, dan kami pun menikmati hangatnya kue pukis di dinginnya pagi. Tak lama kemudian, perahu kami diantuk bibir perahu Rasunah (30), yang menawarkan nagasari, dadar gulung, kue cincin, buras, dan tapai.
Beragam
Wadai 41 adalah sebutan untuk puluhan jenis makanan atau penganan khas Banjar yang selalu dihadirkan dalam perayaan tradisional di Kalimantan Selatan. Budayawan Mukhlis Maman menuturkan, angka ”41” dalam penamaan itu memiliki beragam versi penjelasan.
”Ada yang memahami angka 41 itu sakral, sama sakralnya dengan ’hari ke-41’ dalam tradisi keseharian urang Banjar. Ada pula yang menafsir bahwa jumlah wadai yang lazim dihadirkan dalam beragam perayaan urang Banjar memang punya 41 jenis,” kata Muhklis.
Apa pun tafsir angka 41 dalam penamaan itu, wadai hadir dalam keseharian urang Banjar. Sore di akhir Oktober lalu, sejumlah warga berbincang di Warung Wadai 41, di pinggir jalan raya di Martapura, Banjarmasin. Di meja panjang, piring-piring yang penuh kue dijajar berderet-deret. Ada gegauk, berupa ketan putih berbentuk wajik dengan cucuran gula kelapa dan parutan dagingnya, dengan ”petasan” berupa butiran garam yang meletupkan rasa asin.
Magelik, kue kacang kedelai dengan sekelebat rasa asin, tersantap bersama cocolan sambal. Dua rak di atas meja itu juga sesak oleh aneka wadai berwarna putih, merah, hijau, kuning serta coklat. ”Semua wadai di warung kami makanan turun-temurun, dikenalkan para orangtua kami,” kata Mujah.
Sejarah panjang
Wadai 41 telah lama hadir dalam kebudayaan masyarakat Banjar, bahkan sebelum Islam hadir di wilayah itu. Penggiat kebudayaan Banjar, Joerliani Dyohansyah (84), menyebutkan, tradisi wadai 41 bermula dari tradisi masyarakat Hindu pada masa Kerajaan Dipa di Hujung Tanah, kini Kalimantan Selatan. ”Wadai 41 adalah sesaji untuk para roh penghuni alam agar tidak mengganggu kehidupan manusia,” ujarnya.
Keberadaan awal sejarahnya sebagai makanan sesaji membuat kue yang tergolong sebagai wadai 41 kaya akan simbol, menjadi makanan yang bukan sekadar penganan. Joerliani menguraikan, warna putih melambangkan kebaikan, merah: keberanian, hijau: kemakmuran, dan kuning: kemuliaan atau kejayaan. Semua warna melambangkan harmoni kehidupan.
Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, MZ Arifin Anis, menyebutkan, Kesultanan Banjarmasin lahir dari sengketa mahkota Kerajaan Dipa antara Pangeran Samudera dan paman-pamannya. Babak sejarah itu menjadi awal islamisasi Banjar, yang mengubah corak dan keseharian hidup urang Banjar.
”Karena terancam dibunuh paman-pamannya, Pangeran Samudera meminta perlindungan Patih Masih di muara Sungai Kuin, yang sekarang menjadi Kota Banjarmasin. Patih Masih menyarankan Pangeran Samudera meminta bantuan kepada Kesultanan Demak untuk mengalahkan Kerajaan Dipa. Dalam hikayat Banjar disebutkan, Demak mengirim pasukan dipimpin Khatib Dahayan, membantu pendirian sebuah kerajaan Islam, Kesultanan Banjarmasin, yang resmi berdiri pada 24 September 1524. Pangeran Samudera ditahbiskan menjadi sultan pertamanya, bergelar Sultan Suriansyah,” kata Arifin.
Quote:
Wadai 41 atau kue persembahan menjadi salah satu budaya yang terwariskan dari tradisi Hindu dan bertahan dalam peradaban baru urang Banjar. Joerliani menuturkan, hingga kini, wadai 41 harus ada dalam setiap acara ritual kebudayaan ataupun acara keagamaan. Setiap acara di Kesultanan Banjar ataupun acara kabupaten, biasanya wadai menjadi salah satu bagian penting melengkapi acara. Bahkan, untuk acara perkimpoian atau kelahiran orang Banjar, wadai 41 penting untuk dihadirkan.
”Wadai 41 harus selalu ada dalam setiap acara pegustian, selamatan, dan perayaan resmi daerah,” kata Joerliani. Hanya saja, orang tidak lagi menyajikan kopi pahit, kopi manis, dan air kelapa dalam ritualnya. Selain pergeseran dalam nilai makna penyajiannya, jenis variasi makanan wadai 41 juga berubah. Karena sangat suka kue manis dan lembut, masyarakat Banjar kemudian membuat bingka dengan berbagai rasa, seperti bingka nangka, tapai, pandan, kismis, durian, dan keju.
Di warung wadai Hajah Nurmakiah, kami menemukan bingka tapai, berupa ketan putih yang diolah dengan pandan hingga berwarna hijau. Tekstur lembutnya mengantarkan rasa tabai berbalur gurihnya telur, dan, hmmmm, rasa manisnya yang pekat. Wadai tak hanya penuh warna, tetapi juga kaya rasa, dan sejarah.
Spoiler for Merayakan Kelezatan Ikan Sungai :
Quote:
Merayakan Kelezatan Ikan Sungai
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1709347ikannn780x390.jpg)
Masakan khas Kalimantan Tengah di Rumah Makan Samba, Palangkaraya.
APA makanan khas Kalimantan selain soto banjar? Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kami menemukan belasan menu ikan sungai, seperti jelawat, lais, saluang, dan ikan patin yang lezat. Itulah kuliner Dayak yang terancam punah karena lingkungan sungai telah rusak.
Ikan itu dimasak dengan cara bakar, goreng, tanak (dimasak dengan kuah santan kental dan kaya bumbu), pepes, kandas alias dipenyet bersama sambal, dan juhu (dimasak berkuah bersama sayur seperti inti rotan muda atau rebung).
”Semua masakan kami baru dimasak setelah ada pesanan agar segar dan lezat,” kata Haroem, si empunya Rumah Makan Palangka. Makanan terhidang dan meja sesak oleh sayur umbut rotan (inti rotan muda), tumis kalakai alias pakis, ikan jelawat goreng, tanak patin, juhu rimbang, tumis bajei, ikan saluang yang digoreng, dan wadi patin.
Jelawat hanya ada di Kalimantan, ini salah satu ikan terlezat untuk digoreng. Saluang adalah teri tawar serupa wader. Wadi patin ialah ikan patin fermentasi yang digoreng dan dikukus.
Sepiring nasi yang dimasak dari beras ladang menguapkan sambal serai yang tak terlalu pedas oleh cabai. Sambal menebar aroma khas serai menemani nasi ladang yang berasa tawar. Aroma khasnya padu menemani rasa asin dan asam dari wadi ikan patin goreng. Asin dan asamnya wadi ikan patin berbeda dari asamnya buah. Pasangan pasnya memang pedasnya serai yang dilumat lembut dalam sambal serai. Saluang goreng yang gurih dan renyah jadi jade yang pas untuk pekatnya sensasi rasa wadi. Juga rasa pahit umbut rotan yang kenyal dan lunak, sesegar rasa pahit pare.
Jika Palangka menyuguhkan wadi ikan yang ”berasa nampol”, Rumah Makan Samba di Palangkaraya merayakan menu ikan bakar. Hampir semua ikan sungai tersedia, mulai dari patin, jelawat, lais, haruan atau ikan gabus, juga baung yang menyerupai lele berukuran raksasa.
Suasana di Rumah Makan Samba, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Rumah Makan Samba adalah tempat makan siap saji. Di rumah makan ini tersedia sajian khas Dayak, seperti telur ikan masak kuning yang kenyal bak jenang dan berasa manis, gulai ikan jelawat, ataupun sayur asam ikan baung. Menu istimewa lainnya adalah ikan asin telang-telang yang dagingnya lembut dipadu bumbu asam manis. Beragam sayur bening, berbahan kalakai, umbut kelapa muda, juga umbut rotan, dan sambal serai yang khas itu.
Bidong TH Asin (63), yang membuka rumah makan itu pada tahun 1996, menuturkan, beragam menu itu berakar dari tradisi kuliner Dayak Ngaju.
”Saya dari Desa Tumbang Samba, di pinggir Sungai Ketingan. Ketika kecil, makanan inilah yang kami santap di Tumbang Samba. Ragam bumbunya saya modifikasi, tapi bahan dasarnya sama,” kata Bidong.
Santapan harian
Antropolog Marko Mahin menyebutkan, ikan menjadi makanan harian masyarakat Dayak karena dulu ikan mudah ditemukan. ”Orang Dayak bertempat tinggal di pinggir sungai, menyandarkan hidup dari hasil sungai. Ikan menjadi salah satu menu utama,” kata Marko.
Meski dahulu menjadi santapan harian, ikan justru tidak menjadi bagian dari hewan persembahan dalam upacara masyarakat adat Dayak. Hewan persembahan dalam ritual adat selalu hewan darat, terutama sapi, kerbau, dan babi.
”Masyarakat Dayak meyakini Yang Maha Kuasa menciptakan berbagai binatang darat, baru kemudian menciptakan manusia. Hewan darat dianggap saudara tua manusia. Persembahan dalam upacara harus yang sederajat dengan manusia, maka hewan darat yang dikorbankan. Itu sebabnya, ikan tidak menjadi bagian dari hewan persembahan,” kata Marko.
Masakan khas Kalimantan Tengah di Rumah Makan Samba, Palangkaraya.
Kalimantan telah berubah. Ikan sungai, berbagai sayuran seperti umbut rotan, kalakai, jarang, jadi santapan sehari-hari. Meski ikan jadi santapan sehari-hari, sejumlah jenis ikan semakin sulit dicari di alam bebas.
”Padahal, cita rasa ikan budidaya dan ikan tangkap berbeda. Sebenarnya, tak hanya ikan yang makin sulit dicari. Berbagai sayuran, seperti bajai dan kalakai, juga semakin sulit dicari karena belum bisa dibudidayakan. Umbut rotan sudah dibudidayakan, tetapi terkadang juga harus dicari dengan berjalan jauh di tepi sungai,” kata Haroem.
Marko juga menyadari semakin jarangnya kuliner tradisional masyarakat Dayak disantap. ”Berbagai bahan makanan kuliner Dayak nyatanya memang berasal dari sungai dan sekarang sungai-sungai di Kalimantan telah rusak oleh pertambangan dan perkebunan.
Quote:
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1709347ikannn780x390.jpg)
Masakan khas Kalimantan Tengah di Rumah Makan Samba, Palangkaraya.
APA makanan khas Kalimantan selain soto banjar? Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kami menemukan belasan menu ikan sungai, seperti jelawat, lais, saluang, dan ikan patin yang lezat. Itulah kuliner Dayak yang terancam punah karena lingkungan sungai telah rusak.
Ikan itu dimasak dengan cara bakar, goreng, tanak (dimasak dengan kuah santan kental dan kaya bumbu), pepes, kandas alias dipenyet bersama sambal, dan juhu (dimasak berkuah bersama sayur seperti inti rotan muda atau rebung).
”Semua masakan kami baru dimasak setelah ada pesanan agar segar dan lezat,” kata Haroem, si empunya Rumah Makan Palangka. Makanan terhidang dan meja sesak oleh sayur umbut rotan (inti rotan muda), tumis kalakai alias pakis, ikan jelawat goreng, tanak patin, juhu rimbang, tumis bajei, ikan saluang yang digoreng, dan wadi patin.
Jelawat hanya ada di Kalimantan, ini salah satu ikan terlezat untuk digoreng. Saluang adalah teri tawar serupa wader. Wadi patin ialah ikan patin fermentasi yang digoreng dan dikukus.
Sepiring nasi yang dimasak dari beras ladang menguapkan sambal serai yang tak terlalu pedas oleh cabai. Sambal menebar aroma khas serai menemani nasi ladang yang berasa tawar. Aroma khasnya padu menemani rasa asin dan asam dari wadi ikan patin goreng. Asin dan asamnya wadi ikan patin berbeda dari asamnya buah. Pasangan pasnya memang pedasnya serai yang dilumat lembut dalam sambal serai. Saluang goreng yang gurih dan renyah jadi jade yang pas untuk pekatnya sensasi rasa wadi. Juga rasa pahit umbut rotan yang kenyal dan lunak, sesegar rasa pahit pare.
Jika Palangka menyuguhkan wadi ikan yang ”berasa nampol”, Rumah Makan Samba di Palangkaraya merayakan menu ikan bakar. Hampir semua ikan sungai tersedia, mulai dari patin, jelawat, lais, haruan atau ikan gabus, juga baung yang menyerupai lele berukuran raksasa.
Quote:
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1712516santappp780x390.jpg)
Rumah Makan Samba adalah tempat makan siap saji. Di rumah makan ini tersedia sajian khas Dayak, seperti telur ikan masak kuning yang kenyal bak jenang dan berasa manis, gulai ikan jelawat, ataupun sayur asam ikan baung. Menu istimewa lainnya adalah ikan asin telang-telang yang dagingnya lembut dipadu bumbu asam manis. Beragam sayur bening, berbahan kalakai, umbut kelapa muda, juga umbut rotan, dan sambal serai yang khas itu.
Bidong TH Asin (63), yang membuka rumah makan itu pada tahun 1996, menuturkan, beragam menu itu berakar dari tradisi kuliner Dayak Ngaju.
”Saya dari Desa Tumbang Samba, di pinggir Sungai Ketingan. Ketika kecil, makanan inilah yang kami santap di Tumbang Samba. Ragam bumbunya saya modifikasi, tapi bahan dasarnya sama,” kata Bidong.
Santapan harian
Antropolog Marko Mahin menyebutkan, ikan menjadi makanan harian masyarakat Dayak karena dulu ikan mudah ditemukan. ”Orang Dayak bertempat tinggal di pinggir sungai, menyandarkan hidup dari hasil sungai. Ikan menjadi salah satu menu utama,” kata Marko.
Meski dahulu menjadi santapan harian, ikan justru tidak menjadi bagian dari hewan persembahan dalam upacara masyarakat adat Dayak. Hewan persembahan dalam ritual adat selalu hewan darat, terutama sapi, kerbau, dan babi.
”Masyarakat Dayak meyakini Yang Maha Kuasa menciptakan berbagai binatang darat, baru kemudian menciptakan manusia. Hewan darat dianggap saudara tua manusia. Persembahan dalam upacara harus yang sederajat dengan manusia, maka hewan darat yang dikorbankan. Itu sebabnya, ikan tidak menjadi bagian dari hewan persembahan,” kata Marko.
Quote:
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1714592soppp780x390.jpg)
Kalimantan telah berubah. Ikan sungai, berbagai sayuran seperti umbut rotan, kalakai, jarang, jadi santapan sehari-hari. Meski ikan jadi santapan sehari-hari, sejumlah jenis ikan semakin sulit dicari di alam bebas.
”Padahal, cita rasa ikan budidaya dan ikan tangkap berbeda. Sebenarnya, tak hanya ikan yang makin sulit dicari. Berbagai sayuran, seperti bajai dan kalakai, juga semakin sulit dicari karena belum bisa dibudidayakan. Umbut rotan sudah dibudidayakan, tetapi terkadang juga harus dicari dengan berjalan jauh di tepi sungai,” kata Haroem.
Marko juga menyadari semakin jarangnya kuliner tradisional masyarakat Dayak disantap. ”Berbagai bahan makanan kuliner Dayak nyatanya memang berasal dari sungai dan sekarang sungai-sungai di Kalimantan telah rusak oleh pertambangan dan perkebunan.
Spoiler for Siapa Bilang Pera Itu Tidak Enak ? :
Quote:
Siapa Bilang Pera Itu Tidak Enak ?
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1656467peraaa780x390.jpg)
Ketupat kandangan, makanan khas Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
URANG Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan memiliki cita rasa unik tentang lezat tidaknya nasi atau ketupat. Nasi dan ketupat justru disebut lezat jika terhidang pera, berbutir-butir, tidak pulen. Selera itu membuat banyak petaninya bertahan menanam beras ladang yang dikenal wangi, enak, dan pera.
Urang Banjar punya beragam menu ketupat atau nasinya dimasak dari beras ladang dan beras rawa, salah satunya ketupat kandangan yang pera, namun lezatnya minta ampun...
”Makan ketupat kok pakai sendok?” tanya Ira (30), salah satu penjual ketupat kandangan di daerah Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang terheran-heran melihat para pembelinya yang menyantap ketupat kandangan memakai sendok. ”Kalau orang Kandangan seperti kami, memakan ketupat kandangan ya pakai tangan. Ketupatnya diremas, dan pasti hancur karena berasnya pera,” kata Ira sambil mengacungkan tangan yang memeragakan gerakan memeras ketupat.
Sambil menyantap gurihnya santan kuah ketupat kandangan buatan Ira, kami mendengarkan lelucon tentang orang Kandangan yang bersusah-payah memasak beras menjadi ketupat hanya untuk diremuk di piring. Secara fisik ketupat kandangan sebenarnya sama dengan ketupat daerah lain. Makanan ini menggunakan cangkang (bungkus) daun kelapa muda yang dianyam memutar.
Bedanya, ketupat kandangan disajikan bersama lauk ikan haruan (gabus) asap dan kuah kental bersantan. Kadang disediakan tambahan telur itik dari daerah Alabio dan kerupuk. Ketupat yang diremas remuk akan tercerai-berai, berbutir-butir, wujudnya tak berbeda dari sepiring nasi pera. Seperti ketupat di piring kami, yang bahkan remuk terendam santan yang sungguh kental.
Aroma aneka bumbu berpadu dengan wangi sari daun bawang merah goreng yang tertabur di atas sajiannya. Namun aroma tertajam dari sajian itu adalah bau khas ikan haruan yang diasapi. Beberapa gumpal ketupat sepenuhnya hancur-lebur di mulut, dalam baluran gurihnya santan ternyata rasa pera ketupat kandangan membuat nikmat.
”Ketupat kandangan hanya bisa dibuat dari beras siam unus. Kalau pakai beras dari Jawa, ya jadinya pulen, tidak bisa pera seperti ketupat kandangan,” kata Ira.
Maskot kota
Nama ketupat kandangan diambil dari nama daerah yang menjadi asal hidangan itu, Kandangan, sebuah kota kecil, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berada sekitar 125 kilometer arah timur laut dari Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Memasuki Kota Kandangan terlihat betebaran warung yang menjajakan kedua kuliner itu, terutama di pinggir jalan utama penghubung Banjarmasin dengan Kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Bahkan, tugu masuk Kandangan dari arah kota tetangga, Rantau, pun berbentuk ketupat besar.
Di Jalan Jenderal Sudirman, Kandangan, kami pun menjajal rasa ketupat kandangan di kandangnya. Di rumah makan yang dikelola Agustina Eriyani (33), kami kembali merasai sensasi menyantap ketupat berbentuk segitiga, berasa pera dan hancur bercampur kuah santan dan ikan haruan asapnya. Setiap harinya, Agustina menghabiskan 10 liter beras ladang atau siam. ”Kalau beras jawa tidak bisa dipakai. Nanti lembek hasilnya jika dibuat ketupat,” ucapnya.
Penasaran dengan beras lokal yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat setempat, kami pun mengunjungi Pasar Dapur di Kandangan. Di salah satu sudut pasar terlihat sejumlah pedagang yang menjajakan beras secara terbuka menggunakan bak-bak yang terbuat dari papan. Beras-beras siam itu lebih langsing ketimbang beras unggul. Eka Pebriana (30), salah satu pedagang, menuturkan, menjual sekitar 10 macam beras, seperti siam banjar, mayang, mutiara, rukut, dan kardil. Ia juga menjual beras unggul, seperti ciherang dan pandan wangi.
Beras yang dijual Eka harganya bervariasi. Siam banjar, misalnya, harganya Rp 6.500-Rp 7.000 per liter, siam mayang Rp 10.000-Rp 11.000, dan siam mutiara Rp 7.000-Rp 8.000. Sementara beras luar, seperti ciherang hanya Rp 5.500-Rp 6.000 per liter. Unus mayang yang termahal, seharga 14.000 per liter, justru beras yang telah dipanen lebih dari dua tahun lalu. Beras yang menjadi bahan terbaik wadai atau kue sajian itu disimpan dalam bentuk gabah dan baru digiling ketika akan dijual.
”Yang paling banyak dapatnya siam kupang. Produktivitasnya tinggi. Dulu jenis ini banyak ditanam di Banjarmasin dan Banjar, tetapi sekarang banyak ditanam di sini (Hulu Sungai Selatan). Kalau yang dari dulu sampai sekarang selalu ada pasokan adalah siam kardil yang ukurannya lebih pendek,” ujarnya. Menurut Eka, dalam sebulan ia bisa menjual satu jenis beras lokal hingga 1 ton. Sementara beras unggul jumlahnya lebih kecil yang terjual.
Terjaga selera
Faturrahman, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan, mengatakan, beraneka jenis beras lokal, baik itu padi ladang maupun padi rawa, tetap lestari dan terus ditanam petani karena terus diminati pasar. Di Kalimantan Selatan masih dikenal berpuluh beras lokal.
”Secara umum, semua padi lokal boleh disebut sebagai siam unus. Beras itu dimuliakan dan dibenihkan oleh para petaninya sendiri sehingga kerap kali kita menemukan penamaan beras siam unus yang didasarkan kepada nama petani yang memuliakan benih padi itu. Jadi, varian dari padi lokal sangat banyak, tak berbilang,” ujarnya.
Meski beras ini disuka oleh sebagian besar masyarakat Banjar, namun sejatinya produktivitas beras lokal masih kalah jika dibandingkan beras unggul. Menurut Faturrahman, jika dirata-rata, produktivitas tahunan untuk padi lokal sekitar 3,5 ton, sementara padi unggul 4,5 ton.
Izhar Khairullah, peneliti madya sekaligus Koordinator Program Balai Penelitian Lahan Rawa, Badan Litbang Pertanian, yang ada di Banjarbaru, mengatakan, kelebihan padi lokal antara lain soal rasa, fisik pera, tahan genangan, tahan keasaman tanah, dan mudah dalam hal perawatan.
Cita rasa khas masyarakat Banjar yang menyukai beras pera telah menyelamatkan keanekaragaman hayati padi di Kalimantan Selatan, yang ternyata juga menjadi sumber daya bagi pemuliaan benih padi di Indonesia. Siam unus mutiara dari Barito Kuala dan siam unus sabah dari Banjar adalah dua jenis padi lokal yang oleh Kementerian Pertanian ditetapkan sebagai salah satu benih unggulan.
Rasa pera bercampur kuah santan ketupat kandangan yang remuk, hmmmm...
Quote:
![Kuliner Kalimantan Gan ~ Sedap Abis...](https://dl.kaskus.id/assets.kompas.com/data/photo/2013/12/01/1656467peraaa780x390.jpg)
Ketupat kandangan, makanan khas Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
URANG Banjar yang mendiami Kalimantan Selatan memiliki cita rasa unik tentang lezat tidaknya nasi atau ketupat. Nasi dan ketupat justru disebut lezat jika terhidang pera, berbutir-butir, tidak pulen. Selera itu membuat banyak petaninya bertahan menanam beras ladang yang dikenal wangi, enak, dan pera.
Urang Banjar punya beragam menu ketupat atau nasinya dimasak dari beras ladang dan beras rawa, salah satunya ketupat kandangan yang pera, namun lezatnya minta ampun...
”Makan ketupat kok pakai sendok?” tanya Ira (30), salah satu penjual ketupat kandangan di daerah Negara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, yang terheran-heran melihat para pembelinya yang menyantap ketupat kandangan memakai sendok. ”Kalau orang Kandangan seperti kami, memakan ketupat kandangan ya pakai tangan. Ketupatnya diremas, dan pasti hancur karena berasnya pera,” kata Ira sambil mengacungkan tangan yang memeragakan gerakan memeras ketupat.
Sambil menyantap gurihnya santan kuah ketupat kandangan buatan Ira, kami mendengarkan lelucon tentang orang Kandangan yang bersusah-payah memasak beras menjadi ketupat hanya untuk diremuk di piring. Secara fisik ketupat kandangan sebenarnya sama dengan ketupat daerah lain. Makanan ini menggunakan cangkang (bungkus) daun kelapa muda yang dianyam memutar.
Bedanya, ketupat kandangan disajikan bersama lauk ikan haruan (gabus) asap dan kuah kental bersantan. Kadang disediakan tambahan telur itik dari daerah Alabio dan kerupuk. Ketupat yang diremas remuk akan tercerai-berai, berbutir-butir, wujudnya tak berbeda dari sepiring nasi pera. Seperti ketupat di piring kami, yang bahkan remuk terendam santan yang sungguh kental.
Aroma aneka bumbu berpadu dengan wangi sari daun bawang merah goreng yang tertabur di atas sajiannya. Namun aroma tertajam dari sajian itu adalah bau khas ikan haruan yang diasapi. Beberapa gumpal ketupat sepenuhnya hancur-lebur di mulut, dalam baluran gurihnya santan ternyata rasa pera ketupat kandangan membuat nikmat.
”Ketupat kandangan hanya bisa dibuat dari beras siam unus. Kalau pakai beras dari Jawa, ya jadinya pulen, tidak bisa pera seperti ketupat kandangan,” kata Ira.
Maskot kota
Nama ketupat kandangan diambil dari nama daerah yang menjadi asal hidangan itu, Kandangan, sebuah kota kecil, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, berada sekitar 125 kilometer arah timur laut dari Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Memasuki Kota Kandangan terlihat betebaran warung yang menjajakan kedua kuliner itu, terutama di pinggir jalan utama penghubung Banjarmasin dengan Kota Balikpapan di Kalimantan Timur. Bahkan, tugu masuk Kandangan dari arah kota tetangga, Rantau, pun berbentuk ketupat besar.
Di Jalan Jenderal Sudirman, Kandangan, kami pun menjajal rasa ketupat kandangan di kandangnya. Di rumah makan yang dikelola Agustina Eriyani (33), kami kembali merasai sensasi menyantap ketupat berbentuk segitiga, berasa pera dan hancur bercampur kuah santan dan ikan haruan asapnya. Setiap harinya, Agustina menghabiskan 10 liter beras ladang atau siam. ”Kalau beras jawa tidak bisa dipakai. Nanti lembek hasilnya jika dibuat ketupat,” ucapnya.
Penasaran dengan beras lokal yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat setempat, kami pun mengunjungi Pasar Dapur di Kandangan. Di salah satu sudut pasar terlihat sejumlah pedagang yang menjajakan beras secara terbuka menggunakan bak-bak yang terbuat dari papan. Beras-beras siam itu lebih langsing ketimbang beras unggul. Eka Pebriana (30), salah satu pedagang, menuturkan, menjual sekitar 10 macam beras, seperti siam banjar, mayang, mutiara, rukut, dan kardil. Ia juga menjual beras unggul, seperti ciherang dan pandan wangi.
Beras yang dijual Eka harganya bervariasi. Siam banjar, misalnya, harganya Rp 6.500-Rp 7.000 per liter, siam mayang Rp 10.000-Rp 11.000, dan siam mutiara Rp 7.000-Rp 8.000. Sementara beras luar, seperti ciherang hanya Rp 5.500-Rp 6.000 per liter. Unus mayang yang termahal, seharga 14.000 per liter, justru beras yang telah dipanen lebih dari dua tahun lalu. Beras yang menjadi bahan terbaik wadai atau kue sajian itu disimpan dalam bentuk gabah dan baru digiling ketika akan dijual.
”Yang paling banyak dapatnya siam kupang. Produktivitasnya tinggi. Dulu jenis ini banyak ditanam di Banjarmasin dan Banjar, tetapi sekarang banyak ditanam di sini (Hulu Sungai Selatan). Kalau yang dari dulu sampai sekarang selalu ada pasokan adalah siam kardil yang ukurannya lebih pendek,” ujarnya. Menurut Eka, dalam sebulan ia bisa menjual satu jenis beras lokal hingga 1 ton. Sementara beras unggul jumlahnya lebih kecil yang terjual.
Terjaga selera
Faturrahman, Kepala Bidang Tanaman Pangan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan, mengatakan, beraneka jenis beras lokal, baik itu padi ladang maupun padi rawa, tetap lestari dan terus ditanam petani karena terus diminati pasar. Di Kalimantan Selatan masih dikenal berpuluh beras lokal.
”Secara umum, semua padi lokal boleh disebut sebagai siam unus. Beras itu dimuliakan dan dibenihkan oleh para petaninya sendiri sehingga kerap kali kita menemukan penamaan beras siam unus yang didasarkan kepada nama petani yang memuliakan benih padi itu. Jadi, varian dari padi lokal sangat banyak, tak berbilang,” ujarnya.
Meski beras ini disuka oleh sebagian besar masyarakat Banjar, namun sejatinya produktivitas beras lokal masih kalah jika dibandingkan beras unggul. Menurut Faturrahman, jika dirata-rata, produktivitas tahunan untuk padi lokal sekitar 3,5 ton, sementara padi unggul 4,5 ton.
Izhar Khairullah, peneliti madya sekaligus Koordinator Program Balai Penelitian Lahan Rawa, Badan Litbang Pertanian, yang ada di Banjarbaru, mengatakan, kelebihan padi lokal antara lain soal rasa, fisik pera, tahan genangan, tahan keasaman tanah, dan mudah dalam hal perawatan.
Cita rasa khas masyarakat Banjar yang menyukai beras pera telah menyelamatkan keanekaragaman hayati padi di Kalimantan Selatan, yang ternyata juga menjadi sumber daya bagi pemuliaan benih padi di Indonesia. Siam unus mutiara dari Barito Kuala dan siam unus sabah dari Banjar adalah dua jenis padi lokal yang oleh Kementerian Pertanian ditetapkan sebagai salah satu benih unggulan.
Rasa pera bercampur kuah santan ketupat kandangan yang remuk, hmmmm...
Quote:
Jangan Lupa Comment + ![Rate 5 Star emoticon-Rate 5 Star](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtvqnpxx.gif)
Kalo berkenan kasih juga![Blue Guy Cendol (L) emoticon-Blue Guy Cendol (L)](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ox6pblpkt.gif)
![Toast emoticon-Toast](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1iothbu.gif)
![Rate 5 Star emoticon-Rate 5 Star](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtvqnpxx.gif)
Kalo berkenan kasih juga
![Blue Guy Cendol (L) emoticon-Blue Guy Cendol (L)](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ox6pblpkt.gif)
![Toast emoticon-Toast](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1iothbu.gif)
Quote:
Sumber :Kompas.com
Quote:
Quote:
Original Posted By gogowazowski►tapi selera setiap daerah, setiap orang beda beda gan
bhineka tunggak ika![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
bhineka tunggak ika
![I Love Indonesia (S) emoticon-I Love Indonesia (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/iloveindonesias.gif)
Quote:
Original Posted By ahmadyani***►ciri khas nya yak jualan diatas perahu ![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
mantep emang kuliner-kulinernya![2 Jempol emoticon-2 Jempol](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1x373yj.gif)
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
mantep emang kuliner-kulinernya
![2 Jempol emoticon-2 Jempol](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1x373yj.gif)
Quote:
Quote:
Original Posted By apbtsolo►Ane di banjar 3th gan,,,,
ikan haruan,ikan saluang,soto banjar,masak habang dll,,
kaga ada bosennya gan,,,
![Jempol emoticon-Jempol](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1j43vv5.gif)
![I Love Indonesia emoticon-I Love Indonesia](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1xu2wka.gif)
ikan haruan,ikan saluang,soto banjar,masak habang dll,,
kaga ada bosennya gan,,,
![Jempol emoticon-Jempol](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1j43vv5.gif)
![I Love Indonesia emoticon-I Love Indonesia](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1xu2wka.gif)
Quote:
Original Posted By Andriantoni►Tumbang Samba ya ?
Tempat ane tugas sekarang , deket sama rumahnya yg punya rumah makan Samba itu![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
Tempat ane tugas sekarang , deket sama rumahnya yg punya rumah makan Samba itu
![Big Grin emoticon-Big Grin](https://s.kaskus.id/images/smilies/sumbangan/14.gif)
Quote:
Original Posted By spring.flower►jadi pengen makan gan, padahal ane lagi diet ![Sorry emoticon-Sorry](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1xldg9p.gif)
![Sorry emoticon-Sorry](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ly1xldg9p.gif)
Quote:
Original Posted By theni►trit nang kaya ngini yang cucuk jadi HT
jadi lapar pulang malihat gambar makanan pina nyaman nyaman tarutama katupat kandangan![Matabelo emoticon-Matabelo](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtvdpjkq.gif)
jadi lapar pulang malihat gambar makanan pina nyaman nyaman tarutama katupat kandangan
![Matabelo emoticon-Matabelo](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtvdpjkq.gif)
Quote:
Quote:
UPDATE BAWAH GAN
CARI SENDIRI![Ngakak emoticon-Ngakak](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtyfyn16.gif)
CARI SENDIRI
![Ngakak emoticon-Ngakak](https://s.kaskus.id/images/smilies/smilies_fb5ohtyfyn16.gif)
Diubah oleh alfinfreak 09-12-2013 12:41
0
7.2K
Kutip
30
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![The Lounge](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-21.png)
The Lounge![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
923.4KThread•84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya