Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hag3maruAvatar border
TS
hag3maru
Cerita versi lain permasalahan dr. ayu dan efeknya ke depan untuk dunia kedokteran In
Tidak perlu menelaah kejanggalan
proses hukum, dimana surat edaran
Mahkamah Agung mengenai
pengabulan permohonan kasasi,
melebihi otoritas Undang-Undang
yang mengatakan bahwa kasus bebas
murni tidak dapat di kasasi (surat
edaran mengalahkan undang-
undang). Dengan kata lain, jelas
kasus ini cacat hukum. Namun kali
ini saya ingin menelaah lebih dalam
lagi, bukan dari sisi kecacatan
hukum. Apalagi MKDKI sudah
dilangkahi dalam penanganan kasus
ini.
Saya punya uneg-uneg lain yang
ingin saya sampaikan. Hal ini
mengenai sorotan kasus dr. Ayu dkk
yang dianggap melakukan malpraktik
yang menyebabkan meninggalnya
pasien alm. Ny. Julia Fransisca M.
Mohon maaf bila ada salah kata.
Kronologis secara singkat:
1. Pasien dirujuk dari puskesmas
karena mengalami ketuban pecah dini
serta adanya riwayat persalinan
sebelumnya dengan vakum. Ybs
sedang hamil anak kedua. Sesuai
dengan pemeriksaan awal, maka
diputuskan oleh tim dokter tidak ada
kotraindikasi/hal-hal yang
memberatkan untuk dilaksanakan
persalinan secara normal/
pervaginam. Ketuban pecah dini
memang bukan merupakan
penghalang persalinan normal.
2. Pasien datang di rumah sakit
dalam keadaan baik, bukaan dua
(pembukaan jalan lahir dua jari).
Pasien diobservasi di ruang
persalinan hingga bukaan lengkap
(fase ini dinamakan Kala 1
persalinan), dan pada saat bukaan
lengkap, pasien dipimpin untuk
mengejan (dinamakan Kala 2
persalinan).
3. Pada saat kala 2 persalinan, janin
ternyata tidak turun walaupun
bukaan sudah lengkap (kemungkinan
paling sering karena ibu tidak kuat
mengejan, atau ada lilitan tali pusat)
mengenai penyebab tidak turunnya
janin ini saya belum mendapatkan
penyebab pasti nya. Pada saat inilah
timbul kegawatan janin, dimana janin
kekurangan oksigen karena
kemungkinan tali pusat terjepit di
jalan lahir (sekali lagi, ini hanya
kemungkinan yang bisa terjadi).
4. Karena letak janin masih tinggi di
atas lubang kelahiran, maka tidak
dapat dilakukan penarikan dari luar
menggunakan vakum, sehingga tim
dokter memutuskan untuk melakukan
tindakan sectio caesarian, atas
perintah dari dokter spesialis, atau
dokter konsulen dari dr. Ayu dkk.
5. Dari sumber yang saya peroleh,
pada saat ini keluarga sedang tidak
ada di lokasi, sehingga kemungkinan
besar informasi yang diberikan oleh
dokter langsung dibicarakan langsung
kepada pasien.
6. Ada yang menyatakan bahwa
pasien tidak dapat menandatangani
surat persetujuan informed consent
tindakan oprasi sectio caesarian
karena pasien sangat kesakitan (kala
dua persalinan memang secara
normal sangat terasa menyakitkan),
dan pada kasus ini, katanya tanda-
tangan pasien dipalsukan (saya tidak
dapat memastikan mengenai hal ini,
dan akan saya bahas lebih lanjut di
bawah).
7. Sectio caesarian dilakukan,
masalah pembiusan, saya tidak tahu
siapa yang melakukannya, apakah
penata anestesi, ataukah dokter
anestesinya langsung.
8. Pada saat memulai operasi, dr. Ayu
dkk kaget saat melihat sayatan
pertama keluar darah hitam, pertanda
pasien (si ibu) sudah kekurangan
oksigen. Ini menurut saya juga
menjadi faktor kontribusi timbulnya
gawat janin (janin kekurangan
oksigen) karena oksigen janin berasal
dari darah ibu yang sudah
kekurangan oksigen. Belakangan
diketahui penyebab kekurangan
oksigen si ibu adalah akibat
sumbatan udara di dalam sirkulasi
pembuluh dari (air embolism)
tepatnya di bilik jantung kanan
pasien.
9. Tidak mungkin operasi dihentikan
pada saat ini, sehingga tindakan
diselesaikan dan bayi dapat
dikeluarkan dengan selamat, dan
hidup.
10. Pasien selesai di operasi, masih
hidup, namun dengan kondisi yang
melemah. Beberapa saat kemudian
pasien meninggal.

Saya ingin membahas beberapa
kejanggalan dalam kasus ini,
terutama sebab kematian, dan orang-
orang yang bertanggung jawab di
dalamnya.
1. Mengenai informed consent
(lembar persetujuan tindakan)
kronologis nomor 5.
Dalam ilmu kedokteran, walaupun
pasien berhak menentukan apa dia
bersedia dilakukan tindakan medis
kepadanya atau tidak, namun hal itu
tidak berlaku apabila pasien dalam
keadaan yang tidak kooperatif dan
dalam keadaan emergency. Dokter
diperbolehkan melakukan tindakan
medis apapun pada saat emergency
untuk menyelamatkan nyawa pasien
walaupun pasien tidak dapat
menandatangani informed consent
dan keluarga tentunya tidak ada di
tempat atau sulit dihubungi. Hal ini
adalah berdasarkan prinsip Non
Maleficience (tidak merugikan pasien)
dimana apabila dokter tidak segera
melakukan tindakan yang perlu, maka
dikhawatirkan pasien dapat
kehilangan nyawa atau terjadi
komplikasi yang parah. Informed
consent tidak berada paling atas!
Nyawa jauh lebih diutamakan dalam
pengambilan keputusan tindakan
kedokteran.
2. Mengenai penyebab kematian (air
embolism/emboli udara/sumbatan
udara di dalam pembuluh darah)
Penyebab kematian berdasarkan
otopsi yang dilakukan oleh tim dokter
forensik yang menangani kasus ini,
bahwa ditemukan sumbatan udara di
bilik jantung kanan (yang tentu
merupakan bagian dari sistem
sirkulasi pembuluh darah).
Tidak semua sumbatan/emboli bisa
menyebabkan kematian. Berdasarkan
sumber Jurnal Anestesiologi tahun
2007 "Diagnosis and Treatment of
Vascular Air Embolism" (Diagnosis
dan terapi dari emboli udara di
vaskuler), emboli udara yang
mematikan adalah berjumlah 200-300
ml. Bahkan tubuh memiliki
mekanisme kompensasi yang cukup
apabila terdapat emboli udara hingga
berjumlah 100cc saja, dengan kata
lain sumbatan udara tidak pasti
menyebabkan pasien meninggal kalau
jumlahnya hanya sedikit. Jumlah
200-300cc ini bila disetarakan ukuran
rumah tangga adalah satu gelas
penuh.
Pertanyaannya? dari mana, dan apa
yang menyebabkan sebegitu banyak
udara bisa masuk kedalam pembuluh
darah?
Berdasarkan jurnal di atas, prosedur
persalinan dan tindakan sectio
caesarian, bahkan kejadian ketuban
pecah dini tidak akan mungkin
menyebabkan masuknya sejumlah
besar udara ke dalam pembuluh
darah. Penyebab terjadinya emboli
udara ini berdasarkan jurnal tersebut
antara lain: prosedur oprasi saraf
dengan posisi duduk, atau prosedur
kateterisasi (masuknya saluran) ke
aliran vena/arteri yang
memungkinkan adanya kontaminan
berupa udara yang masuk ke dalam
pembuluh darah. Apabila dilihat dari
prosedur tindakan sectio caesarian
ataupun prosedur persalinan normal
pada almarhumah, maka satu-satunya
kemungkinan masuknya udara adalah
melalui selang infus. Kemudian yang
jadi pertanyaan dan sampai saat ini
saya tidak temukan jawabannya
adalah, apakah mungkin
keterlambatan pergantian botol infus
yang sudah kosong bisa menyebabkan
masuknya sejumlah besar udara ke
dalam pembuluh darah? Dan saya
rasa jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Plabot(botol) infus memiliki volume
total sekitar 600ml, dan total volume
cairan yang dimilikiadalah 500cc.
Apabila 500cc ini telah masuk
semuanya ke dalam pembuluh darah,
menyisakan botol infus yang gepeng
karena tekanan negatif di dalamnya,
dan terkekan oleh tekanan atmosfer.
Ada sedikit kemungkinan bahwa ada
sejumlah udara yang dapat masuk ke
pembuluh darah apabila terjadi
keterlambatan penggantian cairan
infus. Namun saya rasa untuk
mencapai volume udara 100cc, botol
infus yang sudah gepeng itu harus
diremas sekuat tenaga untuk
mengeluarkan semua udara yang
terkandung di dalamnya, untuk dapat
masuk ke dalam pembuluh darah!
Nah, apakah mungkin hal ini terjadi?
Apakah ada seseorang di dekat
almarhumah yang dengan sengaja
meremas-remas plabot infus yang
sudah kosong itu sehingga sejumlah
udara sekitar 100cc yang terkandung
di dalamnya masuk ke pembuluh
darah, dan apa tujuannya? Pun
apabila ia berhasil, ia masih harus
menambah sekitar 100cc udara lagi
untuk dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah almarhumah untuk
dapat menyebabkan kematian pasien.
Di titik inilah saya menemukan ada
yang aneh dalam proses/penyebab
kematian pasien. Emboli udara amat
sangat jarang terjadi, apalagi dalam
situasi persalinan. Harus ada sebuah
mekanisme yang memungkinkan
masuknya udara sebanyak sekitar satu
gelas es teh yang biasa anda minum
untuk dapat menyebabkan pasien Ny.
Julia Fransisca ini meninggal. Apakah
ada yang bisa menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan yang
dapat menjadi penyebab kematian
pasien tersebut? Siapakah yang
bertanggung jawab atas masuknya
sejumlah udara ini?
dr. Ayu didakwa lalai menyebabkan
kematian akibat tindakan operasi
yang dilakukan sehingga
menyebabkan emboli udara yang
terjadi pada pasien, itu kata MA.
Salah satu bukti bahwa keterbatasan
ilmu seseorang, yang mencoba
menghakimi profesi lain dengan
keilmuan yang kompleks.
Kemudian, apabila memang kita
terima penjelasan, bahwa emboli
udara bisa terjadi pada keadaan
keterlembatan pergantian infus,
sehingga disimpulkan botol infus
kosong yang terpasang pada pasien
bisa menyebabkan 200-300cc udara
masuk ke dalam pembuluh darah
tanpa harus diremas-remas, maka kita
harus telaah lebih dalam, siapakah
yang bertugas memonitor cairan infus
dan bertanggung jawab mengganti
infus.
Pertanyaannya menjadi, apakah
dokter ayu harus memonitor sendiri
cairan infus yang terpasang di
pasien?Apakah seorang dokterlah
yang wajib mengganti cairan infus
saat cairan infus pada pasien habis?
Di rumah sakit ada sistem
pendelegasian tugas, observasi di
ruang persalinan biasanya dilakukan
oleh para bidan, dimana tugas bidan
biasanya adalah membantu
persalinan secara normal, dan
memonitor/observasi pasien,
termasuk di dalamnya adalah
memonitor cairan infus, dan
menggantinya apabila sudah habis,
tentunya jenis cairan ditentukan oleh
dokter yang merawat. Dan tentunya
tidak mungkin seorang dokter harus
keliling bangsal, atau ruang
persalinan untuk memonitor seluruh
pasien yang terpasang infus dan
mengganti infusnya apabila sudah
habis. Itu bukan tugas dokter.
Ada beberapa hal lagi yang
menggelitik benak saya...
Keselamatan pasien di medan operasi
bukan hanya berada di tanggung
jawab dokter operator saja (dalam hal
ini dokter kandungan), namun juga
tanggung jawab dokter anestesi.
Dokter anestesi memiliki kewenangan,
dan tanggung jawab dalam menjaga
kestabilan hemodinamik pasien
selama dokter operator melakukan
tindakan operasi. Ini memang tugas
seorang dokter anestesi untuk
memberikan ketenangan bagi
operator dalam menjalankan tugasnya
melakukan tindakan oprasi kepada
pasien tanpa harus memikirkan
kestabilan hemodinamik(sirkulasi
darah, pernafasan, dan lain). Lantas,
mengapa yang diutak-utik hanya
dokter kandungan saja sebagai
operatornya pada saat pasiennya
tidak selamat?
Namun saya mengira, dokter anestesi
pun akan sangat kesulitan jika
menghadapi pasien dengan emboli
udara di medan oprasi yang sudah
terlanjur terjadi tanpa bisa dideteksi
sebelumnya. Sehingga di sini saya
simpulkan, kedua dokter, baik
operator (dokter ayu) maupun dokter
anestesi keduanya akan sangat
kesulitan menyelamatkan nyawa
pasien, karena ada emboli udara yang
masif yang terjadi di dalam tubuh
pasien.
Hal berikutnya yaitu, mengapa pihak
Rumah Sakit tidak dimintai
pertanggung-jawaban mengenai hal
ini? Jika memang benar penyebab
kematiannya adalah emboli udara,
dan jika memang itu akibat
kurangnya pengawasan terhadap
pasien, tentunya harus dilihat
kebijakan yang ditelurkan oleh
manajemen rumah sakit. Siapakah
yang berkewajiban melakukan
observasi pasien dalam persalinan?
Siapakah yang berkewajiban
mengontrol cairan infus? Siapakah
yang berkewajiban mengganti cairan
infus? Apakah hal tersebut sudah
diatur dalam Standar Prosedur
Operasional yang ditetapkan oleh
direktur rumah sakit?Apakah ada
kebijakan-kebijakan direktur yang
mengatur hal-hal tersebut di atas?
Bila sudah diatur dengan baik, ada
kebijakan, ada SPO, maka yang dapat
disalahkan tentunya adalah orang
yang berkewajiban yang diatur dalam
SPO tersebut, tapi orang tersebut
tidak melaksanakan tugasnya dengan
baik. Namun apabila hal tersebut
belum diatur dalam kebijakan rumah
sakit, atau tidak ada SPO nya, maka
seharusnya Rumah Sakit wajib
bertanggung jawab atas hal ini.
Menanggapi kronologis nomor 6.
Mengenai isu-isu tanda-tangan palsu,
berikut adalah yang terjadi:
Pada saat timbul kejadian gawat
janin, keluarga pasien tidak ada yang
dapat dimintai tanda-tangan.
Akhirnya lembar informed consent
ditanda-tangani oleh pasien. Pasien
terebut sedang berada dalam
persalinan kala dua, yang mana
keadaan ini rasanya mulas dan nyeri
sekali. Ada yang mengibaratkan,
nyerinya seperti patah tulang di
beberapa tempat sekaligus! Dapat
dibayangkan, tanda tangan pasien
yang dibuat oleh pasien tersebut
yang sedang merasakan kesakitan
yang amat sangat tentunya tidak
sama dengan tanda tangan yang
dibuat pada saat pasien tidak merasa
kesakitan. Namun lantas hal ini
dijadikan alasan, bahwa
ketidaksamaan tanda-tangan pasien
pada informed consent diduga
merupakan tanda-tangan palsu.
Menanggapi isu-isu terlambatnya

Ember :m.kompasiana.com/post/read/613676/3/kejanggalan-kasus-dr.ayu-sebuah-telaah-empirik

kayaknya ni copy paste dari facebook nya Dokter Indonesia Bersatu gan.. ni link FB nya:
https://m.facebook.com/groups/136752723169071?view=permalink&id=226056217572054&refid=7&_ft_=qid.5951035304256830151%3Amf_story_key.-3273198951183686092

Komeng ane: jadi dokter di Indonesia di masa depan harus memberikan informasi ke pasien sejelas2nya dan melakukan defensif medicine seperti contoh2 berikut ini,

contoh 1
pasien : dok saya sakit kepala
dr: ok, anda perlu cek darah dulu
pasien: harus dok?
dr: iya, kalau boleh sekalian foto rontgen
pasien: ?? sapa tahu sinus ya dok?
dr: benar, lebih baik lagi kalau anda ct-scan kalau perlu mri
pasien: sebegitunya dok???
dr: ya, biar pasti bukan tumor atau yg lainnya
pasien: kasih obat saja dok
dr: saya kasih, smga bisa meredakan, tapi ada efek sampingnya loh bla...bla....
pasien: jadi dok?
dr: utk mncegah efek sampingnya, akan saya beri obat juga, tapi obat ini efek sampingnya bla.. bla....
pasien: efek sampingnya bisa berbahaya dok?
dr: bisa, bila alergi, bhkn kmatian
pasien: serius dok!
dr: saya serius, sapa main2.
pasien: nangis... makin sakit kepala dok.. saya pulang saja dok
dr: ???

contoh 2
dr: dari semua hasil pemeriksaan, anda terkena dbd (demam berdarah dengue)
pasien: jd bgmn selanjutnya dok??
dr: saya rawat, pasang infus ya.
pasien: ok dok
dr: resiko pemasangan infus bla... bla.... walau tdk kita inginkan bisa berbahaya
pasien: maksudnya?
dr: bisa ada resiko emboli, saya upayakan terbaiklah, walau sulit diselamatkan
pasien: jgn infus dok!!!
dr: itu hak anda, tapi kalo tidak diinfus bisa kekurangan cairan muncul gejala dehidrasi karena pada DBD itu ada kebocoran plasma, cairan dalam darah banyak berpindah ke jaringan longgar, selain itu turunnya trombosit kalo tidak kita maintenance cairannya nanti bisa pendarahan, gawat juga
pasien: jd dok, psg infus ada resiko emboli, ngak infus bisa perdarahan dan dehidrasi?
dr: iya, jadi??
pasien: gelaaap dok

contoh 3
org: dok, ada kecelakan, orgnya dah ngak sadar. tolongin dok..
dr: cepat... keluarganya mana? MANA???
org: buat apa dok??
dr: izin
org: mana ketehe dok?
dr: lapor polisi!!!
org: utk apa??
dr: nyari keluarganya
org: darurat dok, yg terbaik saja
dr: terbaik bg saya blum tentu terbaik mnrut dia/keluarga/jaksa. ntar ps. 359 kuhp!!!
org: jadi dok??
dr: kalau begini jgn ke dokter, ke polisi dulu, nyari keluarga.

Betulkah harus begitu.....?? Masyarakat, mengertilah... Semoga anda belajar
Diubah oleh hag3maru 28-11-2013 01:16
0
5.5K
56
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.