Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

b34mteAvatar border
TS
b34mte
7 Film Besar Haram Edar : Kontroversi Sejarah di Film Indonesia
SOEKARNO




Film itu akan tayang di bioskop
Indonesia , akhir tahun ini. Ia
bahkan dijadwalkan tampil di
enam negara di Asia .

Sayang , di tengah proses
pascaproduksi, film itu menuai
kontroversi . Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri Bung Karno sendiri , yang melayangkan somasi atas film itu .

Padahal mulanya , Rachmawati
akur dengan Raam Pundjabi , bos
Multivision Plus yang menjadi
produser film Soekarno:
Indonesia Merdeka . Mereka
membuat perjanjian untuk
bekerja sama . Rachmawati
bahkan membentuk tim khusus
untuk ‘mengawasi ’ produksi film
itu .

“ Ini masuk akal, karena sejauh
mana gesture Soekarno kan
belum ada yang pernah ketemu, ”
ujar Rachma. Hanung boleh jadi
sutradara . Namun Rachma
adalah keluarga , lingkup terdekat . Bahkan putrinya sendiri . Ia yang paling tahu sosok ayahnya , dibanding ribuan referensi lainnya .

Di luar dugaan, kerja sama Rachma dan Multivision Plus
gugur . Rachma merasa ada poin-
poin perjanjian yang disalahi.
Menurutnya , Soekarno yang
ditampilkan dalam film itu tak
sesuai fakta . Baik dari segi
penokohan maupun alur cerita .

Rachma tak setuju soal gambaran sosok Soekarno memandang wanita . Ia juga tak sepaham soal pemeran utama .
Menurutnya , Ario hanyalah anak
muda yang lebih banyak tinggal
di luar negeri sehingga tak
memahami sejarah bangsanya
sendiri . Ia bahkan tak kenal
siapa Soekarno.

Meski begitu, produksi film terus
berjalan . Hanung sebagai sutradara , merasa telah menjalani semua sesuai prosedur . Lagipula , ia orang kreatif . Punya kepentingan berbeda dalam filmnya .

Ia pernah menyebutkan , film
memang harus sedikit ‘lebay ’.
“ Bu Rachma mungkin melihat
realitas . Tapi masyarakat melihat image yang besar.

Buat saya , sosok Ario Bayu mewakili itu ,” ucapnya di tengah syuting terakhir film Soekarno:
Indonesia Merdeka .
Belakangan , melalui akun Twitter
pribadinya Hanung melontarkan
fakta -fakta yang ia temui
dalam referensi soal Soekarno.
Di antaranya, melalui buku
Penyambung Lidah Rakyat
tulisan Cindy Adams .

Namun , hingga kini konflik itu
masih meruncing. Rachmawati
mengembalikan uang Rp200 juta
kepada Mutivision Plus. Ia
bahkan disebut-sebut akan
melaporkan Hanung ke pihak
berwajib karena telah
mencemarkan nama baiknya.
Sayang sekali, film besar itu
harus diiringi konflik -konflik
internal .

Merunut ke belakang , sebenarnya Soekarno : Indonesia
Merdeka bukan satu -satunya
film besar yang pernah bermasalah . Ada sederet film
lainnya yang sempat menuai
kontroversi . Bahkan, ada yang
sampai dilarang edar oleh
pemerintah Indonesia.

Alasannya , sebagian besar
termaktub dalam legislasi yang
memayungi berdirinya LSF
( Lembaga Sensor Film ). Film -film
itu menyinggung empat hal
utama penyensoran: agama ,
ideologi dan politik, sosial
budaya, serta ketertiban umum .

Akankah Soekarno: Indonesia
Merdeka mengulang sejarah ,
bernasib sama ? Rasanya tidak .
Film ini diprediksi dapat memenuhi
dahaga masyarakat akan sosok
patriotis di Indonesia.

Menghadirkan kembali ruh
Soekarno di tengah kondisi
kekinian bangsa. Lagipula,
Indonesia sudah berdemokrasi.
Namun , tak ada salahnya belajar
dari masa lalu . Mengutip dari
berbagai sumber , berikut
setidaknya tujuh film besar
yang pernah diharamkan untuk
beredar di Indonesia . Sebagian
karya anak negeri sendiri . Ada
juga beberapa hasil potret
sutradara asing terhadap
negeri ini.

Pagar Kawat Berduri (1961 )



Sejatinya , film karya sutradara
Asrul Sani ini berkisah soal
strategi komunikasi . Latar
filmnya menyuratkan kondisi
Indonesia sebelum masa
kemerdekaan .

Tentang para pejuang yang ditawan di kamp Belanda karena nekad menyuarakan revolusi.
Semua berusaha melarikan diri .
Tak mudah memang. Penjagaan
begitu ketat . Mereka juga
dipagari kawat berduri .

Namun, Parman ( diperankan Sukarno M Noor ) punya strategi berbeda. Ia justru berkawan karib
dengan seorang perwira Belanda .

Tingkahnya yang serupa penjilat
itu membuat Parman dimusuhi
kawan - kawan sebangsanya.
Penangkapan Parman yang
akhirnya menyadarkan mereka.
Rupanya , ia bersahabat dengan
perwira Belanda untuk mencari
informasi . Suatu ketika , tahulah
ia bahwa dua kawannya , Herman
dan Toto menjadi incaran bedil
Belanda . Parman mendalangi aksi
kabur .

Ia membekali kedua kawannya
itu catut untuk memotong pagar
kawat berduri . Herman berhasil
lolos . Toto tertembak . Parman
mendapat balasan : dieksekusi
tentara Belanda .

PKI (Partai Komunis Indonesia )
menuntut Pagar Kawat Berduri
ditarik , karena dianggap bisa
membuat masyarakat
bersimpati pada Belanda. Adalah
Soekarno yang berhasil
menyelamatkannya . Namun
tetap saja, film ini tak boleh
beredar . Ia tak pernah
merasakan tayang di bioskop
Indonesia .

Romusha (1972)




Film ini juga mengisahkan masa
penjajahan Indonesia. Bedanya ,
Romusha memilih latar saat
Jepang menjadi penguasa. Jika
film ini ditonton masyarakat
sekarang , mungkin akan
membuat darah mendidih .

Pasalnya , Romusha mempertontonkan dengan jelas
kekejaman tentara Jepang.
Itu dikisahkan melalui tokoh
Rota (diperankan Rofi’ie
Prabancana ) , seorang pribumi
yang ditangkap tentara Jepang
dengan tuduhan menghasut
rakyat . Ia masuk kamp
konsentrasi untuk menjalani
romusha , kerja paksa ala
Jepang. Siksaan demi siksaan ia
terima . Layaknya sapi perah, Rota bekerja siang malam. Banting
tulang . Tak ada imbalan kecuali
didera siksa .

Film sutradara Herman Nagara
ini dilarang edar dengan alasan
kekhawatiran mengganggu
stabilitas hubungan Indonesia-
Jepang. Tak pernah ada protes
memang . Namun produser film ,
Julies Rofi’ ie mengaku pernah
mendapat keluhan keberatan
dari Kedutaan Jepang.

Tak sampai menimbulkan konflik ,
jalan damai ditempuh . Produser
meminta ganti rugi seluruh biaya
produksi film yang batal edar
itu , beserta bunganya . Sejarah
Indonesia pun tak pernah
mencatat film ini tayang di
bioskop .

Max Havelaar (1976)

Film garapan Indonesia dan
Belanda . Kisahnya diangkat dari
novel Max Havelaar tulisan
Multatuli . Nama ini memang
kondang di Indonesia. Ia
merupakan seorang Belanda
yang peduli pada rakyat pribumi .
Ia diangkat menjadi asisten
Residen Lebak pada zaman
penjajahan .

Lantas ia harus menghadapi
korupsi. Bukan hanya dilakukan
oleh bangsanya, melainkan juga
oleh masyarakat lokal yang
dipercaya Belanda . Ironis.
Mereka meraup upeti dari
rakyatnya sendiri, dan menjilat
pada penjajah. Nuraninya
terketuk.

Sayang , perjuangan Max
Havelaar (diperankan Peter
Faber ) tak mampu melawan
kejamnya sistem . Ia akhirnya
dipecat , dan dipulangkan ke
Belanda .

Dari awal pembuatan, film ini
sudah menuai kontroversi .
Penyelesaiannya memakan
waktu tiga tahun. Sepuluh
tahun , ia sempat tertahan di
BSF (Badan Sensor Film ).

Akhirnya, Max Havelaar tayang
di zaman Orde Baru. Sekejap
kemudian, ia ditarik kembali .
Pembuatan film yang disutradarai Fons Rademakers ini juga melibatkan artis -artis Indonesia .

Di antaranya, Rima Melati , Harry Lantho, Nenny Zulaeni , dan Maruli Sitompul . Kini , film ini hanya diputar di beberapa komunitas idealis.

Petualangan-Petualangan (1978)

Judul aslinya Koruptor- koruptor . Film garapan sutradara Arifin C Noer ini mengisahkan konflik kepentingan beberapa tokoh.

Kesemuanya koruptor . Julius, seorang tokoh muda , memiliki ambisi membongkar segalanya.
Keadaan pun memanas. Seperti
film drama pada umumnya ,
percintaan pun menjadi bumbu
yang manis .

Sebelum akhirnya dirilis , film ini
sempat tertahan selama enam
tahun di BSF . Tak ada alasan
yang jelas . Beruntung, ia masih
boleh edar. Namun, pengorbanan
harus dilakukan. Film yang
dibintang Christine Hakim dan
Cok Simbara ini akhirnya lolos
sensor setelah BSF memotong
pita film sampai 319 meter.

Judulnya pun diganti . Entah apakah esensi Petualang - petualang sama dengan Koruptor-koruptor . Tak ada review yang membahas soal
itu .

Merdeka 17805 (2001)


Bagaimana cerita kemerdekaan
Indonesia versi Jepang?
Jawabannya ada di film ini.
Merdeka 17805 merupakan
kolaborasi rumah produksi
Indonesia dan Jepang. Ia
diangkat dari kisah nyata,
tentang perjuangan personel
tentara kekaisaran Jepang
yang ikut andil dalam kemerdekaan Indonesia.

Ya , dari kedatangan Jepang di
perairan Indonesia pada 1942,
ternyata ada sekelompok
tentara yang hatinya terpanggil
untuk membantu masyarakat
pribumi membebaskan diri dari
penjajahan . Ia lah Takeo
Shimazaki , seorang kapten
tentara Jepang yang memimpin
operasi menyusup ke sebuah
desa kecil di pelosok negeri.

Tak dinyana, kedatangan
Shimazaki disambut gegap
gempita . Seorang nenek bahkan
mencium kakinya sambil menceritakan Ramalan Jayabaya , tentang bangsa berkulit kuning yang akan membebaskan masyarakat Jawa dari penderitaan panjang.

Hatinya terenyuh. Tekadnya
bulat sejak itu . Apalagi, ia
kemudian akrab dengan
beberapa pribumi .
Adegan mencium kaki itulah yang
menuai kontroversi. Adegan itu
diminta dihapus. Peredaran film
pun tak bisa massif karena
alasan politik . Padahal , film ini
juga melibatkan beberapa
pemain Indonesia, seperti Lola
Amaria, Aulia Achsan, dan Fajar
Umbara .

Hasil penjualan tiket film ini di
seluruh dunia memang lumayan,
550 juta yen . Namun, jumlah itu
kalah jauh dibanding film lain
yang mencapai miliaran yen . Ia
tak bisa disebut film laris.

Balibo (2009)



Memang ini film Australia. Namun
konfliknya sangat dekat dengan
Indonesia . Balibo mengisahkan
' Balibo Five' , tragedi terbunuhnya lima wartawan
yang meliput invasi Indonesia ke
Timor Timur tahun 1975. Itu
kisah nyata, yang terekam
dalam buku Cover- Up tulisan Jill
Jolliffe .

Gambaran konflik Timor Timur
terekam jelas , sampai tokoh
Ramos Horta yang diperankan
Oscar Isaac . Film ini
disutradarai Robert Connolly.
Produksi film ini dimulai sejak 31
Juli 2008 di Dili, Timor Leste .

Saat itu Timor Timur sudah
bukan bagian dari Indonesia.
Film ini sampai melibatkan
petugas PBB untuk mengamankan lokasi . Sayang,
produksi besar itu justru tak
dikehendaki di Indonesia . Film itu
dilarang oleh LSF. Tidak ada
alasan yang jelas .

Pelarangan pertama terjadi
sesaat sebelum film itu diputra
di Blitz Megaplex Grand
Indonesia , Jakarta , akhir tahun
2009 . Ratusan undangan sudah
hadir dan siap menonton.

Menjelang pukul tujuh malam ,
Ketua JFCC ( Jakarta Foreign
Correspondents Club)
mengumumkan ultimatum
larangan .

Meski begitu, Balibo sudah
sempat beredar sebagai DVD
bajakan . Kelompok - kelompok
masyarakat yang penasaran
memburu dan menontonnya.
Semua lantas mafhum , larangan
LSF mungkin untuk menutupi
fakta kekejaman tentara
Indonesia di Timor Timur kala
itu .

Walau di Indonesia dilarang,
Balibo telah diputar di beberapa
negara . Pertama kali , ia diputar
di Melbourne International Film
Festival , 24 Juli 2009. Acara
itu dihadiri oleh Ramos Horta
dan keluarga jurnalis yang
terbunuh tahun 1975.

“ Sekarang Indonesia sudah lebih
baik . Demokrasi di Indonesia
hari ini bahkan sangat inspiratif
bagi kawasan Asia Tenggara ,”
ujar Ramos .

The Act of Killing ( 2012)



asih ingat film G30 S / PKI
versi pemerintah yang dulu selalu
diputar setiap 30 September?
Film itu dibuat untuk mengingatkan Indonesia soal
kekejaman PKI karena telah
membunuh tujuh jenderal dan
merencanakan kudeta .

Usai doktrinasi selama bertahun-
tahun , akhirnya film itu dilarang.
Tahun 2012, Joshua Oppenheimer kemudian membuat
film dokumenter bertema sama .
Namun , sudut pandangnya
berbeda . Ia justru menampilkan
orang -orang tak berdosa yang
menjadi korban pembantaian
1965 -1966.

Joshua mengumpulkan data
sejak 2005 sampai 2011 . Film
itu mengambil latar di Medan,
Sumatera Utara . Adalah Anwar
Kongo , seorang pemimpin
gerakan pembunuh terkuat di
Medan yang awalnya hanyanya
calo tiket . Dalam film itu , ia
membawa Joshua kembali ke
masa lalunya yang kelam.

Anwar mengajaknya mendatangi
tempat ia dan kawan - kawannya
melakukan pembantaian . Ia juga
mempraktekkan bagaimana
dirinya membunuh korbannya
yang berjumlah sampai ribuan
orang . Kini , Anwar menjadi
bagian dari organisasi Pemuda
Pancasila .

Skandal pembunuhan terbesar di
Indonesia itu tentu mengejutkan
banyak pihak . Film yang merupakan proyek dari
University of Westminster itu
mendapat sanjungan di mana -
mana . Tak hanya karena ia
mampu membongkar sebuah
skandal negara , tetapi juga
ceritanya yang begitu kuat .

Sayang , berbagai penghargaan
dari seluruh penjuru dunia itu
tak mempan bagi tanah kelahiran sang film sendiri , Indonesia . Film ini jelas terlarang , atas nama
kemanusiaan .

Meski begitu, tercatat The Act of Killing sudah ratusan kali diputar secara ilegal di negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

sumber:
us.m.life.viva.co.id/news/read/446500-7-film-besar-haram-edar--kontroversi-sejarah-di-film-indonesia
0
4.4K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.