- Beranda
- Melek Hukum
Menyoroti Vonis Ringan Para Koruptor
...
TS
pagerejo
Menyoroti Vonis Ringan Para Koruptor
Keberhasilan KPK mengungkap kasus korupsi dan menangkap tersangkanya mendapat applause dari seluruh rakyat Indonesia. Masyarakat dari berbagai pelosok negeri berdasarkan Pancasila ini semakin optimis bahwa tindak korupsi dapat segera ‘enyah’ dari bumi Indonesia. Oleh sebab itu, masyarakat menaruh harapan besar kepada lembaga negara yang dipimpin oleh Abraham Samad ini. Sayangnya, kinerja KPK yang patut diajungi jempol ini pada kenyataannya tidak diimbangi dengan peranan hakim tindak pidana korupsi yang menjatuhkan vonis kepada para koruptor. Banyak koruptor yang hanya dijatuhi vonis ringan, jauh dari tuntutan jaksa
Spoiler for Basmi Koruptor:
Masyarakat sempat geger dan dibikin geregetan oleh ulah Gayus Tambunan, tersangka kasus tindak pidana korupsi pajak. Setelah ditangkap dan dimasukkan ke sel tahanan, ternyata si koruptor tetap bisa bebas bahkan asyik berwisata dan menonton pertandingan tenis di Bali, tentu dengan aksi penyamaran. Usut punya usut, kebebasan tersebut diperoleh dengan menyogok polisi yang menjaga rumah tahanan hingga ratusan juta rupiah. Fantastis, seorang pegawai negeri sipil biasa tetapi memiliki harta kekayaan yang luar biasa. Tak pelak, Gayus pun dijerat dengan pasal berlapis atas beberapa kasus, mulai dari penggelapan pajak, gratifikasi, penyuapan, pencucian uang, dan pemalsuan paspor. Masyarakat tentu sudah membayangkan bahwa Gayus akan dihukum berat. Kenyataannya, masyarakat harus menelan pil pahit karena mantan pegawai pajak tersebut hanya dihukum selama 7 tahun dan denda Rp 300 juta untuk kasus korupsi yang dilakukannya. Namun, untuk kasus-kasus lain seperti gratifikasi, penyuapan, pencucian uang, dan pemalsuan paspor, Gayus memang tetap menjalani proses hukum dan tuntutan. Hasilnya jika diakumulasi, ‘sang jutawan’ ini harus mendekam dalam penjara selama lebih dari 20 tahun.
Lain Gayus, lain pula Nazaruddin. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Muhammad Nazaruddin terbukti menerima suap dari PT. Duta Graha Indah (DGI) dalam proyek wisma atlet SEA GAMES 2011. Sebenarnya banyak kasus korupsi lain yang melibatkan mantan bendahara umum partai penguasa ini, seperti pemberian gratifikasi kepada Sekjen MK (Mahkamah Konstitusi) Janedri M. Gaffar, pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan, pengadaan peralatan laboratorium di beberapa universitas, dan lain sebagainya. Sayangnya, kasus-kasus korupsi tersebut seolah tidak terjamah, alias diabaikan. Nazaruddin hanya dijerat dalam kasus menerima suap dari PT. DGI. Atas kasus tersebut, Nazaruddin dituntut selama 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Lantas, bagaimana dengan vonisnya? Sekali lagi vonis yang dijatuhkan kepada koruptor ini tidak memenuhi rasa keadilan, karena sang koruptor hanya divonis selama 4 tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara. Setelah melakoni drama hukum mulai dari aksi pelarian ke luar negeri dan menjadi buronan interpol dari berbagai negara, akhirnya sang koruptor tertangkap di Kolombia. Untuk membawa pulang sang koruptor ke Indonesia tentu negara harus mengeluarkan biaya yang terhitung tidak sedikit. Namun, hal tersebut ternyata tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk menjatuhkan vonis berat kepada Nazaruddin.
Semua orang yang diduga koruptor dan diajukan ke persidangan tipikor (tindak pidana korupsi) boleh saja menyangkal kalau dirinya tidak terlibat dalam kasus korupsi yang didakwakan. Toh, pada akhirnya pengadilan bisa membuktikan kebenarannya meskipun vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebut saja Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut terjerat dalam kasus penyuapan kepada puluhan anggota Komisi IX DPR atas pemenangan dirinya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004. Bersama dengan Nunun Nurbaeti, Miranda memberikan suap berupa Traveller Cheque dengan total nilai sebesar Rp 20,8 milyar. Atas tindakan suap tersebut, Miranda dituntut dengan hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan penjara. Namun, lagi-lagi vonis yang dijatuhkan hakim lebih ringan yakni selama 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara. Sementara koleganya yakni Nunun Nurbaeti divonis 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis tersebut juga lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara. Meskipun palu hakim telah diketuk dan vonis telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), namun Miranda tetap berkeras hati bahwa dirinya tidak bersalah.
Vonis yang tidak kalah mengejutkan berbagai kalangan masyarakat baru-baru ini datang dari Angelina Sondakh. Politisi dan selebriti cantik sekaligus koruptor ini didakwa terlibat dalam kasus korupsi proyek di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga berupa gratifikasi dari Grup Permai sebesar Rp 2,5 milyar dan 1,2 juta dolar Amerika. Angelina Sondakh selaku anggota sekaligus Badan Anggaran DPR bersedia untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional dan wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga agar sesuai keinginan dari Grup Permai. Atas kasus tindak pidana korupsi tersebut, Angie (sapaan akrab Angelina Sondakh) hanya divonis selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan penjara. Vonis tersebut jelas jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Sebenarnya apa yang salah dengan sistem hukum di negara ini? Sudah ada Undang-Undang yang menjadi dasar hukum, tapi vonis yang dijatuhkan toh tidak sesuai dengan tuntutan. Celakanya, kebanyakan dari kasus tipikor, para koruptornya divonis dengan hukuman yang jauh lebih ringan dari tuntutan. Vonis tersebut jelas tidak memberi rasa keadilan bagi masyarakat, apalagi memberi efek jera bagi para pelakunya. Jika ditilik dari dampaknya, kasus tindak pidana korupsi membawa imbas negatif tidak hanya pada kehidupan masyarakat, tetapi juga sistem pemerintahan. Dengan kata lain dampaknya lebih kejam seperti halnya aksi terorisme dan penyebaran narkoba.
Secara lebih konkrit dapat dijabarkan bahwa tindak pidana korupsi jelas merugikan masyarakat dan negara. Bagi masyarakat, korupsi akan menghambat proses pemerataan di segala bidang. Sederhananya, korupsi yang merajalela akan mempermudah para pihak yang berkuasa dan kaya raya untuk menaklukkan birokrasi dan Undang-Undang dengan sejumlah uang. Sementara bagi kaum miskin akan tetap menjadi kaum marginal yang senantiasa terpinggirkan dan dapat dengan mudah tergilas oleh mereka yang mengandalkan uang untuk mencapai tujuan. Contohnya saja jual beli pekerjaan di lingkungan pemerintahan. Diakui atau tidak tetapi sudah menjadi rahasia umum ada praktik jual beli pekerjaan dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Bagi yang sudah dinyatakan lolos seleksi, tetapi tidak mampu memberikan sejumlah uang yang diminta oleh oknum pegawai tertentu, maka namanya bisa langsung dicoret dan digantikan oleh orang lain yang bersedia dan mampu membayar sejumlah uang tersebut. Dalam praktik ini, jelas mereka yang berkompeten justru tersingkirkan oleh ‘pemilik modal’ yang belum tentu cakap dalam bidang pekerjaan yang harus segera diisi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan ‘kecemburuan’ sosial dalam kehidupan masyarakat.
Lantas, apa ancaman atau dampak tindak pidana korupsi bagi sistem pemerintahan? Tindak korupsi dapat menimbulkan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Artinya masyarakat tidak akan lagi percaya kepada pemerintah. Akibatnya, masyarakat tidak akan mendukung dan berpartisipasi bahkan anti terhadap setiap kebijakan pemerintah. Jika masyarakat telah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah, maka tidak mengherankan apabila masyarakat melakukan aksi radikal dan berkeinginan untuk mendirikan negara sendiri yang tentunya bebas korupsi.
Tindak pidana korupsi menimbulkan dampak merugikan di setiap lini kehidupan. Korupsi yang merajalela jelas menodai bahkan semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para wakil rakyat yang seharusnya membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Memang tidak bisa digeneralisir bahwa semua wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi, namun ulah segelintir orang yang ‘mengaku’ wakil rakyat tersebut justru melukai hati rakyat yang diwakilinya, hanya demi memburu kepuasan, kepentingan, dan kekayaannya sendiri. Celakanya, rakyat senantiasa dijadikan sebagai pihak yang selalu dikalahkan, menanggung sakit hati, dan diabaikan rasa keadilannya. Mengapa demikian?
Vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor jelas menyakiti hati rakyat. Bagaimana tidak? Rakyat harus menanggung beban ekonomi yang tinggi, bahkan tidak sedikit yang harus menahan lapar karena tidak mampu membeli makanan. Ironisnya, para koruptor dengan ‘seenak perutnya’ menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk mengeruk uang rakyat demi memperkaya diri.
Satu kekhawatiran yang timbul dengan vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor adalah semakin merebaknya praktik tindak pidana korupsi di setiap lini kehidupan, tidak hanya oleh para pejabat tinggi negara, tetapi juga masyarakat umum lainnya, entah di instansi kerja, organisasi sosial kemasyarakatan, badan usaha, dan lain sebagainya. Toh hukumannya tidak berat, hanya beberapa tahun saja dan asyiknya lagi uang ataupun harta hasil korupsi tidak disita negara. Jadi, mendekam di dalam penjara untuk beberapa saat tidak masalah, setelah keluar dari penjara masih bisa hidup bergelimang harta hasil korupsi dan menikmati kehidupan mewah tanpa memusingkan kerugian negara, apalagi nasib rakyat miskin.
Dalam menjatuhkan vonis kepada para koruptor, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Dari kebanyakan proses hukum tindak pidana korupsi, hal yang meringankan umumnya para koruptor bersikap sopan dan kooperatif dalam persidangan. Sementara hal yang memberatkan umumnya para koruptor tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, setiap tindak pidana ada hukuman minimal dan maksimal. Vonis ringan para koruptor memperlihatkan bahwa hakim cenderung menggunakan logika minimal dalam menjatuhkan hukuman. Setiap koruptor yang diajukan di kursi ‘pesakitan’ tidak malu untuk memohon-mohon kepada hakim agar diringankan hukumannya. Mereka seolah tidak menyadari bahwa perbuatannya sangat melukai perasaan seluruh rakyat Indonesia. Apa yang mereka pikirkan ketika masih berkuasa dan melakukan tindak korupsi dengan mulusnya? Apakah mereka memikirkan rakyat yang harus bersusah payah dan bekerja keras untuk bisa tetap melanjutkan hidup? Tentu saja tidak. Jika mereka memikirkan hal tersebut, pasti tidak akan melakukan perbuatan tercela itu. Anehnya, bak gayung bersambut, hakim pun mengabulkan permohonan para koruptor tersebut dengan menjatuhkan vonis ringan.
Dengan vonis yang ringan tentu tidak akan menimbulkan efek jera baik bagi para koruptor maupun yang sedang berpikir menjadi seorang koruptor. Seharusnya koruptor dijatuhi hukuman yang sangat berat, bisa melebihi ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, dimiskinkan, dan bila perlu dihukum mati. Dengan hukuman tersebut, orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kecurangan yang bermuara pada tindak pidana korupsi. Sayangnya, ancaman hukuman berat bagi koruptor hanya sebatas wacana saja, karena pada kenyataannya tidak ada seorang koruptor pun yang dihukum berat apalagi dimiskinkan.
Lain Gayus, lain pula Nazaruddin. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Muhammad Nazaruddin terbukti menerima suap dari PT. Duta Graha Indah (DGI) dalam proyek wisma atlet SEA GAMES 2011. Sebenarnya banyak kasus korupsi lain yang melibatkan mantan bendahara umum partai penguasa ini, seperti pemberian gratifikasi kepada Sekjen MK (Mahkamah Konstitusi) Janedri M. Gaffar, pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan, pengadaan peralatan laboratorium di beberapa universitas, dan lain sebagainya. Sayangnya, kasus-kasus korupsi tersebut seolah tidak terjamah, alias diabaikan. Nazaruddin hanya dijerat dalam kasus menerima suap dari PT. DGI. Atas kasus tersebut, Nazaruddin dituntut selama 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Lantas, bagaimana dengan vonisnya? Sekali lagi vonis yang dijatuhkan kepada koruptor ini tidak memenuhi rasa keadilan, karena sang koruptor hanya divonis selama 4 tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara. Setelah melakoni drama hukum mulai dari aksi pelarian ke luar negeri dan menjadi buronan interpol dari berbagai negara, akhirnya sang koruptor tertangkap di Kolombia. Untuk membawa pulang sang koruptor ke Indonesia tentu negara harus mengeluarkan biaya yang terhitung tidak sedikit. Namun, hal tersebut ternyata tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk menjatuhkan vonis berat kepada Nazaruddin.
Semua orang yang diduga koruptor dan diajukan ke persidangan tipikor (tindak pidana korupsi) boleh saja menyangkal kalau dirinya tidak terlibat dalam kasus korupsi yang didakwakan. Toh, pada akhirnya pengadilan bisa membuktikan kebenarannya meskipun vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebut saja Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut terjerat dalam kasus penyuapan kepada puluhan anggota Komisi IX DPR atas pemenangan dirinya dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia tahun 2004. Bersama dengan Nunun Nurbaeti, Miranda memberikan suap berupa Traveller Cheque dengan total nilai sebesar Rp 20,8 milyar. Atas tindakan suap tersebut, Miranda dituntut dengan hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan penjara. Namun, lagi-lagi vonis yang dijatuhkan hakim lebih ringan yakni selama 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan penjara. Sementara koleganya yakni Nunun Nurbaeti divonis 2 tahun 6 bulan dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara. Vonis tersebut juga lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan penjara. Meskipun palu hakim telah diketuk dan vonis telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht), namun Miranda tetap berkeras hati bahwa dirinya tidak bersalah.
Vonis yang tidak kalah mengejutkan berbagai kalangan masyarakat baru-baru ini datang dari Angelina Sondakh. Politisi dan selebriti cantik sekaligus koruptor ini didakwa terlibat dalam kasus korupsi proyek di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pemuda dan Olahraga berupa gratifikasi dari Grup Permai sebesar Rp 2,5 milyar dan 1,2 juta dolar Amerika. Angelina Sondakh selaku anggota sekaligus Badan Anggaran DPR bersedia untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional dan wisma atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga agar sesuai keinginan dari Grup Permai. Atas kasus tindak pidana korupsi tersebut, Angie (sapaan akrab Angelina Sondakh) hanya divonis selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan penjara. Vonis tersebut jelas jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman selama 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Sebenarnya apa yang salah dengan sistem hukum di negara ini? Sudah ada Undang-Undang yang menjadi dasar hukum, tapi vonis yang dijatuhkan toh tidak sesuai dengan tuntutan. Celakanya, kebanyakan dari kasus tipikor, para koruptornya divonis dengan hukuman yang jauh lebih ringan dari tuntutan. Vonis tersebut jelas tidak memberi rasa keadilan bagi masyarakat, apalagi memberi efek jera bagi para pelakunya. Jika ditilik dari dampaknya, kasus tindak pidana korupsi membawa imbas negatif tidak hanya pada kehidupan masyarakat, tetapi juga sistem pemerintahan. Dengan kata lain dampaknya lebih kejam seperti halnya aksi terorisme dan penyebaran narkoba.
Secara lebih konkrit dapat dijabarkan bahwa tindak pidana korupsi jelas merugikan masyarakat dan negara. Bagi masyarakat, korupsi akan menghambat proses pemerataan di segala bidang. Sederhananya, korupsi yang merajalela akan mempermudah para pihak yang berkuasa dan kaya raya untuk menaklukkan birokrasi dan Undang-Undang dengan sejumlah uang. Sementara bagi kaum miskin akan tetap menjadi kaum marginal yang senantiasa terpinggirkan dan dapat dengan mudah tergilas oleh mereka yang mengandalkan uang untuk mencapai tujuan. Contohnya saja jual beli pekerjaan di lingkungan pemerintahan. Diakui atau tidak tetapi sudah menjadi rahasia umum ada praktik jual beli pekerjaan dalam rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Bagi yang sudah dinyatakan lolos seleksi, tetapi tidak mampu memberikan sejumlah uang yang diminta oleh oknum pegawai tertentu, maka namanya bisa langsung dicoret dan digantikan oleh orang lain yang bersedia dan mampu membayar sejumlah uang tersebut. Dalam praktik ini, jelas mereka yang berkompeten justru tersingkirkan oleh ‘pemilik modal’ yang belum tentu cakap dalam bidang pekerjaan yang harus segera diisi. Kondisi ini tentu saja menimbulkan ‘kecemburuan’ sosial dalam kehidupan masyarakat.
Lantas, apa ancaman atau dampak tindak pidana korupsi bagi sistem pemerintahan? Tindak korupsi dapat menimbulkan krisis kepercayaan kepada pemerintah. Artinya masyarakat tidak akan lagi percaya kepada pemerintah. Akibatnya, masyarakat tidak akan mendukung dan berpartisipasi bahkan anti terhadap setiap kebijakan pemerintah. Jika masyarakat telah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah, maka tidak mengherankan apabila masyarakat melakukan aksi radikal dan berkeinginan untuk mendirikan negara sendiri yang tentunya bebas korupsi.
Tindak pidana korupsi menimbulkan dampak merugikan di setiap lini kehidupan. Korupsi yang merajalela jelas menodai bahkan semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para wakil rakyat yang seharusnya membela dan memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak. Memang tidak bisa digeneralisir bahwa semua wakil rakyat melakukan tindak pidana korupsi, namun ulah segelintir orang yang ‘mengaku’ wakil rakyat tersebut justru melukai hati rakyat yang diwakilinya, hanya demi memburu kepuasan, kepentingan, dan kekayaannya sendiri. Celakanya, rakyat senantiasa dijadikan sebagai pihak yang selalu dikalahkan, menanggung sakit hati, dan diabaikan rasa keadilannya. Mengapa demikian?
Vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor jelas menyakiti hati rakyat. Bagaimana tidak? Rakyat harus menanggung beban ekonomi yang tinggi, bahkan tidak sedikit yang harus menahan lapar karena tidak mampu membeli makanan. Ironisnya, para koruptor dengan ‘seenak perutnya’ menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk mengeruk uang rakyat demi memperkaya diri.
Satu kekhawatiran yang timbul dengan vonis ringan yang dijatuhkan kepada para koruptor adalah semakin merebaknya praktik tindak pidana korupsi di setiap lini kehidupan, tidak hanya oleh para pejabat tinggi negara, tetapi juga masyarakat umum lainnya, entah di instansi kerja, organisasi sosial kemasyarakatan, badan usaha, dan lain sebagainya. Toh hukumannya tidak berat, hanya beberapa tahun saja dan asyiknya lagi uang ataupun harta hasil korupsi tidak disita negara. Jadi, mendekam di dalam penjara untuk beberapa saat tidak masalah, setelah keluar dari penjara masih bisa hidup bergelimang harta hasil korupsi dan menikmati kehidupan mewah tanpa memusingkan kerugian negara, apalagi nasib rakyat miskin.
Dalam menjatuhkan vonis kepada para koruptor, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Dari kebanyakan proses hukum tindak pidana korupsi, hal yang meringankan umumnya para koruptor bersikap sopan dan kooperatif dalam persidangan. Sementara hal yang memberatkan umumnya para koruptor tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, setiap tindak pidana ada hukuman minimal dan maksimal. Vonis ringan para koruptor memperlihatkan bahwa hakim cenderung menggunakan logika minimal dalam menjatuhkan hukuman. Setiap koruptor yang diajukan di kursi ‘pesakitan’ tidak malu untuk memohon-mohon kepada hakim agar diringankan hukumannya. Mereka seolah tidak menyadari bahwa perbuatannya sangat melukai perasaan seluruh rakyat Indonesia. Apa yang mereka pikirkan ketika masih berkuasa dan melakukan tindak korupsi dengan mulusnya? Apakah mereka memikirkan rakyat yang harus bersusah payah dan bekerja keras untuk bisa tetap melanjutkan hidup? Tentu saja tidak. Jika mereka memikirkan hal tersebut, pasti tidak akan melakukan perbuatan tercela itu. Anehnya, bak gayung bersambut, hakim pun mengabulkan permohonan para koruptor tersebut dengan menjatuhkan vonis ringan.
Dengan vonis yang ringan tentu tidak akan menimbulkan efek jera baik bagi para koruptor maupun yang sedang berpikir menjadi seorang koruptor. Seharusnya koruptor dijatuhi hukuman yang sangat berat, bisa melebihi ancaman hukuman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, dimiskinkan, dan bila perlu dihukum mati. Dengan hukuman tersebut, orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kecurangan yang bermuara pada tindak pidana korupsi. Sayangnya, ancaman hukuman berat bagi koruptor hanya sebatas wacana saja, karena pada kenyataannya tidak ada seorang koruptor pun yang dihukum berat apalagi dimiskinkan.
Siapa yang patut disalahkan atas vonis ringan para koruptor yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat? Hakim atau jaksa penuntutkah? Siapapun itu, mereka hanyalah manusia biasa yang tidak lepas dari kepentingan dan rasa emosional, sehingga subjektivitas tetaplah berperan. Keadilan yang paling hakiki hanyalah keadilan Tuhan. So, Anda tertarik untuk menjadi the next corruptor? Semoga Anda berani untuk mengatakan TIDAK
Masuk meninggalkan komeng ane doakan dapat pasangan yang begini :
Spoiler for trataaaaa:
Kalo gak komeng pasti dapat jodoh ky gini (Amin):
Spoiler for dienggggg:
Bila berkenan bisa di bantu
Atau lebih terima kasih lagi bila dikasih
sumbernya
0
1.6K
Kutip
11
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Melek Hukum
7.6KThread•2.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru